Dalam konteks yang sama istri saya sering banget melemparkan tuduhan yang sangat tendensius, "pa, kamu waktu kecil suka ngences ya?" tuduhnya dengan kalimat yang tajam. Jelas tuduhan yang seperti ini bisa menurunkan martabat bangsa dan langsung mengaktifkan "self defence mechanism". Belum 1 menit saya mencoba menjelaskan bahwa ngences bukan merupakan bagian dari sejarah masa kecil, istri saya langsung mencela dengan kartu trufnya, "lihat saja Jason anakmu, kalau bukan dari kamu dari siapa lagi dia memiliki kebiasaan ngences!". Jawaban yang sangat telak, karena pada saat itu bukti hidup sedang asyik main kereta sambil tentu saja tes tes tes ngences sekenanya.
Itu belum seberapa, saat ini yang namanya Jason Utomo ini sedang dalam masa kreatif-kreatifnya. Segala macam dicoba dan segala larangan dilanggar. Yang ada dalam kepalanya adalah mencoba semua hal yang menarik hati, istilah orang awamnya adalah "Bandel". Kalau sudah jengkel terhadap Jason maka yang digumamkan istri hanyalah "Dasar bandel kayak papanya!". Tentu saja saya mencoba membela diri dan balik menuduh itu diturunkan dari dia. Kalau sudah begitu dengan kalem mamanya Jason akan bilang, "lha itu tulisan papa di internet itu apa kalau bukan bandel!". Weladalah.........ternyata
Saat saya SMA, seorang saudara yang terhitung pakde pada satu kesempatan memberikan sabdanya "Eko, nanti kalau besar nanti kamu cocoknya jadi guru seperti orangtuamu!". Sebuah ramalan yang menyakitkan hati (maaf para guru semua ya), masak Eko Utomo sang ketua karang karuna, ketua kelas nan cerdas kok diramalkan jadi guru. Eko Utomo ini cocoknya jadi tukang Insinyur yang gajinya besar seperti yang selalu saya gembar-gemborkan ke bokde belakang rumah simbah kalau sedang pinjam uang. "Mbokde, kalau saya nanti sudah lulus kuliah dan kerja, gaji saya lebih dari 6 jt perbulan" demikian bualan saya (tahun 1989).
Jadi guru itu PENGABDIAN, sengaja saya tulis dalam huruf besar. Selama puluhan tahun jadi anak bapak dan ibu yang guru SMP saya tahu persis berapa gaji mereka. Setiap awal bulan, slip gaji ibuk pasti hampir nol karena harus dipotong ini itu, sedangkan gaji bapak harus diirit untuk membiayai hidup dan sekolah ketiga anaknya. Bahkan untuk membeli sepatu Kasogi warna hitam(lihat notes "pada sebuah sepatu") merupakan sebuah utopia, angan angan yang terlalu tinggi yang tak mungkin tergapai.
So, profesi guru ada dalam urutan terakhir daftar karir yang akan ditempuh sesudah lulus kuliah nanti, kalau bisa tidak masuk daftar sama sekali. Lima tahun sesudah lulus kuliah dan mencoba berbagai macam profesi akhirnya saya masuk di fungsi Human Resource (HR) khususnya Leadership Training. Posisi yang disandang adalah Fasilitator. Saat saya cuti dan pulang kerumah, ibu bertanya apa kerjaan saya sekarang dan saya jelaskan dengan bahasa yang keren tentang fasilitator, beliau cuma bilang "Ooooooooo kerjane podo karo guru to le!". Saat ini, posisi yang tertera di kartu nama adalah "Learning & Development Division Head", namun seringkali kalau lagi ketemu dengan teman baru boss saya yang direktur itu mengenalkan saya dengan ungkapan "Kenalkan, ini pak Eko kepala sekolah kita".
Sore ini badan saya terasa meriang semua, mungkin karena terlalu sering kena AC atau bisa juga karena lagi musim pancaroba. Saat istri saya mengajak pergi ke Carrefour untuk cari Kompor baru saya sempat malas-malasan. Namun sesudah dibilang bahwa kompornya sudah merah warna apinya plus memang sudah umur 8 tahun maka dengan terpaksa saya menyetujuinya sambil bilang "kamu yang nyetir ya ma!".
Pulang dari Carrefour jam 7 malam badan makin meriang, kalau tidak diambil tindakan khusus bisa jadi bahaya nih. "Ma, aku panggil mak Erni ya" kata saya kepada istri yang sibuk mencoba install kompor baru. "Pa, ini kapan kompornya mau dipasang? habis lebaran? aku butuhnya sekarang!" bukannya menjawab pertanyaan saya, dia malah uring2an karena saya dari tadi diam saja tidak masang kompor baru.
Mak Erni datang jam 8, "dari tetangga depan" demikian katanya sambil memperlihatkan giginya yang sudah hitam dan ompong dimakan usia saat ditanya kenapa datang terlambat. Mak Erni usianya sudah 62 tahun, Betawi asli, sudah punya cucu dan punya penyakit latah. Sepanjang acara pijat memijat, saya silih berganti melakukan dua ekspresi muka: nyengir kesakitan saat urutan kena urat bandel dan nyengir kegelian saat mak Erni latah melihat film Horor yang ada ditayangan TV.
Saat pijatan usai, badan menjadi enteng. Istri saya yang gantian minta diurut. Saya segera melihat hasil kerja instalasi kompor oleh istri barusan. Bah, dalam waktu 1 jam ternyata kemajuan yang tercapai hanyalah mengeluarkan kompor dari kertas karton pembungkusnya. Memang para ibu ini pandai dalam memakai perkakas dan mobil namun kalau disuruh perbaikan atau install tetap kaum Adam yang harus maju. Hanya dalam waktu 15 menit kompor baru sudah terpasang dan melihat hal itu istri tersenyum sambil bilang "thanks pa, hebat juga kamu!". Hmmm ternyata menikah 8 tahun dan pacaran 3 tahun belum cukup meyakinkan dia betapa serbabisanya papa Thesa ini he he he he
"Ma, warisan almarhum bapak yang satu ini memang oke". kataku sambil nonton TV. "Warisan apaan" potong mama Thesa dengan wajah penasaran. Memang kalau urusan warisan itu saaangat sensitive dan harus hati-hati dibicarakan. "Jangan mikir yang aneh-aneh, ini lho warisan kebiasaan dipijat dan diurut. Coba kalau kebiasaan yang diturunkan adalah berobat ke Mount Elisabeth Singapore, kita kan bisa bangkrut!" jelas saya. Mama Thesa hanya nyengir menandakan setuju.
Tidak berapa lama mama Thesa selesai diurut, belum juga mamanya selesai memakai pakaian, Thesa (7 tahun) yang dari tadi duduk tenang langsung bangkit berdiri dan lukar ageman (copot pakaian) serta pasang posisi siap dipijat. "Oooooalaha Thesa, memang kacang ora ninggalake lanjaran!".
BSD City
Tengah malam saat nonton Nadal Vs Del Potro
14 September 2009
Eko Jatmiko Utomo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar