“BAGAIMANA
PEMIMPIN PERUSAHAAN TAMBANG MEMBUAT DAN MENGAMBIL KEPUTUSAN BISNIS STRATEJIK DI
LINGKUNGAN BISNIS YANG KOMPLEK DAN TIDAK MENENTU”
RINGKASAN
Lingkungan
bisnis pada industri pertambangan di Indonesia dipengaruhi oleh banyak faktor
yang saling berhubungan. Faktor-faktor seperti lingkungan, lembaga sosial masyarakat
lingkungan, peraturan pemerintah yang terkait dengan proses penambangan, harga
komoditas hasil tambang yang berubah cepat serta dinamika hubungan perusahaan
dengan masyarakat sekitar, menuntut perusahaan dan pemimpinnya untuk mampu
secara cepat menyesuaikan diri dengan dinamika yang ada.
Ketidakmampuan
dan keterlambatan untuk menyesuaikan diri akan mengakibatkan perusahaan
kehilangan keunggulan bersaing dan dapat membahayakan kelangsungan hidup
perusahaan (Teece dkk., 1997).
Hambrict
dan Mason (1984) menyatakan bahwa fungsi pembuatan
keputusan stratejik dan kinerja
perusahaan merupakan refleksi dari karakter dan kompetensi dari para
pimpinan tertingginya. Kemampuan pemimpin dalam membuat keputusan stratejik
(strategic decison) sangat dipengaruhi oleh karakteristik yang dimiliki. Hitt dan Taylor (1991) menemukan bahwa karakteristik
seperti demografi, kognitif dan kepribadian akan menentukan bagaimana keputusan
stratejik tersebut dibuat.
Makalah
ini bertujuan menyajikan teori dan aplikasi tentang bagaimana perusahaan,
khususnya pemimpin organisasi membuat keputusan stratejik (leadership skill)
dalam lingkungan bisnis yang komplek.
Industri
pertambangan di Indonesia termasuk dalam industri yang dapat digolongkan
sebagai industri yang komplek (BMI, 2013), sehingga cara pengambilan keputusan
stratejik juga harus menggunakan konsep yang berbeda dibandingkan dengan konsep
pengambilan keputusan stratejik pada industri yang relatif stabil dan tidak kompleks.
Dengan
demikian maka pengetahuan tentang bagaimana pemimpin tertinggi perusahaan
tambang mengambil keputusan stratejik yang tepat, dalam lingkungan bisnis yang
komplek akan menjadi penting dan bermanfaat baik bagi dunia pengetahuan maupun
bagi praktisi bisnis khususnya di dunia pertambangan Indonesia.
LINGKUNGAN BISNIS YANG KOMPLEK (Complex Business Environment)
Kurtz
dan Snowden (2003) mendefinisikan bahwa kondisi komplek sebagai kondisi dimana
hubungan sebab dan akibat tidak berulang. Dengan demikian pemahaman terhadap penyebab
tidak dapat dijadikan referensi untuk memprediksi apa yang akan muncul sebagai
akibatnya.
Lebih
lanjut lagi, Kurt dan Snowden menyatakan bahwa lingkungan bisnis dapat dibagi
menjadi 4 kondisi (domain) sebagai fungsi dari dimensi keteraturan dan
kompleksitas. Kondisi tersebut adalah Known,
Knowable, Complex dan Chaos. Perubahan kondisi dari known sampai dengan chaos diakibatkan oleh perbedaan faktor-faktor yang ada didalamnya.
Apabila
hubungan antar elemen yang ada makin banyak, maka sebuah sistem semakin komplek.
Apabila suatu sistem kondisinya makin tidak menentu (uncertainty) maka sistem
tersebut juga menjadi makin tidak teratur. Kondisi yang makin komplek dan tidak
menentu akan membuat sistem menuju kondisi yang chaos (lihat gambar 1).
Gambar
1. Cynefin Domain (Kurt dan Snowden, 2003)
Pola-pola
yang berbeda pada masing-masing domain membutuhkan antisipasi dan respon yang
berbeda dalam menyikapinya. Antisipasi yang berbeda ini termasuk pengambilan
strategic decision making (SDM). Didalam sistem yang masuk katagori known maka inisiatif proses reengineering adalah inisiatif yang tepat
karena hubungan sebab akibat berulang dan dapat diprediksi.
Disisi
lain, inisiatif reengineering yang
intensif pada kondisi yang komplek menjadi tidak efektif. Reengineering dibangun berdasarkan asumsi bahwa lingkungan stabil
dan hubungan sebab akibat jelas serta ada polanya, prasyarat ini tidak dapat
dipenuhi pada lingkungan bisnis yang komplek.
Burns
(2002) memberikan istilah kondisi komplek sebagai strange attractor zone. Kondisi ini selalu berada dalam turbulensi
yang dinamis. Kondisi yang teratur dinamakan zone of stability, sedangkan kondisi yang lebih tidak teratur
dinamakan zone of randomness.
INDUSTRI PERTAMBANGAN SEBAGAI INDUSTRI YANG KOMPLEK (Complex Business
Environment)
George Hood (1995) dalam artikel
ilmiahnya tentang kasus Windy Craggy (daerah dengan cadangan tembaga potensial)
di British Columbia – Canada menemukan bahwa bisnis di industri pertambangan
semakin hari menjadi semakin komplek karena banyaknya faktor-faktor yang
mempengaruhinya.
Faktor-faktor yang menambah
kompleksitas dari industri pertambangan terdiri dari isu lingkungan, perolehan
hak kuasa pertambangan (land access), masalah sosial dengan penduduk sekitar
dan juga peraturan pemerintah tentang pertambangan. Hal-hal diatas menjadi
makin komplek dengan semakin banyaknya pihak-pihak yang berkepentingan
(Interest Group) yang mampu memaksakan berhentinya proses
eksplorasi/development bahkan menutup tambang yang sudah beroperasi.
Dalam kasus Windy Craggy, Geddes
Resources sebagai pemegang hak eksplorasi sangat terlambat dan tidak
cukup baik dalam menetralisir pihak yang tidak setuju dengan keberadaan
tambang (khususnya Enviromental Interest Group) sehingga potensi nilai tambang
sebesar US$15 Milyar yang dihasilkan dari produksi 120.000 ton pertahun selama 20 tahun
tidak dapat direalisasikan.
Bola salju penolakan keberadaan
tambang di Windy Craggy menjadi terlalu besar untuk diatasi, sehingga potensi
penemuan cadangan lain yang sama besar bahkan lebih besar dari cadangan Windy
Craggy yang sudah diindikasikan disekitarnya menjadi makin jauh dari
kemungkinan dieksplorasi lebih lanjut.
O’Reagen dan Moles (2006) dalam
penelitian yang lebih baru mengembangkan sebuah model yang dinamakan yang System
Dynamic untuk mengukur lebih akurat lagi, pengaruh lingkungan
(environmental) dalam kompleksitas yang dihadapi oleh dunia pertambangan.
Makalah ini tidak membahas
seberapa jauh pengaruh lingkungan dan pengaruh faktor2 lain dalam industri
pertambangan, namun lebih kepada menunjukkan bahwa industri pertambangan masuk
dalam katagori industri yang kompleks. Perubahan peraturan pertambangan,
tumpang tindihnya Undang-Undang yang berkaitan dengan dunia pertambangan,
konflik dan potensi konflik dengan masyarakat menjadi faktor yang menambah
kompleksitas industri ini.
Berangkat dari asumsi bahwa
industri pertambangan merupakan industri yang masuk dalam katagori industri
yang berada dalam lingkungan bisnis yang kompleks, maka syarat-syarat dan
kondisi Strategic Decision Making (SDM) dalam lingkungan bisnis komplek
terpenuhi dan bisa menggali lebih jauh bagaimana membuat keputusan stratejik
yang tepat untuk membantu perusahaan mencapai target dan tujuan yang sudah
ditetapkan sebelumnya.
STRATEGIC DECISION MAKING
Hitt
dan Tayler (1991) dalam kajian mereka menyatakan bahwa proses pembuatan
keputusan stratejik dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor yang utama adalah karakteristik
demografik dan kepribadian serta kondisi kognitif dan pemimpinnya. Faktor lain
yang juga memberikan pengaruh adalah kondisi lingkungan industri dimana perusahaan
berada.
Dean
dan Sharfman (1996) menyatakan bahwa pembuatan keputusan stratejik dipengaruhi
oleh empat faktor utama. Keempat faktor tersebut adalah procedural rationality, political behavior, environment favorability
dan quality of implementation (lihat
gambar 2).
Gambar 2. Model Strategic Decision Making Effectiveness
(Modifikasi dari Dean dan Sharfman, 1996)
Eisenhardt
(1989) menyatakan bahwa dalam lingkungan bisnis yang makin komplek maka
kecepatan pembuatan keputusan merupakan keunggulan untuk memenangkan
persaingan. Keputusan stratejik yang dibuat secara cepat menurut penelitian
yang dilakukan Eisenhardt menggunakan data dan juga mengembangkan alternatif
keputusan yang tidak kurang banyak jika dibandingkan dengan pengambilan
keputusan yang lambat.
Untuk
dapat melakukan pengambilan keputusan yang cepat, maka Eisenhardt (1989)
mengajukan model pembuatan kecepatan yang cepat dalam kondisi lingkungan yang
juga berubah cepat (lihat gambar 3).
Gambar 3. Model Pembuatan Keputusan Cepat (Modifikasi dari
Eisenhardt, 1989)
Proses
pembuatan keputusan stratejik yang cepat ini dimulai dengan melakukan tindakan:
mengumpulkan real time information,
mengembangkan multiple simultaneous
alternatives, melakukan two tier
process, menyelenggarakan concensus
with qualification dan selanjutnya decision
integration.
Langkah
tersebut kemudian dikembangkan dengan tiga proses berikutnya yang akan memediasi
yaitu: accelerated cognitive processing,
smooth group process dan confident to act. Ketiga proses mediasi
inilah yang akan mempengaruhi kecepatan pengambilan keputusan yang kemudian
akan menghasilkan kinerja unggul.
Dalam
proses melakukan pengambilan keputusan stratejik yang cepat ini maka apabila
terjadi konflik harus segera diatasi. Dengan demikian proses integrasi terhadap
keputusan yang diambil tetap dapat dijaga.
STRATEGIC DECISION MAKING PITFALL
Banyak
orang berfikir bahwa SDM yang dilakukan dengan komprehensif akan menghasilkan
strategic decision yang efektif. Proses SDM yang komprehensif menurut Jannis
& Mann (1977) seperti yang dikutip
oleh Fredricson & Mitchell (1984) terdiri dari 7 langkah:
1)
The thorough canvassing of a wide range of alternatives
2)
Surveying a full range of objectives
3)
Carefully weighing the costs and risks of various consequences
4)
Intensively searching for information to evaluate alternative actions
5)
Objectively evaluating information, or expert judgment regarding alternative
actions 6) Reexamining the positive and negative consequences of all known
alternatives
7)
Making detailed plans, including the explicit consideration of contingencies,
for implementing the chosen action.
Fredrickson
& Mitchell (1984) dalam riset di 27 perusahaan terhadap 109 eksekutif menemukan
bahwa SDM yang komprehensif hanya berlaku efektif dalam lingkungan bisnis yang
stabil. Dalam lingkungan bisnis yang
tidak stabil maka SDM yang komprehensif memiliki hubungan negatif terhadap kinerja organisasi.
Strategic
decision making (SDM) dipengaruhi oleh tiga faktor utama didalam proses pembentukannya.
Ketiga faktor tersebut adalah:
1.
Karakteristik keputusan
2.
Karakteristik pengambil keputusan dan
3.
Faktor eksternal
Papadakis
& Spyros (1998) menyimpulkan bahwa faktor yang pertama menjadi faktor yang
paling menentukan dalam pembuatan keputusan stratejik.
Amason
(1996) menemukan fakta yang menarik tentang bagaimana keputusan yang baik
ternyata dibangun karena adanya interaksi (konflik) kognitif diantara pengambil
keputusan (lihat gambar 4).
Gambar 4. Pengaruh Konflik dalam SDM (Amason, 1996)
Hasil
riset yang dilakukan oleh Amason (1996) menunjukkan bahwa konflik kognitif memberikan efek
yang positif terhadap keputusan stratejik yang dibuat sedangkan konflik yang sifatnya emosional
memberikan dampak yang negatif.
Dari
model yang dikembangkan oleh Amason ini juga dapat diketahui bahwa kinerja
organisasi akan meningkat apabila pengambilan keputusan mengandung 4 kondisi
penting yaitu: decision quality, commitment to decision, understanding of
decision dan affective acceptance of TMT members.
KESIMPULAN
Kesimpulan
yang dapat ditarik dari makalah ini adalah:
1.
Industri pertambangan di Indonesia
masuk dalam katagori lingkungan bisnis yang komplek.
2. Dalam lingkungan bisnis yang komplek
kecepatan dan fleksibelitas dalam pengambilan keputusan menjadi faktor penentu
kinerja organisasi
3. Proses interaksi (konflik kognitif)
diantara pengambil keputusan dibutuhkan untuk dapat menghasilkan keputusan yang
baik
REFERENSI
Amason,
A. (1996). “Distinguishing the effects of functional and dysfunctional conflict
on Strategic Decisio Making”, Academy
Management Journal, 39, 1.
Burns,
J. (2002). “Chaos Theory and Leadership Studies: Exploring Uncharted Seas”, Journal of Leadership and Organizational
Studies, 9, 2.
Business
Monitor International, (2013). Indonesia
Mining Report Q4 2013. London: BMI.
Eisenhardt,
K.M. (1989). “Making Fast Strategic Decisions in High-Velocity
Environment”, Academy of Management
Journal, 32, 3, 543 – 576.
Fredrickson,
J.; & Mitchell,, T. (1984) “Strategic
Decision Processes: Comprehensiveness and Performance in an Industry with an
Unstable Environment” Academy of Management Journal, Vol, 27, No,
2, 399-423,
Hambrick,
D.E.; & Mason, P. A. (1984). “Upper echelons: The organization as a
reflection of its top managers”, Academy of Management Review, 9,
193–206.
Hitt,
M.A.; & Tyler, B.B. (1991). “Strategic Decision Models: Integrating
Different Perspectives”, Strategic
Management Journal, 12.
Hood,
G. (1995). “Windy Craggy: an Analysis of Environmetal Interest Group and Mining
Industry Approaches”, Resources Policy, I21, 1.
Kurtz,
C.F.; & Snowden, D.J. (2003). “The New Dynamic of Strategy: Sense-Making in
a Complex and Complicated World”, IBM System Journal, 42, 3, 462.
O’Reagen,
B.; & Moles, R. (2005). “Using System Dynamic to Model the Interaction
Between Environmental and Economic Factors in the Mining Industry”. Journal
of Cleaner Production. 14, 689-707.
Papadakis,
V., Lioukas, S.; & Spyros, C. (1998). “ Strategic Decision Making Processes:
The Role of Management Context”, Strategic Management Journal, 19,2.
Stacey,
R. D. (1996). Complexity and Creativity in Organizations. San Francisco:
Berrett-Koehler Publishers.
Teece,
D.J.; Pisano, G.; & Shuen, A. (1997). “Dynamic Capabilities and Strategic
Management, Strategic Management Journal,
18,7.
Yukl,
G. (2010) (7th ed.). Leadership in Organizations.
Upper Saddle River, New Jersey: Prentice Hall.
Penulis:
Eko
Jatmiko Utomo (ekoutomo.ems1@yahoo.co.id)
Konsultan
& Praktisi HR dan Leadership Development
Saat
ini sedang mengambil Doctoral Degree di S3 UI jurusan Strategic Management
Pengurus
Perhapi, lulusan S1 jurusan Teknik Pertambangan ITB & S2 Magister
Management jurusan Strategic Management dari Prasetia Mulya Business School
(PMBS).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar