08 Agustus 2010

Kuthukku Netes (anak ayamku menetas)


Kragilan Klaten awal 80an
Kuuuur kuuuuuuur ckckckckck..........sang Induk ayam turun dari susuh (sarang). Pck pck pck cit cit cit.....satu persatu anak ayam dengan bulu yang halus dan lembut itu grotal gratul (tergagap) turun dari sarang dan jatuh terjelungup dengan sukses. Untung mbah putri (nenek) membuatkan sarang ayam tidak tinggi, hanya satu tumpukan batu bata, sehingga peristiwa jatuhnya anak ayam tidak mengakibatkan cedera.

Dari balik pintu kandang ayam, Tomi mengintip moment anak ayam turun ke tanah untuk pertamakalinya dengan penuh perhatian. Kali ini dia sangat berhati-hati sekali karena sebulan yang lalu seekor induk ayam mematok dan mengejarnya habis habisan saat dia mendekati sarang mereka saat hendak melihat anak ayam yang baru menetas. Rasa sakit di kakinya yang kena patuk menjadi alat belajar seumur hidup yang tidak pernah terlupa.

Satu....dua....tiga.......
.......tujuh. Desis pelan Tomi berhenti, anak kecil umur 8 tahun yang baru saja naik kelas dua SD itu sedikit berkerut. Sekali lagi dihitungnya anak2 ayam yang berlarian dan ribut disekitar induk ayam. Tidak salah, jumlahnya hanya tujuh ekor! padahal 3 hari yang lalu dia sempat menghitung bahwa ada 8 buah telor yang dierami. Mungkin satu telor tidak menetas, pikir Tomi.

Kuuur kuuuuur, dilihatnya induk ayam mengajak ketujuh anaknya keluar kandang. Begitu gerombolan induk dan anak ayam sudah agak jauh dari kandang, dengan bergegas Tomi masuk kekandang untuk mencari butir telur ke delapan. Langkahnya terhenti satu meter dari sarang ayam, dilihatnya sebutir telur warna putih yang retak dibagian ujungnya masih berada didalam sangkar.

Dengan perlahan Tomi mendekati sarang dan jongkok sambil mengamati sang telur. Dibagian ujung yang retak dan berlubang kecil, Tomi melihat bahwa ada sebentuk paruh kecil yang sedang berjuang untuk membesarkan retakan dan lubang pada kulit telur. Ciiiiiit, bunyi pelan itu seakan permintaan tolong dari anak yang kehabisan tenaga dan ditinggalkan induk dan saudara-saudaranya. Bermenit-menit Tomi memperhatikan perjuangan anak ayam yang tidak kunjung berhasil memperbesar retak pada cangkang telur.

Ciiiit.........kali ini hatinya tidak mampu lagi untuk menahan tangannya terulur pelan memegang telur ayam. Dengan perlahan diperlebarnya lubang kecil itu. Kepala anak ayam yang lemah itu terlihat jelas sekarang. Kembali anak ayam mencoba keluar dari telur namun tidak mampu juga. Melihat perjuangan yang tidak menampakkan hasil itu tangan Tomi kecil kembali turut campur dengan membuka telur lebih lebar lagi. Kali ini anak ayam mampu keluar dari cangkang.

Kuuur kuuuuur begitu mendengar bunyi induk ayam yang mendekat Tomi segera lari menjauh. Takut dipatok induk ayam yang sedang galak galaknya. Dilihatnya anak ayam yang ditolongnya sedang mencoba untuk belajar berdiri. Badan terhuyung kesana kemari dengan lemah dan akhir jatuh kembali. Sampai lama Tomi mengamati dari kejauhan anak ayam itu tidak pernah berhasil berdiri. Gelapnya kandang di senja hari memaksanya pergi kembali kerumah.

Siang keesokan harinya Tomi bergegas kekandang dibelakang rumah. Tubuhnya masih memakai seragam merah putih. Begitu pintu kandang terbuka, dilihatnya sang induk sedang asyik mematuk matuk tanah dengan anak anaknya. Satu dua tiga......tujuh, kok cuma tujuh ya? Tomi mencoba mencari anak ayam yang ditolongnya kemarin. Kemana perginya anak ayam berbulu putih semburat kuning itu ya?

"Mbah putri, lihat anak ayam warna putih semburat kuning ngak ya?". Mbah putri yang sedang asyik dengan semprong di dapur memalingkan wajahnya yang bertambah kisut dengan asap kayu bakar.

"Anak ayam yang mana le? yang baru menetas?" tanya mbah putri.

"Iya mbah, anak ayamnya kan ada 8, tapi tadi aku hitung kok cuma ada tujuh ya mbah?"

"Ooooooo yang itu to, tadi ada satu anak ayam yang mati dan sudah mbah kubur dibelakang".

Mendengar itu Tomi terduduk lesu didingklik sebelah mbak putri. "Mati mbah? kok mati ya? padahal kemarin aku bantu dia keluar dari telurnya", suara Tomi memelan dengan kedua tangan menopang dagu.

"Tomi............lain kali kalau ada telur menetas jangan dibantu ya" mulut mbah putri yang mulai perot itu tersenyum simpul.

"Memang kenapa mbah?" mata Tomi yang belok sepertinya membesar dua kali lipat mendengarkan nasehat yang baginya tidak masuk akal.

"Menurut pengalaman mbah putri, anak ayam yang saat menetas dibantu sama kita malah jadi lumpuh dan tidak bisa berjalan!" lanjut mbah putri. Karena ngak bisa berjalan maka saat disarang dia mati terinjak oleh induknya.

"Kok bisa begitu mbah" kali ini nada suara Tomi heran campur perasaan bersalah.

"Memang begitu sifatnya ayam le, perjuangan anak ayam yang dengan susah payah keluar dari cangkang telur itu yang membuat badan dan kakinya menjadi kuat untuk berdiri dan hidup!".

***
Pedalaman hutan Singkarak - Lubuk Alung 1996
Sorot lampu motor Honda Binter itu tidak mampu menembus tebalnya kabut dan hujan deras yang bak tercurah dari langit. Tomi mencoba merapatkan jaketnya kebadannya yang basah kuyup dan kedinginan. Sambil mengusap kacamata yang basah oleh air, diliriknya jam ditangan kirinya. Hmmmm jam 3 dini hari. Sungguh bukan saat yang tepat ban motor ini bocor ditengah tengah hutan. Proyek PLTA Singkarak masih berjarak dua kilo dari sini.

Sudah 2 bulan ini Tomi melakukan riset untuk keperluan Tugas Akhir kuliahnya dan sambil sekalian bekerja sebagai inspektor di konsultan pembangunan PLTA Singkarak. Lokasi proyek ditengah hutan dan jauh dari mana-mana menjadi tantangan berat bagi Tomi.

Air membasahi muka Tomi, keringat campur air hujan membuat matanya pedih. Bunyi hujan yang deras ditengah hutan dan beratnya motor bocor yang harus didorong menanjak bukit membuat kakinya makin lemas dan bergetar. Dikejauhan terdengar bunyi hewan disela-sela gemeratak air hujan. Kata orang beberapa tahun yang lalu hutan disebelah proyek masih ada harimaunya..............hiiiii perasaan takut mulai menghinggapi sanubari. Terbayang kemewahan dan nyamannya kota Bandung yang dia tinggalkan dua bulan yang lalu. Dan masih 4 bulan lagi harus dia tempuh di tengah hutan yang gelap, dingin dan menakutkan ini.

Gubraaaak! motor itu jatuh. Menabrak batu yang bertengger dipinggir jalan. Dan Tomi jatuh terduduk lemas disebelah motornya. Timbul penyesalannya akan pilihan lokasi Tugas Akhir. Kenapa aku ngak ambil riset di laboratorium aja.......pikiran dan penyesalan mulai menjajah dirinya. Dengan tertatih tatih diangkatnya motor itu kembali, masih ada 2 tikungan lagi yang harus dia lewati sebelum sampai di proyek dan moga-moga petugas di workshop ada yang bisa menambalkan motor.

Aduuuuuuhh capeknya, Tomi kembali bergumam dengan bibir yang pucat membiru karena kedinginan. "Daaaaaaaaaar" dan kilat menyambar diikuti oleh bunyi guruh yang menggelegar. Disudut ruang imajinasi yang diterangi kilat Tomi melihat mbah putri sedang duduk di depan pawon sambil memberi makan anak ayam yang baru menetas.

"Le, perjuangan anak ayam yang dengan susah payah keluar dari cangkang telur itu yang membuat badan dan kakinya menjadi kuat untuk berdiri dan hidup!". Kalimat mbah putri menemani Tomi membelah hujan yang turun makin deras dan pekatnya dinihari tengah hutan.

BSD City
3 Agustus 2010
Eko Utomo remembering beautiful Singkarak Lake

Tidak ada komentar: