Blora kota Ario Penangsang 1988.
"Braaaaaaaaaaaaak!"
Kami semua mengkeret seperti bunga putri malu yang tersentuh ujung sandal. Penggaris kayu sepanjang satu meter itu untuk kesekian kalinya berfungsi dengan baik ditangan pak Wir. Penggaris yang memunculkan bunyi keras dan mampu menyirep kelas 3E tatkala menghajar meja. Kami duduk membeku dibangku masing-masing, tentu saja dengan kepala tertunduk agar tidak tertangkap pandangan mata beliau. Tangkapan yang membuat kami harus bisa menjawab pertanyaan atau siap untuk dipermalukan.
"Ayo, siapa yang tahu bahasa inggrisnya nyamuk?"
Suara pak Wir makin tinggi dan kencang, dan kami makin menunduk. Pelajaran bahasa Inggris di SMP selama 3 tahun ternyata belum mampu membuat siswa sekelas tahu bahasa Inggrisnya nyamuk! dan kok kebetulan guru berbadan kecil namun galaknya minta ampun itu pagi-pagi bertanya bahasa inggrisnya nyamuk dan kami semua terlongong bengong seperti orang melamun yang kemasukan nyamuk di mulutnya.
"Nah, untuk urusan seperti ini ketua dan juara kelas pasti tahu!"
Dan mata pak Wir dengan senyum tajam menatapku tiba-tiba. Ini benar-benar kiamat kecil. Walau sejak kelas 1 SMP aku selalu juara kelas tapi yang namanya pelajaran bahasa Inggris adalah pelajaran yang maaf...paling tidak aku sukai. Kalau ditanya tentang Matematika, IPS, Bhs Indonesia atau bahkan PMP merupakah makanan empuk bagiku. Tapi..........bahasa Inggris??? tar dulu! aku paling malas belajar bahasa Inggris dan aku percaya bahwa aku ditakdirkan untuk tidak becus cas cis cus pakai bahasanya meneer Charles ini.
"Tomy, sebagai juara kelas dan ketua kelas, saya tahu kamu pasti tahu jawaban dari pertanyaan ini".
Kembali pak Wir menatapkan matanya yang tajam kearahku, dengan tidak lupa membawa penggaris satu meter yang pernah mampir dimuka teman kelasku yang nakal.
"Mosquito pak!", tiba-tiba saja mulutku membuka dengan sendirinya. Mbuh benar mbuh salah aku coba jawab sebisanya.
" Ya betul! kata pak Wir sambil berjalan kembali kedepan kelas. "Kalian harus tiru Tomi. Sebagai juara kelas, selain hebat dalam matematika dia juga hebat dalam bahasa Inggris!"
Suara pak Wir menerbangkan semangatku kelangit-langit ruangan kelas. Dan secara tiba-tiba aku percaya bahwa diriku pasti bisa dan mampu berbahasa Inggris!
Puncak Cianjur, Juli 2010
"Pak Tomi, tadi bapak dikelas menjelaskan bahwa Limiting Belief akan membuat cara kita membuat keputusan juga menjadi terbatas, maaf pak, bisa diberikan contoh yang lain ngak pak?". David, salah satu peserta workshop Leadership Development Program (LDP) yang duduk semeja saat coffee break menggunakan kesempatan untuk mengeluarkan unek-uneknya yang tidak sempat terlontar pada sesi kelas "Making Effective Decision".
"David, kamu percaya ngak terhadap dirimu sendiri bahwa suatu saat nanti kamu bisa menjadi direktur?" seperti biasa aku lontarkan pertanyaan sebelum menjawab pertanyaannya.
"Bisa pak!" suara David terdengar mantab dan penuh percaya diri.
"Great! suatu belief yang empowering yang akan membantumu untuk mencapai hal itu. Namun diluar sana, banyak karyawan yang jauh dilubuk hatinya tidak percaya bahwa dirinya mampu untuk menjadi direktur. Sehingga keputusan demi keputusan yang diambil tidak pernah membawanya untuk menjadi direktur karena tanpa sadar sudah dia batasi dengan rambu rambu "tidak mampu untuk menjadi direktur". Sebaliknya, kepercayaanmu bahwa kamu mampu untuk menjadi direktur akan membawa dalam membuat keputusan menuju dan berlayar kearah pencapaian hal tujuan itu".
Mendengarkan penjelasanku muka David terlihat bersinar dan bibirnya mengembangkan senyuman lebar. Persis sama dengan senyumku 22 tahun lalu saat pak Wir bilang bahwa aku "jago" bahasa Inggris!.
Nusaloka, sore hari Juli 2010.
"Pa, kapan kamu bisa kurus? lha sampai sekarang masih sak hohah terus gitu lho?"
"Sabar ma, segala sesuatu ada masanya" jawabku santai sambil mengalungkan handuk masuk kekamar mandi. Penat dalam workshop 4 hari dipuncak sudah luntur oleh pijatan tangan mak Erni dan saatnya memanjakan tubuh dengan guyuran air dingin nan segar.
"Perasaan, papa bilang seperti itu sejak tahun lalu lo?" mama Tesa makin bersemangat untuk menyudutkanku di pojok ring untuk yang keseribu sekian kalinya.
"Ma, yang penting aku sudah percaya, memegang belief bahwa aku akan menurunkan berat badan 10 kg lebih rendah dari sekarang. Sama dengan berat badan saat kita menikah dulu. I have the belief ma". Kataku sambil buru-buru masuk kamar mandi untuk menghindari pertanyaan berikutnya.
"Iyaaaaaaaaa, tapi trus kapan?" mama Tesa gigih ngak mau kalah persis seperti tim der Panser Jerman yang menggondol juara 3 WC 2010.
"Nah, untuk urusan timeline memang harus dipikirkan lebih dahulu ma." Jawabku sembarangan sambil membuka shower kencang2 agar tidak terganggu suara dari luar.
Close to Midnight
BSD City, 17 July 2010.
City of Tomorrow
Eko Utomo untuk Anda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar