KUNCI SUKSES DIREKSI: MEMBANGUN KOLABORASI BERLANDASKAN KEPERCAYAAN
SEBAGAI PONDASI
Penulis:
Eko Jatmiko Utomo Ph.D (c)
Business & HR Consultant
Public Trainer & Master Coach
RINGKASAN
Tugas pemimpin perusahaan
(dewan direksi) singkat dan jelas, memimpin perusahaan agar dapat mencapai
target yang telah ditetapkan oleh pemegang saham. Target tersebut biasanya
diukur dengan pencapaian finansial seperti: pertumbuhan pendapatan, persentasi
keuntungan bersih, semakin besarnya modal atau pencapaian non financial
seperti: penguasaan pangsa pasar, menjadi perusahaan terkemuka dan
target-target yang lainnya.
Dalam upaya untuk menunaikan
tugas mencapai tujuan organisasi, maka dewan direksi menjalankan tiga pekerjaan
utama: 1) Membangun strategi. 2) Melakukan eksekusi dan 3) Memimpin anggota
tim. Dalam menjalankan ketiga pekerjaan utama tersebut, dewan direksi yang
dipimpin oleh Direktur Utama (biasa disebut sebagai Chief Executive Officer)
harus membuat dan memutuskan banyak keputusan stratejik yang jadi panduan
operasional organisasi. Serangkaian keputusan yang dihasilkan oleh dewan
direksi tersebut akan menentukan arah perusahaan dan keberhasilan mereka
mencapai tujuan yang ditetapkan (Mintzberg, 1978; Hambrick & Mason, 1984).
Bagaimana keputusan stratejik
yang hebat diputuskan dalam rapat dewan direksi? Pertanyaan ini seringkali
terlewat pada saat membahas pengaruh strategi terhadap kinerja sebuah
perusahaan. Semua fokus pada apa
(isi/konten) keputusan yang dihasilkan, namun melupakan bagaimana proses (konteks) pengambilan keputusan yang hebat
dihasilkan di dalam rapat direksi.
Dari riset yang dilakukan oleh
penulis di industri pertambangan di Indonesia, terbukti bahwa proses pengambilan keputusan stratejik
yang baik harus didukung kolaborasi yang
optimal antar anggota dewan direksi. Sementara itu proses kolaborasi yang
optimal hanya dapat dilakukan apabila terdapat kepercayaan (trust) antar dewan direksi (Utomo, 2017).
Pertamina Dalam Pusaran
Tornado
Tahun 2016 merupakan
tahun yang cemerlang bagi Pertamina. Sesudah berhasil mengenyahkan mafia
perminyakan dalam wujud dominasi Petral pada aktivitas impor minyak, Pertamina
mampu melakukan penghematan sebesar 35 Triliun (Detik Finance, 2017) dengan
mengaktifkan kembali Integrated Supply Chain (ISC) menggantikan peran broker
yang selama ini dipegang oleh Petral dan ditambah dengan inisiatif-inisiatif
efisiensi proses lainnya.
Cerita sukses berlanjut
dengan keberhasilan Pertamina untuk membukukan keuntungan bersih 42 Triliun pada
tahun 2016 (Detik Finance, 2017). Tingkat keuntungan ini bahkan lebih besar
dibandingkan dengan keuntungan Petronas Malaysia, perusahaan pembanding
terdekat milik negara tetangga dan serumpun. Petronas selama bertahu-tahun
selalu lebih unggul dari Pertamina baik dari jumlah aset yang dimiliki dan juga
keuntungan yang didapatkan. Pada pada awal berdirinya, Petronas banyak belajar
dari saudara tuanya, Pertamina.
Namun cerita cemerlang
ini berubah total menjadi porak poranda akibat hempasan tornado. Pada awal
tahun 2017 secara tiba-tiba Direktur Utama Dwi Soetjipto dan Wakil Direktur
Utama Achmad Bambang dicopot dari posisinya. Big boss Pertamina, dalam hal ini
menteri BUMN Rini Soemarno menyatakan bahwa alasan utama proses penggantian
kedua pucuk pimpinan ini karena mereka dianggap buruk dalam bekerjasama sehingga keputusan stratejik yang diambil
menjadi terlambat dan mengganggu kinerja perusahaan (Kompas, 2017).
Strategi untuk Memenangkan Persaingan
Perusahaan hidup dalam sebuah lingkungan
industri yang sama dengan pesaing. Untuk menjadi pemenang, masing-masing
perusahaan saling bersaing memperebutkan pasar (demand) yang tersedia. Dalam
lingkungan industri yang sama, maka perusahaan menghasilkan produk dan jasa
yang relatif sama. Agar mendapatkan “perhatian” dari konsumen maka perusahaan
membangun strategi agar perhatian konsumen lebih tertuju kepada mereka dan
kemudian mau membeli produk dan jasa yang dihasilkan dibandingkan dengan
membeli dari perusahaan yang lain yang merupakan kompetitor mereka.
Berbagai macam strategi dibangun
dan dipakai oleh perusahaan. Dalam upaya untuk memenangkan persaingan dan
menarik hati pelanggan, ada perusahaan yang bertumpu pada strategi menjual
produk dengan harga yang lebih murah
dibandingkan dengan pesaing. Ada pula perusahaan yang fokus pada strategi
pengembangan produk unggulan. Mereka
mengembangkan produk dan jasa yang memiliki fitur yang canggih, keren dan hebat
atau yang mampu memberikan solusi yang tidak dapat diberikan oleh perusahaan
lain. Ada juga perusahaan yang menonjolkan bagaimana “intimnya” mereka dalam
melakukan pelayanan yang istimewa
bagi pelanggan mereka. Strategi mereka bukan dengan memberikan harga termurah
atau produk tercanggih, namun dengan merangkul pelanggan dan memperlakukan
mereka sebagai keluarga yang mendapatkan pelayanan yang istimewa.
Strategi menjadi syarat mutlak
perusahaan untuk memenangkan persaingan. Semua perusahaan butuh dan harus
mengembangkan strategi, hanya perusahaan yang hidup dalam lingkungan bisnis
monopoli (seperti banyak kasus di Indonesia jaman dulu) yang tidak membutuhan
strategi untuk mengambil hati pelanggan. Monopoli menghilangkan persaingan
karena faktor pasokan dikuasai hanya satu pihak, dengan demikian konsumen tidak
memiliki pilihan lain.
Strategi harga murah (hasil
operasi yang efisien), produk yang canggih atau pelayanan istimewa merupakan
contoh-contoh apa yang dinamakan sebagai strategy
content. Buku-buku manajemen yang tersedia, sangat banyak membahas tentang
strategy content yang mengulas tentang strategi
apa yang akan dipakai oleh sebuah perusahaan dalam penghadapi persaingan
didalam industrinya.
Misalkan perusahaan telekomunikasi
X memilih harga murah sebagai
strateginya, maka pimpinan perusahaan harus menerjemahkan strategi tersebut
menjadi serangkaian tindakan agar perusahaan beroperasi seefisien mungkin
sehingga mampu menghasilkan produk/jasa yang murah, namun masih menguntungkan
buat perusahaan. Berhubung strateginya adalah harga murah, tentu saja perusahaan tidak akan memberikan fitur yang
aneh-aneh atau pelayanan yang
luarbiasa karena tindakan tersebut akan memberikan dampak kenaikan biaya dan
akibatnya perusahaan tidak dapat menjual dengan murah. Dengan naiknya strukur
biaya namun harus menjaga harga tetap murah maka keuntungan yang dihasilkan
menjadi menipis bahkan bisa rugi.
Tulisan ini tidak akan membahas
tentang strategy content, bukan
tentang strategi apa yang dipilih oleh perusahaan namun lebih kepada bagaimana proses pembuatan/pemilihan
strategi yang dilakukan oleh dewan direksi. Lebih khusus lagi membahas
faktor-faktor penting yang harus dimiliki oleh dewan direksi agar mampu
menghasikan keputusan strategi yang terbaik buat perusahaan.
Arah dan kinerja perusahaan
sangat dipengaruhi oleh apa dan bagaimana para pemimpinnya mengambil keputusan
(Hambrick & Mason, 1984). Keputusan-keputusan stratejik yang dihasilkan oleh
CEO dan anggota direksi yang lain laiknya kemudi didalam kapal. Apabila kemudi
digeser ke kiri, maka arah kapal akan ke kiri, demikian sebaliknya apabila
kemudi diputar ke kanan, maka kapal juga akan bergerak ke arah kanan.
CEO: Penentu Maju Mundurnya Organisasi
Sebuah perusahaan
teknologi yang beroperasi di Jakarta dipimpin oleh CEO ekspatriat yang dibantu
oleh 10 anggota dewan direksi yang sebagian besar juga ekspatriat dari negara
yang sama dengan sang CEO.
Sang CEO merupakan
veteran bisnis layanan teknologi serupa di negara asalnya. Namun CEO terlihat
gagap mendapati bahwa karakteristik pasar Indonesia (Jakarta) berbeda dengan
karakteristik pasar di negara asalnya. Belum lagi budaya masyarakat dan
pemerintah Indonesia jauh berbeda dengan apa yang menjadi bayangannya selama
ini.
Keputusan-keputusan
stratejik yang diambil oleh CEO dan dewan direksi menjadi kurang cocok terhadap
kondisi Indonesia dan pasar layanan teknologi yang digarapnya. Sehingga dalam
waktu 3 tahun masa kerjanya di Indonesia, sang CEO bersama anggota tim hanya
menghasilkan kemajuan yang sangat kecil. Pendapatan tumbuh dengan lambat,
keuntungan tipis dan menumpuk cukup banyak hutang untuk menambal biaya operasi.
Ketika pada akhirnya
sang CEO (dan dewan direksi) diganti, CEO baru adalah orang lokal asli
Indonesia. Pemahaman tentang pasar dan dan budaya Indonesia ditunjang oleh
kecepatan CEO (dan tim baru) mempelajari teknologi dan operasi mampu membuat
perusahaan tumbuh secara eksponensial!. Hanya dalam waktu 3 tahun pendapatan
perusahaan tumbuh hampir 3x lipat dibandingkan pada saat perusahaan dipimpin
oleh CEO ekspatriat.
Keputusan-keputusan
stratejik yang dihasikan oleh sang CEO beserta anggota direksi yang lain mampu
memberikan arah yang tepat kepada organisasi sehingga perusahaan berkembang
dengan cepat dan berkinerja luarbiasa.
Yang menarik adalah,
pada saat CEO lokal mengundurkan diri dan diganti oleh CEO ekspatriat lain tiga
tahun kemudian, perusahaan mengalami stagnasi. Karakteristik dan kinerja CEO
terbukti sangat berpengaruh terhadap pengambilan keputusan yang diambil.
Perusahaan menjadi jalan ditempat dan cenderung disalib oleh kompetitor.
Dalam kasus ini, keberadaan
& karakter CEO (dan anggota dewan direksi) kembali terbukti sangat
berpengaruh terhadap kinerja perusahaan.
Strategi dan Proses Pengambilan Keputusan
Strategi merupakan kerangka kerja
yang memberikan arahan kepada organisasi tentang hal-hal penting seperti: bagaimana perusahaan menghasilkan
keuntungan, dimana akan bersaing, cara apa dipakai untuk bertumbuh, kelebihan
apa yang akan dijual ke pelanggan serta bagaimana rencana tindakan yang akan
ditempuh (Hambrick & Fredrickson, 2001).
Keseluruhan proses membangun
strategi diatas didasarkan pada puluhan bahkan ratusan keputusan-keputusan
stratejik yang harus diambil oleh dewan direksi yang dipimpin oleh CEO. Setiap
keputusan-keputusan stratejik yang diambil, merupakan sebuah keping dari
rangkaian besar gambar strategi organisasi. Bayangkan anda sedang memainkan
sebuah permainan Puzzle. Kepingan2 gambar kecil akan membentuk gambar besar
yang utuh. Masing-masing keping kecil memiliki kontribusi dan peran yang
penting. Apabila ada keping kecil yang hilang maka gambar menjadi “bolong”.
Kalau banyak keping kecil hilang maka gambar menjadi tidak utuh dan
membingungkan.
Sebagai contoh, apabila direksi
memutuskan bahwa perusahaan akan menjual produk yang “murah” karena proses
operasi yang efisien, maka keputusan stratejik ini akan mempengaruhi
keputusan-keputusan stratejik yang lain. Strategi perusahaan dapat
didefinisikan menjadi serangkaian keputusan stratejik yang dihasilkan oleh
dewan direksi (Mintzberg, 1978).
Dengan demikian disadari atau
tidak, keputusan-keputusan yang dihasilkan oleh dewan direksi dalam setiap
rapat yang mereka gelar merupakan proses pembangunan strategi itu sendiri.
Dalam banyak interaksi yang
dilakukan oleh penulis dengan pemimpin perusahaan (BUMN & Swasta), penulis
menangkap kesan bahwa banyak direksi yang menganggap penyusunan strategi itu
hanya dilakukan pada saat acara khusus misalnya “Strategic Plan Meeting” yang
dilakukan sekali dalam setahun!.
Mereka tidak menyadari bahwa
keputusan-keputusan yang diambil pada saat rapat mingguan (bahkan diskusi
informal) merupakan bagian dari proses yang penting dalam pembangunan dan
eksekusi strategi.
Dari penjelasan diatas terlihat
bahwa proses pengambilan strategi
tidak kalah pentingnya dengan isi
dari strategi itu sendiri. Proses pengambilan strategi yang buruk akan
berpengaruh negatif terhadap isi strategi yang dihasilkan, demikian sebaliknya.
Dengan demikian proses
pengambilan keputusan strategi pada dewan direksi akan sangat mempengaruhi
kualitas strategi yang diputuskan dan kemudian akan berdampak besar terhadap
kinerja perusahaan.
Berdasarkan studi literatur dan
riset yang dilakukan, proses pengambilan keputusan stratejik oleh dewan direksi
dipengaruhi oleh dua faktor penting. Faktor pertama adalah seberapa besar KEPERCAYAAN (trust) antar dewan direksi
yang kemudia mempengaruhi faktor kedua yaitu seberapa baik KOLABORASI (collaboration) mereka (lihat Gambar 1). Tulisan ini
akan membahas tentang dua faktor penting ini lebih dalam.
Gambar
1. Hubungan Kepercayaan, Kolaborasi & Kualitas Keputusan (Utomo, 2017)
Kepercayaan: Pondasi Dalam Kolaborasi
Perusahaan dipimpin oleh dewan
direksi yang diketuai oleh CEO. Keputusan stratejik yang dihasilkan bersifat
kolektif karena diputuskan secara bersama-sama. Tentu saja sebagai pemimpin CEO
memiliki pengaruh besar dalam proses pengambilan keputusan statejik yang
dihasilkan. Namun sehebat-hebatnya seorang CEO, pasti banyak aspek dalam ide
dan pemikirannya yang memiliki kelemahan. Tugas dari dewan direksi yang lain
adalah memberikan ide alternatif atau memperbaiki ide CEO sehingga keputusan
stratejik yang dihasilkan menjadi lebih sempurna.
Proses pengambilan keputusan ini
dihasilkan oleh proses interaksi antar anggota dewan direksi. Proses interaksi
bisa bersifat formal (rapat) maupun informal. Proses interaksi akan berhasil
dengan baik apabila antar anggota dewan
direksi memiliki kepercayaan yang tinggi.
Persepsi adalah Proyeksi. Apabila
seorang direksi memiliki persepsi yang buruk terhadap direksi yang lain, maka
semua tindak tanduk dari direksi yang lain menjadi terlihat buruk (proyeksi).
Demikian juga sebaliknya, apabila seorang direksi melihat rekannya secara
positif maka tindak tanduk rekannya menjadi terlihat positif juga.
Dengan demikian proses interaksi
yang berlangsung diantara dewan direksi membutuhkan kepercayaan antara mereka.
Tanpa kepercayaan maka proses diskusi dan pengambilkan keputusan stratejik akan
diwarnai oleh kecurigaan sehingga keputusan yang dihasilkan menjadi tidak
maksimal.
Memperoleh Kepercayaan (Trust)
Kepercayaan (Trust) adalah sebuah kondisi dimana satu pihak berani
mengambil resiko bahwa pihak yang diberi kepercayaan mampu mengerjakan sebuah
tugas tanpa diawasi (Mayer dkk., 1995). Kepercayaan ibaratnya sebuah keping
uang dengan dua sisi. Satu sisi adalah “keberanian pemberi kepercayaan untuk
mengambil resiko” dan sisi yang lain adalah kemampuan orang yang diberikan
kepercayaan dalam “mewujudkan kepercayaan yang diberikan”.
Dengan demikian kepercayaan adalah “pemberian” bukan berdasarkan
“permintaan”. Jadi kalau ada seseorang bilang bahwa dia dipercaya oleh pihak
lain, maka pernyataan tersebut patut dipertanyakan. Kepercayaan baru akan valid
apabila seseorang menyatakan “saya percaya sama dia”, baik di depan maupun
dibelakang yang bersangkutan.
Karena kepercayaan adalah pemberian, bagaimana caranya kita dapat
memperolehnya? Ada tiga faktor penting yang membentuk kepercayaan: Ability, Benevolence & Integrity (Mayer
dkk., 1995).
Untuk menjadi seseorang yang dapat dipercaya, maka seseorang harus
dipandang sebagai orang yang memiliki kemampuan
(ability). Munculnya persepsi bahwa seseorang mampu, terjadi apabila orang
itu menunjukkan bahwa dia tahu, bisa melakukan dan hasil kerjanya bagus.
Orang yang dapat dipercaya adalah orang yang dipersepsikan baik (benevolence). Persepsi ini muncul
karena orang tersebut suka menolong orang lain, tidak egois dan tidak melakukan
tindakan yang buruk baik didepan maupun dibelakang orang yang mempercayainya.
Untuk memperoleh kepercayaan, seseorang biasanya juga dipersepsikan
sebagai orang yang memiliki integritas
tinggi (Integrity). Orang tersebut “walk the talk”. Apa yang diucapkan sama
dengan apa yang dilakukan. Orang yang berintegritas juga memiliki konsistensi
dalam sikap dan perbuatannya, termaksuk pada saat menunjukkan karakter ability
& benevolence yang dia miliki.
Dengan demikan agar seseorang mendapatkan kepercayaan dari orang lain,
orang tersebut harus memunculkan persepsi bahwa dia adalah orang yang memiliki
Ability, Benevolence & Integrity.
Struktur organisasi yang umum
dalam sebuah perusahaan biasanya terdiri dari CEO sebagai pemimpin dengan dewan
direksi yang terdiri dari Direktur Sales & Marketing (CMO), Direktur
Operasi (COO), Direktur SDM (CHO) dan Direktur Keuangan (CFO). Agar proses
interaksi berjalan dengan baik maka CEO harus memiliki persepsi bahwa anggota
timnya memiliki kemampuan dalam mengerjakan tugas yang mereka emban. CEO
percaya bahwa CFO memiliki kompetensi dalam mengurusi keuangan, CMO kompeten
dalam mengurusi pemasaran dan penjualan demikian seterusnya.
Karena kepercayaan yang
dibutuhkan dalam proses interaksi
bersifat “saling percaya”, maka CFO dan anggota direksi yang lain juga
memiliki pandangan bahwa CEO merupakan seseorang yang mampu dan layak menjadi
bos didalam dewan direksi. Demikian juga CMO memiliki persepsi bahwa COO, CHO
dan CFO mampu dalam menjalankan tugas dan pekerjaan mereka.
Faktor pembangun persepsi “dapat
dipercaya” selain mampu (ability) namun juga ketulusan (Benevolence) dan
Integritas (Intergrity). Sehingga untuk mendapatkan kepercayaan maka semua
anggota dewan direksi harus memiliki ketiga faktor ini untuk mendapatkan
kepercayaan dari direksi yang lain.
Dalam aktivitas rantai nilai
dalam sebuah perusahaan seringkali terjadi perbedaan pendapat antara divisi
penjualan dan divisi operasi. Pada divisi penjualan, kinerja mereka diukur oleh
Key Performance Indicator (KPI) berupa seberapa banyak barang/jasa yang dapat
dijual. Sementara itu pada divisi operasi memiliki KPI seberapa banyak
barang/jasa yang dapat mereka produksi dalam kualitas yang sudah ditentukan. Dalam
beberapa kesempatan, divisi penjualan melakukan proses pemasaran
sebanyak-banyaknya (sudut kepentingan CMO) seringkali dengan “mengorbankan”
kepentingan proses produksi & KPI dari COO. Tanpa adanya kepercayaan bahwa
baik CMO dan COO memiliki intensi yang baik dan tulus (Benevolence) maka diskusi
yang terjadi menjadi kontra produktif karena masing-masing akan berusaha
mempertahankan kepentingan dan KPI sendiri.
Dalam beberapa kasus, seorang CEO
memiliki tingkat kepercayaan yang rendah terhadap anggota direksi lainnya.
Karena CEO merupakan pemimpin dewan direksi, maka proses pengambilan keputusan
dilakukan oleh sang CEO tanpa meminta pendapat dari direksi yang lain. Anggota
direksi yang lain hanyalah sebagai cap stempel. Proses ini dinamakan sebagai
fenomena Group Think. Sebuah
fenomena dimana sebuah group dalam mengambil keputusan hanya dilakukan oleh
seseorang dan yang lainnya hanya mengikuti.
Diatas terlihat bahwa kurangnya
kepercayaan diantara dewan direksi mengakibatkan proses pengambilan keputusan
menjadi tidak optimal bahkan menimbulkan fenomena Group Think. Padahal proses
pengambilan keputusan yang baik terjadi apabila proses pengambilan keputusan
dilakukan dengan komprehensif (Fredrickson & Mitchell, 1984) dalam sebuah
dewan direksi yang memiliki latarbelakang dan karakteristik yang berbeda-beda (Smith
dkk., 1994). Pada akhirnya proses pengambilan keputusan stratejik menjadi buruk
karena hanya diputuskan oleh beberapa orang atau bahkan hanya satu orang.
Proses pengambilan keputusan yang buruk jelas akan mengakibatkan kualitas
keputusan yang dihasilkan juga menjadi jelek dan pada akhirnya akan
mempengaruhi kinerja perusahaan.
Kolaborasi dalam Harmoni
Rumah yang kokoh adalah rumah
yang memiliki pondasi yang kuat. Kuat dalam menyangga beban statis (berat rumah
itu sendiri) maupun beban dinamis (perubahan beban diluar beban statis). Tanpa
pondasi yang kokoh, rumah bisa roboh sewaktu-waktu dan membahayakan penghuni
maupun aset yang ada didalam rumah.
Namun rumah yang bagus bukan
hanya memiliki pondasi yang kokoh saja. Rumah yang bagus harus memiliki
kolom-kolom tiang yang perkasa dan lantai-lantai serta dinding yang kuat.
Dengan struktur kolom, lantai dan dinding yang baik maka pemilik rumah akan
merasa aman, nyaman dan leluasa untuk mendekorasi rumah menjadi tempat tinggal
impian.
Kepercayaan (trust) memiliki
kesamaan dengan pondasi rumah seperti yang saya gambarkan dalam analogi diatas.
Kepercayaan merupakan syarat utama agar perusahaan dapat bertumbuh dengan
optimal.
Namun, sama dengan analogi
tentang rumah diatas, mengandalkan kepercayaan (pondasi) saja ternyata tidak
cukup untuk membangun rumah yang sempurna. Dibutuhkan tiang, kolom, dinding,
lantai dan struktur lainnya agar rumah menjadi kuat dan siap untuk didekorasi
lebih lanjut.
Kolaborasi, khususnya di dalam
dewan direksi ibaratnya tiang, kolom, dinding dan lantai dalam analogi rumah.
Kepercayaan antar anggota direksi tidak cukup untuk membangun perusahaan. Jadi
dibutuhkan sebuah aksi lanjutan yang juga sangat penting: KOLABORASI.
Kolaborasi dapat didefinisikan
sebagai proses interaksi antar anggota
dewan direksi untuk membangun dan atau menemukan solusi stratejik yang terbaik
pada saat melakukan pengambilan keputusan bersama (Michie dkk., 2006).
Proses kolaborasi yang baik
memiliki dua karakter utama, yaitu sikap asertif (assertiveness) dan kooperatif
(cooperativeness) dari semua anggota dewan direksi (Liu dkk., 2008). Kedua
sikap ini harus dalam kadar yang tinggi. Karena bila hanya memiliki kadar yang
tinggi pada salah satu sikap, maka perilaku yang mucul menjadi berbeda dan
kontra produktif dalam proses pengambilan keputusan.
Sebagai contoh, apabila seorang
direktur memiliki sikap asertif (tegas) yang tinggi namun memiliki sikap
kooperatif yang rendah maka perilaku yang muncul adalah bersaing (competing). Direksi ini akan cenderung untuk mau
menangnya sendiri dan mencari kesalahan orang lain.
Sebaliknya apabila seorang
direktur memiliki sikap asertif yang rendah namun sikap kooperatifnya tinggi
maka perilaku yang muncul adalah akomodasi
(accomodating). Perilaku akomodasi akan membuat keputusan yang dihasilkan
menjadi tidak optimal karena antar anggota dewan direksi cenderung untuk
menghindari debat dan perbedaan pendapat. Apabila CEO memiliki perilaku competing dan anggota dewan direksi
cenderung accomodating maka fenomena Group Think menjadi sebuah keniscayaan.
Proses kolaborasi yang baik baru
akan terjadi apabila CEO dan anggota dewan direksi lainnya sama-sama memiliki
sikap yang asertif dan kooperatif. Sikap yang asertif akan mendorong anggota
dewan direksi dengan terbuka memberikan ide, pandangan, umpan balik dalam
proses interaksi yang dilakukan. Mereka tidak sungkan untuk berbeda pendapat
dengan anggota dewan direksi lainnya dan bahkan dengan CEO.
Sikap asertif ini juga akan
mendorong terjadinya debat pemikiran (cognitive debate) yang dibutuhkan untuk
menemukan dan menajamkan solusi. Tanpa adanya sikap yang asertif (cenderung
akomodatif) maka hanya sedikit ide dan pandangan yang muncul sehinggal
alternatif solusi menjadi terbatas.
Seperti yang sudah dijelaskan
diatas, apabila hanya sikap asertif yang muncul tanpa adanya sikap kooperatif
maka ruang-ruang rapat hanya akan diisi oleh perdebatan dan persaingan.
Masing-masing pihak bersaing untuk memenangkan ide dan pendapat mereka tanpa
usaha untuk menerima ide dan pendapat rekan mereka yang mungkin lebih baik atau
melengkapi ide mereka sendiri. Sikap kooperatif memunculkan harmoni diruang
perdebatan untuk mencari dan menemukan solusi terbaik.
Menjadi terasa sekali bahwa
kepercayaan menjadi pondasi penting dalam proses interaksi kolaboratif ini. Tanpa
adanya kepercayaan yang tinggi antar anggota dewan direksi, bagaimana mungkin
debat tentang perbedaan pendapat bisa berlanjut dengan proses memberi dan
menerima ide orang lain. Hanya orang yang percaya kepada kemampuan, ketulusan
dan integritas lawan debatnya yang dengan senang hati menerima kebenaran dan
keunggulan pendapat mereka dibandingkan pendapat sendiri untuk kebaikan
bersama.
Membagun Proses Kolaborasi, Proses Sederhana yang Sering Terlewatkan
Bagaimana kita mengukur bawah
proses kolaborasi berlangsung dengan baik dalam dewan direksi? Ada tiga
indikator utama untuk mengukur seberapa baik proses kolaborasi yang dilakukan,
ketiga indikator tersebut adalah: Goal
Sharing, Information Exchange, Cognitive Sharing (Boone & Hendriks,
2009; Jeffery dkk., 2005).
Goal Sharing (berbagi tujuan) merupakan sebuah proses dimana CEO
dengan jelas dan sistematis memaparkan tujuan perusahaan kepada anggota dewan
direksi yang lain. Proses ini terlihat sangat sederhana, namun dalam
kenyataanya tidak semudah yang kita bayangkan.
Goal Sharing terdiri dari dua
kata yang membentuknya, yaitu Goal (tujuan) dan Sharing (berbagi). Dalam banyak
interaksi dengan CEO saya sering menemukan bahwa tujuan perusahaan bersifat
ambigu, kualitatif dan tidak jelas. Dalam sebuah kesempatan seorang CEO
bercerita bahwa amanat dari share holder (tujuan/target) perusahaan harus
tumbuh dan menguntungkan. Pada saat ditanyakan seberapa besar tingkat
pertumbuhan dan tingkat keuntungan maka jawaban yang kualitatif dan mengambang.
Tumbuh 5% dan tumbuh 50% masuk
dalam katagori yang sama yaitu perusahaan tumbuh. Demikian juga keuntungan 2%
dan keuntungan 20% sama-sama masuk dalam katagori menguntungkan. Tumbuh 10%
pertahun mungkin terlihat cukup baik, namun apabila pertumbuhan industri adalah
15% maka jelas tingkat pertumbuhan 10% menjadi prestasi yang buruk karena
pangsa pasar menyusut diambil oleh pesaing.
Proses Goal Sharing hanya akan dapat dilakukan apabila terdapat target
yang jelas dan kuantitatif.
Sesudah CEO memiliki target yang
jelas dan kuantitif maka proses berikutnya yang harus dilakukan adalah sharing
(berbagi). CEO harus menjelaskan kepada anggota dewan direksi target dan tujuan
apa yang harus mereka capai. Dalam beberapa kasus target dan tujuan tidak
bersifat top down dari pemegang saham
namun juga bisa bersifat bottom up
dari direksi. Dengan demikian proses penentuan target dilakukan oleh dewan
direksi. Proses berbagi tujuan dengan sendiri akan terjadi, terkecuali proses
penentuan target dilakukan sendiri oleh CEO.
Dalam proses pengambilan
keputusan stratejik, ketersediaan data yang cukup dan relevan menjadi syarat
utama proses pengambilan keputusan agar menghasilkan keputusan yang baik.
Proses identifikasi masalah jelas membutuhkan data latar belakang yang komplit
sehingga menghasilkan pengamatan menyeluruh terhadap masalah yang diamati. Data
yang terbatas akan menimbulkan perspektif yang sempit.
Demikian juga proses memunculkan
alternatif solusi hanya akan maksimal apabila alternatif-alternatif yang muncul
didasarkan oleh data yang valid dan relevan. Tanpa data yang komplit maka
alternatif yang muncul menjadi terbatas sehingga proses memilih alternatif
menjadi terbatas pula.
Dengan demikian terlihat bahwa
proses Information Exchange antar
dewan direksi terbukti memegang peranan yang penting dalam proses pengambilan
keputusan. CEO secara natural memiliki perspektif yang stratejik yang lebih
baik dibandingkan dengan anggota dewan direksi yang lain. Namun anggota dewan
direksi yang mengepalai fungsi, jelas memiliki data yang lebih valid dan
relevan di dalam fungsinya dibandingkan sang CEO. CMO memiliki data yang valid
tentang seberapa besar sebenarnya pangsa pasar, keunggulan produk dan layanan
pesaing. COO tahu persis bagaimana kondisi infrastruktur produksi barang dan
jasa yang dimiliki perusahaan. COO juga tahu persis bagaimana pengaruh
peningkatan atau penurunan produksi secara mendadak.
CHO mengetahui secara persis
jumlah, kompetensi dan produktivitas talenta yang dimiliki oleh perusahaan. CHO
juga mengerti secara mendalam apa kesulitan yang harus dihadapi untuk
menyediakan SDM pada saat perusahaan harus meningkatkan produksi secara cepat
atau membuka usaha baru. CFO tahu secara pasti, kondisi arus kas pada saat ini
dan bagaimana efeknya apabila produksi akan ditingkatkan atau diturunkan karena
beradaptasi terhadap kondisi fluktuasi pasar.
Proses Information Exchange (IE) yang berjalan optimal akan membuat masing-masing
direksi meletakkan “kartu” yang mereka miliki diatas meja sehingga semua bisa
melihat kartu yang tersedia dan bisa membuat pilihan akan keputusan yang akan
diambil.
Indikasi proses IE terlihat
mudah, namun pada kenyataanya masih banyak dewan direksi yang tidak berniat
atau kesulitan dalam melakukan proses ini. Untuk mengukur seberapa baik proses
ini berlangsung, penulis sebagai konsultan menanyakan kepada dewan direksi
apakah ada rapat rutin yang dilakukan oleh dewan direksi. Apabila jawabannya
“ada” maka pertanyaan berikutnya adalah “seberapa sering?”.
Dalam berbagai kesempatan penulis
menemukan beberapa perusahaan tidak menjadwalkan rapat khusus dewan direksi.
Rapat hanya dilakukan insidental sesuai dengan kebutuhan. Dalam kesempatan yang
berbeda penulis menemukan rapat dewan direksi hanya dilakukan dua minggu sekali
bahkan ada yang sekali dalam sebulan.
Kolaborasi membutuhkan proses IE,
bagaimana mungkin proses kolaborasi akan berjalan dengan baik apabila IE tidak
dijadwalkan secara teratur dan dalam jangka waktu yang panjang. Eksekusi
strategi bersifat dinamis dan seringkali membutuhkan antisipasi yang tepat dan cepat.
Proses ini hanya akan terjadi apabila ada proses IE yang rutin dan sering.
Informasi dan data membutuhkan
interprestasi agar dapat dimanfaatkan dalam proses pembuatan keputusan
stratejik. Data yang diberikan pada proses IE tidak akan berguna jika hanya
disajikan dalam bentuk data mentah. Direksi yang menyajikan informasi
diharapkan menyajikannya dalam konteks identifikasi masalah ataupun pembangunan
alternatif solusi.
Direksi yang lain, yang dibekali
pengalaman dan perspektif yang mereka miliki diharapkan dapat menantang
(challange) asumsi dan inteprestasi data yang dilakukan oleh direksi pembawa
informasi. Bahkan direksi lain mungkin memiliki kemampuan untuk membangun
alternatif pilihan berbeda yang dapat menjadi tandingan pilihan solusi yang
diberikan sebelumnya. Proses ini dinamakan Devil
Advocacy dan Dialectical Inquiry (Schweiger
dkk., 1985).
Proses inilah yang dinamakan
sebagai proses Cognitive Sharing
(berbagi pemikiran) dalam membangun kolaborasi di ruang rapat direksi.
Dalam banyak studi literatur, proses berbagi pemikiran terbukti memberikan
kontribusi yang positif terhadap kualitas keputusan yang dihasilkan.
Proses ini juga akan memberikan
memberikan kerangka kerja yang jelas pada saat hasil keputusan akan dieksekusi
dilapangan. Proses berbagi pemikiran yang tidak terjadi di ruang rapat, yang
mungkin diakibatkan oleh kurang sikap asertifnya anggota dewan direksi
mengakibatkan munculnya perbedaan interprestasi di lapangan. Perbedaan itu akan
menimbulkan kesulitan dalam proses pengambilan keputusan. Keputusan menjadi lambatdan
banyak emosi negatif yang timbul.
Kolaborasi Tanpa Debat
Pemikiran
Sebuah perusahaan sedang dalam proses tranformasi
untuk memperbaiki posisi mereka yang keteteran di dalam industri yang mereka
geluti.
Dewan direksi sudah disusun dan dibentuk oleh pemegang
saham dengan diketuai oleh seorang CEO yang diambil dari luar perusahaan.
Anggota dewan direksi sebagian besar dari internal dengan satu orang direksi
diambil dari ekternal.
Pemegang saham memberikan target yang jelas kepada
dewan direksi. Semua anggota dewan mengetahui dengan jelas apa yang menjadi
target perusahaan dan juga target dari fungsi yang mereka pimpin. Dengan
demikian proses Goal Sharing
terjadi.
Dewan direksi dijadwalkan melakukan rapat rutin dua
minggu sekali. CEO eksternal masih kurang bisa mendapatkan “hati” dan
kepercayaan dari anggota direksi yang lain khususnya yang dari internal.
Dalam rapat, terjadi kecenderungan lebih banyak CEO
yang memberikan arahan satu arah kepada dewan direksi, tidak terjadi proses
diskusi yang dinamis. Salah satu arahan yang diberikan adalah sentralisasi dari
cabang-cabang yang selama ini menjadi kerajaan-kerajaan kecil yang otonom namun
memiliki kinerja dibawah target.
Struktur organisasi diubah, termasuk siapa menduduki
posisi apa dan bagaimana tugas dan tanggung jawab karyawan pada posisi yang
baru.
Namun yang terjadi di lapangan berbeda dengan apa yang
diputuskan di ruang rapat. Proses sentralisasi tidak didukung sepenuhnya oleh
direksi yang lain karena mereka berfikir bahwa sistem otonomi (desentralisasi)
yang saat ini dijalankan merupakan sistem yang paling cocok, hanya
pelaksanaanya saja yang kurang maksimal.
Keberatan ini tidak dimunculkan dan tergali di ruang
rapat direksi. Direksi yang tidak setuju dengan keputusan stratejik yang
diambil malah secara informal mencari dukungan dari pemegang saham.
Kurangnya kepercayaan CEO terhadap anggota direksi dan
sebaliknya mengakibatkan kolaborasi gagal khususnya cognitive sharing (berbagi pemikiran). Yang terjadi kemudian CEO
harus meninggalkan posisinya sebelum kontrak selesai, dengan masih meninggalkan
banyak pekerjaan rumah dan perusahaan dalam kondisi memburuk.
Jadi, jika perusahaan (CEO) ingin
mendorong proses kolaborasi didalam dewan direksi maka harus dilakukan
langkah-langkah yang terstruktur dan sistematis agar proses Goal Sharing, Information Exchange dan Cognitive Sharing dapat terjadi pada
dewan direksi.
Bahkan proses kolaborasi
tidak hanya berhenti pada dewan direksi,
namun juga terjadi pada seluruh lapisan organisasi. Caranya sama, dewan direksi
membuat iklim dan membangun sistem agar semua karyawan mengetahui dengan jelas
target perusahaan mereka, mendorong untuk saling berbagi informasi kepada
karyawan yang lain, serta secara terbuka berbagi ide dan pemikiran untuk
kemajuan perusahaan.
Kesimpulan: Pilih Kapten Amerika atau Avengers Assemble?
Pahlawan super yang tergabung
dalam tim Avengers merupakan serial fiksi terbitan Marvel Comic yang sudah
banyak dibuat versi layar lebarnya memiliki plot cerita yang sederhana. Bumi
diancam oleh mahluk luar angkasa.
Ancaman ini tidak akan mampu dihadapi
secara sendiri-sendiri oleh para pahlawan super yang ada dalam cerita. Hulk,
Thor, Hawkeye, Iron Man kewalahan jika menghadapi serangan sendirian. Termasuk
juga Kapten Amerika sebagai pemimpin mereka.
Mereka baru akan mampu mengatasi
serangan mahluk luar angkasa apabila mereka saling percaya satu dengan lain,
dan bahu membahu berkolaborasi untuk menyingkirkan musuh yang datang dalam
bentuk tim yang dinamakan Avengers Assemble.
Jadi, apakah perusahaan ingin
memilih model heroisme dalam sosok Kapten Amerika sebagai individu atau lebih
memilih heroisme kelompok dalam model Avengers Assemble?
Merujuk pada perbandingan jumlah
penonton film hero individu (Hulk, Thor, Iron Man) dibandingkan dengan seri
Avengers menunjukkan pilihan model terbaik mana yang dipilih oleh banyak orang di dunia. Banyak
sepanjang harmonis selalu lebih baik dari sendirian.
Daftar Referensi
Boone, C.; Hendriks, W. (2009). "Top Management Team Diversity and Firm Performance: Moderators of Functional-Background and Locus-of-Control Diversity‖, Management Science, 55, 2, 165-180.
Fredrickson, J.W.; & Mitchell, T.R. (1984). “Strategic
Decision Processes: Comprehensiveness and Performance in an Industry with an
Unstable Environment”. Academy of Management Journal, 27: 399-423.
Jeffery, A.B.; Maes, J.D.; & Bratton, J.D. (2005).
“Improving Team Decision Making Performance with Collaborative Modeling”, Team
Performance Management, 11, 40.
Liu, J.; Fu, P.; & Liu, Songbo. (2008). “Conflict in Top
Management Teams and Team/Firm Outcomes”, International of Journal of
Conflict Management, 20, 3, 228-250.
Hambrick, D.C.; &
Fredrickson, J.W. (2001). “Are You Sure You Have a Strategy?”, Academy of
Management Executive, 15, 4, 48.
Hambrick, D.C.; & Mason, P. A. (1984). “Upper Echelons:
The Organization as a Reflection of Its Top Managers”, Academy of Management
Review, 9, 193–206.
Mayer, R.C.; Davis, J.H.; & Schoorman, F. D. (1995). “An
Integrative Model of Organizatonal Trust”, Academy of Management Review,
20, 3, 709-734.
Mintzberg, H. (1978). “Pattern in Strategy Formation”, Management
Science, 24, 9.
Michie, S.G.; Dooley, R. S.; & Fryxell, G.E. (2006).
“Unified Diversity in Top-Level Teams:Enhancing Collaboration and Quality in
Strategic Decision-Making”, International Journal of Organizational Analysis,
14, 2, 130.
Smith, K.; Smith, K.; Olian, J.; Sims, H.; O'Bannon, D.;
& Scully, J. (1994). “Top Management Team Demography and Process: The Role
of Social Integration and Communication”. Administrative Science Quarterly,
39, 412-438.
Schweiger, D.M., Sandberg, W.R., & Ragan, J.W. (1985).
“An Empirical Evaluation of Dialectical Inquiry, Devil's Advocate, and
Consensus Approaches to Strategic Decision Making”, Academy of Management Proceeding.
Utomo, J.U. (2017). “Pengaruh
TMT Trust & TMT Collaboration Terhadap Pengambilan Keputusan Stratejik Komprehesif
Pada Tahap Pra Studi Kelayakan”, Draft
Disertasi Universitas Indonesia.
BIO PENULIS:
Eko
Jatmiko Utomo adalah manusia multi dimensi. Pendidikan S1 ditempuh di Jurusan
Teknik Pertambangan ITB dan selesai pada awal tahun 1997. Namun, pengalaman
kerja selama 20 tahun lebih banyak bergelut dalam bidang Sumberdaya Manusia dan
Bisnis Stratejik. Pada saat ini Eko Utomo adalah Konsultan, Praktisi Bisnis,
Coach, Penulis sekaligus Trainer. Untuk memperlengkapi kompetensinya dalam
bidang bisnis, Eko Utomo mengambil S2 pada MM Statejik Management Universitas
Prasetiya Mulya dan kemudian dilanjutkan S3 Stratejik Management di Universitas
Indonesia. Eko berpengalaman bekerja pada perusahaan besar nasional seperti
Bank Danamon, Pamapersada Nusantara, Lippo dan Telkomvision. Eko Utomo juga
berpengalaman bekerja pada perusahaan Multi National Company (MNC) seperti
Freeport Indonesia dan Holcim Indonesia. Untuk dapat mengenal penulis lebih
lanjut dapat dilihat di www.ekoutomo.blogspot.com