10 April 2013

Holcim Indonesia: Consolidation Strategy



STRATEGI PERUSAHAAN DALAM MELAKUKAN KONSOLIDASI ORGANISASI AKIBAT KRISIS MONETER INDONESIA: HOLCIM INDONESIA

1.     RINGKASAN
 Sebagai sebuah entitas, keberadaan organisasi tidak dapat dipisahkan dari lingkungan (environment) dimana dia berada (Thomson dkk., 2010). Berbagai macam variabel dari lingkungan akan memberikan pengaruh baik positif maupun negatif terhadap upaya organisasi mencapai tujuanya (Hatch, 2006).

Kurtz dan Snowden (2003) menyatakan bahwa efek lingkungan dapat dikategorikan menjadi 4 kelompok kondisi, yaitu Known, Knowable, Complex, dan Chaos. Temuan dari studi mereka menegaskan bahwa masing-masing dari kondisi tersebut akan membutuhkan strategi korporasi yang tepat agar perusahaan mampu bertahan dan bahkan memanfaatkan keadaan yang ada untuk bertumbuh lebih baik.

Krisis moneter yang terjadi di Indonesia pada periode tahun 1997-1998 diakibatkan oleh jatuhnya nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika, membuat banyak perusahaan terjerat utang dalam bentuk devisa asing yang tiba-tiba melonjak tinggi. PT. Semen Cibinong yang dimiliki oleh Hasyim Joyohadikusomo juga tidak luput dari kondisi ini (Majalah Swa, April 2006). Keputusan stratejik diambil dengan menjual keseluruhan saham perusahaan beserta hutang-hutangnya kepada salah satu perusahaan semen kelas dunia, Holcim yang bermarkas di Swiss.

Paska akuisisi PT. Semen Cibinong, Holcim (yang juga merubah nama PT. Semen Cibinong menjadi Holcim Indonesia), melakukan berbagai macam langkah strategi korporasi untuk bisa membayar hutang dan menyehatkan perusahaan. Majalah Swa (April 2006) menjabarkan upaya pembentukan visi, misi dan nilai-nilai baru, rebranding, implementasi operational excellence serta berbagai strategi yang lain.  Segala upaya tersebut dilakukan dalam lingkup pengaruh kondisi perekonomian Indonesia yang juga sedang dalam fase pemulihan akibat krisis moneter.

Secara umum, adanya perubahan-perubahan strategi yang cukup signifikan yang dilakukan oleh manajemen Holcim Indonesia paska akuisisi dapat dijelaskan melalui pandangan Chakravarthy (1997) yang menekankan pentingnya perusahaan untuk mengadopsi strategi bisnis yang dapat mengadopsi faktor lingkungan yang dinamis.

Makalah ini bertujuan untuk mengkaji proses pembentukan dan implementasi strategi dalam konteks perubahan lingkungan yang dinamis. Untuk lebih memberikan gambaran utuh mengenai proses tersebut, maka para penulis akan menggunakan kasus yang terjadi pada PT. Holcim Indonesia sebagai konteks dari penjabaran teori-teori yang terkait dengan proses pembentukan dan implementasi strategi perusahaan.

2.     TINJAUAN TEORI STRATEGI PERUSAHAAN & LINGKUNGAN

Faktor Lingkungan dan Strategi Perusahaan
Keberadaan sebuah perusahaan tidak bisa dipisahkan dari lingkungan dimana dia berada (Thomson, dkk., 2010). Dalam Gambar 1 dibawah ini terlihat bahwa perusahaan mendapatkan pengaruh langsung dan tidak langsung dari komponen2 yang ada dalam lingkungan.      
                
Gambar 1: Lingkungan Makro Perusahaan (Thompson dkk., 2010, p. 57)


Perusahaan mendapatkan pengaruh langsung dari Suppliers, Substitute Products, Buyers, New Entrants dan Rival Firms (Porter, 1979, dalam Thomson dkk., 2010). Diluar kelima faktor tersebut, Thomson dkk. (2010) Juga mengindentifikasi 4 faktor-faktor tambahan yang mempunyai pengaruh tidak langsung kepada perusahaan (tingkatan Macroenvironment) yaitu faktor Technology, General Economy, Regulation, Demography dan Social Values.

Kondisi lingkungan yang sedemkian berpengaruh ini menuntut perusahaan untuk dapat memilih strategi yang cocok bagi perusahaan.  Thompson dkk. (2010) dalam Gambar 2 yang disajikan dibawah ini memberikan panduan yang cukup jelas bagaimana membangun strategi yang tepat.

Gambar 2. Choosing Strategy (Thompson dkk., 2010, p.56)


Mengacu kepada Gambar 2 tersebut, langkah pertama yang dilakukan adalah berfikir stratejik tentang kondisi eksternal dan internal perusahaan. Langkah tersebut kemudian diikuti oleh pembentukan visi tentang kemana perusahaan akan menuju. Langkah selanjutnya adalah dengan mengidentifikasi strategi yang tersedia untuk perusahaan dan kemudian yang terakhir adalah memilih strategi yang terbaik.

Strategi Perusahaan didalam Emerging Market Economy

Hosskisson dkk. (2000) memasukkan Indonesia sebagai salah satu negara yang masuk sebagai anggota emerging market. Katagorisasi ini didasarkan pada berbagai macam parameter yang sudah ditentukan. Parameter yang dipakai adalah besar Gross Domestic Bruto (GDP) dan juga angka inflasi. Indonesia menjadi satu kelompok dengan beberapa negara lain di Asia Tenggara termasuk China, India, Korea, Thailand, Malaysia dan Pilipina.

Dalam artikel yang sama, Hosskisson dkk. (2000), juga menyatakan bahwa perusahaan yang berada didalam negara dalam kelompok emerging market membutuhan pendekatan bisnis dan strategi perusahaan yang berbeda dibandingan dengan perusahaan yang ada dinegara maju (developed countries).

Secara khusus, terdapat tiga teori strategi organisasi yang dikemukakan oleh Hosskisson dkk. (2000) yang menurut mereka merupakan strategi yang paling cocok untuk diterapan pada perusahaan yang ada di negara yang tergolong sebagai Emerging Market. Ketiga strategi tersebut adalah:
1.     Institutional Theory
2.     Transaction Cost Economic
3.     Resource Based Theory

Institutional Theory (Scott, 1995 didalam Hoskisson dkk., 2000) menyatakan bahwa lingkungan memberikan pengaruh terhadap kondisi sosial dan perilaku organisasi dalam menjalankan bisnisnya. Dalam konteks Indonesia, teori tersebut terwujud dalam bentuk pasar yang besar (jumlah penduduk) dengan daya beli yang perlahan naik namun seringkali dibayangi oleh tingkat inflasi yang cenderung tinggi.

Teori Transaction Cost dalam konteks emerging economy khususnya Indonesia menyatakan bahwa harga yang terbentuk dipasar tidak merefleksikan sepenuhnya dari proses bisnis yang efisien (Choi dkk., 1999, didalam Hoskisson dkk., 2000). Harga yang dibentuk sangat dipengaruhi oleh struktur birokrasi, sistem kontrak dan hukum yag berlaku dinegara emerging economy yang mempunyai kecendrungan untuk tidak efisien.

Selain itu, Hosskisson dkk. (2000) juga menyarankan adanya hubungan yang penting antara teori Agency teori Transaction Cost. Berdasarkan Shleifer dkk. (1997) dalam Hoskisson dkk. (2000), teori Agency menyatakan bahwa manajer yang bekerja dalam organisasi diharapkan menjadi kepanjangan tangan dari pemilik perusahaan dalam mencapai target yang ditetapkan. Namun sebagaimana diajukan oleh Hoskisson dkk. (2000), kepentingan para pemegang saham ini sering kali tidak singkron dengan kondisi perusahaan yang berada dinegara emerging market (seperti Indonesia).

Terakhir, Hoskisson dkk. (2000) juga membahas pendekatan strategi yang berdasarkan atas teori Resource Based Theory (Barney, 1991), dimana keuntungan kompetitif perusahaan lebih ditentukan oleh adanya sumberdaya perusahaan yang bernilai (Valuable), langka (Rare), susah ditiru (Inimmitable) dan langka barang substitusinya (substitutability).
Pada akhirnya, Hosskisson dkk. (2000) menyimpulkan bahwa teori Institutional Theory merupakan yang paling penting untuk diterapkan di negara emerging economic, diikuti oleh strategi berdasarkan teori Transactional Cost dan serta Resource Based Theory.

Cynefin Domains
Kurtz dan Snowden (2003) menyajikan sebuah konsep yang menarik tentang bagaimana sebuah perusahaan harus bereaksi dan memilih strategi terhadap kondisi lingkungan dimana lingkungan mereka berada. Konsep tersebut disajikan dalam sebuah Framework yang dinamakan Cynefin Domains.

Framework ini membagi kondisi lingkungan dalam 4 katagori yang dinamakan domain (kondisi) Knowable, Known, Complex dan Chaos. Masing-masing kondisi ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan hubungan sebab-akibat (cause-effect) sebagai karakteristik pembeda yang utama, sebagai berikut:

Domain Knowable ditandai adanya hubungan sebab-akibat yang terpisah baik dalam konteks waktu dan ruang. Dalam domain Known, hubungan sebab-akibat dapat diulang dan dipahami oleh banyak pihak. Domain Complex bercirikan sebab-akibat yang tidak dapat diulang kembali. Sedangkan dalam domain Chaos tidak ditemukan hubungan sebab-akibat.

Adanya keempat domain-domain yang berbeda ini akan memunculkan pilihan strategi yang berbeda pula. Untuk sebuah organisasi yang ditenggarai berada didalam domain “Known”, strategi yang paling cocok diterapan adalah strategi Sense – Categorize – Response. Hal  yang berbeda akan muncul pada saat domain berubah menjadi Knowable. Pada domain ini strategi yang paling tepat adalah strategi yang mengadopsi proses Sense – Analysist – Response.

Gambar 3. Cynefin Domains (Kurtz and Snowden, 2003)



Dua domain sebelumnya (Known dan Knowable digolongkan dalam kondisi yang Order. Sedangan domain Complex dan Chaos masuk dalam golongan Disorder. Dalam domain Complex strategi yang paling cocok adalah strategi Probe – Sense – Response. Sedangkan domain Chaos paling cocok didekati dengan strategi Act – Sense – Response.

Secara umum, teori Cynefin Domain yang dikembangkan oleh Kurt & Snowden (2003) menyimpulkan bahwa karakteristik dari lingkungan akan berimplikasi langsung terhadap  pilihan strategi yang dapat diadopsi oleh perusahaan.

Rangka Strategi untuk lingkungan Dinamis
Didalam makalahnya, Chakravarthy (1997) secara tegas menekankan pentingnya perusahaan untuk mengadopsi strategi yang sesuai dengan lingkungan perusahaan tersebut. Secara khusus, Chakravarthy (1997) menyatakan bahwa ketika suatu perusahaan menghadapi lingkungan yang sangat rumit dan berubah cepat (complex and changing rapidly), akan sangat sulit bagi perusahaan untuk dapat menganalisa dinamis kompetisi yang terjadi dengan pesaingnya.

Untuk dapat mencapai kinerja yang tinggi, perusahaan yang berada dalam kondisi lingkungan dengan karakteristik seperti ini, perlu untuk tersus mengembangkan kapabilitas perusahaan dalam berinovasi. Studi kasus dibawah akan membahas bagaimana framework yang dikembangkan oleh Chakravarthy (1997) ini diadopsi oleh Holcim Indonesia untuk meningkatkan daya saing dan kinerja perusahaan.

3.   INDUSTRI SEMEN INDONESIA

Secara umum, industri semen merupakan industri yang bersifat capital intensive, mengkonsumsi energi secara besar, berpotensi untuk memberikan dampak terhadap lingkungan, namun juga mempunyai pengaruh langsung terhadap kelangsungan pembangunan infrastruktur suatu negara (Selim & Salem, 2011). Disamping itu, Selim & Salem (2011) juga memberikan gambaran mengenai struktur industri semen didalam suatu negara yang cenderung berbentuk oligopolistik dengan sedikit pemain yang bersaing untuk menjadi pemimpin pasar atas produk yang bersifat komoditas.

Tanpa kecuali, Indonesia sebagai salah satu negara yang tergolong sebagai emerging market economy (Hoskisson dkk., 2000) juga mempunyai ketergantungan yang tinggi terhadap keberadaan industri semen nasional untuk mendukung pembangunan infrastruktur pendukung kegiatan ekonomi nasional. Disamping itu, industri semen nasional juga ditenggarai sedang menuju kearah struktur oligopolistik dengan konsentrasi industri yang terdiri dari hanya 3 group besar produsen semen, yaitu Semen Gresik, Holcim dan Indocement (KPPU, 2012)

4.     HOLCIM INDONESIA PASKA KRISIS MONETER ASIA DARI SUDUT PANDANG STRATEGI PERUSAHAAN

Salah satu pionir dari industri semen di Indonesia adalah PT. Semen Cibinong yang didirikan pada tahun 1971 (Holcim Indonesia, 2011). Namun, keberadaan PT. Semen Cibinong yang telah cukup lama tidak memberikan imunitas terhadap perusahaan dari pengaruh negatif krisis moneter yang terjadi dalam periode tahun 1997-1998 silam.

Tahun 2001 adalah tahun dimana Holcim melakukan akuisis terhadap Semen Cibinong. Akuisi tersebut dilakukan dengan membeli lebih dari 70% saham yang beredar (Swa, April 2006). Kondisi perekonomian Indonesia pada saat itu masih dipengaruhi oleh krisis moneter yang terjadi pada periode tahun 1997-1998.

Kondisi ekonomi yang masih belum kondusif,  warisan hutang yang besar ditambah dengan produktifitas karyawan yang tidak sesuai dengan standard Holcim Internasional menjadikan Holcim Indonesia (HI) masuk dalam katagori Chaos (Kurtz dan Snowden, 2003). Kondisi HI yang tidak jelas kasualitasnya tersebut membutuhkan sebuah intervensi untuk dapat menciptakan kestabilan.

Salah satu warisan yang “buruk” yang diwariskan dari perusahaan lama adalah kondisi demografis karyawan yang “tua” dengan tingkat produktivitas yang rendah. Langkah yang dilakukan management pada tahun 2002 adalah dengan cara meningkatkan gaji karyawan sebesar hampir dua kali lipat.

Langkah ini merupakan sebuah keputusan yang cepat (Fast Moving Decision) dengan tujuan untuk mendapatkan kepercayaan dan tentunya meningkatkan motivasi dan produktivitas. Strategi ini sesuai dengan apa yang dipaparkan oleh Eisenhardt (1989), bahwa dalam high velocity environment seperti yang dihadapi HI pada saat itu maka keputusan yang cepat dibutuhkan.

Namun pada kenyataanya yang terjadi sesudah kenaikan gaji tingkat produktivitas tetap rendah. Karyawan menerima kenaikan gaji tersebut sebagai sebuah kondisi “Taken for Granted” yang selayaknya mereka terima karena sekarang menjadi karyawan sebuah perusahaan asing.

Dalam kondisi “point no return” manajemen memutuskan menggunakan pendekatan yang berbeda, strategi yang dilakukan sesuai dengan yang dianjurkan oleh David Levy (1994) dimana dalam kondisi Chaos maka fleksibilitas dan adaptiness menjadi faktor yang penting. Langkah pertama yang dilakukan adalah dengan mengeluarkan program Employee Separation Program (ESP). ESP merupakan program dimana karyawan yang tergolong tidak produktif ditawarkan pensiun dini dengan pesangon yang menarik. Strategi ini berhasil dengan baik sehingga mampu 
mengurangi jumlah karyawan secara cukup signifikan.

Gambar 4. Pabrik Holcim Indonesia


Langkah berikutnya yang dilakukan adalah dengan memperkuat dan memperluas kompetensi inti (Chakravarthy, 1997. Dalam kondisi masih merugi HI menjalankan program Change Management yang intensif dengan biaya $ 3 juta pertahun sejak tahun 2004. Inisiatif penting yang dijalankan dalam Change Management adalah Leadership Developement progam untuk mengubah mindset dan perilaku karyawan, Organizational Performance Improvement (OPI) yang masuk dalam katagori Operational Excellence inisiatif, Rebranding dlsb.

Strategy Repeat Innovation sesuai dengan teori Charavathy (1997) juga dilakukan khususnya pada fungsi Sales dan Marketing. Pada tahun 2007 diluncurkan program sertifikasi Ahli Bangunan kepada para tukang bangunan dan juga meluncurkan Solusi Holcim yang bekerjasama sama dengan toko bangunan. Solusi inovatif ini berhasil terbukti dengan makin baiknya kondisi keuangan HI. Pada tahun 2008, HI membukukan keuntungan pertamakali sebesar Rp. 225  milyar dibandingkan dengan kerugian sebesar Rp. 150 milyar yang masih ditanggung pada tahun 2007.

Kemampuan HI dalam memilih strategi akan diuji pada tahun-tahun yang akan datang pada saat kondisi lingkungan berubah dari Chaos menjadi Complex dimana banyak pemain baru yang masuk termasuk dengan makin agresifnya pemain lama seperti pemimpin pasar Semen Indonesia (dulu semen Gresik Group), semen Bosowa dan juga pendatang baru semen Kupang.

5.     PENUTUP DAN KESIMPULAN

Kondisi lingkungan memberikan pengaruh yang besar terhadap organisasi (Hatch & Cunliffe, 2006, Thompson dkk., 2010), terlebih lagi dalam lingkungan yang complex dan chaos (Kurt & Snowden, 2003). Pemilihan strategi yang tepat dan eksekusi yang baik menjadi penentu keberhasilan perusahaan dalam mempertahankan atau meningkatkan posisinya dalam persaingan bisnis (Kurt & Snowden, 2003, Chakravarthy, 2007)

Paska akuisisi PT Semen Cibinong oleh Holcim, Holcim Indonesia mengalami masa Chaos selama hampir 8 tahun (2001 – 2008), dimana perusahaan mengambil langkah stratejik yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan pada saat itu. Namun, Holcim Indonesia juga terlihat mampu mengembangkan kapabilitas dan kemampuan inovasi dari perusahaan yang kemudian menjadi keunggulan kompetitif dari perusahaan pada saat ini.

Dari pembahasan diatas, terlihat bahwa kinerja perusahaan dipengaruhi langsung oleh kondisi lingkungan dimana perusahaan tersebut beroperasi. Khusus untuk industri semen yang membutuhkan investasi modal yang besar, dampak lingkungan, serta struktur industri yang cenderung bersifat oligopoli, maka dibutuhkan adanya strategi perusahaan yang bersifat dinamis dan mendukung pengembangan kemampuan inovasi dari perusahaan untuk meyakinkan tercapainya kinerja perusahaan yang berkesinambungan kedepannya.

Written by:
Eko Jatmiko Utomo &
Donny Prasetya
Mahasiswa S3 Strategic Management UI Angkatan 2012
 


REFERENSI

Chakravarthy, B., (1997). “A New Strategy Framework Coping with Turbulence”, Sloan Management Review, 38, 2, 62.
Eisenhardt, K.M., (1989). “Making Fast Strategic Decisions in High-Velocity Environment”,  Academy of Management Journal, 32, 3, 543 – 576.
Hatch, M.J.; & Cunliffe, A.L. (2006). Organization Theory: Modern, Symbolic, and Postmodern Perspectives. Oxford: Oxford University Press.
Hoskisson, R.E.; Lau, C.M.; & Wright, M., (2000). “Strategy in Emerging Economies”, Academy of Management Journal, 43, 3, 249 – 267.

Holcim Indonesia, (2011), “Delivering Value: 2011 Annual Report”, PT. Holcim Indonesia

Kim, W.C.; Mauborgne, R., (1999). “Creating New Market Space”, Harvard Business Review. Review.
KKPU, (2012), “Media Visit: KPPU Pantau Monopoli Semen”, www.kppu.go.id/id/media-visit-kppu-pantau-monopoli-semen accessed 1 March 2013
Kurtz, C.F.; & Snowden, D.J., (2003). “The New Dyanamic of Strategy: Sense-Making in a Complex and Complicated World”,  IBM System Journal,  42, 3, 462.
Levy, D., (1994). “Chaos Theory and Strategy: Theory, Application, and Managerial Implications”, Strategic Management Journal, 15,  167 – 178.
Selim, T. H., Salem, A. S., (2011), “Global Cement Industry: Competitive and Institutional Frameworks”, Journal of Strategic Management Education, Vol. 7, No. 3, pp 181-200

Thompson, A.A.; Strickland, A.J.; & Gamble, J.E., (2010). Crafting and Executing Strategy, The Quest for Competitive Advantage. McGraw Hill.

Tidak ada komentar: