06 Oktober 2013

HOW TO DEVELOP CONSULTANT COMPANY



OPTIMALIZING KNOWLEDGE MANAGEMENT TRANSFER TO BUILD CONSULTANCY FIRM’S COMPETITIVE ADVANTAGES: EXI MANAGEMENT SYSTEM (EMS) CONSULTING CASE

1.     RINGKASAN
Tujuan utama dan alat ukur keberhasilan sebuah perusahaan konsultan adalah kemampuan unntuk membantu client yang dilayani menjadi lebih baik dari sebelumnya (Weiss, 2003).

Untuk mampu mencapai tujuan tersebut maka perusahaan konsultan termasuk Exi Management System (EMS) harus mampu melakukan Knowledge Transfer (KT) dan Knowledge Use (KU) dengan komprehensif.

Faktor-faktor yang mempengaruhi proses Knowledge Transfer seperti stickiness (Szulanski, 2003) harus diperhatikan dan diminimalisir agar KT berlangsung sesuai dengan tujuan awal dan kemudian perbaikan kondisi client dapat tercapai.

EMS harus mampu membangun daya saing (Competitive Advantage) sebagai perusahaan konsultan yang hidup dalam Knowledge Industries dengan mengoptimalkan konsep-konsep yang ada didalam Knowledge Management (KM). Kemampuan untuk membangun daya saing dengan pendekatan KM diyakini akan membantu EMS bertahan dan berkembang dalam industri konsultansi di Indonesia.

2.     TINJAUAN TEORI KNOWLEDGE TRANSFER DALAM ORGANISASI

Perusahaan dituntut untuk selalu melakukan inovasi baik dari produk maupun servis yang dihasilkan. Dengan adanya produk dan servis yang selalu baru maka loyalitas pelanggan dapat selalu dijaga. Inovasi juga dibutuhkan untuk memperbarui cara perusahaan menjalankan organisasi. Dari hari kehari perusahaan dituntut untuk makin produktif namun juga makin efisien agar mampu bertahan dan memenangkan persaingan.

Agar selalu dapat menghasikan inovasi, maka perusahaan harus membangun sebuah organisasi dimana Knowledge Creation (KC) dan Knowledge Transfer (KT) dapat terjadi dengan bebas. Nonaka (1994) menyatakan bahwa Inovasi adalah salah satu hasil penting dari organisasi yang banyak melakukan proses KC dan KT.

Proses KC dan KT dalam organisasi terbangun apabila banyak terjadi transfer dan perubahan Tacit Knowledge (TK) menjadi Explicit Knowledge (EK) baik dalam diri sebuah individu maupun antar individu dalam organisasi. Tacit Knowledge adalah pengetahuan yang berada dalam diri seseorang yang ditunjukkan dalam tindakan sehari-hari yang dilakukan dengan penuh komitmen. Sementara Explicit Knowledge adalah pengetahuan yang sudah dibakukan dan mudah diajarkan ke pihak lain (Michael Polanyi dikutip dalam Nonaka, 1994).

Nonaka (1994) mengusulkan sebuah model yang akan membantu terjadinya proses KC  dengan maksimal dalam sebuah organisasi. Model ini terkenal dengan nama Model SECI yang merupakan singkatan dari Socialization, Externalization, Combination dan Internalization.

Model SECI merupakan sebuah model bagaimana proses dari TK ke EK dan sebaliknya terjadi dalam sebuah organisasi. Socialization adalah proses yang dibutuhkan agar TK seorang karyawan dapat ditransfer menjadi TK bagi karyawan lain. Externalization adalah proses bagaimana TK karyawan dirubah atapun ditranfer menjadi EK yang dapat dimanfaatkan oleh karyawan yang lain. Combination adalah proses EK menjadi EK. Sementara Internalization adalah proses EK menjadi TK.

Proses perpindahan pengetahuan dan best practice dalam sebuah perusahaan bukanlah sebuah proses yang mudah dan alami. Perpindahan pengetahuan dalam organisasi biasanya berlangsung lambat, sulit dan tidak lengkap. Kondisi ini dinamakan sebagai fenomena Sticky Knowledge (Szulanski, 2003).

Selama ini, banyak pihak berfikir bahwa proses perpindahan pengetahuan sulit terjadi dikarenakan karena kurangnya motivasi dari pihak sumber informasi (Source). Szulanski (2003) menemukan bahwa hal tersebut tidak semata-mata karena sumber informasi, namun karena adanya dua faktor yang lain yaitu faktor penerima informasi (recipient) dan faktor konteks yang ada pada saat proses transfer terjadi.

Szulanski (2003) menyatakan bahwa ada 4 tahap dalam KT. Keempat tahap tersebut dalah Initiating, Implementing, Ramp Up dan Integrating. Masing-masing tahap ini memiliki faktor yang berbeda-beda yang menyebabkan Stickiness terjadi.

Tiga faktor yang paling utama yang menyebabkan Stickiness adalah Absortive Capacity dari penerima, Causal Ambiguity dan Quality of Relationship antara sumber dan penerima. Adapun faktor2 yang lain adalah Unprove Knowledge, Source Lack of Motivation, Source not Perceive as Reliable, Recipient Lack of Motivation, Recipient Lack of Retentive Capacity dan Barren Organizational Contex. Agar proses KT dapat berjalan dengan optimal maka faktor Stickiness yang muncul dalam masing-masing tahap harus diminimalisir (Szulanski, 2003).

3.     PERAN KONSULTAN DALAM KNOWLEDGE TRANSFER PERUSAHAAN

Knowledge Transfer (KT) dalam sebuah perusahaan tidak hanya dapat dilakukan secara internal antar anggota dan individu dalam perusahaan. KT juga dapat dilakukan dengan mengundang konsultan dari luar sebagai sumber pengetahuan. Keberadaan konsultan yang membawa keahlian dan pengalaman yang mereka miliki diyakini dapat meningkatkan  Knowledge Creation (KC) dalam perusahaan.

Kwan dan Cheung (2006) dalam studi literatur yang mereka lakukan membangun sebuah model bagaimana KT terjadi dalam organisasi. Model yang mereka bangun memiliki empat tahap yaitu Motivation, Matching, Implementation dan Retention.

Motivation muncul apabila ditemukan gap antara pengetahuan yang dimiliki dengan pengetahuan yang dibutuhkan. Tahap selanjutnya adalah Matching, yaitu tahap untuk mencari sumber pengetahuan yang dibutuhkan. Sumber pengetahuan tersebut bisa dari dalam maupun dari luar. Dalam tahap inilah konsultan dapat berperan sebagai sumber dari luar.

Secara umum tugas dari konsultan adalah membantu dan memperbaiki kondisi client (Weiss, 2003 dan Kakabadse dkk., 2006). Dalam proses untuk memperbaiki kondisi client inilah proses Knowledge Transfer terjadi. Konsultan harus memperhitungkan dan mengupayakan agar Stickiness yang muncul dalam proses transfer (Szulanski, 2003) dapat diminimalkan sehingga tujuan dapat tercapai.

Weiss (2003) menyatakan bahwa pembangunan hubungan antara konsultan dan client dibangun melalui serangkaian tahapan. Tahapan tersebut adalah: Share Values, Relationship, Conceptual Agreement, Proposal Accepted, Implementation dan Result. Weiss menekankan bahwa tahapan Relationship merupakan tahapan yang penting dalam proses konsultansi. Kondisi ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Szulanski (2003) bahwa kualitas hubungan (Quality of Relationship) menjadi salah satu faktor terpenting dalam keberhasilan KT.

4.     INDUSTRI KONSULTANSI DAN KEUNGGULAN BERSAING

Industri Konsultansi adalah merupakan salah satu dari tiga industri yang dapat dinamakan sebagai Knowledge Industries (Berry dan Oakley, 1993). Industri lain yang termasuk dalam Knowledge Industries (KI) adalah Training dan Education.

Menurut Berry dan Oakley (1993) ada tiga hal utama dalam Knowledge Industries yaitu: Knowledge Creation, Praxis dan Knowledge Aplication. Knowledge Creation dilakukan dengan membangun teori yang dihubungkan dengan dunia nyata. Praxis diartikan sebagai penggabungan antara teori dan action, sedangkan Knowledge Application adalah penerapan teori untuk menyelesaikan masalah yang ada dalam organisasi.

Perusahaan konsultansi berperan penting dalam ketiga dasar ini khususnya dalam Praxis. Dari sini terlihat bahwa proses Knowledge Management sangat penting dalam industri konsultansi. Knowledge bagi industri lain merupakan salah satu alat untuk membangun daya saing sedangkan bagi industri konsultansi, knowledge merupakan satu-satunya alat untuk membangun daya saing.

Berry dan Oakley (1993) menyatakan secara populer bahwa ada tiga distinctive competence dalam perusahaan konsultan yaitu: Brains, Grey Heirs dan Procedures. Brains merupakan analogi dari Expertise (keahlian) yang harus dimiliki oleh konsultan. Sementara Grey Heirs adalah Experience (pengalaman) yang terakumulasi dalam perusahaan konsultan yang akan membantu memberikan perspektif dalam penyelesaian masalah client. Sedangkan Procedure (Efficiency) adalah bagaimana konsultan mampu menciptakan atau memperbaiki cara kerja client sehingga mampu lebih efisien dan produktif.

Knowledge Creation menjadi alat yang penting dalam membangun Brains dan Grey Heirs, sedangkan Knowledge Transfer dibutuhkan dalam membangun kompentensi Procedure yang akan menjadi perceived value dari kacamata clients.

Berry dan Oakley (1993) membagi perusahaan konsultan dalam lima tipologi yaitu: Mental Adventures, Strategic Navigators, Friendly Co-pilot, System Architect dan Management Physician. Tipologi yang diambil sebuah perusahaan konsultan akan mempengaruhi positioning dan juga pemilihan strategi serta bagaimana konsultan membangun daya saingnya.

5.     MEMBANGUN DAYA SAING PT. EXI MANAGEMENT SYSTEM (EMS) BERBASISKAN KNOWLEDGE MANAGEMENT CONCEPT

EMS yang didirikan pada tahun 2011 memiliki tujuan untuk turut serta dalam membangun kapabilitas nasional (http://www.eximanagement.com/about). Untuk dapat berkontribusi sesuai dengan tujuan tersebut maka EMS memiliki misi dengan cara mendeliver service dengan kualitas yang baik disertai dengan pembangunan kompetensi dan kapabilitas dari karyawan client.

Untuk mencapai tujuan tersebut, dengan menggunakan hasil penelitian dari Nonaka (1994), EMS dalam setiap engagement menjalankan proses knowledge creation dan knowledge transfer yang difasilitasi oleh model SECI yang dilakukan secara intensif.  Konsultan EMS secara rutin akan berada di kantor client dan melakukan interaksi yang intensif pula seperti melakukan proses Coaching, Sharing Session, Training dan proses-proses yang lain.

Keseluruhan proses tersebut khususnya proses Coaching terhadap karyawan internal client memastikan bahwa pembangunan kompetensi terjadi dan client akan mampu melanjutkan inisitif yang sudah dieksekusi dengan inisiatif dan program mereka sendiri.

Management EMS dalam melakukan proses konsultansi dan engagement dengan client juga memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi knowledge creation dan knowledge transfer seperti yang diteliti oleh Szulanski (2003). Faktor seperti Quality of Relationship dan Realiable Perceived menjadi faktor yang diperhatikan secara khusus agar stickiness dapat dikurangi.

Hal-hal tersebut sangat diperlukan karena EMS ditinjau dari tipologi Berry dan Oakley (1993) mengambil strategi sebagai Friendly Co-pilot. Dalam mengeksekusi sebuah inisiatif, intervensi atau program, konsultan EMS bertindak lebih sebagai Co-pilot dan bukan sebagai Pilot. Karyawan internal  yang akan merancang, membangun dan mengeksekusi inisiatif dengan bantuan dan coaching dari konsultan.

6.     PENUTUP DAN KESIMPULAN

Proses Knowledge Creation dan Knowledge Transfer menjadi proses yang penting dalam pembangunan daya saing bagi EMS sebagai perusahaan konsultan. EMS harus melihat dengan seksama faktor2 yang mempengaruhi proses KC dan KT untuk dapat meminimalkan faktor Stickiness yang muncul.

Kemampuan EMS dalam menciptakan persepsi sebagai konsultan yang reliable serta kemampuan membangun hubungan yang baik akan menjadi kunci utama keberhasilan proses engagement yang dilakukan antara EMS dan client.


REFERENSI

Berry, A.; & Oakley, K., (1993). “Consultancies: Agent of Organizational Development – Part 1”, Leadership and Organization Development Journal, 14, 5.
Kakabadse, N.; Louchart, E.; & Kakabadse, A., (2006). “Consultant’s Role: a Qualitative Inquiry from the Consultant’s Perspective”, Journal of Management Development, 25, 5.
Kwan, M.; & Cheung, P., (2006). “The Knowledge Transfer Process: from Field Studies to Technology Development”, Journal of Database Management,  17, 1.
Nonaka, I., (1994). “A Dynamic Theory of Knowledge Management Creation”, Organization Science, 5, 1.
Szulansky, G., (2003). Sticky Knowledge: Barrier to Knowing in the Firm. London: SAGE Publications.
Weiss, A., (2003). Organizational Consulting. New Jersey: John Wiley and Sons.

Tidak ada komentar: