OPTIMALIZING
KNOWLEDGE MANAGEMENT TRANSFER TO BUILD CONSULTANCY FIRM’S COMPETITIVE
ADVANTAGES: EXI MANAGEMENT SYSTEM (EMS) CONSULTING CASE
1.
RINGKASAN
Tujuan utama dan alat ukur
keberhasilan sebuah perusahaan konsultan adalah kemampuan unntuk membantu client yang dilayani menjadi lebih baik
dari sebelumnya (Weiss, 2003).
Untuk mampu mencapai tujuan
tersebut maka perusahaan konsultan termasuk Exi Management System (EMS) harus
mampu melakukan Knowledge Transfer (KT) dan Knowledge Use (KU) dengan
komprehensif.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
proses Knowledge Transfer seperti stickiness (Szulanski, 2003) harus
diperhatikan dan diminimalisir agar KT berlangsung sesuai dengan tujuan awal
dan kemudian perbaikan kondisi client
dapat tercapai.
EMS harus mampu membangun daya
saing (Competitive Advantage) sebagai perusahaan konsultan yang hidup dalam
Knowledge Industries dengan mengoptimalkan konsep-konsep yang ada didalam
Knowledge Management (KM). Kemampuan untuk membangun daya saing dengan
pendekatan KM diyakini akan membantu EMS bertahan dan berkembang dalam industri
konsultansi di Indonesia.
2. TINJAUAN
TEORI KNOWLEDGE TRANSFER DALAM ORGANISASI
Perusahaan dituntut untuk selalu
melakukan inovasi baik dari produk maupun servis yang dihasilkan. Dengan adanya
produk dan servis yang selalu baru maka loyalitas pelanggan dapat selalu
dijaga. Inovasi juga dibutuhkan untuk memperbarui cara perusahaan menjalankan
organisasi. Dari hari kehari perusahaan dituntut untuk makin produktif namun
juga makin efisien agar mampu bertahan dan memenangkan persaingan.
Agar selalu dapat menghasikan
inovasi, maka perusahaan harus membangun sebuah organisasi dimana Knowledge
Creation (KC) dan Knowledge Transfer (KT) dapat terjadi dengan bebas. Nonaka
(1994) menyatakan bahwa Inovasi adalah salah satu hasil penting dari organisasi
yang banyak melakukan proses KC dan KT.
Proses KC dan KT dalam organisasi
terbangun apabila banyak terjadi transfer dan perubahan Tacit Knowledge (TK)
menjadi Explicit Knowledge (EK) baik dalam diri sebuah individu maupun antar
individu dalam organisasi. Tacit
Knowledge adalah pengetahuan yang berada dalam diri seseorang yang
ditunjukkan dalam tindakan sehari-hari yang dilakukan dengan penuh komitmen.
Sementara Explicit Knowledge adalah
pengetahuan yang sudah dibakukan dan mudah diajarkan ke pihak lain (Michael
Polanyi dikutip dalam Nonaka, 1994).
Nonaka (1994) mengusulkan sebuah model
yang akan membantu terjadinya proses KC dengan maksimal dalam sebuah organisasi. Model
ini terkenal dengan nama Model SECI yang merupakan singkatan dari Socialization, Externalization, Combination
dan Internalization.
Model SECI merupakan sebuah model
bagaimana proses dari TK ke EK dan sebaliknya terjadi dalam sebuah organisasi. Socialization adalah proses yang
dibutuhkan agar TK seorang karyawan dapat ditransfer menjadi TK bagi karyawan
lain. Externalization adalah proses
bagaimana TK karyawan dirubah atapun ditranfer menjadi EK yang dapat dimanfaatkan
oleh karyawan yang lain. Combination
adalah proses EK menjadi EK. Sementara Internalization
adalah proses EK menjadi TK.
Proses perpindahan pengetahuan dan best practice dalam sebuah perusahaan
bukanlah sebuah proses yang mudah dan alami. Perpindahan pengetahuan dalam
organisasi biasanya berlangsung lambat, sulit dan tidak lengkap. Kondisi ini dinamakan
sebagai fenomena Sticky Knowledge
(Szulanski, 2003).
Selama ini, banyak pihak berfikir
bahwa proses perpindahan pengetahuan sulit terjadi dikarenakan karena kurangnya
motivasi dari pihak sumber informasi (Source). Szulanski (2003) menemukan bahwa
hal tersebut tidak semata-mata karena sumber informasi, namun karena adanya dua
faktor yang lain yaitu faktor penerima informasi (recipient) dan faktor konteks
yang ada pada saat proses transfer terjadi.
Szulanski (2003) menyatakan bahwa
ada 4 tahap dalam KT. Keempat tahap tersebut dalah Initiating, Implementing, Ramp Up dan Integrating. Masing-masing tahap ini memiliki faktor yang berbeda-beda
yang menyebabkan Stickiness terjadi.
Tiga faktor yang paling utama yang
menyebabkan Stickiness adalah Absortive Capacity dari penerima, Causal Ambiguity dan Quality of Relationship antara sumber
dan penerima. Adapun faktor2 yang lain adalah Unprove Knowledge, Source Lack of Motivation, Source not Perceive as
Reliable, Recipient Lack of Motivation, Recipient Lack of Retentive Capacity
dan Barren Organizational Contex. Agar
proses KT dapat berjalan dengan optimal maka faktor Stickiness yang muncul dalam masing-masing tahap harus
diminimalisir (Szulanski, 2003).
3. PERAN
KONSULTAN DALAM KNOWLEDGE TRANSFER PERUSAHAAN
Knowledge Transfer (KT) dalam
sebuah perusahaan tidak hanya dapat dilakukan secara internal antar anggota dan
individu dalam perusahaan. KT juga dapat dilakukan dengan mengundang konsultan
dari luar sebagai sumber pengetahuan. Keberadaan konsultan yang membawa
keahlian dan pengalaman yang mereka miliki diyakini dapat meningkatkan Knowledge Creation (KC) dalam perusahaan.
Kwan dan Cheung (2006) dalam studi
literatur yang mereka lakukan membangun sebuah model bagaimana KT terjadi dalam
organisasi. Model yang mereka bangun memiliki empat tahap yaitu Motivation, Matching, Implementation dan
Retention.
Motivation
muncul apabila ditemukan gap antara pengetahuan yang dimiliki dengan
pengetahuan yang dibutuhkan. Tahap selanjutnya adalah Matching, yaitu tahap untuk mencari sumber pengetahuan yang
dibutuhkan. Sumber pengetahuan tersebut bisa dari dalam maupun dari luar. Dalam
tahap inilah konsultan dapat berperan sebagai sumber dari luar.
Secara umum tugas dari konsultan
adalah membantu dan memperbaiki kondisi client (Weiss, 2003 dan Kakabadse dkk.,
2006). Dalam proses untuk memperbaiki kondisi client inilah proses Knowledge Transfer terjadi. Konsultan
harus memperhitungkan dan mengupayakan agar Stickiness
yang muncul dalam proses transfer (Szulanski, 2003) dapat diminimalkan sehingga
tujuan dapat tercapai.
Weiss (2003) menyatakan bahwa
pembangunan hubungan antara konsultan dan client
dibangun melalui serangkaian tahapan. Tahapan tersebut adalah: Share Values, Relationship, Conceptual
Agreement, Proposal Accepted, Implementation dan Result. Weiss menekankan bahwa tahapan Relationship merupakan
tahapan yang penting dalam proses konsultansi. Kondisi ini sejalan dengan yang
dikemukakan oleh Szulanski (2003) bahwa kualitas hubungan (Quality of Relationship) menjadi salah satu faktor terpenting dalam
keberhasilan KT.
4. INDUSTRI
KONSULTANSI DAN KEUNGGULAN BERSAING
Industri Konsultansi adalah merupakan
salah satu dari tiga industri yang dapat dinamakan sebagai Knowledge Industries (Berry dan Oakley, 1993). Industri lain yang
termasuk dalam Knowledge Industries
(KI) adalah Training dan Education.
Menurut Berry dan Oakley (1993) ada
tiga hal utama dalam Knowledge Industries
yaitu: Knowledge Creation, Praxis dan
Knowledge Aplication. Knowledge Creation
dilakukan dengan membangun teori yang dihubungkan dengan dunia nyata. Praxis diartikan sebagai penggabungan
antara teori dan action, sedangkan Knowledge
Application adalah penerapan teori untuk menyelesaikan masalah yang ada
dalam organisasi.
Perusahaan konsultansi berperan
penting dalam ketiga dasar ini khususnya dalam Praxis. Dari sini terlihat bahwa proses Knowledge Management sangat penting dalam industri konsultansi. Knowledge bagi industri lain merupakan
salah satu alat untuk membangun daya saing sedangkan bagi industri konsultansi,
knowledge merupakan satu-satunya alat untuk membangun daya saing.
Berry dan Oakley (1993) menyatakan
secara populer bahwa ada tiga distinctive competence dalam perusahaan konsultan
yaitu: Brains, Grey Heirs dan Procedures. Brains merupakan analogi dari Expertise (keahlian) yang harus
dimiliki oleh konsultan. Sementara Grey
Heirs adalah Experience (pengalaman) yang terakumulasi dalam perusahaan
konsultan yang akan membantu memberikan perspektif dalam penyelesaian masalah
client. Sedangkan Procedure
(Efficiency) adalah bagaimana konsultan mampu menciptakan atau memperbaiki cara
kerja client sehingga mampu lebih efisien dan produktif.
Knowledge
Creation menjadi alat yang penting dalam membangun Brains dan Grey Heirs, sedangkan Knowledge
Transfer dibutuhkan dalam membangun kompentensi Procedure yang akan menjadi perceived
value dari kacamata clients.
Berry dan Oakley (1993) membagi
perusahaan konsultan dalam lima tipologi yaitu: Mental Adventures, Strategic Navigators, Friendly Co-pilot, System
Architect dan Management Physician.
Tipologi yang diambil sebuah perusahaan konsultan akan mempengaruhi positioning
dan juga pemilihan strategi serta bagaimana konsultan membangun daya saingnya.
5. MEMBANGUN
DAYA SAING PT. EXI MANAGEMENT SYSTEM (EMS) BERBASISKAN KNOWLEDGE MANAGEMENT
CONCEPT
EMS yang didirikan pada tahun 2011
memiliki tujuan untuk turut serta dalam membangun kapabilitas nasional (http://www.eximanagement.com/about).
Untuk dapat berkontribusi sesuai dengan tujuan tersebut maka EMS memiliki misi
dengan cara mendeliver service dengan kualitas yang baik disertai dengan
pembangunan kompetensi dan kapabilitas dari karyawan client.
Untuk mencapai tujuan tersebut,
dengan menggunakan hasil penelitian dari Nonaka (1994), EMS dalam setiap engagement menjalankan proses knowledge creation dan knowledge transfer yang difasilitasi
oleh model SECI yang dilakukan secara intensif.
Konsultan EMS secara rutin akan berada di kantor client dan melakukan interaksi yang intensif pula seperti melakukan
proses Coaching, Sharing Session, Training dan proses-proses yang lain.
Keseluruhan proses tersebut
khususnya proses Coaching terhadap karyawan internal client memastikan bahwa pembangunan kompetensi terjadi dan client akan mampu melanjutkan inisitif
yang sudah dieksekusi dengan inisiatif dan program mereka sendiri.
Management EMS dalam melakukan proses
konsultansi dan engagement dengan client juga memperhatikan faktor-faktor
yang mempengaruhi knowledge creation
dan knowledge transfer seperti yang
diteliti oleh Szulanski (2003). Faktor seperti Quality of Relationship dan Realiable
Perceived menjadi faktor yang diperhatikan secara khusus agar stickiness dapat dikurangi.
Hal-hal tersebut sangat diperlukan
karena EMS ditinjau dari tipologi Berry dan Oakley (1993) mengambil strategi
sebagai Friendly Co-pilot. Dalam mengeksekusi sebuah inisiatif, intervensi atau
program, konsultan EMS bertindak lebih sebagai Co-pilot dan bukan sebagai
Pilot. Karyawan internal yang akan merancang,
membangun dan mengeksekusi inisiatif dengan bantuan dan coaching dari
konsultan.
6. PENUTUP
DAN KESIMPULAN
Proses Knowledge Creation dan
Knowledge Transfer menjadi proses yang penting dalam pembangunan daya saing
bagi EMS sebagai perusahaan konsultan. EMS harus melihat dengan seksama faktor2
yang mempengaruhi proses KC dan KT untuk dapat meminimalkan faktor Stickiness
yang muncul.
Kemampuan EMS dalam menciptakan
persepsi sebagai konsultan yang reliable
serta kemampuan membangun hubungan yang
baik akan menjadi kunci utama keberhasilan proses engagement yang dilakukan
antara EMS dan client.
REFERENSI
Berry, A.; & Oakley, K., (1993). “Consultancies:
Agent of Organizational Development – Part 1”, Leadership and Organization
Development Journal, 14, 5.
Kakabadse, N.; Louchart, E.; &
Kakabadse, A., (2006). “Consultant’s Role: a Qualitative Inquiry from the
Consultant’s Perspective”, Journal of Management Development, 25, 5.
Kwan, M.; & Cheung, P., (2006). “The
Knowledge Transfer Process: from Field Studies to Technology Development”, Journal
of Database Management, 17, 1.
Nonaka, I., (1994). “A Dynamic Theory of
Knowledge Management Creation”, Organization Science, 5, 1.
Szulansky,
G., (2003). Sticky Knowledge: Barrier to Knowing in the Firm. London:
SAGE Publications.
Weiss, A.,
(2003). Organizational Consulting. New Jersey: John Wiley and Sons.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar