Kata orang, menentukan pilihan adalah hal yang gampang. Kata orang, manusia dituntut membuat pilihan dan mengambil 2000 keputusan setiap harinya. Kata orang, kualitas hidup ditentukan oleh seberapa baik pilihan yang kita pilih. Bahkan kata orang, seseorang pernah bilang bahwa hidup adalah pilihan.
Oke, I got it! but waiiiiiiit, jangan tanyakan bagaimana membuat pilihan dan mengambil keputusan kepada seseorang yang namanya Tesa. Segala macam kata orang tidak bakal mempan buat dia, karena pilihannya adalah:
1. Membiarkan gusinya makin bengkak dan sakit
2. Pergi ke klinik gigi
Untuk lebih membuat ruwet keadaan, biarkan saya tambahkan informasi pengalaman Tesa dengan dokter gigi. Tesa mendapatkan pengalaman pertamanya dengan gokter gigi pada saat dia harus mencabut gigi seri susunya 2 tahun yang lalu saat dia berusia 6 tahun. Dan hasilnya adalah ........... tangisan sepanjang 2 jam tanpa henti!
Sebuah pilihan yang sulit tentunya, dua buah pilihan yang berat dengan konsekuensi masing-masing. Membiarkan giginya makin bengkak dan sakit merajalela atau harus bertemu kembali dengan dokter gigi yang juga cukup menanamkan trauma di memorinya. Jelas pengambilan keputusan yang tidak kalah pentingnya bagi Tesa jika dibandingkan dengan kepusingan papanya akhir-akhir ini, tetap menjadi profesional atau enterpreneur.
"Mama ........ sakit", pagi itu Tesa kembali menunjukkan giginya dimana terlihat gusi yang bengkak.
"Sakit ya sayang .....", mama mengelus kepala anak sulungnya dengan penuh kasihan, empati terhadap sulitnya membuat keputusan.
"Mama ........ dokter gigi Smiling", sedikit pelo Tesa menyebutkan klinik gigi langganan mamanya.
"Tesa mau ke dokter gigi?" setengah terbelalak mama Tesa menunduk dan memandang lekat ke mata buah hatinya, sebersit rasa heran bercampur bangga bahwa anaknya akhirnya membuat keputusan.
"Mama daftarin Tesa dulu ya sayang ..... nanti sore kita ke klinik gigi".
***
"Bagaimana Tesa di klinik ma?" dirembang petang sang papa yang cemas akan trauma anak kesayangan menelpon istri dikeramaian jalan.
"Heboh pa ......", kalimatnya heboh tapi nada suara yang tenang dari sebrang seluler membuat sang papa lega.
"Heboh bagaimana?", kali ini kalimat tanyanya bernada rendah.
"Begitu giginya dicabut dan darahnya disumbat dengan kapas, Tesa kabur ke luar klinik"
"Trus?"
"Aku kejar-kejaran sama Tesa ditonton semua orang yang ada disitu sambil coba membujuk dia dan menjanjikan dia untuk beli donat".
"Donat larangan?" tanya sang papa sambil berkernyit.
"Gimana lagi, kondisi darurat", dari sebrang sang mama menjawab.
"Coba aku bicara sama Tesa ma"
" Hallo papa ............" suara yang riang disela isak tangis terdengar jernih.
" Hallo Tesa ...... Tesa lagi ada dimana?" pertanyaan favorit keluar.
" Tesa lagi ada di dokter gigi Tesa", jawaban yang melegakan, tidak ada trauma disana.
"Tesa ngapain di dokter gigi sayang?" sang papa coba eksplorasi lebih lanjut.
"Tesa cabut gigi ..... ompong" jawaban yang tambah melegakan, Tesa tahu konsekuensi
"Tesa suka ke dokter gigi" pertanyaan akhir cek apakah ada trauma yang terjadi.
"Suka ....", jawaban Tesa melegakan sang papa.
"Sampai mana pa", dari sebrang telpon kembali sang mama yang bicara.
"Sudah sampai Gading, tar kita ketemu di Cordoba ya"
"Ok, papa sudah buat keputusan belum?" pertanyaan maha penting kembali bergaung.
Hening sejenak ...........
"Hmmmmmm tar aku tak belajar dari Tesa, bagaimana membuat keputusan dari dua pilihan sulit".
2 Agustus 2011
BSD City of Decision
Eko Utomo untuk anda Decision Maker sejati
1 komentar:
Terima kasih sharingnya Om. Inspiratif. :)
Maaf numpang baca. He. Saya ga sengaja tau blog ini dari LinkedIn.
Salam kenal juga,
Neti, farmasi UI 2008.
Posting Komentar