27 Oktober 2014

SUSI PUDJIASTUTI: Cukup Lulus SMP Untuk Jadi Menteri (Perspektif tentang Pendidikan)

Cukup Lulus SMP untuk Jadi Menteri!

"Negara ini tidak menghargai pendidikan, lulusan SMP bisa jadi Menteri"
"Sekolah ngak perlu, lulusan SMP bisa membawahi Profesor dan Doktor!"

Meneruskan tulisan tadi pagi tentang attribute yang semrawut, terbukti banyak manusia Indonesia lebih suka melakukan penilaian berdasarkan apa yang tampak. Menilai berdasarkan "merk" yang disandang. Persis seperti yang saya lakukan puluhan tahun lalu dengan bersusah payah naik motor 1 jam pergi kedaerah Kopo di Bandung Selatan (dari Bandung Utara) "hanya" untuk mencari baju bermerk yang gagal ekspor karena cacat tapi merknya masih menempel dileher baju.

"Merk" dalam pikiran saya, dan pikiran saya tentang persepsi orang akan sebuah baju menggantikan nilai kualitas baju yang sesungguhnya. Baju yang "reject" karena berlubang atau jahitan agak mencong saya anggap tetap berkualitas TOP karena merk yang menempel.

Mencari Pemimpin (Misalnya Menteri) dipaksa mengikuti pola yang sama. Harus dengan tempelan merk2 tertentu. Bahkan tidak peduli kalau merk itu baru saja ditempel atau sengaja ditempelkan alias barang palsu.

Kualitas apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh seorang Pemimpin? Saya membaginya menjadi 2 hal: Kemampuan mempengaruhi orang dan kompetensi bekerja.

Kemampuan mempengaruhi orang (influence others) dibutuhkan karena menjadi pemimpin harus bisa mempengaruhi anggota tim, atasan, pelanggan, dan semua stakeholder agar berkomitmen untuk bekerja keras mencapai tujuan yang sudah disepakati.

Asal-usul kemampuan mempengaruhi dari mana? dari banyak variabel. Orang yang berkarakter dan karismatik mudah mempengaruhi orang lain. Orang yang inspiratif (role model) dan memiliki integrasi (walk the talk) juga mudah mempengaruhi orang untuk kemudian mengikuti dia. Orang yang berpengetahuan tinggi juga kerap mudah mempengaruhi orang lain.

Lalu dimana letaknya attribute yang dinamakan pendidikan itu? atau memang sekolah dan mendapatkan pendidikan tidak penting?

Banyak orang lupa atau memang tidak tahu bahwa Pengetahuan (knowledge) dan Kompetensi Kerja itu dua hal yang berbeda. Pengetahuan hanyalah 1/3 dari Kompetensi. 2 yang lain adalah Skill dan Attitude. Seorang kompeten dalam bekerja kalau lengkap KSAnya. Punya Knowledge, Skill dan Attitude dalam bekerja.

Tapi tetap penting dong, karena sekolah yang membangun Knowledge? Sebuah kesalahan pandang yang lain, membangun Knowledge tidak hanya dari sekolah (pendidikan formal) tapi bisa dilakukan dari banyak cara lain. Ibaratnya mau ke Bandung dari Jakarta. Lewat jalan Toll Cipularang memang mudah dan cepat, namun masih ada banyak cara lain untuk pergi ke Bandung. Bahkan kalau perlu jalan mundur juga bisa.

Manusia terkaya didunia (Bill Gate) tidak lulus kuliah. Manusia terkaya dunia lain dan sangat berpengaruh seperti Steve Jobs juga droup out kuliah. Yang jelas mereka sangat kompeten dan memiliki pengaruh yang luarbiasa sehingga layak disebut Pemimpin (Leader).

Jadi ngak perlu sekolah nih? Lha kalau tanpa sekolah bisa kompeten dan memiliki pengaruh yang luar biasa sebagai Pemimpin why not?
Sekolah bagi banyak orang dibutuhkan karena merupakan "a systematic way to build people knowledge". Sekolah merupakan jalan tol Purbalenyi yang mudah dan probabilitas sampai di Bandung lebih mudah diprediksi. Tapi ingat, not the only one.

Lha yang nulis note ini kenapa ambil sekolah S3?
Ini pertanyaan yang menarik. Menyitir diskusi dengan salah satu kawan kuliah di S3, penulis mengambil S3 karena mengejar salah satu attribute persepsi (palsu???) bagi sebagai besar manusia Indonesia, gelar Doktor. Sebuah attribute penting bagi bangsa ini, persis seperti yang menjadi percakapan panas saat ini. Supaya laku jadi konsultan dan trainer:)

Boleh kan?

BSD City malam hari
EU 4 U
271014

Tidak ada komentar: