Restoran ini sungguh unik, letaknya yang nylempit (tersembunyi) tidak mampu menghalangi orang untuk berbondong-bondong datang ketempat itu. Lokasinya sebenarnya kota banget, hanya sepelemparan batu dari kantor pusat Telkom di depan Gasibu yang merupakan tetangga dari Gedung Sate (Kantor Propinsi Jabar). Namun bagi yang belum pernah kesana sangat mungkin akan tersasar karena untuk masuk ke lokasi harus melewati gang selebar 1 meter sepanjang 30 meter untuk bisa sampai ke pintu depan resto.
Restoran ini sangat terkenal sejak jaman baheula, 20 tahun lalu saat aku masih kuliah ditingkat awal, resto ini sudah sangat terkenal dikalangan mahasiswa ITB dan sekitarnya. Bahkan, kebakaran6 bulan lalu yang menghanguskan rumah dan isinya tidak mampu menghalangi orang untuk datang walau harus makan menghadap dinding bekas kebakaran. Kalau diikutkan lomba Brand Loyalty dimajalah Swa sangat mungkin sekali akan menjadi top three selama puluhan tahun!.
Siang itu, aku dan istri menyempatkan diri untuk bernostalgia kesana, mumpung sedang ada di Bandung. Kebetulan ada satu spot parkir dipinggir jalan yang masih kosong. Sesudah mobil terparkir rapi bergegas kami menyebrang jalan dan memasuki lorong dengan dinding tinggi dikiri kanan. Kadang-kadang aku berfikir bahwa upaya untuk makan di resto ini bak Musa yang harus membelah laut dulu untuk mencapai tujuan he he he he....
Rehabilitasi paska kebakaran sudah selesai, walaupun masih pengab tanpa ventilasi yang memadai, furniture yang baru plus pengaturan kursi dan meja memperbesar daya tampung sebanyak 20%! Namun karena kami datang di jam makan siang tetap saja mata harus menjelajah keseluruh ruangan untuk mendapatkan kursi dan meja kosong. Di depan kasir, ada meja dengan 8 kursi hanya terisi oleh dua orang. Kami menghampiri meja tersebut dan dengan tersenyum kecil kami minta ijin untuk share meja dengan mereka yang sebelumnya sudah duduk disana.
Belum juga pesanan datang, dua pasang pelanggan datang bergabung dengan kami, mereka menduduki kursi kosong diantara kami dan pelanggan sebelumnya. Dilihat dari tampangnya mereka sepertinya anak2 kuliahan. Sejurus berikutnya dari mulut keempat orang yang baru datang asap bergumpal-gumpal keluar dari mulut mereka. Istriku yang duduk disebarang meja terlihat mengangkat alis, dari arah lirikan matanya aku bisa membaca bahwa dia terganggu dengan asap rokok itu. Persis disebelah kirinya adalah seorang gadis yang kalau dilihat dari tampangnya yang cukup imut tidak layak dan tidak pantas untuk jadi perokok mania (yang ini jelas asumsi kami pribadi he he he). Gerakan tubuh istriku yang menarik diri kebelakang tidak membuat mereka berhenti merokok.
Saat pesanan datang, mau ngak mau kami harus mendekat ke meja. "My goodness!" istriku berkata cukup kencang sambil menyibak asap rokok didepannya. Suaranya yang cukup keras mampu membetot perhatian, gadis perokok disampingnya memindahkan rokok dari tangan kanan ke tangan kiri. Menu masakan yang masuk katagori terlezat sedunia ini cukup membuat kami sejenak melupakan asap rokok yang menjajah privasi kami itu.
Saat pesanan kami sudah tandas, baru teringat kembali dengan rokok dan asapnya. Masih tersisa 2 batang rokok dari total 4 batang yang menyala terus menerus dari kursi disebelah kami.
"Duuuuuuuut"
Bunyi kentut yang pelan tapi mengintimidasi membumbung di angkasa!
Orang satu meja saling pandang dan lirik untuk mencari sumber energi kegelapan dan kebauan itu.
Muka muka eneg dan sebal memancar dari wajah wajah mereka.
Kami bangkit dan membayar kekasir.
'Ma, kamu tadi yang kentut ya?" aku berbisik kepada istriku saat sedang menyusuri lorong.
"Kalau rokok merupakan HAM maka KENTUT juga HAM pa", sahut istriku yang tidak menjawab pertanyaan WHO.
"Kentut kan bau dan menganggu ma", senyumku menggoda istriku.
"Apalagi asap rokok pa, belum pernah baca perokok pasif yang mati gara2 menghirup asap kali mereka pa".
"Bukannya merokok merupakan HAM?" aku melontarkan pertanyaan memancing.
"HAM itu berlaku saat tidak melanggar HAM orang lain", jawab istriku tegas.
'Maksudmu?"
"Sepanjang mereka merokok ditengah gurun pasir dan tidak ada kadal gurun pasir yang terganggu maka merokok merupakan hak mereka!".
Jawaban hiperbola istriku membuatku tertawa terbahak-bahak.
"Terus siapa yang tadi kentut" kejarku padanya.
"Ini jelas merupakan HAMku untuk mau jawab atau tidak!" ujar istriku sambil tersenyum misterius.
BSD City,
3 January 2011
Awal baru pada harapan baru
Eko Utomo untuk Anda yang menghargai HAM untuk tidak terganggu asap rokok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar