ALAT UKUR
UTAMA KAPABILITAS PEMIMPIN BISNIS:
KEHEBATAN DALAM
MEMBUAT KEPUTUSAN EFEKTIF
Penulis:
Eko Jatmiko Utomo Ph.D (c)
Business & HR Consultant
Public Trainer & Master Coach
RINGKASAN
Studi literatur dan riset empiris menunjukkan bahwa dua
dimensi penentu perusahaan dalam menghasilkan keuntungan adalah strategi dan eksekusi. Perusahaan membutuhkan strategi karena dalam upayanya
menjual barang atau jasa kepada konsumen, mereka tidak sendirian, ada pesaing
yang melakukan kegiatan yang sama. Dengan demikian dibutuhkan strategi agar
konsumen lebih memilih barang dan jasa yang mereka jual dibandingkan dengan
barang dan jasa yang ditawarkan oleh kompetitor.
Namun strategi yang hebat tidak
menjamin bahwa perusahaan akan untung. Sebuah gambar arsitektur rumah yang
indah luarbiasa hanyalah sebatas gambar diatas kertas, bukan merupakan rumah
yang nyata. Dibutuhkan serangkaian proses dan aktivitas untuk mengeksekusi dan
mewujudkan gambar arsitektur menjadi sebuah rumah yang dapat dilihat, dipegang
dan dihuni. Kegiatan ini dalam bisnis dinamakan eksekusi, kegiatan paling penting dalam perusahaan.
Penelitian empiris dalam dunia
bisnis menunjukkan bahwa ternyata hanya 40% strategi dieksekusi dengan baik.
Sisanya sebesar 60%, strategi dieksekusi dengan buruk atau tidak dieksekusi
sesuai dengan rencana yang sudah dibuat sebelumnya (Nielson dkk., 2011).
Eksekusi, sebuah terminologi yang
ambigu dan sering diterjemahkan secara berbeda-beda oleh banyak orang. Sebagian
berpendapat bahwa eksekusi sekedar
menjalankan rencana yang sudah dibuat dalam strategi. Padahal strategi itu
sendiri hanyalah merupakan panduan besar mengapa, apa dan
bagaimana mencapai target perusahaan. Sementara bisnis dijalankan hari demi
hari dengan detail kecil-kecil yang harus diputuskan dan dieksekusi setiap
saat.
Pemimpin bisnis menjadi bingung
menerjemahkan apa dan bagaimana melakukan eksekusi bisnis. Dibutuhkan detail
tindakan yang harus dilakukan. Ada empat tindakan utama dalam melakukan
eksekusi bisnis: 1) Membuat keputusan yang tepat. 2) Membuat informasi mengalir.
3) Memotivasi orang dan 4) Membuat struktur organisasi yang handal (Nielson
dkk., 2008).
Membuat keputusan yang tepat merupakan faktor utama dalam eksekusi
bisnis. Strategi itu sendiri bahkan didefinisikan sebagai serangkaian aliran keputusan stratejik yang dilakukan oleh pemimpin
perusahaan (Mintzberg, 1978). Jadi, apabila sebuah perusahaan mengaku tidak memiliki
strategi (formal) maka sebenarnya keputusan-keputusan stratejik yang dilakukan
oleh para pemimpin adalah strategi itu sendiri.
Dunia bisnis pada saat ini
berubah sedemikian pesat (dinamic), muncul banyak sekali faktor baik internal
dan eksternal yang saling berkaitan (complexity) dan juga asumsi yang dipakai
pada saat membuat strategi belum tentu sama dengan pada saat strategi
dieksekusi (uncertainty). Dengan demikian setiap keputusan (stratejik) yang
dibuat haruslah memenuhi kriteria tertentu agar dapat relevan dengan dunia
bisnis yang dinamis, kompleks dan tidak menentu tersebut (Hough & White,
2004).
Keputusan yang dibuat oleh para
pemimpin bisnis harus dibuat dengan cepat
(fast), diterima (acceptable)
oleh pemangku kepentingan di dalam perusahaan, mendapatkan dukungan penuh (commitment) oleh mereka dan yang tidak kalah pentingnya
adalah dapat dengan mudah dieksekusi
(Utomo, 2017). Kriteria-kriteria itulah yang akan menentukan seberapa baik pemimpin
dalam membuat keputusan yang efektif.
Dalam proses pengambilan keputusan
yang efektif terdapat tiga jenis pendekatan pengambilan keputusan. Ketiga jenis
pendekatan tersebut adalah Intuisi, Rasionality dan Politis (Elbanna & Child, 2007). Riset menunjukkan bahwa
intuisi tidak memberikan pengaruh positif yang nyata dalam pengambilan
keputusan. Pendekatan Rasional dan pendekatan Politis menunjukkan pengaruh yang
signifikan terhadap keputusan yang diambil. Rasionalitas terbukti menunjukkan
pengaruh yang positif sedangkan pendekatan politis menunjukkan pengaruh yang
negatif (Dean & Sharfman, 1993).
Dengan demikian agar mendapatkan
hasil keputusan yang efektif maka proses pengambilan keputusan harus dibuat
serasional mungkin dan menjaga agar pendekatan politis dapat diminimalkan.
Proses rasional yang komprehensif
terdiri dari dua bagian, yaitu komprehensif
secara proses maupun komprehensif
secara konten (Utomo, 2017). Proses pengambilan keputusan yang komprehensif
secara proses harus melewati 4 langkah utama proses pengambilan keputusan
yaitu: identifikasi, membuat alternatif keputusan, melakukan seleksi keputusan dan melakukan integrasi keputusan yang dibuat (Fredrickson
& Mitchell, 1984).
Sedangkan proses komprehensif
konten adalah pendalaman terhadap seluruh aspek penting dalam keputusan yang akan
dibuat (Bozeman & Pandey, 2004). Sebagai contoh, dalam sebuah proses
pengambilan keputusan stratejik perusahaan maka selain aspek stratejik, semua
aspek penting lain seperti aspek penjualan dan pemasaran, aspek operasi, aspek
manusia dan tentu saja aspek keuangan harus dibahas dengan tuntas.
***
Hati Baja Elia Manik di
Rimba PTPN
Sesudah terbukti secara
cemerlang mampu membalikkan kondisi Elnusa dari rugi Rp 43 milyar pada tahun
2011 menjadi untung Rp 238 milyar pada tahun 2013 hanya dalam 2 tahun (Kumparan.com, 2017). Elia Manik kemudian mendapatkan kepercayaan
yang lebih besar dari Kemeneg BUMN untuk memimpin holding PTPN yang baru.
Ada 7 PTPN yang
dimiliki oleh negara yang memiliki wilayah operasional yang tersebar di seluruh
Indonesia. Kondisi PTPN memiliki kinerja yang berbeda-beda. Beberapa PTPN
mencatatkan keuntungan namun beberapa PTPN mengalami kerugian.
Sebagai BUMN yang sudah
lama berdiri, memiliki aset yang besar dan sedikit banyak memiliki keuntungan
sebagai perusahaan negara maka kinerja PTPN secara keseluruhan masih jauh
dibawah target optimal mereka.
Melihat potensi yang
ada, maka kemeneg BUMN membuat sebuah holding BUMN PTPN untuk membawahi dan
mengorkrestasikan seluruh PTPN yang ada dibawahnya. Tugas berat menjadi
komandan PTPN ini diberikan kepada Elia Manik.
Dalam waktu singkat,
Elia Manik mengidentifikasian hambatan masing2 PTPN dalam mengeksekusi bisnis.
Hambatan itu muncul karena anggota dewan direksi terlalu gemuk dan cenderung
birokratis. Salah satu keputusan stratejik yang dilakukan oleh Elia Manik
adalah merampingkan jumlah anggota
direksi. Keputusan penting yang tentu saja mengusik kenyamanan orang-orang
lama yang ada di dalam perusahaan. Dibutuhkan hati baja untuk mengurangi jumlah
karyawan dan memecat direksi lama.
Apakah keputusan
stratejik tersebut berhasil dan membuat kinerja holding PTPN menjadi bersinar? Namun
sebelum pertanyaan ini tuntas dan terbukti, Kemeneg BUMN menugaskan Elia Manik
ke perusahaan terbesar di Indonesia, Pertamina. Perusahaan yang baru saja
kehilangan nahkodanya. Apakah keputusan stratejik para pemimpin Kemeneg BUMN
efektif?, waktu juga yang akan membuktikan.
***
Membangun Kepercayaan dan Kolaborasi
Proses pengambilan keputusan akan
memberikan hasil yang maksimal apabila melibatkan orang-orang kunci dalam bisnis
tersebut (Amason, 1996). Keterlibatan orang-orang kunci didalam pengambilan
keputusan akan membuat mereka mengerti tentang keputusan yang diambil dan
menumbuhkan komitmen pada saat proses eksekusi dilakukan.
Untuk mendapatkan hasil yang
maksimal, maka anggota tim yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan
harus memiliki kepercayaan satu dengan
lain. Kepercayaan ditimbulkan karena masing-masing dari mereka memiliki
persepsi bahwa anggota tim yang lain memiliki integritas, kemampuan
dan ketulusan dalam bisnis (Utomo,
2017).
Dengan adanya kepercayaan antar
anggota tim, maka mereka mau dan berani mengambil resiko untuk memberikan kuasa
kepada anggota yang lain dalam mengambil sebuah tindakan, dalam hal ini ikut
berkontribusi dalam proses pengambilan keputusan yang sedang dilakukan.
Kepercayaan yang dibangun
tersebut merupakan pondasi yang penting dalam melakukan kolaborasi pada saat proses diskusi berlangsung. Proses kolaborasi
ditandai oleh adanya perilaku saling berbagi
tujuan (goal sharing), tukar menukar
informasi (information exchange) dan berbagi
pendapat (cognitive sharing). Tanpa adanya kepercayaan, niscaya proses
kolaborasi tidak akan dapat berlangsung dengan optimal.
Rasional Komprehensif
Proses
pengambilan keputusan yang rasional adalah proses pengambilan keputusan
bertumpu pada penggunaan akal, logika dan rasio. Sementara itu, menurut
Fredrickson & Mitchell (1984), “Comprehensiveness
is a measure of rationality and is defined as the extent to which organizations
attempt to be exhaustic or inclusive in making and integrating strategic
decision”. Jadi komprehensitas merupakan alat ukur seberapa rasional kita
membuat dan mengintegrasikan keputusan stratejik. Semakin luas dan dalam proses
yang dilakukan maka semakin komprehensif pula keputusan yang rasional
dilakukan.
Gambar
1. Pengaruh Komprehensitas terhadap Efektivitas Keputusan
Gambar 1 di atas menunjukkan
bahwa komprehensitas berpengaruh positif terhadap efektivitas keputusan yang
dihasilkan. Semakin komprehensif proses pengambilan keputusan yang dilakukan,
maka efektivitas keputusan juga semakin tinggi.
Proses komprehensitas itu sendiri
dibagi menjadi dua jenis. Proses yang pertama dinamakan sebagai Komprehensif Proses, sedangkan yang
kedua dinamakan sebagai Komprehensif Konten.
Komprehensif proses adalah proses
pengambilan keputusan dilakukan selangkah demi selangkah secara berurutan.
Langkah-langkah tersebut adalah Identifikasi
masalah, memunculkan alternatif
pilihan, melakukan proses seleksi
dan kemudian melakukan integrasi
keputusan.
Sebuah perusahaan perhotelan
sedang mengalami kesulitan dalam bisnis yang mereka jalankan. Setelah selama
bertahun-tahun menikmati pertumbuhan pendapatan dan keuntungan, maka pada tahun
lalu untuk pertama kalinya hotel tersebut berkinerja buruk. Pendapatan turun
cukup tajam dan perusahaan mengalami kerugian. Selain itu, iklim organisasi
menjadi tidak kondusif karena timbul kecurigaan dan terjadi saling ketidakpercayaan
antar karyawan, akibatnya produktivitas memburuk di banyak lini operasi.
Untuk bisa membalikkan kondisi kembali
menguntungkan, komisaris dan direksi membentuk sebuah tim untuk membuat
keputusan stratejik agar perusahaan memiliki rencana untuk mengembalikan kinerja
hotel menjadi positif kembali.
Proses pertama yang mereka
lakukan adalah mengidentifikasi masalah.
Identifikasi dilakukan dengan mengumpulkan data dan informasi tentang kondisi
dan situasi terkini dari hotel tersebut. Kondisi lingkungan bisnis industri
hotel dicermati, khususnya di lokasi dan di kota di mana hotel tersebut berada.
Mereka melihat apakah terjadi perubahan daya saing dari kompetitor hotel
tersebut. Mereka juga mencermati berapa banyak hotel-hotel baru yang sekelas
yang dibangun di sekitar hotel mereka. Hal penting lain yang menjadi perhatian
apakah muncul kebutuhan baru dari para pengunjung yang tidak bisa diberikan
oleh pelayanan yang dimiliki oleh hotel tersebut pada saat ini.
Setelah proses identifikasi
lingkungan bisnis dilakukan, maka pengamatan dan evaluasi dilakukan pada proses
bisnis internal. Tim melihat apakah proses manajemen hotel yang selama ini mereka
jalankan masih releven atau tidak. Apakah tingkat pelayanan yang mereka berikan
kepada tamu hotel memuaskan pelanggan yang datang. Mereka juga melihat apakah
kompetensi dari karyawan-karyawan hotel mampu untuk memberikan pelayanan yang terbaik. Mereka juga mengevaluasi pola
pikir karyawan dari level bawah sampai level tertinggi.
Proses identifikasi yang komprehensif
akan memberikan data dan informasi yang lengkap pada saat memunculkan alternatif keputusan. Berbagai macam alternatif keputusan dimunculkan.
Mulai dari pergantian jajaran direksi, perombakan karyawan, perubahan strategi
organisasi bahkan yang lebih radikal seperti divestasi atau merger dengan hotel
lain dalam satu group.
Alternatif keputusan adalah
beberapa macam pilihan keputusan yang diolah dan dimunculkan dari data dan
informasi yang dikumpulkan pada fase identifikasi. Fase berikutnya adalah
memilih alternatif pilihan yang terbaik. Tugas dari pemimpin adalah mampu
dengan cermat melakukan seleksi
alternatif pilihan yang terbaik. Alternatif pilihan yang terlihat sama baik atau sama buruk
(komoditas) merupakan tanda
ketidakmampuan pemimpin dalam melakukan proses seleksi.
Pindah Kerja atau Tinggal
Dalam kapasitas menjadi coach dan mentor dari beberapa orang di dalam
organisasi di mana saya pernah bekerja, saya sering mendapatkan permintaan sesi
coaching dengan topik yang sangat menarik: memberikan pertimbangan kepada karyawan
dalam membuat keputusan tawaran pindah kerja.
Biasanya, hampir semua karyawan yang datang ke saya sudah membawa
keputusan awal bahwa mereka akan mengambil tawaran pindah kerja.
Proses coaching pengambilan keputusan yang saya lakukan adalah membantu
mereka secara komprehensif mengelaborasi keputusan awal yang sudah mereka
ambil. Sebagian besar faktor utama dorongan untuk menerima tawaran adalah GAJI
yang lebih TINGGI.
Faktor gaji cenderung menjadi satu-satunya faktor yang diambil sebagai
representasi semua faktor di dalam proses pengambilan keputusan: menerima
tawaran kerja baru dan meninggalkan pekerjaan lama.
Kami kemudian secara komprehensif melakukan elaborasi ulang terhadap
faktor-faktor daya dorong dan daya tarik pekerjaan lama dan baru. Faktor gaji
tentu saja masuk di dalamnya. Namun selain faktor gaji, kami juga memasukkan
faktor tantangan pekerjaan, lokasi kerja, reputasi perusahaan, proses
pembelajaran, atasan, rekan kerja dan faktor-faktor lain yang relevan.
Kami tidak hanya mengidentifikasi faktor-faktor tersebut, namun kami
juga memberikan pembobotan pada masing-masing faktor dan kemudian melakukan
penilaian satu persatu terhadap faktor-faktor tersebut.
Hasilnya, 50% dari mereka yang datang akhirnya membatalkan keputusan
untuk menerima tawaran pekerjaan baru. Perubahan keputusan ini dihasilkan
karena proses pengambilan keputusan dilakukan ulang dengan cara yang lebih
komprehensif.
Proses yang terakhir dalam
pengambilan keputusan yang komprehensif adalah melakukan integrasi keputusan. Seperti yang sudah ditulis diatas, organisasi
berjalan berdasarkan keputusan-keputusan yang diambil pada masa lalu. Dengan
adanya sebuah keputusan (stratejik) baru, maka dibutuhkan penyelarasan dan
penggabungan dengan keputusan maupun sistem operasi yang sudah dilakukan
sebelumnya. Dalam kasus hotel diatas, misalkan diambil keputusan bahwa
hotel-hotel tersebut akan digabungkan (merger) dengan hotel-hotel lain dalam
satu induk, tentu saja ada banyak proses integrasi yang harus dilakukan. Selain
integrasi proses bisnis, maka dibutuhkan integrasi budaya dan juga integrasi
strategi agar keputusan merger dapat memberikan hasil yang positif dan bukan
sebaliknya.
Komprehensif Konten berbicara tentang seberapa dalam dan luas
cakupan proses rasionalitas dilakukan. Jika dalam komprehensif proses, intinya
dalam membuat keputusan melakukan langkah demi langkah, maka dalam komprehensif
konten membahas secara mendalam konten (isi/topik) pengambilan keputusan.
Kembali pada contoh hotel di
atas, ada beberapa faktor penting yang harus diperhatikan dalam melakukan
evaluasi hotel. Faktor-faktor tersebut seperti nilai jual hotel, faktor
persaingan, faktor pemasaran, faktor operasi, faktor pelayanan dan faktor
daya dukung keuangan.
Keenam faktor diatas merupakan konten yang harus dibahas secara mendalam
dalam proses pengambilan keputusan. Dengan demikian, pada saat sedang melakukan
proses identifikasi masalah, maka nilai jual hotel, persaingan dan lain-lain merupakan
topik yang harus dibahas dalam proses tersebut. Demikian juga pada saat
melakuan proses memunculkan alternatif, melakukan seleksi dan integrasi.
Pendekatan Rasional, Politis atau
Intuisi
Apakah anda pernah ada dalam sebuah kondisi sedang menghadapi sebuah masalah
dan kemudian anda yakin sekali terhadap sebuah solusi?
Mungkin semua orang pernah mengalami dan merasakan pengalaman yang
sama. Sebuah proses pengambilan keputusan (dalam hal ini mencari solusi) yang
dilakukan secara cepat dengan mengandalkan faktor perasaan atau intuisi.
Yang tidak diketahui atau disadari oleh banyak orang, intuisi (bisnis)
bukanlah sebuah proses reflek terhadap sebuah stimulus. Intuisi juga bukan
merupakan hasil dari emosi, orang banyak yang salah kaprah tentang hal ini.
Intuisi dibangun oleh apa yang dilihat, didengar, dirasakan melalui
serangkaian pemahaman, pembelajaran, pengalaman menghadapi kondisi yang serupa
sehingga pada saat mengambil keputusan bisa secara cepat dilakukan karena sudah
TERBIASA melakukannya (Khatri & Ng, 2000). Intuisi dibedakan dengan reflek
seperti kita menepuk paha saat kita digigit nyamuk.
Karena intuisi dibangun oleh pemahaman, pembelajaran dan pengalaman, jikalau
proses-proses tersebut dilakukan secara tidak tepat, tentu saja intuisi yang
dibangun adalah intuisi yang juga tidak tepat.
Dari banyak literatur dan studi empiris yang dilakukan terbukti bahwa
intuisi tidak secara signifikan berpengaruh positif terhadap kualitas keputusan
yang diambil. Intuisi hanya akan berpengaruh positif apabila proses pembangunan
intuisinya dilakukan dengan benar dan dipergunakan secara benar.
Proses pengambilan keputusan yang dilakukan secara rasional
komprehensif merupakan proses pengambilan keputusan yang terbukti berpengaruh
positif terhadap kualitas keputusan yang dihasilkan. Proses komprehensif yang
merujuk dua dimensi (proses dan konten) akan mampu menghasilkan alternatif pilihan
baik, sehingga proses seleksi menjadi lebih efektif. Semakin rasional proses
pengambilan keputusan dilakukan, maka kualitas keputusan menjadi semakin
tinggi.
Tantangan dalam melakukan proses pengambilan keputusan serasional
mungkin adalah waktu. Secara logika, proses komprehensif yang dilakukan tentu
saja membutuhkan waktu yang panjang. Masing-masing proses seperti identifikasi,
mencari alternatif, melakukan seleksi dan integrasi tentu membutuhkan waktu.
Sedangkan salah satu kriteria utama keputusan yang efektif adalah keputusan
yang cepat.
Anda suka memperhatikan proses sidang di DPR RI? Aggota DPR RI
merupakan kumpulan dari anggota-anggota DPR yang dipilih oleh rakyat pada saat
pemilu yang bergabung dalam partai-partai tertentu. Masing-masing partai politik
memiliki idiologi, nilai dan panduan masing-masing. Keseluruhan perbedaan latar
belakang tersebut yang akan membentuk intensitas politis pada saat mereka
membahas pembuatan Undang-Undang atau membahas suatu masalah kenegaraan.
Karena bentrokan kepentingan-kepentingan politis partai, maka keputusan
yang diambil dalam rapat-rapat DPR merupakan bentuk kompromi dari
kepentingan-kepentingan partai tersebut. Akibatnya keputusan yang diambil bukanlah
keputusan yang terbaik. Contoh yang paling nyata terjadi pada saat ini di mana
para anggota DPR berusaha “mengebiri” kewenangan KPK dalam melakukan operasi
tangkat tangan (OTT) tersangka koruptor. Alasan para anggota DPR sederhana,
karena mereka punya intensi melindungi diri sendiri. Sebab operasi OTT juga
memakan korban anggota DPR.
Dunia politik mirip dengan dunia bisnis, apabila para pengambil
keputusan membawa kepentingan-kepentingan politis maka akan memberikan dampak
negatif terhadap kualitas keputusan yang diambil. Semakin politis semakin
negatif pengaruhnya. Satu-satunya jalan untuk meningkatkan kualitas keputusan
yang dihasilkan adalah dengan jalan meningkatkan proses pengambilan keputusan
rasional komprehensif dan meminimalisir proses pengambilan keputusan yang
politis. Dengan kata lain, kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompok harus
disimpan di pintu depan ruang rapat dan tidak diperkenankan dibawa masuk ke ruangan
proses pengambilan keputusan (Amason, 1996).
Keputusan Efektif
Coba anda perhatikan smartphone
yang sedang anda pakai pada saat ini!. Teknologi apa yang dipakai?. Apakah
sudah menggunakan teknologi 4G atau masih menggunakan teknologi 3G atau bahkan anda
sudah cukup puas dengan menggunakan handphone teknologi jadul 2G?.
Saya tidak sedang dalam konteks
mengolok anda terhadap teknologi yang ada di dalam smartphone yang anda miliki.
Namun mari kita pikirkan proses pengambilan keputusan stratejik seperti apa
yang mendorong sebuah perusahaan telekomunikasi menggunakan teknologi yang mana
dan kapan.
Dalam konteks Indonesia,
khususnya di kota-kota besar, pengguna smartphone yang berlangganan kartu telphon
dari operator ternama, sebagian besar menggunakan teknologi 3G di dalamnya.
Hanya sebagian kecil yang masih ketinggalan
menggunakan 2G dan baru sebagian kecil juga yang sudah naik kelas menggunakan teknologi 4G. Keputusan menggunakan
teknologi apa, tidak hanya ditentukan oleh kemauan dan kebutuhan pelanggan,
namun juga ketersediaan teknologi tersebut pada kualitas layanan operator
telekomunikasi.
Pertanyaan $1 juta dollar adalah,
kapan sebuah perusahaan memutuskan berganti layanan dengan meluncurkan
teknologi yang lebih tinggi? Ada konsekuensi penting dari jawaban akan
pertanyaan ini. Apabila terlalu cepat
meluncurkan teknologi baru maka dibutuhkan dana yang besar untuk pengembangan
dan edukasi pasar. Sementara tidak ada jaminan bahwa investasi pasti akan
berhasil.
Namun, apabila terlambat masuk ke
teknologi baru, maka yang terjadi adalah pada saat biaya investasi terlanjur
banyak ditanamkan namun belum banyak uang yang didapatkan dari penjualan
sementara pasar telah bergeser (kembali) ke teknologi yang lebih tinggi.
Sebagai contohnya sebuah operator yang masuk ke teknologi 3G dengan investasi
yang cukup besar. Namun sebelum break even point (BEP) pada biaya investasi
terjadi, pasar sudah bergeser ke teknologi 4G.
Tantangan perusahaan pada milenium
baru pada saat ini, bukanlah pada kemampuan membangun SATU keunggulan bersaing terus menerus (sustain competitive advantages) namun pada seberapa cepat
perusahaan membangun keunggulan bersaing sementara (transient competitive advantages). Dunia yang berubah secara cepat,
tidak menentu dan makin komplek, membutuhkan perusahaan yang mampu membangun
keunggulan bersaing sementara (transient) yang sesuai dengan kondisi pada saat
itu (McGrath, 2013).
Kita menyaksikan bagaimana kurang
dari 5 tahun yang lalu, taxi Blue Bird sedemikian berjaya dalam bisnis
transportasi di Indonesia (khususnya Jakarta). Blue Bird berjaya karena
pelayanan dan kehandalan yang mereka berikan kepada pelanggan. Keunggulan
bersaing ini secara cepat dilibas oleh mantra baru bisnis transportasi “murah
dan mudah” yang diusung oleh bisnis transportasi online. Kejayaan Blue Bird
terancam dan akan jatuh apabila tidak cepat-cepat mengembangkan keunggulan
bersaing yang baru untuk memenuhi pergeseran kebutuhan pelanggan.
Perubahan-perubahan lingkungan
bisnis yang sedemikan cepat tentu saja harus diantisipasi oleh perusahaan.
Pengambilan keputusan stratejik dan juga operasional harus dilakukan dengan CEPAT. Siapa cepat dia selamat,
demikian semboyannya.
Dengan demikian maka alat ukur
efektifitas keputusan yang efektif adalah cepat
diambil. Semakin cepat semakin baik. Bagaimana caranya keputusan dilakukan
dengan komprehensif, namun tetap cepat dilakukan? Ada 4 langkah yang dapat
diambil untuk mengambil keputusan dengan cepat namun tetap dilakukan dengan
komprehensif untuk menjaga kualitas keputusan yang dihasilkan (Eisenhart, 1989):
1. Menggunakan
informasi terkini
2. Memproduksi
sebanyak mungkin alternatif keputusan
3. Mencari
bantuan penasehat ahli
4. Menyelesaikan konflik yang muncul
secepatnya
5. Mempercepat
integrasi keputusan-keputusan yang
dihasilkan
Dari riset yang dilakukan oleh
Eisenhart (1989), diambil kesimpulan bahwa secara empiris, keputusan yang
komprehensif bisa dihasilkan lebih cepat dibandingkan dengan keputusan yang
tidak komprehensif. Syaratnya adalah dengan melakukan lima langkah diatas.
Pemimpin harus mendapatkan dan mengumpulkan informasi yang terkini. Pengambilan keputusan dengan menggunakan
informasi yang usang akan memperlambat proses pengambilkan keputusan. Bahkan
seringkali harus diulang dari awal.
Pemimpin dan anggota tim harus
memunculan alternatif pilihan sebanyak
mungkin. Pendekatan Brain Storming pada awal sesi ini bisa dilakukan untuk
mendorong anggota kelompok secara bebas mengeluarkan ide dan pendapat
masing-masing. Alternatif yang terbatas akan memperlambat apabila pilihan yang
tersedia ternyata tidak cukup bagus untuk dieksekusi. Kondisi ini mengakibatkan
proses akan dimulai lagi dari awal untuk memunculkan alternatif-alternatif yang
lain.
Keberadaan penasehat yang ahli
akan mempercepat proses pengambilan keputusan. Penasehat ahli yang
berpengalaman akan membantu mengembangkan alternatif pilihan dan proses
seleksi. Karena ahli dan berpengalaman, maka mereka bisa memberikan perspektif
kepada anggota tim pembuat keputusan.
Konflik dibutuhkan dalam proses
pembuatan keputusan. Jangan salah tangkap, konflik belum tentu bersifat
negatif. Ada dua jenis konflik: konflik kognitif (rasional) dan konflik afektif
(emosional). Konflik kognitif dibutuhkan karena akan membantu mempertajam dan
melihat seluruh aspek dari alternatif solusi yang sedang dibahas. Yang harus
dihindari adalah konflik yang sifatnya afektif (Amason, 1996). Karena
dibutuhkan, maka konflik kognitif dengan sengaja harus dimunculkan dan segera
diselesaikan. Teknik Devil Advocacy (DA) maupun teknik Dialectical Inquiry (DI)
akan sangat membantu dalam proses ini (Schweiger dkk., 1986). Teknik DA fokus
menyerang dan mengevaluasi asumsi yang dipergunakan untuk membangun sebuah solusi.
Sedangkan teknik DI fokus membangun solusi lain dan kemudian mengadunya dengan
solusi yang sedang dievaluasi.
Karakteristik kedua keputusan
yang efektif adalah DITERIMA oleh
pemangku kepentingan (stakeholder). Agar supaya pemangku kepentingan dapat
menerima keputusan yang dihasilkan, maka langkah yang harus dilakukan adalah
membuat mereka mengerti secara rasional latar belakang dan mengapa sebuah
keputusan dilakukan.
Kondisi ini juga erat kaitannya
dengan kualitas eksekusi yang akan dilakukan sesudah pengambilan keputusan
dilakukan. Eksekutor (yang bukan pembuat keputusan) baru akan bisa melakukan
eksekusi dengan sempurna apabila yang bersangkutan memahami dan mengerti secara
rasional keputusan yang dihasilkan. Dengan memahami dan mengerti maka mereka
menerima pilihan solusi yang diberikan.
Karakteristik yang kedua
berkaitan erat dengan karakteristik ketiga dari keputusan efektif yang dibuat,
yaitu KOMITMEN dari stakeholder. Dengan
mengerti rasionalitas dari keputusan yang diambil, maka mereka menjadi lebih
sungguh-sungguh untuk mengeksekusi keputusan yang dihasilkan.
Teknik Mempengaruhi
Bagaimana memunculkan komitmen
dari anggota tim merupakan tugas utama dari para pemimpin. Keberhasilan
pemimpin untuk mempengaruhi anak-buah merupakan kunci keberhasilan eksekusi
keputusan yang dihasilkan.
Pada saat seorang pemimpin
melakukan proses mempengaruhi
bawahan/orang lain, maka ada tiga bentuk respons yang mungkin muncul: resisten, compliance dan commitment (Yukl
dkk., 1996).
Resisten adalah bentuk penolakan terhadap pengaruh yang diterima
oleh seseorang. Bentuk penolakan bisa secara verbal maupun gesture. Bisa juga
secara langsung menolak di muka pemimpinnya ataupun di belakang. Jangan dipikir
bahwa seseorang yang kita pengaruhi dan diam atau mengangguk-angguk merupakan tanda
yang bersangkutan menerima dan komit. Bisa saja pada saat di depan terlihat
setuju, namun di belakang melakukan sabotase.
Complience atau kepatuhan adalah bentuk respons menerima terhadap
pengaruh yang diberikan. Apa yang diminta oleh pihak yang mempengaruhi akan dikerjakan. Pada saat
diminta mengerjakan A, yang bersangkutan akan mengerjakan A. Pada saat diminta
memproduksi 100, maka 100 juga yang akan diberikan. Tidak lebih dan tidak
kurang.
Komitmen adalah bentuk respons yang diberikan dimana yang
bersangkutan dengan kesungguhan hati menerima dan mengamini stimulus yang
diberikan oleh pemimpin. Mereka yang komit akan memberikan lebih dari yang
diminta, dan itu semua dilakukan dengan sukarela. Mereka bahkan memberikan extra mile dalam upaya yang mereka
lakukan.
Dari penjelasan diatas
terlihat jelas bahwa komitmen merupakan hasil yang terbaik dari proses
mempengaruhi. Menurut Yukl dkk. (1996) respon komitmen hanya bisa dimunculkan
apabila pemimpin menggunakan teknik mempengaruhi dengan cara halus (soft influence tactics). Sementara
penggunaan teknik mempengaruhi yang kasar (hard
influence tactics) hanya akan menghasilkan penolakan (resistance) dan
paling tinggi kepatuhan (complience).
Bentuk-bentuk cara
mempengaruhi dengan menggunakan soft influence tactic adalah: Inspiration, Consultation, Rational Persuasion,
Ingratiation, Personal Appeal dan Exchange.
Sementara hard influence tactic adalah Pressure,
Legitimating & Coalition.
Penelitian yang dilakukan
oleh Yukl dkk., (1996) ini terlihat memiliki hubungan erat dengan proses
menghasilkan keputusan yang efektif. Bentuk memberikan pengaruh dengan menggunakan
teknik Consultation (konsultasi) di mana
pemimpin mengajak dan melibatkan anak buah, serta Rational Persuasion
(memberikan penjelasan rasional), selaras dengan proses komprehensitas dan juga
karakteristik dari keputusan yang efektif.
Jokowi saat menjadi
walikota Solo selama 2 periode, terkenal dengan gaya mempengaruhi proses pengambilan
keputusan dengan cara mengundang pihak-pihak yang bertikai dan berkepentingan
untuk duduk makan bersama. Proses duduk makan bersama dalam suasana santai
mendorong munculnya solusi dari masalah yang sedang dihadapi. Proses ini dalam
taktik mempengaruhi dinamakan Ingratiation
(menciptakan suasana nyaman).
Karakteristik keempat dari
keputusan efektif yang dihasilkan adalah KEMUDAHAN
keputusan dieksekusi. Keputusan yang memenuhi kriteria cepat, diterima dan
mendapatkan komitmen tetap menjadi kurang efektif apabila sulit untuk
dikerjakan. Tentu saja tidak semua keputusan yang dihasilkan mudah untuk
dieksekusi. Pasti akan muncul keputusan yang mau tidak mau sulit untuk
diekskusi. Untuk kondisi seperti ini, maka dibutuhkan kecerdasan pemimpin untuk
memunculkan kemenangan-kemenangan kecil (quick win) agar dapat menjadi momentum
proses eksekusi dan perubahan yang dilakukan (Kotter, 1997).
Jebakan Proses Pengambilan Keputusan
Sama dengan orang yang sedang
menjelajahi rimba raya, maka ada banyak jebakan dalam proses pengambilan
keputusan. Dalam perjalanan melintasi rimba, penjelajah harus memperhatikan
keberadaan binatang buas yang bisa mengintai di rimbunnya belukar. Mereka juga
harus memperhatikan dengan seksama jalan yang akan dilewati agar tidak
menginjak dan terpagut ular beracun. Belum lagi jalanan yang gelap dan licin
bisa membuat penjelajah jatuh ditengah jalan dan mungkin akan terluka dan tidak
bisa melanjutkan perjalanan.
Sama dengan proses menjelajahi
hutan, maka proses pengambilan keputusan juga memiliki banyak jebakan yang
harus diperhatikan agar keputusan yang dihasilkan efektif. Jebakan-jebakan itu
muncul bisa disebabkan oleh karakteristik pribadi anggota tim, perilaku maupun
kondisi dan situasi.
Jebakan-jebakan dalam proses
pengambilan keputusan tersebut adalah: Anchoring Trap, Status Quo Trap, Sunk
Cost Trap, Framing Trap, Overconfidence Trap, Prudence Trap, Recallability Trap
(Hammond dkk., 1998).
Anchoring Trap adalah sebuah jebakan pengambilan keputusan dimana proses
pengambilan keputusan sangat dipengaruhi oleh sebuah asumsi fakta yang diajukan
di bagian awal. Sebagai contoh pada sebuah kelompok ditanyakan “apakah jumlah
penduduk negara Turki lebih dari 35 juta orang?”. Pada kelompok kedua
ditanyakan “apakah jumlah penduduk negara Turki lebih dari 100 juta orang?”.
Hasil riset menunjukkan bahwa kelompok kedua memberikan jawaban sekian juta
lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok pertama. Masing-masing terjebak dengan
angka anchor sehingga memberikan jawaban yang berbeda.
Status Quo Trap adalah sebuah jebakan pengambilan keputusan dimana
pengambil keputusan sangat nyaman dengan kondisi saat ini dan tidak mau
mengambil resiko yang mungkin dihadapi pada saat mengambil keputusan yang merubah
kondisi saat ini. Salah satu contoh yang fenomenal pada jebakan ini adalah apa yang
terjadi pada perusahaan otomotif paling sukses pada awal abad 20 yaitu Ford
Motor Company. Mobil model T mengalami kejayaan yang luar biasa pada saat itu.
Dan semuanya diproduksi dengan warna hitam. Sedemikian suksesnya model T,
mengakibatkan Henry Ford mengucapkan sebuah kalimat yang sangat terkenal sampai
saat ini: “Any color you like as long as
it’s black”. Ucapan ini merupakan jawaban pada saat pelanggan menanyakan
pilihan warna yang lain terhadap model T yang mereka produksi. Jebakan status
quo, mengakibatkan Ford kehilangan posisi kepemimpinan pada industri otomotif
beberapa tahun sesudahnya.
Sunk Cost Trap adalah jebakan pengambilan keputusan karena
perhitungan kerugian terhadap investasi yang sudah terlanjur didapatkan. Sekian
tahun yang lalu, saya pernah membeli saham perusahaan pertambangan yang sedang
naik daun. Saham perusahaan tersebut saya beli pada harga Rp 4000 persaham.
Namun karena pengelolaan manajemen dan keuangan yang buruk, harga saham dari anjlok.
Alih-alih segera melakukan cut lost (segera menjual dengan sedikit menanggung
kerugian) saya malah menahan diri untuk tidak menjual saham karena memikirkan
besarnya investasi yang sudah saya keluarkan. Pada akhirnya, setelah sekian bulan
saya menjual saham dengan harga Rp 2000.
Saya mengalami kerugian sebesar 50% dari harga beli. Apabila saya tidak
terjebak oleh Sunk Cost, maka saya akan melakukan cut lost pada harga Rp 3500
persaham sehingga kerugian yang terjadi hanya 12.5%.
Framing Trap adalah jebakan pengambilan keputusan yang diakibatkan
oleh perbedaan frame (kerangka berfikir) yang berbeda. Pernahkah anda
bertengkar atau melihat orang bertengkar pada sebuah hal yang sama? Pertengkaran
yang terjadi bukan karena topik yang diperdebatkan tidak sama, namun lebih
karena kerangka berfikir yang berbeda. Gelas kapasitas 400 mililiter yang ada
air sebanyak 200 mililiter bisa dikatakan setengah
kosong oleh pihak pertama, namun juga bisa dikatakan setengah isi oleh pihak yang lain. Frame yang buruk tentu saja akan
secara negatif mempengaruhi cara pemimpin mengambil keputusan.
Overconfidence Trap adalah jebakan pengambilan keputusan yang
diakibatkan oleh kepercayaan diri yang terlalu tinggi dari pengambil keputusan.
Para pemimpin dengan karakter tertentu punya kecenderungan internal yang tinggi
sehingga pada mengambil keputusan mereka melakukannya sendiri dan tidak
berupaya mendapatkan perspektif yang berbeda dari pihak lain. Para pemimpin
yang memiliki pengalaman dan panjang juga memiliki kemungkinan terjebak
kepercayaan diri yang terlalu tinggi. Karena sering menghadapi masalah yang
sama mereka cenderung mengeneralisir solusi. Padahal kontekstual masa lalu
belum tentu sama dengan masa kini.
Prudence Trap adalah jebakan pengambilan keputusan yang diakibatkan
oleh sifat yang terlalu hati-hati. Pemimpin yang sering terjebak pada Prudence
Trap adalah mereka yang memiliki sifat perfectionis (selalu ingin sempurna)
yang ingin semua aspek dan kondisi dievaluasi tanpa ada batasnya. Pada akhirnya
keputusan tidak dapat dihasilkan karena terlalu banyak melakukan analisa
(analysis paralyisis).
Recallabiltiy Trap adalah jebakan pengambilan keputusan yang
diakibatkan karena otak manusia cenderung mengolah informasi yang mudah
diingat. Contoh yang paling sering terjadi pada jebakan ini adalah proses
penilaian kinerja tahunan. Baik dan buruknya kinerja seorang karyawan
seringkali hanya dinilai berdasarkan ingatan data tiga bulan terakhir. Ini
terjadi karena data tiga bulan terakhir masih mudah diingat dibandingkan dengan
data-data yang lebih lama.
Kesimpulan: Rasional, Tepat dan Cepat
Lebih dari 15 tahun yang lalu
saya bekerja di PT. Freeport Indonesia di Papua. Dengan gaji sekitar Rp 6
juta/bulan bersih, saya cukup punya kesempatan untuk menabung dalam rangka
persiapan menikah. Berhubung calon istri saya tinggal di Bandung maka semua persiapan
dilakukan dengan telpon jarak jauh hampir tiap malam.
Yang menjadi kendala adalah, pada
saat hari pernikahan sudah berhitung bulan, pengeluaran biaya telpon yang harus
dibayar melonjak lebih dari Rp 1.5 juta setiap bulannya. Sesudah dilakukan
penyelidikan ternyata biaya melonjak karena pemakaian telpon berjam-jam setiap
malamnya. Penyebabnya dikarenakan saat terjadi perbedaan pendapat dalam sebuah
topik diskusi, kami beradu pendapat dan sering kali terbawa emosi. Alih-alih
cepat menyelesaikan masalah dan menemukan solusi, yang terjadi adalah biaya
telpon membengkak dan seringkali menjadi sakit hati.
Kondisi ini baru disadari sesudah
berjalan tiga bulan. Setiap terjadi pertengkaran yang cenderung emosional maka
salah satu dari kami akan menutup telpon dengan catatan diskusi akan
dilanjutkan keesokan harinya saat emosi sudah sirna sehingga rasio yang kemudian
lebih banyak dipakai dalam diskusi. Sehingga pada hasil akhirnya biaya telpon
turun dan persiapan pernikahan menjadi lancar.
Pemimpin bisnis yang hebat adalah
pemimpin yang mampu mengajak anggota tim
untuk mengambil keputusan yang cepat dan tepat. Proses yang rasional dan
komprehensif harus dilakukan sehingga keputusan efektif dapat dihasilkan.
Tindakan-tindakan politis dari anggota tim pengambil keputusan harus
diminimalkan agar proses rasional komprehensif mendapatkan tempat utama.
Daftar Referensi
Amason, A.C. (1996).
“Distinguishing the Effect and Dysfunctional Conflict”, Academy of Management Journal, 33, 1.
Bozeman, B.; & Pandey, S.K. (2004). “Public Management
Decision Making: Effects of Decision Content”, Public Administration Review, 64, 5, 553-565.
Dean,
J.W.; & Sharfman, M.P. (1993). “The Relationship Between Procedural
Rationality and Political Behavior in Strategic Decision Making”, Decision Sciences, 24, 6, 1.
Elbanna, S.; & Child, J. (2007). “Influences
on Strategi Decision Effectiveness: Development and Test of an Integrative
Model”, Strategic Management Journal,
28: 431–453.
Eisenhardt,
K.M. (1989). “Making Fast Strategic Decisions in High-Velocity
Environment”, Academy of Management Journal, 32, 3, 543–576.
Fredrickson,
J.W.; & Mitchell, T.R. (1984). “Strategic Decision Processes:
Comprehensiveness and Performance in an Industry with an Unstable Environment”.
Academy of Management Journal, 27:
399-423.
Hammond,
J.S.; Keeney, R.L.; & Raiffa, H. (1998). “The Decision Traps in Decision
Making”. Harvard Business Review, 76,
5, 47-58.
Hough,
J.R.; & White, M.A. (2004). “Scanning Actions and Environmental Dynamism:
Gathering Information for Strategic Decision Making”, Management Decision, 42, 6, 781-793.
Khatri, N.; & Ng,
H.A. (2000). “The Role of Intuation in Strategic Decision Making”, Human Relations, 53, 1, 57-86.
Kotter, J.P. (1997). “Leading
Change: Why Transformation Effort Fails”, Harvard
Business Review, January 2007.
McGrath, R.G. (2013). “Continuous Reconfiguration in the Transient
Advantage Economy”, Strategy and
Leadership, 41, 5, 17-22.
Mintzberg, H. (1978). “Pattern in Strategy Formation”, Management
Science, 24, 9.
Nielson, G.L.; Martin,
K.L.; & Powers, E. (2011). “The Secrets to Successfull Strategy Execution”, HBR’s 10 Must Reads on Strategy, 146-166.
Schweiger, D.M.,
Sandberg, W.R., & Ragan, J.W. (1986). “Group Approaches for Improving
Strategic Decision Making: A Comparative Analysis of Dialectical Inquiry,
Devil’s Advocacy and Consensus”. Academy
of Management Journal, 29,5 1-7.
Utomo, J.U. (2017). “Pengaruh TMT Trust & TMT Collaboration
Terhadap Pengambilan Keputusan Stratejik
Komprehesif Pada Tahap Pra Studi
Kelayakan”, Draft Disertasi Universitas
Indonesia.
Yukl, G.;
Kim, H.; & Falbe, C.M. (1996). “Antecedents of Influence Outcomes”, Journal of Applied Psychology, 81, 3,
309-317.
BIO PENULIS:
Eko
Jatmiko Utomo adalah manusia multi dimensi. Pendidikan S1 ditempuh di Jurusan
Teknik Pertambangan ITB dan selesai pada awal tahun 1997. Namun, pengalaman
kerja selama 20 tahun lebih banyak bergelut dalam bidang Sumberdaya Manusia dan
Strategi Bisnis. Pada saat ini Eko Utomo adalah Konsultan, Praktisi Bisnis, Public
Trainer, Coach, sekaligus Penulis. Untuk memperlengkapi kompetensinya dalam
bidang bisnis, Eko Utomo mengambil S2 pada MM Statejik Management Universitas
Prasetiya Mulya dan kemudian melanjutkan S3 Stratejik Management di Universitas
Indonesia. Eko berpengalaman bekerja pada perusahaan besar nasional seperti
Bank Danamon, Pamapersada Nusantara, Lippo dan Telkomvision. Eko Utomo juga
berpengalaman bekerja pada perusahaan Multi National Company (MNC) seperti
Freeport Indonesia dan Holcim Indonesia. Untuk dapat mengenal penulis lebih
lanjut dapat dilihat di www.ekoutomo.blogspot.com