“PERUSAHAAN
PERTAMBANGAN YANG DIPIMPIN INSAN NON TAMBANG, DIMANA SALAHNYA?”.
Penulis:
Eko Jatmiko Utomo Ph.D (c)
Business & HR Consultant
Public Trainer & Master Coach
Ekoutomo05@yahoo.com
Sang
CEO Dari “Dunia Lain”
Mari kita melakukan riset kecil-kecilan,
pertanyaan utama riset sebagai berikut: “berapa banyak Chief Executive Officer
(CEO) perusahaan tambang besar Indonesia (BUMN & Swasta) lulusan jurusan
yang berkaitan langsung dengan industri pertambangan (Tambang, Metalurgi &
Geologi)?”.
Kalau kita melakukan pencarian di
Internet (dilakukan pada tanggal 1 Juni 2017), maka didapatkan data CEO
perusahaan-perusahaan tambang besar di Indonesia sebagai berikut:
CEO Perusahaan Tambang BUMN
& Latarbelakang Pendidikan:
Aneka Tambang: Arie Prabowo Ariotedjo (Teknik Sipil)
Bukit Asam: Arviyan Arifin (Teknik Industri)
Timah: Mochtar Riza Pahlevi Tabrani (Teknik Geologi)
Inalum: Winardi (Teknik Tambang Metalurgi)
CEO Perusahaan Tambang swasta
& Latarbelakang Pendidikan:
Freeport Indonesia: Chappy Hakim (Akmil AU); saat ini kosong dan belum
ditunjuk pengganti.
Vale Indonesia: Nico Kanter (Hukum)
Adaro: Garibaldi Thohir (Bisnis)
KPC: Saptari Hoedaja (Teknik Mesin)
Berau: Fuganto Widjaja (Ilmu Komputer)
Dari 9 perusahaan tambang besar
yang ada di Indonesia, ternyata yang memiliki latarbelakang pendidikan terkait pertambangan
hanya ada 2 yaitu CEO Timah & Inalum. Bahkan kalau ditilik lebih dalam
lagi, CEO Timah Riza Tabrani merupakan mantan Chief Finance Officer (CFO) PT.
PGN. Karirnya lebih banyak dihabiskan di bidang keuangan dan bukan di Geologi
seperti latar belakang pendidikan yang disandang. Dengan demikian hanya ada
sekitar 10% CEO perusahaan tambang yang memiliki latarbelakang pendidikan
jurusan tambang dan sejenisnya.
Fakta yang dihasilkan riset ini
memunculkan pertanyaan lanjutan: “apakah lulusan jurusan pertambangan dan
sejenisnya tidak layak memimpin perusahaan tambang?”. Pertanyaan ini adalah
pertanyaan yang menggelitik dan sensitif. Menggelitik karena fenomena ini dapat
dirasakan namun tidak pernah dieksplorasi lebih lanjut, dan sensitif karena
berkaitan dengan “pride” atau harga diri mereka-mereka yang merasa bahwa
perusahaan pertambangan selayaknya dipimpin oleh mereka yang memiliki latar
belakang pendidikan tambang.
Sebenarnya, pertanyaan ini
bukanlah merupakan pertanyaan yang baru terjadi akhir-akhir ini saja, namun
juga merupakan pertanyaan yang sudah muncul lebih dari 20 tahun yang lalu
seperti yang diceritakan pada tulisan di kotak “Tidak Perlu Kuliah Tambang
untuk Memimpin Perusahaan Tambang” dibawah ini.
***
Tidak Perlu Kuliah
Tambang untuk Memimpin Perusahaan Tambang.
Bandung, medio awal
tahun 1994. Di salah satu kampus ITB bagian pojok belakang. Seisi ruangan
seminar di lantai 2 jurusan teknik Pertambangan ITB itu senyap. Bukan senyap
yang tenang dan meneduhkan, namun senyap gunung berapi yang siap-siap
memuntahkan lava yang panas membara.
Di depan ruangan
berdiri seorang pembicara yang terkenal, Dr. Ir. Kuntoro Mangkusubroto. Doktor
Kuntoro pada saat itu berbicara dan diundang dalam kapasitas sebagai CEO PT.
Timah (1989-1994), bukan dalam kapasitas sebagai dosen di Teknik Industri ITB.
Dalam kapasitasnya
sebagai CEO PT. Timah, Pak Kuntoro diminta oleh jurusan tambang ITB untuk
berbagi pengalaman dan pengetahuan bagaimana cara beliau mampu untuk membuat
PT. Timah yang sedang karam bisa menjadi sehat dan berlayar kembali. PT. Timah
mengalami kejayaan sebagai salah satu perusahaan tambang negara selama berpuluh-puluh
tahun. Dengan banyaknya keuntungan yang diterima, PT. Timah banyak menanamkan
investasi pada sektor yang sebenarnya tidak berhubungan langsung dan dibutuhkan
oleh PT. Timah sebagai perusahaan tambang. Pada saat harga timah dunia anjlog pada
pertengahan 80an, maka PT. Timah yang terlanjur tambun (kebanyakan karyawan)
dan tidak efisien menjadi limbung dan jatuh.
Doktor Kuntoro yang
ditunjuk oleh Departemen Pertambangan sebagai CEO segera melakukan
langkah-langkah pembenahan melakukan restrukturisasi organisasi. Salah satu
tindakan yang ramai diperbincangkan adalah melakukan pemberhentian lebih dari
70% karyawan. Retrukturisasi organisasi yang dilakukan berhasil mencegah “kapal
Timah” yang sedang oleng menjadi karam dan tenggelam ke dasar laut. PT. Timah
kembali selamat dan melanjutkan kiprahnya sebagai salah satu BUMN pertambangan.
Semua peserta seminar
terpukau dan dengan seksama mendengarkan program-program yang dijalankan Doktor
Kuntoro dalam melakukan restrukturisasi PT. Timah. Diskusi dan tanya jawab
berlangsung dengan seru. Peserta seminar baik Dosen dan Mahasiswa merasa
mendapatkan banyak manfaat dengan kehadiran Doktor Kuntoro CEO PT. Timah
sebagai nara sumber.
Pada akhir seminar Dr.
Kuntoro Mangkusubroto menyampakan kesimpulan dari proses restrukturisasi yang
dia lakukan di Timah: “Dalam memimpin perusahaan tambang tidak perlu harus kuliah teknik pertambangan, yang dibutuhkan
adalah kemampuan untuk mengelola organisasi dengan efektif dan efisien”.
Kalimat diatas
khususnya bagian “tidak perlu harus kuliah teknik pertambangan” membuat seminar
yang sebelumnya berjalan dengan seru dan menyenangkan berubah menjadi muram. Di
luar ruangan sesudah acara seminar berlalu, beberapa mahasiswa Teknik
Pertambangan bergerombol dan mencaci maki kesimpulan yang dibuat oleh
Dr.Kuntoro. Harga diri mereka terluka, mereka merasa jurusan yang mereka ambil
dilecehkan. Masak jabatan CEO perusahaan tambang tidak “mengerti” tambang. Namun fakta yang terjadi di PT. Timah terlalu
kuat untuk dibantah, Dr. Kuntoro, seorang lulusan Teknik Industri mampu
menyelamatkan PT. Timah dari kegagalan bisnis saat dipimpin oleh CEO lulusan
Teknik Pertambangan.
***
Apa Yang Dibutuhkan Untuk Menjadi CEO?
Dalam bukunya yang berjudul “What
the CEO Wants You to Know”, maha guru bisnis dari Harvard, Prof. Ram Charan
menyatakan bahwa untuk bisa memimpin dan mengelola bisnis maka seorang CEO
harus memiliki kompetensi yang dinamakan Business Acuman (Wawasan Bisnis).
Posisi CEO merupakan posisi yang
sangat strategis. Keputusan-keputusan penting dihasilkan dari rapat-rapat Board
of Director (BOD) yang dipimpin oleh CEO. Keputusan-keputusan stratejik dan
penting itulah yang nanti akan menentukan arah perjalanan dari perusahaan.
Dengan demikian maka anggota BOD terlebih CEO merupakan faktor utama yang
menentukan hitam dan putihnya perusahaan (Finkelstein dkk., 2009).
Seorang CEO yang memiliki wawasan
bisnis adalah orang yang mampu untuk mengidentifikasi dan mendorong terjadinya cash generation, menciptakan margin,
memupuk aset, mempertahankan pertumbuhan dan mengelola kepuasan pelanggan
(Charan, 2001). Kompetensi wawasan bisnis yang dimiliki oleh CEO tadi harus
dikombinasikan oleh kemampuan memimpin (leadership) yang diharapkan mampu untuk
membawa perusahaan mencapai tujuan utama dalam berbisnis: mendapatkan keuntungan.
Prinsip utama bisnis (mendapatkan
keuntungan) berlaku secara universal pada semua perusahaan dan semua industri.
Perusahaan yang tidak mencari keuntungan selayaknya berubah nama menjadi
yayasan. Kondisi ini juga berlaku di perusahaan tambang pada industri
pertambangan.
Dengan demikian CEO perusahaan
tambang (termasuk anggota dewan direksi yang lain) wajib hukumnya untuk
memiliki kompetensi wawasan bisnis agar mereka mampu menjalankan peran sebagai
direktur perusahaan.
Atau coba kita buat daftar
tantangan yang harus dihadapi oleh CEO dan direksi di Industri tambang
Indonesia pada saat ini: “Harga komoditas yang jatuh”, “Kesulitan aliran kas”, “Konsekuensi
penerapan UU Minerba”, “Kesalahan investasi tambang”, “Kebutuhan pendanaan
untuk pengembangan”, “Rendahnya produktivitas perusahaan”, “Daya saing
perusahaan rendah”, dlsb. Masalah-masalah kekinian yang harus dihadapi oleh CEO
dan Board of Director (BOD) tidak dapat diselesaikan oleh mata kuliah teknik Pertambangan,
teknik Metalurgi dan teknik Geologi yang dipelajari pada bangku kuliah.
Masalah-masalah tersebut hanya bisa diselesaikan oleh kompetensi Wawasan
Bisnis, kompetensi Leadership dan ekspos/pengalaman terhadap hal-hal non teknis tersebut.
Apakah para direksi perusahaan
tambang berlatarbelakang jurusan Tambang dan sejenisnya menguasai kompetensi
Wawasan Bisnis?. Bagaimana dengan para first layer?. Bagaimana dengan para
Manager?. Bagaimana dengan anda?.
Dalam berbagai kesempatan
workshop yang saya selenggarakan dengan para executives perusahaan pertambangan
di Indonesia, saya memanfaatkan kesempatan interaksi tersebut untuk melakukan
riset kecil2an. Riset bertujuan untuk melihat apakah para Manager, VP, GM,
Direktur perusahaan tambang dengan latar belakang pendidikan Tambang dan
sejenisnya menguasai kompetensi Wawasan Bisnis (lihat cerita dalam kotak:
Pemimpin Bisnis Tidak (Kurang) Mengerti Bisnis).
Pemimpin Bisnis Tidak (kurang)
Mengerti Bisnis
“Bagaimana perusahaan bisa untung?”, sang Trainer melontarkan sebuah
pertanyaan yang sederhana. Tunggu punya tunggu, tidak ada seorang pesertapun
yang mengangkat tangannya untuk mencoba untuk menjawab.
Di ruangan kelas itu ada kurang lebih 30 orang peserta workshop.
Workshop tersebut merupakan program pelatihan in house yang diselenggarakan
oleh satu perusahaan tambang. Semua peserta masuk katagori sebagai karyawan
first layer (level pertama) di perusahaan. Sebagian merupakan direktur anak
perusahaan, sebagian lagi merupakan General Manager (GM) pada salah satu unit
bisnis, sisanya adalah Vice President yang mengepalai fungsi-fungsi di dalam
perusahaan. Semua peserta adalah karyawan dengan masa kerja lebih dari 15 tahun
di perusahaan. Sebagian besar karyawan adalah lulusan jurusan terkait
pertambangan (Geologi, Tambang, Metalurgi) dari berbagai perguruan tinggi
ternama di Indonesia.
“Bapak-bapak merupakan pemimpin bisnis di tempat anda masing-masing,
bagaimana bisa anda tidak tahu dan tidak yakin dengan faktor yang bisa membuat
perusahaan anda untung?”, Trainer melontarkan pertanyaan provokatif untuk
memancing diskusi. Ternyata pertanyaan pancingan provokatif tetap tidak mampu
membuat diskusi di dalam kelas menjadi hidup. Semua cenderung diam dan bingung
dalam menjawab pertanyaan. Padahal mereka adalah para pemimpin bisnis dalam
skala masing-masing.
Dari riset kecil-kecilan yang
dilakukan, saya mengambil kesimpulan bahwa kurang dari 15% first layer (Senior
Manager, VP, GM) mengerti dan menguasai kompetensi Wawasan Bisnis!. Sebuah
angka yang sangat rendah sekali. Padalah
para first layer ini adalah ujung tombak perusahaan dalam melakukan eksekusi
strategi yang dibuat dan diputuskan oleh para direktur. Mereka adalah para villager, orang-orang terdekat BOD yang
memastikan keputusan stratejik terimplementasi (Mellon & Carter, 2014).
Apa Yang Terjadi?
Menjadi “Insinyur/Sarjana Teknik”
merupakan sebuah kebanggaan. Bahkan aktor peran Rano Karno sampai membuatkan
sebuah sinetron yang berjudul “Si Doel Anak Sekolahan”. Sinetron yang
menggambarkan lika liku peran Doel dalam mengejar cita-cita menjadi Insinyur.
Sinetron ini meledak dan laku! Artinya sinetron ini berhasil menjual mimpi yang
sama dengan mimpi banyak para penontonnya: kebanggaan menjadi Insinyur!.
Faktor kebanggaan ini bahkan
sudah dipupuk jauh-jauh hari. Sejak masih SMA sudah berjuang dan menjadi bangga
masuk di jurusan IPA. Kebanggaan ini berlanjut saat kuliah mampu masuk ke
perguruan tinggi jurusan teknik. Kebanggaan menjadi paripurna pada saat
diterima bekerja menjadi “engineer” di perusahaan tambang ternama.
Sebuah “pride” yang dipupuk
selama bertahun-tahun dan dilakukan dengan sangat intensif. Ibaratnya pohon
yang ditanam, maka sesudah tumbuh tinggi akar pohon sudah sedemikian tajam
menghunjam ke dalam tanah. Kokoh, namun sulit untuk digoyahkan, apalagi diminta
pindah.
Menjadi Insinyur Tambang dan sejenisnya (Metalurgi & Geologi)
merupakan proses “a dream comes true”. Menemukan dan menghitung cadangan dengan
akurat, merancang dan menambang tambang dengan rapi dan sempurna atau merancang
dan mengolah hasil tambang dengan mulus bagi para Insinyur menjadi sebuah
pencapaian yang hebat.
Yang kemudian menjadi masalah
adalah bahwa jabatan untuk keahlian diatas bukan merupakan jabatan tertinggi
diperusahaan, jabatan diatas “hanyalah” Manager atau paling tinggi adalah
Senior Manager atau Vice President!. Bagaimana mungkin para Insinyur yang sudah
susah payah belajar teori Peledakan, Kristalografi, Mekanika Batuan, Peralatan
Tambang, Genesa Bahan Galian, Teknik Korosi, Pengolahan Bahan Galian dll.,
dengan segala macam kesusahannya kok jabatan cuma mentok pada posisi Senior
Manager? Kenapa bukan jadi direktur dan atau CEO?.
Jawabannya sederhana, karena
segala macam keahlian teknik pertambangan “hanyalah” merupakan salah satu
fungsi dari bisnis, yaitu fungsi OPERASI.
Sementara ada fungsi-fungsi bisnis yang lain seperti fungsi Stratejik, fungsi Human Capital dan fungsi Keuangan
yang juga dibutuhkan agar bisnis dapat berjalan sempurna untuk mencapai tujuan
utamanya: menghasilkan keuntungan.
Jadi ada GAP kompetensi antara kompentesi yang dimiliki oleh para Insinyur dengan
kompetensi yang dibutuhkan sebagai CEO. Sementara secara mental juga terdapat gap mental merasa sudah “paripurna”
keahliannya. Padahal masih banyak hal lain yang perlu dipelajari dan dikuasai
oleh para Insinyur.
Wahai Para Insinyur, Masih Berminat Jadi CEO?
Jika jawaban dari pertanyaan
diatas adalah “tidak”, maka jangan lanjutkan membaca artikel ini. Dengan apa yang
sudah dipelajari di bangku kuliah dan pengalaman yang didapatkan di lapangan
maka anda akan cukup kompeten untuk menjadi Senior Manager atau Vice President.
Namun ingat, jangan marah dan iri hati kalau orang dengan latarbelakang
pendidikan non tambang menjadi direktur atau bahkan CEO Anda.
Namun jika jawaban pertanyaan
diatas adalah “ya, berminat”, maka ada banyak jalan dan kilometer yang harus
ditempuh dan dilalui oleh tapak kaki Anda. Untuk menuju kesana tambanglah
potensi diri dari gunung cadangan talenta yang ada miliki. Lakukan langkah MINE berikut ini.
1.
Masih
banyak gunung yang harus didaki. Menjadi CEO membutuhkan kompetensi Wawasan
Bisnis dan Kepemimpinan yang tinggi. Mulai dari sekarang, dalam posisi Anda
saat ini mulailah membuka diri hal-hal diluar masalah teknis pertambangan yang
anda hadapi setiap hari. Bukankah Anda sudah ahli dalam hal teknis? Artinya ada
waktu luang yang bisa dimanfaatkan untuk mempelajari kompetensi-kompetensi
lain.
2.
Inisiatif
adalah kunci utama. Hukum kelembaman Newton juga berlaku kepada manusia. Anda
para ahli tambang akan cenderung untuk mengerjakan yang anda kuasai dan lakukan
sehari-hari. Ingat, ini akan menjadi sebuah jebakan diri karena membuat anda malas untuk belajar hal-hal yang lain. Berinisiatiflah,
jangan menunggu bola, kejar bola di lapangan. Kalau perlu bola yang di luar
lapangan juga Anda kejar.
3.
No
Money No Honey. Menjadi CEO adalah madu (honey) Anda. Untuk itu jangan
ragu-ragu untuk mengeluarkan Money (uang/sumberdaya) yang anda miliki dalam
mengejar kompetensi. Belajar hal baru terus menerus, bahkan jangan ragu untuk
mengorbankan waktu dan uang untuk mendapatkannya. Ingat, untuk menjadi CEO
ilmu-ilmu teknis yang dipelajari tidak cukup, harus ditambah dengan ilmu-ilmu
yang lain. Ikutlah pelatihan-pelatihan non teknis yang disediakan oleh
perusahaan. Kalau perlu membayar sendiri (investasi) untuk ikut pelatihan di
luar perusahaan atau bahkan mengambil kuliah bisnis pada saat ada kesempatan.
4.
Elaborasi
& Evaluasi. Kita sudah tahu bahwa dua kompetensi utama yang harus dimiliki
oleh CEO adalah kompetensi Wawasan Bisnis dan kompetensi Kepemimpinan. Coba
anda elaborasi dan evaluasi sudah sejauh mana kompetensi ini ada dalam diri
Anda. Lihat sekeliling, pelajari dan bandingkan cara berpikir dan bertindak
Anda dibandingkan dengan mereka yang menurut Anda hebat dalam dua kompetensi
tersebut. Jangan ragu untuk minta bimbingan (Coaaching) pada orang-orang yang
hebat dalam dua kompetensi tersebut, baik di dalam perusahaan maupun di luar
perusahaan.
Right Person in the Right Place with Right Competencies
PT. Telkom merupakan salah satu
perusahaan terbesar di Indonesia. Status sebagai perusahaan negara membuat
Telkom bergerak lamban dan hidup dalam budaya yang birokratis. Hak-hak istimewa(monopoli)
diberikan oleh negara kepada Telkom sehingga ibaratnya tanpa melakukan apapun
maka pasti akan untung. Situasi ini berubah pada tahun 80an, persaingan mulai
terjadi karena banyak bidang industri yang sebelumnya tidak boleh dimasuki oleh
asing menjadi terbuka, termasuk industri telekomunikasi. Persaingan menjadi
keras dan mereka yang tidak kompetitif bisa tersingkir.
Kondisi yang rentan tersebut juga
dialami oleh Telkom yang tambun dan tidak kompetitif. Pada tahun 1988-1992 ditunjuklah CEO baru Telkom, Ir. Cacuk
Sudarijanto. Tugas utama Cacuk membenahi Telkom agar menjadi perusahaan yang
kompetitif. Cacuk menjadi CEO Telkom pada periode yang hampir sama dengan
penunjukan Kuntoro sebagai CEO Timah.
Seperti yang dilakukan oleh
Kuntoro di Timah, maka Cacuk melakukan proses transformasi yang luarbiasa di
Telkom. Telkom yang sebelumnya merupakan perusahaan berbudaya birokrat yang
lamban dan tambun diubah menjadi lebih ramping dan lincah dalam berkompetisi.
Cacuk menjadi peletak dasar manajemen modern yang dimiliki oleh Telkom saat
ini. Kepemimpinan Cacuk yang hebat di Telkom menjadi legenda. Faktanya Ir.
Cacuk Sudarijanto adalah lulusan Teknik Pertambangan, bukan lulusan jurusan
teknik Elektro.
Cerita sukses lulusan teknik
Pertambangan dan sejenisnya tidak hanya ada pada diri seorang Cacuk Sudarijanto.
Banyak lulusan Geologi, Tambang dan Metalurgi yang mampu dan berprestasi
menjadi CEO di perusahaan di industri non pertambangan. Kesamaan yang ada pada
mereka adalah berpikiran terbuka dan tidak pernah berhenti belajar hal-hal
baru.
Bagaimana dengan Anda?
DAFTAR REFERENSI
Charan, R., (2001).
“What The CEO Wants You To Know”, Random
House, New York.
Finkelstein, S.;
Hambrick, D.C.; & Canella Jr, A.A., (2009). “Strategic Leadership”, Oxford University Press, New York.
Melon, L.; &
Carter, S., (2014). “The Strategy of Execution”, McGraw Hill Education, USA.
BIO PENULIS:
Eko Jatmiko
Utomo adalah manusia multi dimensi. Pendidikan S1 ditempuh di Jurusan Teknik
Pertambangan ITB dan selesai pada awal tahun 1997. Namun, pengalaman kerja
selama 20 tahun lebih banyak bergelut dalam bidang Sumberdaya Manusia (SDM) dan
Strategi Bisnis. Pada saat ini Eko Utomo adalah Konsultan, Praktisi Bisnis, Public
Trainer, Coach, sekaligus Penulis. Untuk memperlengkapi kompetensinya dalam
bidang bisnis, Eko Utomo mengambil S2 pada MM Statejik Management Universitas
Prasetiya Mulya dan kemudian melanjutkan S3 Stratejik Management di Universitas
Indonesia. Eko berpengalaman bekerja pada perusahaan besar nasional seperti
Bank Danamon, Pamapersada Nusantara, Lippo dan Telkomvision. Eko Utomo juga
berpengalaman bekerja pada perusahaan Multi National Company (MNC) seperti
Freeport Indonesia dan Holcim Indonesia. Untuk dapat mengenal penulis lebih
lanjut dapat dilihat di www.ekoutomo.blogspot.com