STRATEGI
PERUSAHAAN DALAM MELAKUKAN KONSOLIDASI ORGANISASI AKIBAT KRISIS MONETER
INDONESIA: HOLCIM INDONESIA
1.
RINGKASAN
Sebagai sebuah entitas, keberadaan organisasi
tidak dapat dipisahkan dari lingkungan (environment)
dimana dia berada (Thomson dkk., 2010). Berbagai macam variabel dari lingkungan
akan memberikan pengaruh baik positif maupun negatif terhadap upaya organisasi
mencapai tujuanya (Hatch, 2006).
Kurtz dan Snowden (2003) menyatakan
bahwa efek lingkungan dapat dikategorikan menjadi 4 kelompok kondisi, yaitu Known, Knowable, Complex, dan Chaos. Temuan dari studi mereka
menegaskan bahwa masing-masing dari kondisi tersebut akan membutuhkan strategi
korporasi yang tepat agar perusahaan mampu bertahan dan bahkan memanfaatkan
keadaan yang ada untuk bertumbuh lebih baik.
Krisis moneter yang terjadi di
Indonesia pada periode tahun 1997-1998 diakibatkan oleh jatuhnya nilai tukar Rupiah
terhadap Dollar Amerika, membuat banyak perusahaan terjerat utang dalam bentuk
devisa asing yang tiba-tiba melonjak tinggi. PT. Semen Cibinong yang dimiliki
oleh Hasyim Joyohadikusomo juga tidak luput dari kondisi ini (Majalah Swa,
April 2006). Keputusan stratejik diambil dengan menjual keseluruhan saham perusahaan
beserta hutang-hutangnya kepada salah satu perusahaan semen kelas dunia, Holcim
yang bermarkas di Swiss.
Paska akuisisi PT. Semen Cibinong,
Holcim (yang juga merubah nama PT. Semen Cibinong menjadi Holcim Indonesia),
melakukan berbagai macam langkah strategi korporasi untuk bisa membayar hutang
dan menyehatkan perusahaan. Majalah Swa (April 2006) menjabarkan upaya
pembentukan visi, misi dan nilai-nilai baru, rebranding, implementasi operational
excellence serta berbagai strategi yang lain. Segala upaya tersebut dilakukan dalam lingkup
pengaruh kondisi perekonomian Indonesia yang juga sedang dalam fase pemulihan
akibat krisis moneter.
Secara umum, adanya
perubahan-perubahan strategi yang cukup signifikan yang dilakukan oleh
manajemen Holcim Indonesia paska akuisisi dapat dijelaskan melalui pandangan
Chakravarthy (1997) yang menekankan pentingnya perusahaan untuk mengadopsi
strategi bisnis yang dapat mengadopsi faktor lingkungan yang dinamis.
Makalah ini bertujuan untuk
mengkaji proses pembentukan dan implementasi strategi dalam konteks perubahan
lingkungan yang dinamis. Untuk lebih memberikan gambaran utuh mengenai proses
tersebut, maka para penulis akan menggunakan kasus yang terjadi pada PT. Holcim
Indonesia sebagai konteks dari penjabaran teori-teori yang terkait dengan
proses pembentukan dan implementasi strategi perusahaan.
2. TINJAUAN
TEORI STRATEGI PERUSAHAAN & LINGKUNGAN
Faktor Lingkungan dan Strategi
Perusahaan
Keberadaan sebuah perusahaan tidak
bisa dipisahkan dari lingkungan dimana dia berada (Thomson, dkk., 2010). Dalam Gambar 1 dibawah ini terlihat bahwa
perusahaan mendapatkan pengaruh langsung dan tidak langsung dari komponen2 yang
ada dalam lingkungan.
Perusahaan mendapatkan pengaruh
langsung dari Suppliers, Substitute
Products, Buyers, New Entrants dan Rival Firms (Porter, 1979, dalam Thomson
dkk., 2010). Diluar kelima faktor tersebut, Thomson dkk. (2010) Juga
mengindentifikasi 4 faktor-faktor tambahan yang mempunyai pengaruh tidak
langsung kepada perusahaan (tingkatan Macroenvironment)
yaitu faktor Technology, General Economy,
Regulation, Demography dan Social Values.
Kondisi lingkungan yang sedemkian
berpengaruh ini menuntut perusahaan untuk dapat memilih strategi yang cocok bagi
perusahaan. Thompson dkk. (2010) dalam Gambar 2 yang disajikan dibawah ini
memberikan panduan yang cukup jelas bagaimana membangun strategi yang tepat.
Gambar
2.
Choosing Strategy (Thompson dkk., 2010, p.56)
Mengacu kepada Gambar 2 tersebut, langkah
pertama yang dilakukan adalah berfikir stratejik tentang kondisi eksternal dan
internal perusahaan. Langkah tersebut kemudian diikuti oleh pembentukan visi
tentang kemana perusahaan akan menuju. Langkah selanjutnya adalah dengan
mengidentifikasi strategi yang tersedia untuk perusahaan dan kemudian yang
terakhir adalah memilih strategi yang terbaik.
Strategi Perusahaan didalam
Emerging Market Economy
Hosskisson dkk. (2000) memasukkan
Indonesia sebagai salah satu negara yang masuk sebagai anggota emerging market. Katagorisasi ini
didasarkan pada berbagai macam parameter yang sudah ditentukan. Parameter yang
dipakai adalah besar Gross Domestic Bruto
(GDP) dan juga angka inflasi. Indonesia menjadi satu kelompok dengan beberapa
negara lain di Asia Tenggara termasuk China, India, Korea, Thailand, Malaysia
dan Pilipina.
Dalam artikel yang sama, Hosskisson
dkk. (2000), juga menyatakan bahwa perusahaan yang berada didalam negara dalam
kelompok emerging market membutuhan
pendekatan bisnis dan strategi perusahaan yang berbeda dibandingan dengan
perusahaan yang ada dinegara maju (developed
countries).
Secara khusus, terdapat tiga teori
strategi organisasi yang dikemukakan oleh Hosskisson dkk. (2000) yang menurut
mereka merupakan strategi yang paling cocok untuk diterapan pada perusahaan
yang ada di negara yang tergolong sebagai Emerging
Market. Ketiga strategi tersebut adalah:
1. Institutional
Theory
2. Transaction
Cost Economic
3. Resource
Based Theory
Institutional
Theory (Scott, 1995 didalam Hoskisson dkk., 2000)
menyatakan bahwa lingkungan memberikan pengaruh terhadap kondisi sosial dan
perilaku organisasi dalam menjalankan bisnisnya. Dalam konteks Indonesia, teori
tersebut terwujud dalam bentuk pasar yang besar (jumlah penduduk) dengan daya
beli yang perlahan naik namun seringkali dibayangi oleh tingkat inflasi yang
cenderung tinggi.
Teori Transaction Cost dalam konteks emerging economy khususnya Indonesia
menyatakan bahwa harga yang terbentuk dipasar tidak merefleksikan sepenuhnya
dari proses bisnis yang efisien (Choi dkk., 1999, didalam Hoskisson dkk., 2000).
Harga yang dibentuk sangat dipengaruhi oleh struktur birokrasi, sistem kontrak
dan hukum yag berlaku dinegara emerging
economy yang mempunyai kecendrungan untuk tidak efisien.
Selain itu, Hosskisson dkk. (2000)
juga menyarankan adanya hubungan yang penting antara teori Agency teori Transaction Cost.
Berdasarkan Shleifer dkk. (1997) dalam Hoskisson dkk. (2000), teori Agency menyatakan bahwa manajer yang
bekerja dalam organisasi diharapkan menjadi kepanjangan tangan dari pemilik
perusahaan dalam mencapai target yang ditetapkan. Namun sebagaimana diajukan
oleh Hoskisson dkk. (2000), kepentingan para pemegang saham ini sering kali
tidak singkron dengan kondisi perusahaan yang berada dinegara emerging market (seperti Indonesia).
Terakhir, Hoskisson dkk. (2000)
juga membahas pendekatan strategi yang berdasarkan atas teori Resource Based Theory (Barney, 1991),
dimana keuntungan kompetitif perusahaan lebih ditentukan oleh adanya sumberdaya
perusahaan yang bernilai (Valuable),
langka (Rare), susah ditiru (Inimmitable) dan langka barang substitusinya
(substitutability).
Pada akhirnya, Hosskisson dkk.
(2000) menyimpulkan bahwa teori Institutional
Theory merupakan yang paling penting untuk diterapkan di negara emerging
economic, diikuti oleh strategi berdasarkan teori Transactional Cost dan serta Resource
Based Theory.
Cynefin Domains
Kurtz dan Snowden (2003) menyajikan
sebuah konsep yang menarik tentang bagaimana sebuah perusahaan harus bereaksi
dan memilih strategi terhadap kondisi lingkungan dimana lingkungan mereka
berada. Konsep tersebut disajikan dalam sebuah Framework yang dinamakan Cynefin
Domains.
Framework ini membagi kondisi
lingkungan dalam 4 katagori yang dinamakan domain (kondisi) Knowable,
Known, Complex dan Chaos. Masing-masing kondisi ini memiliki karakteristik yang berbeda
dengan hubungan sebab-akibat (cause-effect) sebagai karakteristik pembeda yang
utama, sebagai berikut:
Domain Knowable ditandai adanya hubungan sebab-akibat yang terpisah baik
dalam konteks waktu dan ruang. Dalam domain Known,
hubungan sebab-akibat dapat diulang dan dipahami oleh banyak pihak. Domain
Complex bercirikan sebab-akibat yang tidak dapat diulang kembali. Sedangkan
dalam domain Chaos tidak ditemukan hubungan sebab-akibat.
Adanya keempat domain-domain yang
berbeda ini akan memunculkan pilihan strategi yang berbeda pula. Untuk sebuah
organisasi yang ditenggarai berada didalam domain “Known”, strategi yang paling
cocok diterapan adalah strategi Sense – Categorize – Response. Hal yang berbeda akan muncul pada saat domain
berubah menjadi Knowable. Pada domain ini strategi yang paling tepat adalah
strategi yang mengadopsi proses Sense – Analysist – Response.
Gambar
3.
Cynefin Domains (Kurtz and Snowden, 2003)
Dua domain sebelumnya (Known dan
Knowable digolongkan dalam kondisi yang Order. Sedangan domain Complex dan
Chaos masuk dalam golongan Disorder. Dalam domain Complex strategi yang paling
cocok adalah strategi Probe – Sense – Response. Sedangkan domain Chaos paling
cocok didekati dengan strategi Act – Sense – Response.
Secara umum, teori Cynefin Domain
yang dikembangkan oleh Kurt & Snowden (2003) menyimpulkan bahwa
karakteristik dari lingkungan akan berimplikasi langsung terhadap pilihan strategi yang dapat diadopsi oleh
perusahaan.
Rangka Strategi untuk lingkungan
Dinamis
Didalam makalahnya, Chakravarthy
(1997) secara tegas menekankan pentingnya perusahaan untuk mengadopsi strategi
yang sesuai dengan lingkungan perusahaan tersebut. Secara khusus, Chakravarthy
(1997) menyatakan bahwa ketika suatu perusahaan menghadapi lingkungan yang
sangat rumit dan berubah cepat (complex
and changing rapidly), akan sangat sulit bagi perusahaan untuk dapat
menganalisa dinamis kompetisi yang terjadi dengan pesaingnya.
Untuk dapat mencapai kinerja yang
tinggi, perusahaan yang berada dalam kondisi lingkungan dengan karakteristik
seperti ini, perlu untuk tersus mengembangkan kapabilitas perusahaan dalam
berinovasi. Studi kasus dibawah akan membahas bagaimana framework yang
dikembangkan oleh Chakravarthy (1997) ini diadopsi oleh Holcim Indonesia untuk
meningkatkan daya saing dan kinerja perusahaan.
3. INDUSTRI SEMEN INDONESIA
Secara umum, industri semen
merupakan industri yang bersifat capital
intensive, mengkonsumsi energi secara besar, berpotensi untuk memberikan
dampak terhadap lingkungan, namun juga mempunyai pengaruh langsung terhadap
kelangsungan pembangunan infrastruktur suatu negara (Selim & Salem, 2011).
Disamping itu, Selim & Salem (2011) juga memberikan gambaran mengenai
struktur industri semen didalam suatu negara yang cenderung berbentuk oligopolistik
dengan sedikit pemain yang bersaing untuk menjadi pemimpin pasar atas produk
yang bersifat komoditas.
Tanpa kecuali, Indonesia sebagai
salah satu negara yang tergolong sebagai emerging
market economy (Hoskisson dkk., 2000) juga mempunyai ketergantungan yang
tinggi terhadap keberadaan industri semen nasional untuk mendukung pembangunan infrastruktur
pendukung kegiatan ekonomi nasional. Disamping itu, industri semen nasional
juga ditenggarai sedang menuju kearah struktur oligopolistik dengan konsentrasi
industri yang terdiri dari hanya 3 group besar produsen semen, yaitu Semen
Gresik, Holcim dan Indocement (KPPU, 2012)
4.
HOLCIM INDONESIA
PASKA KRISIS MONETER ASIA DARI SUDUT PANDANG STRATEGI PERUSAHAAN
Salah satu pionir dari industri
semen di Indonesia adalah PT. Semen Cibinong yang didirikan pada tahun 1971
(Holcim Indonesia, 2011). Namun, keberadaan PT. Semen Cibinong yang telah cukup
lama tidak memberikan imunitas terhadap perusahaan dari pengaruh negatif krisis
moneter yang terjadi dalam periode tahun 1997-1998 silam.
Tahun 2001 adalah tahun dimana
Holcim melakukan akuisis terhadap Semen Cibinong. Akuisi tersebut dilakukan
dengan membeli lebih dari 70% saham yang beredar (Swa, April 2006). Kondisi
perekonomian Indonesia pada saat itu masih dipengaruhi oleh krisis moneter yang
terjadi pada periode tahun 1997-1998.
Kondisi ekonomi yang
masih belum kondusif, warisan hutang yang
besar ditambah dengan produktifitas karyawan yang tidak sesuai dengan standard
Holcim Internasional menjadikan Holcim Indonesia (HI) masuk dalam katagori
Chaos (Kurtz dan Snowden, 2003). Kondisi HI yang tidak jelas kasualitasnya
tersebut membutuhkan sebuah intervensi untuk dapat menciptakan kestabilan.
Salah satu warisan yang “buruk”
yang diwariskan dari perusahaan lama adalah kondisi demografis karyawan yang
“tua” dengan tingkat produktivitas yang rendah. Langkah yang dilakukan
management pada tahun 2002 adalah dengan cara meningkatkan gaji karyawan
sebesar hampir dua kali lipat.
Langkah ini merupakan sebuah
keputusan yang cepat (Fast Moving Decision) dengan tujuan untuk mendapatkan
kepercayaan dan tentunya meningkatkan motivasi dan produktivitas. Strategi ini
sesuai dengan apa yang dipaparkan oleh Eisenhardt (1989), bahwa dalam high
velocity environment seperti yang dihadapi HI pada saat itu maka keputusan yang
cepat dibutuhkan.
Namun pada kenyataanya
yang terjadi sesudah kenaikan gaji tingkat produktivitas tetap rendah. Karyawan
menerima kenaikan gaji tersebut sebagai sebuah kondisi “Taken for Granted” yang
selayaknya mereka terima karena sekarang menjadi karyawan sebuah perusahaan
asing.
Dalam kondisi “point no
return” manajemen memutuskan menggunakan pendekatan yang berbeda, strategi yang
dilakukan sesuai dengan yang dianjurkan oleh David Levy (1994) dimana dalam
kondisi Chaos maka fleksibilitas dan adaptiness
menjadi faktor yang penting. Langkah pertama yang dilakukan adalah dengan
mengeluarkan program Employee Separation Program (ESP). ESP merupakan program
dimana karyawan yang tergolong tidak produktif ditawarkan pensiun dini dengan
pesangon yang menarik. Strategi ini berhasil dengan baik sehingga mampu
mengurangi jumlah karyawan secara cukup signifikan.
Gambar
4.
Pabrik Holcim Indonesia
Langkah berikutnya yang dilakukan
adalah dengan memperkuat dan memperluas kompetensi inti (Chakravarthy, 1997. Dalam kondisi masih merugi HI menjalankan program Change Management yang intensif dengan
biaya $ 3 juta pertahun sejak tahun 2004. Inisiatif penting yang dijalankan
dalam Change Management adalah Leadership Developement progam untuk mengubah
mindset dan perilaku karyawan, Organizational Performance Improvement (OPI)
yang masuk dalam katagori Operational Excellence inisiatif, Rebranding dlsb.
Strategy
Repeat Innovation sesuai dengan teori Charavathy (1997)
juga dilakukan khususnya pada fungsi Sales dan Marketing.
Pada tahun 2007 diluncurkan program sertifikasi Ahli Bangunan kepada para
tukang bangunan dan juga meluncurkan Solusi Holcim yang bekerjasama sama dengan
toko bangunan. Solusi inovatif ini berhasil terbukti dengan makin baiknya
kondisi keuangan HI. Pada tahun 2008, HI membukukan keuntungan pertamakali
sebesar Rp. 225 milyar dibandingkan
dengan kerugian sebesar Rp. 150 milyar yang masih ditanggung pada tahun 2007.
Kemampuan HI dalam memilih strategi
akan diuji pada tahun-tahun yang akan datang pada saat kondisi lingkungan
berubah dari Chaos menjadi Complex dimana banyak pemain baru yang masuk
termasuk dengan makin agresifnya pemain lama seperti pemimpin pasar Semen
Indonesia (dulu semen Gresik Group), semen Bosowa dan juga pendatang baru semen
Kupang.
5. PENUTUP
DAN KESIMPULAN
Kondisi lingkungan memberikan
pengaruh yang besar terhadap organisasi (Hatch & Cunliffe, 2006, Thompson
dkk., 2010), terlebih lagi dalam lingkungan yang complex dan chaos (Kurt &
Snowden, 2003). Pemilihan strategi yang tepat dan eksekusi yang baik menjadi
penentu keberhasilan perusahaan dalam mempertahankan atau meningkatkan posisinya
dalam persaingan bisnis (Kurt & Snowden, 2003, Chakravarthy, 2007)
Paska akuisisi PT Semen Cibinong
oleh Holcim, Holcim Indonesia mengalami masa Chaos selama hampir 8 tahun (2001
– 2008), dimana perusahaan mengambil langkah stratejik yang disesuaikan dengan
kondisi lingkungan pada saat itu. Namun, Holcim Indonesia juga terlihat mampu
mengembangkan kapabilitas dan kemampuan inovasi dari perusahaan yang kemudian
menjadi keunggulan kompetitif dari perusahaan pada saat ini.
Dari pembahasan diatas, terlihat
bahwa kinerja perusahaan dipengaruhi langsung oleh kondisi lingkungan dimana
perusahaan tersebut beroperasi. Khusus untuk industri semen yang membutuhkan
investasi modal yang besar, dampak lingkungan, serta struktur industri yang
cenderung bersifat oligopoli, maka dibutuhkan adanya strategi perusahaan yang
bersifat dinamis dan mendukung pengembangan kemampuan inovasi dari perusahaan
untuk meyakinkan tercapainya kinerja perusahaan yang berkesinambungan
kedepannya.
Written by:
Eko Jatmiko Utomo &
Donny Prasetya
Mahasiswa S3 Strategic Management UI Angkatan 2012
REFERENSI
Chakravarthy, B.,
(1997). “A New Strategy Framework Coping with Turbulence”, Sloan Management Review, 38, 2, 62.
Eisenhardt, K.M., (1989). “Making Fast Strategic Decisions in
High-Velocity Environment”, Academy of Management Journal, 32, 3,
543 – 576.
Hatch,
M.J.; & Cunliffe, A.L. (2006). Organization Theory: Modern, Symbolic,
and Postmodern Perspectives. Oxford: Oxford University Press.
Hoskisson, R.E.; Lau, C.M.; & Wright, M.,
(2000). “Strategy in Emerging Economies”, Academy
of Management Journal, 43, 3, 249 – 267.
Holcim Indonesia, (2011), “Delivering Value:
2011 Annual Report”, PT. Holcim Indonesia
Kim, W.C.; Mauborgne, R., (1999). “Creating New Market Space”, Harvard Business Review. Review.
KKPU, (2012), “Media Visit: KPPU Pantau Monopoli Semen”, www.kppu.go.id/id/media-visit-kppu-pantau-monopoli-semen accessed 1 March 2013
Kurtz, C.F.; & Snowden, D.J., (2003). “The New Dyanamic of
Strategy: Sense-Making in a Complex and Complicated World”, IBM
System Journal, 42, 3, 462.
Levy, D., (1994). “Chaos Theory and Strategy: Theory, Application,
and Managerial Implications”, Strategic
Management Journal, 15, 167 – 178.
Selim,
T. H., Salem, A. S., (2011), “Global Cement Industry: Competitive and
Institutional Frameworks”, Journal of Strategic Management Education, Vol. 7,
No. 3, pp 181-200
Thompson,
A.A.; Strickland, A.J.; & Gamble, J.E., (2010). Crafting and Executing Strategy, The Quest for Competitive Advantage. McGraw
Hill.