31 Maret 2008

Perception is Projection


Warna Apakah yg Hendak Engkau Lihat! Perception is Projection.

“No man ever looks at the world with pristine eyes. He sees it edited by a definite set of customs and institutions and ways of thinking.”. Ruth Benedict

Warna Kacamata Rayben
Mari kita mengingat masa Remaja kita ditahun 80an, salah satu fashion tool yang sangat populer di tahun2 tersebut adalah Kacamata Rayben.

Sebagai anak remaja, kalau kita bisa memiliki Kacamata Rayben (kebanyakan yg palsu) dan menaruhnya diatas hidung kita saat mengendarai Honda Astrea Star, wah………rasanya seperti orang paling ganteng di dunia.

Rayben menyediakan bermacam warna untuk kacamata sun glassesnya ini. Warna sedikit kebiruan, kecoklatan atau sedikit ungu kehijauan menjadi favorite pada saat itu. Saat kita memakai Rayben warna biru, maka apapun yang kita lihat akan berwarna kebiruan juga.

Ganti Mobil
Adakah diantara leaders yang akhir2 ini baru saja ganti mobil atau mau ganti mobil? Apa yang terjadi dengan “penglihatan” Anda terhadap mobil sejenis dengan yang Anda beli atau mau beli? Yuup....di jalan raya mobil jenis tersebut kelihatan lebih banyak dibandingkan dengan sebelumnya.

Saya merupakan contoh yang nyata tentang fenomena ini. Setahun yang lalu saat kami hendak mengganti mobil kami dengan Kia Carrents, mendadak saya dan istri memiliki kesan banyak mobil sejenis yang beredar di Bandung. Padahal sebelumnya perasaan tersebut tidak ada.

Jadi apa yang sebenarnya terjadi dengan diri saya? Keinginan saya untuk membeli mobil Kia Carrents memberikan sinyal ke pancaindra saya untuk lebih memperhatikan Kia Carrents kalau mobil tersebut lewat di depan saya. Satu hal yang sebelumnya tidak terprogram dalam pikiran.

Perception is Projection
Apa yang kita proyeksikan (inginkan) adalah apa yang terprogram didalam pikiran kita. Seperti contoh cerita Kacamata Rayben diatas, warna yang akan kita lihat diluar tergantung warna Kacamata Rayben yang kita pakai.

Dalam contoh mobil, keinginan saya untuk membeli mobil Kia Carrents memberikan sinyal kepada pikiran saya untuk bisa melihat semua Kia Carrents yang lewat didepan saya. Padahal jumlah mobil tersebut di Bandung sebelum dan sesudahnya tidak mengalami perubahan alisa sami mawon.

Pemimpin, Bakat Alam atau Dibentuk
Kemarin, pada saat saya membawakan materi IM Essentials untuk GDP Batch 3 di Club House, ada satu pertanyaan yang menarik dari salah seorang peserta, “Pemimpin apakah dilahirkan dengan bakat memimpin atau bisa dibentuk dan dikembangkan?”. Suatu pertanyaan yang sebenarnya merupakan pertanyaan laten yang menjadi perdebatan para ahli kepemimpinan sampai sekarang ini.

Jawaban saya kepada penanya adalah Holcim percaya pada kedua-duanya. Mengapa bisa begitu? Sebab pada saat Holcim mencari kandidat GDP(Calon Pemimpin masa depan) ada banyak syarat yang harus dipenuhi. Syarat bahasa Inggris, TPA, IPK dll harus dilalui oleh mereka yang hendak bergabung dengan program ini. Dengan demikian Holcim percaya bahwa Pemimpin dilahirkan(bakat).

Namun disisi sebaliknya progam GDP yang dilakukan secara intensif selama 1 tahun dengan begitu banyak Training, Coaching, Job Rotation, Paper Assignment menunjukkan bahwa Holcim percaya bahwa pemimpin harus dikembangkan.

Proyeksi Seorang Engineer
Terlepas dari kedua sudut pandang diatas, saya pribadi percaya bahwa seorang pemimpin akan lahir pada saat yang bersangkutan percaya bahwa dirinya bisa menjadi pemimpin!

Seseorang terlepas apakah dia memiliki bakat sebagai pemimpin atau mendapatkan pendidikan dan training kepemimpinan yang intensif namun apabila tidak ada keyakinan bahwa dirinya memang seorang pemimpin maka yang akan nampak dalam perilakunya adalah “pemimpin” yang berperilaku seperti “pengikut”.

Beberapa waktu yang lalu, seorang engineer muda, menjawab pertanyaan saya bahwa dia yakin bahwa 5 tahun kedepan dia bisa menjadi pemimpin di Holcim dengan posisi sebagai Manager. Dari hasil observasi saya dalam diskusi saya temukan bahwa keyakinan tadi bukan merupakan keyakinan kosong.

Keyakinan engineer muda tadi membentuk proyeksi pada dirinya dan kemudian akan membentuk persepsi dalam pikirannya bahwa dia bisa dan mampu untuk menjadi pemimpin (manager) 5 tahun lagi.

Persepsi ini secara otomatis akan memberikan sinyal keotak dia untuk melihat setiap “kesempatan”, baik itu training, tugas tambahan, role modeling, buku dan banyak hal lain yang bisa dia pakai dan membantunya untuk membangun kompetensinya serta mewujudkan keyakinannya bahwa dia bisa menjadi pemimpin.

Kisah 2 Anak Kecil.
Tersebutlah 2 anak kecil Pesimus & Optimus, mereka masih sangat muda dan baru berumur 2 tahun pada saat dokter memvonis bahwa mereka menyandang Autis**. Dokter mengatakan bahwa IQ kedua anak ini jauh dibawah normal dan mereka akan sulit tumbuh besar seperti anak-anak yang lain.

Orang tua Pesimus mengamini diagnosa dokter dan memperlakukan Pesimus seperti apa yang dikatakan oleh Dokter. Pesimus mereka ikutkan dalam kelas terapi. Pada saat Pesimus tidak mengalami kemajuan berarti mereka menerimanya karena mereka percaya bahwa memang itulah “nasib” Pesimus sesuai titah Dokter.

Sang Ibu(tidak bekerja/ibu rumah tangga) kadang-kadang menemani anaknya terapi, seringkali yang dilakukan saat menemani anaknya terapi bergosip dengan ibu2 lain dan bilang “anak saya memang begitu, dokter bilang IQ_nya dibawah rata-rata”, pada saat melihat anaknya berperilaku aneh dan menyimpang. Bahkan tidak jarang sang Ibu menyuruh pembantu untuk menemani Pesimus terapi dan dirinya sendiri jalan2 di Mall.

Dilain pihak orang tua Optimus melihat bahwa vonis sang Dokter bukan merupakan sabda Tuhan. Bukankah dokter juga manusia? Selagi masih manusia sangat mungkin bahwa diagnosanya bisa salah dan tidak akurat. Mereka sangat sadar akan beberapa perilaku Optimus yang berbeda dengan anak-anak lain seusianya.

Orang tua Optimus percaya bahwa Tuhan memberikan cukup bekal (talenta) kepada Optimus untuk hidup, survive dan berkarya di dunia. Dengan berbekal keyakinan ini, mereka mendidik dengan penuh passion dan kasih sayang bahwa Optimus akan bisa berkembang dengan baik. Sama seperti orangtua Pesimus, mereka mengirim Optimus untuk ikut kelas terapi Autis. Ibu Optimus selalu menemani Optimus di tempat terapi, setiap saat sang Ibu memperlakukan Optimus sesuai dengan keyakinannya bahwa Optimus bisa sembuh dan memiliki kesempatan untuk tumbuh dan berkembang seperti anak-anak lainnya.

Tiga tahun sudah berlalu sejak dokter mendiagnosa Pesimus dan Optimus sebagai penderita Autis. Saat ini Pesimus masih dikelas terapi dan serangkali lari keluar ruangan dan menangis meraung-raung sambil bergulingan di tanah kalau ada suatu hal yang tidak berkenan dihatinya. Ibu Pesimus menyaksikannya sambil berkata pada seorang ibu yang duduk disampingnya “Pesimus memang begitu, dokter mengatakan bahwa IQ_nya jauh dibawah anak normal dan berperilaku tidak sewajarnya”.

Optimus terlihat duduk dengan tenang dan memperhatikan dengan seksama apa yang sedang diajarkan oleh ibu guru di TK A. Pada saat istirahat Optimus bermain dengan teman2nya dengan menggunakan bahasa yang masih belum jelas pengucapannya. Meskipun demikian Optimus terlihat percaya diri dan sangat menikmati perannya sebagai murid TK A. Sang Ibu yang duduk dikejauhan bergumam dalam hati, “Aku yakin dan percaya bahwa Optimus bisa berkembang dengan baik seperti anak2 yang lain”.

Apa Pilihan Anda?
Nah, sekarang apa pilihan Anda? Kacamata warna apa yang akan Anda kenakan. Apabila Anda ingin melihat lingkungan terlihat hijau dan sejuk, segera cari Rayben berwarna hijau.

Apabila Anda ingin menjadi pemimpin, yakinlah bahwa Anda bisa menjadi pemimpin dan belajar, bertindak dan berperilakulah seperti pemimpin.

Atau Anda memang yakin bahwa Anda hanyalah seorang pengikut, maka senandung iklan Holcim akan cocok bagi Anda, Qui Sera Sera, What will be will be.

Eko Jatmiko Utomo
CCR Narogong
Awal April 2008

* Neuro Linguistic Programming (NLP) belief atau kredo.
** Suatu bentuk kelainan perilaku akibat “penyimpangan” dalam syaraf yang ada di Otak.

Tidak ada komentar: