“Love but not agree - mengasihimu namun tidak menyetujuimu”
Eko Utomo
Sebuah Titik Tolak Baru
Pada sebuah percakapan WhatsApp (WA) Group:
Kawan 1: “Pernah berhubungan langsung dengan Gay
& Lesbian ngak?”.
Kawan 2: “Pernah, ada yang teman kerja dan ada yang
teman beraktivitas diluar kerja”
Kawan 3: “Bagaimana caranya tahu kalau mereka itu
Gay atau Lesbian?”
Kawan 2: “Kalau sering bergaul maka kita bisa
merasakan dan melihat ciri2nya”.
Kawan 1: “Bagaimana bersikap terhadap mereka?”
Kawan 2: “Yang rekan kerja? Ya biasa saja, yang penting
sesuai aturan perusahaan”.
Diskusi tentang Lesbian Gay Bisexual Transgender
& Intersex (LGBTI) menjadi topik yang hangat yang banyak diperbincangkan di
forum-forum dan media sosial termasuk media sosial tertutup semacam WA group.
Fenomena ini dipicu oleh disahkannya Gay Marriage (GM) oleh Supreme Court
Amerika (yang juga disetujui oleh Presiden Obama) pada tanggal 26 Juni 2015.
Didunia tanpa batas seperti sekarang ini, dentuman
di Amerika segera terdengar gaungnya di Indonesia yang berjarak puluhan ribu kilometer.
Banyak profile picture (PP) pengguna sosial
media berubah dengan warna pelangi, simbol dukungan terhadap pernikahan
LGBTI. Pro dan kontra terjadi, termasuk pada kalangan orang Kristen Indonesia
yang goyah pandangannya dan kebingungan cara menyikapinya.
Dalam Alkitab, Yesus menyatakan
dengan jelas dan tegas bahwa pernikahan itu dilakukan oleh laki-laki dan perempuan
(Matius 19:4-6), pernikahan tidak dilakukan oleh laki-laki dengan laki-laki,
perempuan dengan perempuan dan juga bukan manusia dengan binatang atau
tumbuhan. Tujuan dari pernikahan laki-laki dengan perempuan ini agar manusia
bisa berkembang dan memenuhi bumi (Kej 1:28). Nah, kalau sesama jenis dan beda
spesies jelas tujuan berkembang biak tidak akan terpenuhi bukan?
Hak Asasi & Tuntutan
Bagaimana dengan dengan Hak Asasi
Manusia? Bukankah LGBTI juga manusia yang juga memiliki hak yang sama untuk
melakukan pernikahan di gereja? Tuntutan ini ibaratnya menemukan anak tersesat
dikeramaian dan mengklaim bahwa anak itu hak dia sebagai penemunya. Lembaga
perkawinan didirikan sebagai standar moral manusia oleh Tuhan. Untuk apa gay
harus melakukan pernikahan di gereja? Agar memenuhi standard moral? Bukankah
menjadi seorang gay sudah dengan sendirinya tidak masuk dalam standard moral
kekristenan? Dalam hal ini kita tidak berbicara tentang benar dan salah secara
relativisme namun pemenuhan sebuah standar aturan dalam kekristenan yang sudah
ditetapkan dan dituliskan sebagai pedoman menurut Alkitab.
Jadi jelaslah bahwa GM bukan
merupakan masalah hak asasi namun
merupakan masalah moral. Allah jelas
menyatakan bahwa hubungan laki-laki dengan laki-laki masuk dalam katagori
kemesuman yang dibenci olehNya (Roma 1: 26-32). Masuk ke lembaga pernikahan
dengan restu pemerintah dunia “monggo” silahkan, itupun jika pemerintah
menyetujui. Namun pernikahan sejenis dan minta restu ke gereja jelas sebuah
kekacauan berpikir. Kalau standar manusia yang dipakai, tidak akan lama lagi
kawin dengan binatang, saudara sekandung dan juga kawin dengan anak dibawah
umur juga minta untuk disahkan. Heran? Jangan! silahkan google. Tuntuan atau
tindakan ini sudah banyak terjadi diberbagai tempat di Bumi yang makin tua ini.
Gereja berdiri dengan seperangkat nilai-nilai, aturan dan pedoman. Gereja yang
mengingkari nilai-nilai dan pondasinya jelas bukan gereja lagi.
Bukannya orang Kristen diajarkan
untuk tidak menghakimi? (Matius 7:1-2). Benar bahwa kita tidak diperbolehkan
menghakimi orang lain dengan alat ukur
kita sendiri. Kita juga tidak boleh menghakimi orang lain hanya dari
penampilannya namun menghakimi orang harus dengan benar (adil). Maksudnya?
Dengan menggunakan alat pengukuran yang
sudah diberikan oleh Tuhan (Roma 1:26-32), karena yang berhak menjadi hakim
Tuhan dan bukan manusia. Maka alat penghakiman yang dipakai adalah alat
penghakiman sang hakim. Kalau alat ukur yang sudah diberikan tidak kita pakai
dan dicampakkan, lebih berintegritas kalau menjadi orang ateis saja daripada
mengaku Kristen tadi tidak hidup menurut nilai-nilai ajaran Kristen.
Sikap Pribadi
Menjadi LGBTI adalah sebuah
pilihan mungkin beberapa menyebutnya sebagai naluri, tentu dengan segala konsekuensinya.
Namun melakukan pernikahan sejenis jelas sebuah pilihan, GM yang disahkan oleh
pemerintah (Amerika misalnya) mungkin (seolah-olah) sebuah pemenuhan kebutuhan
akan hak warga, namun GM yang minta disahkan oleh gereja jelas sebuah kekacauan
logika berfikir.
Apakah tidak menyetujui GM
kemudian membenci mereka secara pribadi? Tentu saja tidak. Mengasihi dan mendoakan mereka tanpa harus menyetujui dan membenarkan
adalah sebuah sikap yang bisa diambil. Yesus turun dari kemuliaan surga untuk
orang berdosa, Yesus jelas mengasihi orang berdosa. Namun Yesus juga dengan
jelas menunjukkan bahwa Ia datang untuk mengampuni dan menunjukkan jalan yang
benar bagi mereka yang tersesat. Seperti yang diucapkanNya pada perempuan yang
berbuat zinah:
“Akupun tidak menghukum engkau.
Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang”, (Yohanes 8:11)
Disclaimer: tulisan ini adalah
perspektif pribadi penulis. Tidak mewakili pihak manapun, sambil menunggu dan
mendorong GKI menyatakan sikap secara resmi tentang hal ini.
Jakarta, 19 Agustus 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar