06 Oktober 2013

STRATEGI PERUSAHAAN DALAM MENGELOLA SUMBERDAYA UNTUK MENCIPTAKAN KEUNGGULAN BERSAING: STUDI KASUS PT. FREEPORT INDONESIA

1.     RINGKASAN
Organisasi bisnis diciptakan dengan tujuan untuk menghasikan keuntungan bagi para pemegang saham. Untuk dapat menghasilkan keuntungan, maka organisasi bisnis harus berkompetisi melawan pesaing dalam memenangkan hati pelanggan. Maka dalam konteks ini, keunggulan bersaing yang dimiliki perusahaan menjadi faktor yang sangat menentukan (Thomson dkk., 2010).

Mona Makhija (2003) dalam tulisannya menyatakan bahwa dunia korporasi pada saat ini didominasi oleh dua pendekatan pembangunan daya saing yaitu: Market Base View (MBV) dan Resource Base View (RBV).  MBV meyakini bahwa keunggulan bersaing semestinya dilihat dari seberapa istimewa produk atau layanan yang dihasilkan oleh korporasi dimata pelanggan (Porter, 1977). Sedangan RBV meyakini bahwa keunggulan bersaing haruslah diciptakan dengan cara fokus ke internal perusahaan, khususnya sumberdaya dan kapabilitas yang dimiliki untuk menciptakan nilai dimata pelanggan dan menghasilkan keuntungan (Barney, 1986).

Tulisan ini dikhususkan untuk melihat bagaimana sebuah organisasi membangun kapabilitasnya dengan menciptakan keunggulan bersaing dari sudut pandang RBV. Keunggulan bersaing dengan memperkuat kompetensi inti yang dipopulerkan oleh artikel Prahalad dan Hamel (1990) di Harvard Business Review (HBR) mendapatkan porsi  yang banyak dalam pembahasan teori. Empat kondisi yang menciptakan keunggulan bersaing yaitu: Heterogeneity, Ex Post Limits to Competition, Ex Ante Limits to Competition serta Imperfect Mobility (Petera, 1993) juga akan dibahas untuk melengkapi bangunan teori yang dipaparkan.

PT. Freeport Indonesia (FI) dipilih sebagai studi kasus empiris tidak hanya karena natural resources yang dimiliki seperti cadangan tembaga dan emas yang terbesar didunia (Rifai-Hasan, 2009), namun juga karena sumberdaya lain yang dikelola mampu dikonfigurasikan oleh FI untuk menciptakan keunggulan bersaing sehingga perusahaan ini tetap survive dan memberikan benefit kepada pemegang saham (Sethi, dkk., 2011).

2.     TINJAUAN TEORI STRATEGI PERUSAHAAN DALAM MENGELOLA SUMBERDAYA UNTUK MENCIPTAKAN KEUNGGULAN BERSAING

Bagaimana Mengenali Sumberdaya yang Dimiliki
Sebelum membangun keunggulan bersaing dari sumberdaya yang dimiliki, langkah paling awal yang harus dilakukan adalah memberikan penilaian (assesment) terhadap internal resources yang tersedia (Thomson, dkk., 2010). Gambar 1 dibawah ini memperlihatkan bagaimana konsep Strength, Weakness, Opportunity dan Threat (SWOT) dapat dipergunakan untuk tujuan penilaian sumberdaya internal sebuah korporasi.

 Gambar 1: Analisa SWOT untuk Sumberdaya Korporasi (Thompson, dkk., 2010, p. 114)

Ada 4 langkah yang dilakukan yaitu:
1.     Mengidentifikasi kekuatan sumberdaya perusahaan dan kapabilitas kompetisinya
2.     Mengidentifikasi kelemahan sumberdaya perusahaan dan kelemahan dalam berkompetisi
3.     Mengidentifikasi peluang pasar yang dimiliki
4.     Mengidentifikasi ancaman dari luar terhadap keberadaan perusahaan dimasa depan.
Keempat langkah tersebut kemudian dilanjutkan dengan mengambil kesimpulan tentang kondisi perusahaan dan apa langkah yang harus dilakukan untuk memperbaiki strategi perusahaan (Thomson, dkk., 2010).

Menciptakan Keunggulan Bersaing dari Sumberdaya
Persaingan pembangunan keunggulan bersaing antara MBV dan RBV berlangsung lama dan memiliki pendukungnya masing-masing. Penelitian yang dilakukan oleh Makhija (2003) pada perusahaan2 yang dimiliki negara di Czech Eropa Timur menunjukkan penemuan yang menarik. Di negara yang belum lama lepas dari cengkraman pengaruh Rusi ini, pendekatan RBV lebih unggul dibandingkan dengan MBV dalam konteks Czech pada saat itu.

Pada artikel ini, penciptaan keunggulan bersaing dengan menggunakan konsep MBV tidak akan dibahas. Pembahasan akan lebih difokuskan pada penciptaan keunggulan bersaing dengan menggunakan konsep RBV sesuai dengan tujuan penulisan artikel ini.
Petera (1993), dalam artikel yang diterbitkan oleh Strategic Management Journal menemukan bahwa ada empat kondisi organisasi yang harus dibangun untuk menghasilkan keunggulan bersaing yang dapat bertahan lama.

Kondisi yang pertama adalah Heterogeneity, sebuah kondisi dimana sumberdaya dan kapabilitas tersebar merata diseluruh organisasi (Barney, 1991). Kondisi yang kedua dinamakan Ex Post Limits to Competition. Kondisi ini terjadi apabila terdapat dua faktor penting didalam sumberdaya yang dimiliki organisasi yaitu: imperfect imitability dan imperfect substitutability. Kondisi yang ketiga dinamakan Ex Ante Limits to Competition. Kondisi ini bisa tercapai apabila uang tidak dapat membeli sumberdaya ini. Dengan demikian perusahaan pesaing yang memiliki modal kuat tidak bisa serta merta menggunakan uang mereka untuk membeli sumberdaya yang menciptakan keunggulan bersaing. Kondisi yang terakhir adalah Imperfect Mobility, sebuah kondisi dimana sumberdaya tidak dapat dipindahkan.

Prahalad dan Hamel (1990) dalam penelitian mereka yang diterbitkan oleh Harvard Business Review menyebutkan bahwa keunggulan bersaing dihasilkan karena kompetensi inti (Core Competencies) yang dimiliki oleh perusahaan.

Kompetensi adalah aktivitas yang dipelajari dan dilakukan dengan baik oleh perusahaan (Thompson, dkk., 2010). Perusahaan yang berjalan tentu saja memiliki banyak kompetensi yang melekat pada diri karyawan yang dimiliki. Apabila karyawannya tidak kompeten niscaya dalam waktu pendek perusahaan tersebut akan menjadi bangkrut.

Dari sekian banyak kompetensi yang dimiliki oleh perusahaan, maka ada beberapa aktivitas yang dilakukan lebih baik oleh perusahaan dibandingan kegiatan yang lain. Aktivitas tersebut dinamakan kompetensi inti (Thompson, dkk., 2010). Apabila perusahaan dianalogikan sebagai sebuah pohon, maka kompetensi inti adalah akar pohon. Akar pohon memiliki fungsi yang penting dalam menjamin pasokan unsur hara keseluruh bagian pohon sehingga pohon tetap hidup dan menghasilkan buah (Prahalad dan Hamel, 1990).

Dengan memiliki kompetensi inti maka perusahaan akan mampu memproduksi produk baru, membuka pasar, melakukan penetrasi dan yang tidak kalah penting memuaskan pelanggan (Prahalad dan Hamel, 1990).

Riset terbaru menyatakan bahwa kompetensi inti saja ternyata tidak cukup menjamin perusahaan akan memenangkan persaingan. Yang dibutuhkan adalah Distinctive Competence, yaitu kompetensi yang dimiliki oleh perusahaan yang mampu dilakukan lebih baik dibandingkan dengan aktivitas yang sama yang dilakukan oleh kompetitor (Thompson, dkk., 2010).

Pembangunan keunggulan bersaing bisa dilakukan pada semua aktivitas korporasi. Bahkan penciptaan Bullying Free Evironment (BFE) dalam sebuah perusahaan juga merupakan keunggulan bersaing karena lingkungan BFE sangat penting buat karyawan, jarang ditemukan, tidak mudah ditiru oleh pesaing dan tentu saja tidak tergantikan (McKay, et.al., 2010).

Dengan dibangunnya BFE, maka perusahaan akan mampu menarik karyawan yang terbaik dan mempertahankan mereka untuk tetap tinggal didalam organisasi. Keberadaan karyawan yang unggul merupakan modal yang besar untuk memenangkan persaingan (Collins, 2002).

Strategi Perusahaan Dalam Menciptakan Keunggulan Bersaing Lewat Value Chain
Thompson, dkk., (2010) menawarkan cara lain dalam membangun keunggulan bersaing. Cara itu dilakukan dengan memperkuat rantai nilai (Value Chain) yang dimiliki oleh perusahaan sehingga mampu mengalahkan rantai nilai perusahaan lain dengan lebih ahli dan atau lebih murah.
Gambar 2 dibawah menunjukkan bagaimana proses perkuatan rantai nilai tersebut dilakukan. Prosesnya sendiri terdiri dari dua pilihan yaitu:
1.     Rantai nilai yang lebih produktif (kompeten)
2.     Rantai nilai yang lebih murah

Gambar 2. Rantai Nilai dan Keunggulan Bersaing.


3.   INDUSTRI PERTAMBANGAN INDONESIA INDONESIA

Industri pertambangan Indonesia merupakan industri yang menarik bagi banyak Investor di dunia. International Business Monitor (IBM) dalam laporan Indonesia Mining Report Q1, 2013 menyatakan bahwa Indonesia masuk ke nomer 3 dengan nilai rating 56,2 untuk katagori bisnis pertambangan di Asia. Indonesia hanya dibawah Australia dan China untuk daya tarik investasi pertambangan.

Salah satu variabel yang membuat investasi di Indonesia sedemikian menarik adalah karena nilai ekonominya yang besar. Dalam laporan yang sama, IBM menyatakan nilai pertambangan Indonesia di tahun 2013 sebesar $97,6 milyar. Nilai ini tumbuh stabil sehingga diprediksi nilainya mencapai $136 milyar pada tahun 2017.

Daya tarik yang lain adalah masih terbukanya peluang untuk menemukan cadangan baik mineral maupun batubara dengan jumlah spektakuler. Hal ini terbukti dengan ditemukannya cadangan  sebesar 25 juta ounce copper  di Tujuh Bukit oleh perusahaan tambang Intrepid di Banyuwangi. Tambang Tujuh Bukit nantinya akan menjadi salah satu tambang tembaga yang terbesar di dunia seperti juga tambang Grassberg di Papua (IBM, 2013).

IBM dalam analisa SWOT-nya menyebutkan bahwa Indonesia memiliki empat kekuatan utama dibandingkan negara lain di Asia yaitu:
·       Dekat dengan pasar utama produk pertambangan China, India dan Jepang.
·       Tenaga kerja pertambangan lebih murah dibandingkan dengan negara pertambangan lain seperti Australia, Amerika dan Kanada.
·       Prospek penemuan cadangan yang spektakuler masih sangat memungkinkan. Seperti ditemukannya cadangan tembaga raksasa Tujuh Bukit di Banyuwangi.
·       Pemerintah Indonesia secara perlahan makin baik dalam transparansi dan kebijakan pertambangan.


4.   PT. FREEPORT INDONESIA DALAM MENERAPKAN STRATEGI PENGELOLAAN SUMBERDAYA

Program Privatisasi
Konsep pengembangan kompetensi inti yang digaungkan oleh Prahalad dan Hamel (1990) juga menemukan pijakannya di PT. Freeport Indonesia (FI). Setelah melakukan serangkaian evaluasi maka FI memutuskan menerapkan konsep kompetensi inti dengan menjalankan program Privatisasi yang dimulai pada tahun 1994 (Rifai-Hasan, 2009).

FI hanya akan mempertahankan kompetensi inti sebagai perusahaan tambang pada aktivitas yang dianggap sebagai kompetensi inti mereka. Aktivitas yang dipertahankan tersebut adalah aktivitas penambangan bawa tanah (underground), penambangan terbuka (open pit, lihat gambar 3), pengolahan, transportasi konsentrat, kegiatan pendukung utama seperti engineering, supply chain, HR, community relation dll., tetap dipertahankan.

Gambar 3. Tambang terbuka Grasberg Freeport Indonesia

Sedangkan aktivitas lain yang tidak terkait langsung dengan proses inti diserahkan kepada pihak lain (swasta nasional dan internasiona) yang lebih kompeten. Tujuan dari program ini ada dua, pertama memberikan pelayanan yang lebih maksimal karena aktivitas tersebut sekarang dikerjakan oleh pihak yang lebih kompeten. Kedua, proses bisnis yang lebih efisien berperan mengurangi biaya operasi dibandingkan dengan djalankan sendiri oleh FI.

Aktivitas yang dimasukkan dalam program Privatisasi ini melingkupi: pemeliharaan alat-alat tambang (diberikan kepada Trakindo, United Tractor dan KPI), angkutan darat (KPI), pelayanan akomodasi (Pangan Sari Utama), kesehatan (AEA), pengeboran eksplorasi (Diamond Drill), pendidikan (YPJ), keamanan, dll.

Akibat dari program Privatisasi ini terlihat dalam laporan keuangan yang menunjukkan bahwa biaya operasi FI menjadi makin efisien. FI hanya fokus pada aktivitas utama dalam menjalan usaha pertambangan di tanah Papua (Rifai-Hasan, 2009).

Resign Free Environment
Riset yang dilakukan oleh McKay dkk., (2010) tentang keunggulan bersaing dengan menciptakan Bully Free Environment (BEF) menemukan kesepadanannya dengan praktek yang terjadi di Freeport Indonesia (FI).

FI yang mulai secara resmi beroperasi pada tahun 1973 (Rifai-Hasan, 2003), mengkonfigurasikan beberapa sumberdaya yang dimiliki sehingga menciptakan sebuah kondisi Resign Free Environment (REF).
Kondisi ini dilakukan dengan menggunakan beberapa strategi. Strategi tersebut adalah:
1.     Memberikan benefit yang jauh lebih besar dibandingkan dengan benefit yang diterima oleh karyawan yang bekerja diperusahaan pertambangan lain di Indonesia  atau perusahaan lain dimanapun termasuk di ibukota Jakarta.
2.     Memberikan servis kelas istimewa kepada para karyawan baik itu tempat tinggal, makan, transportasi dilapangan, transportasi pada saat pulang ke point of hire (PoH) pada saat cuti.
3.     Memberikan pelayanan kelas istimewa kepada keluarga inti karyawan.
Sebagai perbandingan, pada tahun 1990an gaji seorang manager di Jakarta barulah mencapai sekitar 5 juta rupiah perbulan. Di era yang sama, gaji seorang manager di FI mencapai 25 juta (5x lipat). Belum lagi besaran bonus bulanan, bonus tahunan dan stock option yang bisa puluhan kali lipat dari gaji bulanan mereka.

Kondisi ini menciptakan situasi “point no return” bagi karyawan yang masuk dan bekerja bagi FI. Walaupun harus hidup dan bekerja di daerah yang sangat terpencil, namun benefit yang diberikan sangat luarbiasa untuk ukuran orang Indonesia. Gaya hidup karyawan yang baru masuk akan berubah secara luarbiasa karena pendapatan yang mereka terima berlipatganda. Kondisi ini disisi lain menciptakan semacam exit barrier karena dengan kompetensi dan pengalaman yang dimiliki, “harga” karyawan tersebut diluar jauh lebih kecil dibandingkan dengan yang diterima di FI.

Bagi karyawan (dan juga keluarganya) yang tidak mampu dan tidak bersedia menurunkan gaya hidup, maka yang terjadi adalah sang karyawan akan mengabdi di FI sampai pensiun atau menikmati pensiun dini karena alasan kesehatan. Karyawan yang pensiun dini dengan alasan kesehatan juga akan diberikan pesangon yang ukurannya luarbiasa untuk ukuran orang Indonesia normal. Pada tahun 1999, pensiun dini seorang karyawan dengan pangkat Supervisor dan pengalaman kerja 20 tahun mendapat pensiun dini sebesar 2,5 milyar rupiah (informasi internal). Kondisi RFE inilah yang membuat karyawan loyal dan berdedikasi untuk bekerja di FI.

Perubahan lingkungan baik global dan lokal membuat RFE tidak bertahan karena response FI yang lambat atau salah dalam menanggapi perubahan tersebut. Korporasi yang tidak tepat dalam meresponse perubahan lingkungan membuat keunggulan bersaingnya menjadi tidak relevan lagi (Hatch & Cunliffe, 2006).
Perubahan itu adalah:
1.     Perubahan lingkungan global dimana penawaran engineer tambang dunia menurun tajam sejak akhir tahun 1990an dikarenakan tutupnya banyak sekolah tambang baik di Australia, Eropa maupun Amerika. Pada paruh kedua dekade baru milenium baru tahun 2005 dunia pertambangan kembali semarak baik global maupun lokal Indonesia. Tambang barubara dibuka diseluruh dunia termasuk di Indonesia karena konsumsi China yang sedemikian besar untuk pemenuhan kebutuhan energi mereka (IBM, 2013).
2.     Ekonomi Indonesia tumbuh secara konsisten diatas 5% sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2013 (Kompas, 2013). Pertumbuhan ekonomi  Indonesia yang tingi ini menciptakan jutaan lapangan kerja baru diseluruh pelosok Indonesia terutama Jakarta sebagai ibukota. Dengan demikian kebutuhan tenaga kerja juga melonjak.
3.     Masih timpangnya antara kompetensi dan pasokan tenaga kerja di Indonesia mengakibatkan kandidat yang memiliki kompetensi yang tinggi dihargai mahal oleh perusahaan yang membutuhkan sehingga dari tahu ketahun selisih gaji profesional di Jakarta dengan di Tembagapura Papua makin kecil.
4.     Masalah keamanan yang tidak stabil sesudah berubahnya kondisi politik Indonesia dari rezim Orde Baru berubah menjadi Orde Reformasi menciptakan ketidaknyamanan bagi karyawan yang bertugas di Papua (Sethi, dkk., 2011). 

Perubahan-perubahan yang terjadi diatas tidak atau kurang diresponse dengan baik oleh FI. Hal ini terbukti dengan makin kecilnya selisih gaji karyawan dalam posisi yang sama. Pada tahun 2012 Seorang manager yang berpengalaman di FI mendapatkan gaji (50 jt – 100 jt) per bulan (informasi internal). Namun pada saat yang sama seorang manager yang berpengalaman dan kompeten menerima gaji 20 jt – 40 jt di Jakarta. Selisih ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan yang terjadi pada tahun 90an. Tentu saja bagi banyak karyawan yang potensial kualitas hidup di Jakarta atau kota besar lainnya jauh lebih nyaman bagi mereka daripada bekerja di pedalaman Papua dengan kondisi keamanan  yang tidak bisa dijamin.

RFE menjadi tidak relevan lagi mulai dirasakan sejak tahun 2005, terjadi eksodus besar2an karyawan keluar negeri (menjadi expatriate perusahaan tambang luar negeri) atau menjadi profesional di Jakarta dengan gaji “sedikit turun” namun mendapatkan kualitas hidup yang jauh lebih baik.

Disisi lain, lulusan segar universitas yang berpotensi tinggi makin sedikit yang berminat untuk bergabung dengan FI (informasi internal). Dengan kondisi seperti ini maka yang terjadi FI kekuranga tenaga kerja terampil.

1.     PENUTUP DAN KESIMPULAN

Kemampuan perusahaan untuk membangun keunggulan bersaing dari sumberdaya (resources) yang dimiliki akan menjadi faktor penentu kelangsungan hidup korporasi dan faktor utama dalam memenangkan persaingan (Barney, 1986).

Keunggulan bersaing dapat dibangun dengan menggunakan cara menciptakan kompetensi inti (Prahalad dan Hamel, 1990).  Kemampuan organisasi untuk menciptakan kondisi yang tepat dalam pengelolaan sumberdaya yang dimiliki akan mampu membangun keunggulan bersaing yang berharga, jarang dimiliki perusahaan lain, tidak dapat ditiru dan digantikan (McKay, dkk., 2010).

PT. Freeport Indonesia melakukan proses penciptaan keunggulan bersaing dengan program Privatisasi dan juga menciptakan Resign Free Environment (RFE) sehingga mampu bersaing dan memenuhi target-target keuangan yang ditetapkan.

Keunggulan bersaing harus selalu ditinjau terus menerus karena sifatnya yang dinamis (Cavusgil, dkk., 2007). Keunggulan bersaing yang tidak disesuaikan dengan perubahan lingkungan akan menjadi tidak efektif. Hal ini terbukti dengan keunggulan bersaing RFE Freeport Indonesia yang menjadi tidak efektif lagi sejak tahun 2005.

 

REFERENSI

Business Monitor International, (2013). “Indonesia Mining Report Q1, 2013”.
Cavusgil, E.; Seggie, S.H.; & Talay, M.B., (2007). “Dynamic Capabilities View and Research Agenda”, Journal of Marketing Theory and Practice, 15, 2,  p.159.
Hatch, M.J.; & Cunliffe, A.L. (2006). Organization Theory: Modern, Symbolic, and Postmodern Perspectives. Oxford: Oxford University Press. 
McKay, R.C.; Ciocirlan, C.; & Chung, E., (2010). “Thinking Strategically About Workplace Bullying in Organizations”, Journal of Applied Management and Entrepreneurship, 15, 4, p.73.
Makhija, M., (2003). “Comparing the Resource-based and Market Base Views of the Firm: Emperical Evidence from Czech Privatation”, Strategic Management Journal”, 25, 5, p.433.
Margareta, A.P., (1993). “The Corner Stones of Competitive Advantage: A Resource-Based View”, Strategic Management Journal”, 14, p.179-191.
Prahalad, C.K.; & Hamel, G., (1990). “The Core Competence of the Corporation”,  Harvad Business Review.
Rifai-Hasan, P.A., (2009). “Develoment, Power and the Mining Industry in Papua: A Study of Freeport Indonesia”, Journal of Business Ethics, 89, p.129-143. 
Sethi, S.P.; Lowry, D.B.; Veral, E.A.; Shapiro, J.; & Emelianova, O., (2011). “Freeport_McMoRan Copper & gold, Inc.: An Innovative Voluntary Code of Conduct to Protect Human Rights, Create Employement Opportunities, and Economic Development of the Indigenous People”, Journal of Business Ethics, 103, p. 1-30.
Thompson, A.A.; Strickland, A.J.; & Gamble, J.E., (2010). Crafting and Executing Strategy, The Quest for Competitive Advantage. McGraw Hill.


Tidak ada komentar: