atu kemewahan yang luar biasa. Cibubur yang padat oleh perumahan kelas menengah atas selama bertahun tahun menjadi salah satu Oase untuk orang Jakarta yang kaya beneran, orang kaya baru dan orang pura pura kaya untuk membeli rumah baik cash maupun cicilan 20 tahun di daerah yang dibelah oleh jalan Trans Yogi ini. Jelas saja makin lama daerah ini makin macet karena pertumbuhan perumahan dan penghuni bermobilnya tidak sebanding dengan pertumbuhan jalan. Apalagi sejak salah satu penghuninya menjadi RI 1, hobi pulang balik Istana - Cibubur ditambah dengan protap pengawalan VVIP membuat penghuni yang lain cuma bisa ngelus dada saat si boss pulang ke rumah dan menyisakan kemacetan di jalan.
Pagi ini kami mengantar asisten keluarga pulang cuti ke Cilengsi. Minggu lalu si mbak menemani kami sekeluarga menghabiskan hari libur sekolah di Bandung. Minggu ini si mbak mengambil jatah cuti mingguan agar besok senin sudah bisa bekerja kembali di hari pertama Tesa dan Jason masuk tahun ajaran baru. Biasanya saat si mbak cuti, cukup ikut Tesa ke sekolah (di Cibubur juga) dan dari sana naik angkot ke Cilengsi. Namun kali ini kami ramai2 mengantar mbak cuti dan menikmati perjalanan BSD - Cibubur sambil sekalian mampir ke soto Lamongan langganan kami dulu di perumahan Kota Legenda.
"Mbak, boleh minta garam ngak ya?" tanya salah satu pelanggan kepada penjual soto. Kami masih berdiri disamping gerobak menunggu kursi kosong. Tiga meja dengan kapasitas 10 kursi masih full oleh pelanggan lain.
"Pa, sini pa", seru mama Tesa saat ada pelanggan yang meninggalkan meja dibelakang gerobak penjual. Dengan bergegas kami menuju meja yang kosong dan segera memesan soto. "3 soto campur dan satu soto pisah mas. Kalau masih ada kepala ayam tambahkan satu soto campur dan soto pisah". Saya mengorder ke si mbak penjual. Aku masih mengenalinya sebagai adik dari pemilik warung soto ini. Saat ini kakaknya sedang menjaga warung soto satu lagi di Kota Wisata disebrang Legenda Wisata.
"Tiga campur dan satu pisah" mas penjual soto meletakkan pesanan kami didepan meja. Hmmmm sesudah setahun tidak pernah makin soto lamongan, segenap memori cita rasa yang mak nyus tertarik dan masuk kembali ke ujung-ujung syaraf pencecap. "sruuuup" sendok pertama masuk kemulut sesudah sambal ditambahkan ke mangkok.
"Pa.....kok hambar ya?" mama Tesa berucap kurang percaya. "Kok tidak seperti biasanya?" katanya lagi sesudah memasukkan sendok yang kedua. "Mbak, sotonya sudah diberi garam belum ya?' protesnya kepada si mbak penjual, sesudah sendok yang ketiga.
"Anu bu.....garamnya memang saya kasih sedikit"
"Gimana sih si mbak ini, kalau ngak pakai garam ya rasanya jadi anyep" komplain boru Tampubolon lebih lanjut. "Saya minta garam dong....".
"Ini bu garamnya, kemarin ada pelanggan yang minta garamnya sedikit saja, jadi sekarang saya sajikan sotonya dengan garam yang sedikit" jelas si mbak sambil memberikan wadah garam.
"Wah gimana sih si mbak ini, kan selama ini rasa soto ini sudah ada standar rasanya. Mestinya kalau menyajikan dengan resep seperti itu, kalau ada pelanggan yang minta dikurangi atau ditambah garam ya berikan saja. Tapi jangan mengubah standar yang sudah ada!", boru Tampubolon memberikan wejangan kecil ke si mbak penjual soto.
***
"Pa, bener ngak yang aku bilang ke penjual soto tadi? kan papa dulu pernah bilang yang namanya apa tuh? Lean Management*?" dimobil boru Tampubolon mengeksplorasi lebih lanjut peristiwa di kedai soto Lamongan.
"Yang kamu bilang disana sudah bener ma, didalam memberikan servis atau pembuatan barang maka penyedia jasa atau produk memang harus menjaga standar atau istilah keren Lean Management sebagai "eleminate variabelity". Disisi lain mereka juga harus luwes dan fleksibel dalam memenuhi permintaan dan kebutuhan pelanggan yang berbeda-beda atau istilah Lean Management sebagai strategi "eleminate inflexibelity".
"Tindakan penjual soto tadi bagaimana pa?"
"Tujuannya baik, namun yang dilakukan mencampur baur dua strategi tadi. Yang terjadi bukannya melakukan flexibelity namun malah merusak standar dan menimbulkan variasi dalam rasa soto yang disajikan" jawabku serius dan menghasilkan dejavu kelas Lean Management di kantor.
"Nah, kalau kasus anak kita Tesa dan Jason gimana dong?, yang satu putih yang satu hitam. Yang satu mukanya runcing yang satu mukanya bulat. Proses bisnis kita variancenya tinggi dong?" boru Tampubolon berpindah dari soto ke hereditas.
"Kalau yang itu pintar pintarnya papa dan mamanya dalam mencampur semua strategi Lean Management jadi satu he he he he" jawabku ngawur sambil menghilangkan kesal karena Cibubur sudah kedatangan tamu abadi: macet.
BSD City,
18 Juli 2010
Eko Utomo untuk Anda
*Tiga strategi utama Lean Management:
1. Eliminate Variabelity
2. Eliminate Inflexibelity
3. Eliminate Waste
Pagi ini kami mengantar asisten keluarga pulang cuti ke Cilengsi. Minggu lalu si mbak menemani kami sekeluarga menghabiskan hari libur sekolah di Bandung. Minggu ini si mbak mengambil jatah cuti mingguan agar besok senin sudah bisa bekerja kembali di hari pertama Tesa dan Jason masuk tahun ajaran baru. Biasanya saat si mbak cuti, cukup ikut Tesa ke sekolah (di Cibubur juga) dan dari sana naik angkot ke Cilengsi. Namun kali ini kami ramai2 mengantar mbak cuti dan menikmati perjalanan BSD - Cibubur sambil sekalian mampir ke soto Lamongan langganan kami dulu di perumahan Kota Legenda.
"Mbak, boleh minta garam ngak ya?" tanya salah satu pelanggan kepada penjual soto. Kami masih berdiri disamping gerobak menunggu kursi kosong. Tiga meja dengan kapasitas 10 kursi masih full oleh pelanggan lain.
"Pa, sini pa", seru mama Tesa saat ada pelanggan yang meninggalkan meja dibelakang gerobak penjual. Dengan bergegas kami menuju meja yang kosong dan segera memesan soto. "3 soto campur dan satu soto pisah mas. Kalau masih ada kepala ayam tambahkan satu soto campur dan soto pisah". Saya mengorder ke si mbak penjual. Aku masih mengenalinya sebagai adik dari pemilik warung soto ini. Saat ini kakaknya sedang menjaga warung soto satu lagi di Kota Wisata disebrang Legenda Wisata.
"Tiga campur dan satu pisah" mas penjual soto meletakkan pesanan kami didepan meja. Hmmmm sesudah setahun tidak pernah makin soto lamongan, segenap memori cita rasa yang mak nyus tertarik dan masuk kembali ke ujung-ujung syaraf pencecap. "sruuuup" sendok pertama masuk kemulut sesudah sambal ditambahkan ke mangkok.
"Pa.....kok hambar ya?" mama Tesa berucap kurang percaya. "Kok tidak seperti biasanya?" katanya lagi sesudah memasukkan sendok yang kedua. "Mbak, sotonya sudah diberi garam belum ya?' protesnya kepada si mbak penjual, sesudah sendok yang ketiga.
"Anu bu.....garamnya memang saya kasih sedikit"
"Gimana sih si mbak ini, kalau ngak pakai garam ya rasanya jadi anyep" komplain boru Tampubolon lebih lanjut. "Saya minta garam dong....".
"Ini bu garamnya, kemarin ada pelanggan yang minta garamnya sedikit saja, jadi sekarang saya sajikan sotonya dengan garam yang sedikit" jelas si mbak sambil memberikan wadah garam.
"Wah gimana sih si mbak ini, kan selama ini rasa soto ini sudah ada standar rasanya. Mestinya kalau menyajikan dengan resep seperti itu, kalau ada pelanggan yang minta dikurangi atau ditambah garam ya berikan saja. Tapi jangan mengubah standar yang sudah ada!", boru Tampubolon memberikan wejangan kecil ke si mbak penjual soto.
***
"Pa, bener ngak yang aku bilang ke penjual soto tadi? kan papa dulu pernah bilang yang namanya apa tuh? Lean Management*?" dimobil boru Tampubolon mengeksplorasi lebih lanjut peristiwa di kedai soto Lamongan.
"Yang kamu bilang disana sudah bener ma, didalam memberikan servis atau pembuatan barang maka penyedia jasa atau produk memang harus menjaga standar atau istilah keren Lean Management sebagai "eleminate variabelity". Disisi lain mereka juga harus luwes dan fleksibel dalam memenuhi permintaan dan kebutuhan pelanggan yang berbeda-beda atau istilah Lean Management sebagai strategi "eleminate inflexibelity".
"Tindakan penjual soto tadi bagaimana pa?"
"Tujuannya baik, namun yang dilakukan mencampur baur dua strategi tadi. Yang terjadi bukannya melakukan flexibelity namun malah merusak standar dan menimbulkan variasi dalam rasa soto yang disajikan" jawabku serius dan menghasilkan dejavu kelas Lean Management di kantor.
"Nah, kalau kasus anak kita Tesa dan Jason gimana dong?, yang satu putih yang satu hitam. Yang satu mukanya runcing yang satu mukanya bulat. Proses bisnis kita variancenya tinggi dong?" boru Tampubolon berpindah dari soto ke hereditas.
"Kalau yang itu pintar pintarnya papa dan mamanya dalam mencampur semua strategi Lean Management jadi satu he he he he" jawabku ngawur sambil menghilangkan kesal karena Cibubur sudah kedatangan tamu abadi: macet.
BSD City,
18 Juli 2010
Eko Utomo untuk Anda
*Tiga strategi utama Lean Management:
1. Eliminate Variabelity
2. Eliminate Inflexibelity
3. Eliminate Waste
Tidak ada komentar:
Posting Komentar