“The challenge of leadership is to
be strong, but not rude; be kind, but not weak; be bold, but not bully; be
thoughtful, but not lazy; be humble, but not timid; be proud, but not arrogant;
have humor, but without folly.”
Jim Rohn |
Pada Sebuah Ruangan Training
“Pak Eko, departemen saya kurang perform karena pengaruh dari kinerja departmen
lain dan bukan semata-mata karena kami yang kurang bekerja keras”, Toni manajer
bagian operasi menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pernyataan saya didepan
kelas bahwa manusia unggul (Excellence People) adalah manusia Cause yang meletakkan
tanggungjawab pada diri sendiri terhadap segala sesuatu termasuk kegagalan dan
kinerja dibawah target.
“Apakah Anda dan tim Anda sudah masuk katagori mereka yang memiliki
kinerja unggul mas Toni?” saya bertanya kepadanya.
“Pak Eko, seperti yang kita ketahui bersama, proses bisnis didivisi
operasi merupakan proses yang saling berkaitan, tanpa input dan kinerja yang
baik dari departmen lain kami tidak bisa maksimal”, Toni tetap bersikeras
meletakkan tanggungjawab ketidakberhasilan timnya kepihak luar.
“Mas Toni, apakah anda dan tim anda sudah sangat unggul dan hebat
sehingga tidak ada ruang perbaikan yang lain sehingga jeleknya kinerja tim anda
adalah karena pihak lain?”, sebagai fasilitator saya mencoba untuk membuka
perspektif baru bagi Toni.
“Pak Eko, apakah kita bisa menjadi hebat dan berprestasi tanpa dukungan
dari pihak lain pak?”, kali ini kengototan Toni turun kadarnya, dari sekedar
mencari kambing hitam menjadi kambing putih yang takut kelunturan warna hitam
dari kambing yang lain.
“Mas Toni, selagi anda dan tim anda belum bisa dikatagorikan sebagai
pemimpin dan tim yang hebat, energi kalian akan jauh lebih produktif
dipergunakan untuk melakukan perbaikan dibandingkan dengan mencari-cari
kesalahan pada proses bisnis dan orang lain”.
+++++
Membangun Kompetensi Kepemimpinan
Banyak orang berfikir bahwa
membangun kompetensi kepemimpinan seperti menggoreng ayam. Daging ayam yang
dipotong tinggal dimasukkan ke penggorengan, ditunggu sebentar dan langsung
bisa dinikmati. Sebuah proses instan yang mudah dan cepat dilakukan.
Kalau logika dan analogi ini yang
dipakai maka dunia (termasuk Indonesia) seharusnya memiliki pemimpin yang
berlimpah. Kenyataannya disegala penjuru dunia terlebih di Indonesia kekurangan
pemimpin yang memiliki kompetensi kepemimpinan yang mumpuni. Yang ada adalah
pemimpin instan yang dibangun diatas pondasi kompetensi kepemimpinan yang rapuh
dan langsung roboh saat gelombang masalah datang.
Membangun kompetensi kepemimpinan
lebih cocok dianalogikan dengan membangun istana. Pemilihan lokasi, gambar
design, pemilihan kontraktor, pemilihan material yang dipergunakan, proses
pembangunan, proses finishing dan banyak hal lain yang harus dilakukan sebelum
istana yang diimpikan benar-benar mewujud sesuai dengan impian. Semuanya butuh
keuletan, kesabaran dan ketekunan untuk membangunnya.
Tingkatan Kepemimpinan
Jim Collins dalam bukunya Good to
Great membagi tingkat kepemimpinan dalam 5 tingkat, saya akan sajikan dalam
versi yang lebih sederhana:
1. Self
Effectiveness
2. Team
Effectiveness
3. Cross
Effectiveness
4. Charismatic
Leader
5. Legacy
Leader
Membangun kompetensi kepemimpinan
harus dimulai dari level yang paling dasar yaitu Self Effectiveness. Seorang
pemimpin haruslah sebuah pribadi yang mampu dan bertanggungjawab menyelesaikan
tugas dan tanggung jawab pribadinya.
Tingkat selanjutnya adalah Team
Effectiveness, sebuah tingkat dimana seorang pemimpin yang selain effektif
terhadap diri sendiri juga mampu memimpin dan memberdayakan anggota tim yang
dipimpinnya agar menjadi tim yang kuat dan hebat.
Tingkat ketiga Cross Effectiveness
adalah tingkat kepemimpinan yang sesudah lulus tingkat satu dan dua mampu untuk
menembus batas posisi, jabatan, tanggungjawab, departmen sehingga mampu
mempengaruhi dan membantu pihak lain diluar anggota tim untuk menjadi lebih
baik dan produtif.
Tingkat keempat Charismatic
Leader adalah pemimpin yang secara cepat mampu mempengaruhi siapapun yang
berada didekatnya.
Tingkat tertinggi, Legacy Leader
adalah pemimpin yang mampu mewariskan organisasi yang tertata rapi dan unggul,
plus orang-orang hebat hasil sentuhan tangannya.
Kembali pada dialog yang terjadi
diruangan training diawal artikel ini. Banyak pemimpin “merasa” bahwa menjadi
pemimpin bisa langsung loncat kelevel tiga tanpa perlu melewati level 1 dan level
2. Alih-alih menjadi pemimpin level 3 sesungguhnya yang terjadi malah menjadi
pemimpin yang medioker (tanggung) dan saat terjadi masalah kemudian menuding
pihak lain sebagai penyebabnya.
Anda berada dilevel mana sekarang?
Eko Jatmiko Utomo (ekoutomo.ems1@yahoo.co.id)
Konsultan & Praktisi HR dan Leadership
Development
Saat ini sedang mengambil Doctoral Degree di S3 UI
jurusan Strategic Management
Pengurus Perhapi, lulusan jurusan Teknik
Pertambangan ITB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar