Organisasi bisnis diciptakan dengan
tujuan untuk menghasikan keuntungan bagi para pemegang saham. Untuk dapat
menghasilkan keuntungan, maka organisasi bisnis harus berkompetisi melawan
pesaing dalam memenangkan hati pelanggan. Maka dalam konteks ini, keunggulan
bersaing yang dimiliki perusahaan menjadi faktor yang sangat menentukan
(Thomson dkk., 2010).
Mona Makhija (2003) dalam
tulisannya menyatakan bahwa dunia korporasi pada saat ini didominasi oleh dua
pendekatan pembangunan daya saing yaitu: Market Base View (MBV) dan Resource
Base View (RBV). MBV meyakini bahwa
keunggulan bersaing semestinya dilihat dari seberapa istimewa produk atau
layanan yang dihasilkan oleh korporasi dimata pelanggan (Porter, 1977).
Sedangan RBV meyakini bahwa keunggulan bersaing haruslah diciptakan dengan cara
fokus ke internal perusahaan, khususnya sumberdaya dan kapabilitas yang
dimiliki untuk menciptakan nilai dimata pelanggan dan menghasilkan keuntungan (Barney,
1986).
Tulisan ini dikhususkan untuk
melihat bagaimana sebuah organisasi membangun kapabilitasnya dengan menciptakan
keunggulan bersaing dari sudut pandang RBV. Keunggulan bersaing dengan
memperkuat kompetensi inti yang dipopulerkan oleh artikel Prahalad dan Hamel
(1990) di Harvard Business Review
(HBR) mendapatkan porsi yang banyak
dalam pembahasan teori. Empat kondisi yang menciptakan keunggulan bersaing
yaitu: Heterogeneity, Ex Post Limits to
Competition, Ex Ante Limits to Competition serta Imperfect Mobility (Petera, 1993) juga akan dibahas untuk
melengkapi bangunan teori yang dipaparkan.
PT. Freeport Indonesia (FI) dipilih
sebagai studi kasus empiris tidak hanya karena natural resources yang dimiliki seperti cadangan tembaga dan emas
yang terbesar didunia (Rifai-Hasan, 2009), namun juga karena sumberdaya lain
yang dikelola mampu dikonfigurasikan oleh FI untuk menciptakan keunggulan
bersaing sehingga perusahaan ini tetap survive
dan memberikan benefit kepada pemegang
saham (Sethi, dkk., 2011).
2. TINJAUAN
TEORI STRATEGI PERUSAHAAN DALAM MENGELOLA SUMBERDAYA UNTUK MENCIPTAKAN
KEUNGGULAN BERSAING
Bagaimana Mengenali Sumberdaya yang
Dimiliki
Sebelum membangun keunggulan
bersaing dari sumberdaya yang dimiliki, langkah paling awal yang harus
dilakukan adalah memberikan penilaian (assesment) terhadap internal resources yang tersedia (Thomson, dkk., 2010). Gambar 1 dibawah ini memperlihatkan
bagaimana konsep Strength, Weakness,
Opportunity dan Threat (SWOT)
dapat dipergunakan untuk tujuan penilaian sumberdaya internal sebuah korporasi.
Gambar 1: Analisa SWOT
untuk Sumberdaya Korporasi (Thompson, dkk., 2010, p. 114)
Ada 4 langkah yang dilakukan yaitu:
1. Mengidentifikasi
kekuatan sumberdaya perusahaan dan kapabilitas kompetisinya
2. Mengidentifikasi
kelemahan sumberdaya perusahaan dan kelemahan dalam berkompetisi
3. Mengidentifikasi
peluang pasar yang dimiliki
4. Mengidentifikasi
ancaman dari luar terhadap keberadaan perusahaan dimasa depan.
Keempat langkah tersebut kemudian
dilanjutkan dengan mengambil kesimpulan tentang kondisi perusahaan dan apa
langkah yang harus dilakukan untuk memperbaiki strategi perusahaan (Thomson,
dkk., 2010).
Menciptakan Keunggulan Bersaing
dari Sumberdaya
Persaingan pembangunan keunggulan
bersaing antara MBV dan RBV berlangsung lama dan memiliki pendukungnya
masing-masing. Penelitian yang dilakukan oleh Makhija (2003) pada perusahaan2 yang
dimiliki negara di Czech Eropa Timur menunjukkan penemuan yang menarik. Di
negara yang belum lama lepas dari cengkraman pengaruh Rusi ini, pendekatan RBV
lebih unggul dibandingkan dengan MBV dalam konteks Czech pada saat itu.
Pada artikel ini, penciptaan
keunggulan bersaing dengan menggunakan konsep MBV tidak akan dibahas.
Pembahasan akan lebih difokuskan pada penciptaan keunggulan bersaing dengan
menggunakan konsep RBV sesuai dengan tujuan penulisan artikel ini.
Petera (1993), dalam artikel yang
diterbitkan oleh Strategic Management
Journal menemukan bahwa ada empat kondisi organisasi yang harus dibangun
untuk menghasilkan keunggulan bersaing yang dapat bertahan lama.
Kondisi yang pertama adalah Heterogeneity,
sebuah kondisi dimana sumberdaya dan kapabilitas tersebar merata diseluruh
organisasi (Barney, 1991). Kondisi yang kedua dinamakan Ex Post Limits to Competition.
Kondisi ini terjadi apabila terdapat dua faktor penting didalam sumberdaya yang
dimiliki organisasi yaitu: imperfect
imitability dan imperfect
substitutability. Kondisi yang ketiga dinamakan Ex Ante Limits to Competition.
Kondisi ini bisa tercapai apabila uang tidak dapat membeli sumberdaya ini.
Dengan demikian perusahaan pesaing yang memiliki modal kuat tidak bisa serta
merta menggunakan uang mereka untuk membeli sumberdaya yang menciptakan
keunggulan bersaing. Kondisi yang terakhir adalah Imperfect Mobility,
sebuah kondisi dimana sumberdaya tidak dapat dipindahkan.
Prahalad dan Hamel (1990) dalam
penelitian mereka yang diterbitkan oleh Harvard
Business Review menyebutkan bahwa keunggulan bersaing dihasilkan karena
kompetensi inti (Core Competencies) yang dimiliki oleh perusahaan.
Kompetensi adalah aktivitas yang
dipelajari dan dilakukan dengan baik oleh perusahaan (Thompson, dkk., 2010).
Perusahaan yang berjalan tentu saja memiliki banyak kompetensi yang melekat
pada diri karyawan yang dimiliki. Apabila karyawannya tidak kompeten niscaya
dalam waktu pendek perusahaan tersebut akan menjadi bangkrut.
Dari sekian banyak kompetensi yang
dimiliki oleh perusahaan, maka ada beberapa aktivitas yang dilakukan lebih baik
oleh perusahaan dibandingan kegiatan yang lain. Aktivitas tersebut dinamakan
kompetensi inti (Thompson, dkk., 2010). Apabila perusahaan dianalogikan sebagai
sebuah pohon, maka kompetensi inti adalah akar pohon. Akar pohon memiliki
fungsi yang penting dalam menjamin pasokan unsur hara keseluruh bagian pohon
sehingga pohon tetap hidup dan menghasilkan buah (Prahalad dan Hamel, 1990).
Dengan memiliki kompetensi inti
maka perusahaan akan mampu memproduksi produk baru, membuka pasar, melakukan
penetrasi dan yang tidak kalah penting memuaskan pelanggan (Prahalad dan Hamel,
1990).
Riset terbaru menyatakan bahwa
kompetensi inti saja ternyata tidak cukup menjamin perusahaan akan memenangkan
persaingan. Yang dibutuhkan adalah Distinctive Competence, yaitu
kompetensi yang dimiliki oleh perusahaan yang mampu dilakukan lebih baik
dibandingkan dengan aktivitas yang sama yang dilakukan oleh kompetitor
(Thompson, dkk., 2010).
Pembangunan keunggulan bersaing
bisa dilakukan pada semua aktivitas korporasi. Bahkan penciptaan Bullying Free
Evironment (BFE) dalam sebuah perusahaan juga merupakan keunggulan bersaing
karena lingkungan BFE sangat penting buat karyawan, jarang ditemukan, tidak
mudah ditiru oleh pesaing dan tentu saja tidak tergantikan (McKay, et.al.,
2010).
Dengan dibangunnya BFE, maka
perusahaan akan mampu menarik karyawan yang terbaik dan mempertahankan mereka
untuk tetap tinggal didalam organisasi. Keberadaan karyawan yang unggul
merupakan modal yang besar untuk memenangkan persaingan (Collins, 2002).
Strategi Perusahaan Dalam
Menciptakan Keunggulan Bersaing Lewat Value Chain
Thompson, dkk., (2010) menawarkan
cara lain dalam membangun keunggulan bersaing. Cara itu dilakukan dengan
memperkuat rantai nilai (Value Chain) yang dimiliki oleh perusahaan sehingga
mampu mengalahkan rantai nilai perusahaan lain dengan lebih ahli dan atau lebih
murah.
Gambar
2
dibawah menunjukkan bagaimana proses perkuatan rantai nilai tersebut dilakukan.
Prosesnya sendiri terdiri dari dua pilihan yaitu:
1. Rantai
nilai yang lebih produktif (kompeten)
2. Rantai
nilai yang lebih murah
Gambar
2.
Rantai Nilai dan Keunggulan Bersaing.
3. INDUSTRI PERTAMBANGAN INDONESIA INDONESIA
Industri pertambangan Indonesia
merupakan industri yang menarik bagi banyak Investor di dunia. International
Business Monitor (IBM) dalam laporan Indonesia
Mining Report Q1, 2013 menyatakan bahwa Indonesia masuk ke nomer 3 dengan
nilai rating 56,2 untuk katagori bisnis pertambangan di Asia. Indonesia hanya
dibawah Australia dan China untuk daya tarik investasi pertambangan.
Salah satu variabel yang membuat
investasi di Indonesia sedemikian menarik adalah karena nilai ekonominya yang
besar. Dalam laporan yang sama, IBM menyatakan nilai pertambangan Indonesia di
tahun 2013 sebesar $97,6 milyar. Nilai ini tumbuh stabil sehingga diprediksi
nilainya mencapai $136 milyar pada tahun 2017.
Daya tarik yang lain adalah masih
terbukanya peluang untuk menemukan cadangan baik mineral maupun batubara dengan
jumlah spektakuler. Hal ini terbukti dengan ditemukannya cadangan sebesar 25 juta ounce copper di Tujuh Bukit
oleh perusahaan tambang Intrepid di Banyuwangi. Tambang Tujuh Bukit nantinya
akan menjadi salah satu tambang tembaga yang terbesar di dunia seperti juga
tambang Grassberg di Papua (IBM, 2013).
IBM dalam analisa SWOT-nya
menyebutkan bahwa Indonesia memiliki empat kekuatan utama dibandingkan negara
lain di Asia yaitu:
· Dekat
dengan pasar utama produk pertambangan China, India dan Jepang.
· Tenaga
kerja pertambangan lebih murah dibandingkan dengan negara pertambangan lain
seperti Australia, Amerika dan Kanada.
· Prospek
penemuan cadangan yang spektakuler masih sangat memungkinkan. Seperti
ditemukannya cadangan tembaga raksasa Tujuh Bukit di Banyuwangi.
·
Pemerintah Indonesia secara perlahan
makin baik dalam transparansi dan kebijakan pertambangan.
4. PT. FREEPORT INDONESIA DALAM MENERAPKAN
STRATEGI PENGELOLAAN SUMBERDAYA
Program Privatisasi
Konsep pengembangan kompetensi inti
yang digaungkan oleh Prahalad dan Hamel (1990) juga menemukan pijakannya di PT.
Freeport Indonesia (FI). Setelah melakukan serangkaian evaluasi maka FI memutuskan
menerapkan konsep kompetensi inti dengan menjalankan program Privatisasi yang
dimulai pada tahun 1994 (Rifai-Hasan, 2009).
FI hanya akan mempertahankan
kompetensi inti sebagai perusahaan tambang pada aktivitas yang dianggap sebagai
kompetensi inti mereka. Aktivitas yang dipertahankan tersebut adalah aktivitas
penambangan bawa tanah (underground), penambangan terbuka (open pit, lihat gambar 3), pengolahan, transportasi
konsentrat, kegiatan pendukung utama seperti engineering, supply chain, HR, community relation dll., tetap
dipertahankan.
Gambar
3.
Tambang terbuka Grasberg Freeport Indonesia
Sedangkan aktivitas lain yang tidak
terkait langsung dengan proses inti diserahkan kepada pihak lain (swasta
nasional dan internasiona) yang lebih kompeten. Tujuan dari program ini ada
dua, pertama memberikan pelayanan yang lebih maksimal karena aktivitas tersebut
sekarang dikerjakan oleh pihak yang lebih kompeten. Kedua, proses bisnis yang
lebih efisien berperan mengurangi biaya operasi dibandingkan dengan djalankan
sendiri oleh FI.
Aktivitas yang dimasukkan dalam
program Privatisasi ini melingkupi: pemeliharaan alat-alat tambang (diberikan
kepada Trakindo, United Tractor dan KPI), angkutan darat (KPI), pelayanan
akomodasi (Pangan Sari Utama), kesehatan (AEA), pengeboran eksplorasi (Diamond
Drill), pendidikan (YPJ), keamanan, dll.
Akibat dari program Privatisasi ini
terlihat dalam laporan keuangan yang menunjukkan bahwa biaya operasi FI menjadi
makin efisien. FI hanya fokus pada aktivitas utama dalam menjalan usaha
pertambangan di tanah Papua (Rifai-Hasan, 2009).
Resign Free Environment
Riset yang dilakukan oleh McKay
dkk., (2010) tentang keunggulan bersaing dengan menciptakan Bully Free
Environment (BEF) menemukan kesepadanannya dengan praktek yang terjadi di Freeport
Indonesia (FI).
FI yang mulai secara resmi
beroperasi pada tahun 1973 (Rifai-Hasan, 2003), mengkonfigurasikan beberapa
sumberdaya yang dimiliki sehingga menciptakan sebuah kondisi Resign Free
Environment (REF).
Kondisi ini dilakukan dengan menggunakan
beberapa strategi. Strategi tersebut adalah:
1. Memberikan
benefit yang jauh lebih besar dibandingkan dengan benefit yang diterima oleh
karyawan yang bekerja diperusahaan pertambangan lain di Indonesia atau perusahaan lain dimanapun termasuk di ibukota
Jakarta.
2. Memberikan
servis kelas istimewa kepada para karyawan baik itu tempat tinggal, makan,
transportasi dilapangan, transportasi pada saat pulang ke point of hire (PoH) pada saat cuti.
3. Memberikan
pelayanan kelas istimewa kepada keluarga inti karyawan.
Sebagai perbandingan, pada tahun
1990an gaji seorang manager di Jakarta barulah mencapai sekitar 5 juta rupiah
perbulan. Di era yang sama, gaji seorang manager di FI mencapai 25 juta (5x
lipat). Belum lagi besaran bonus bulanan, bonus tahunan dan stock option yang bisa puluhan kali
lipat dari gaji bulanan mereka.
Kondisi ini menciptakan situasi
“point no return” bagi karyawan yang masuk dan bekerja bagi FI. Walaupun harus
hidup dan bekerja di daerah yang sangat terpencil, namun benefit yang diberikan
sangat luarbiasa untuk ukuran orang Indonesia. Gaya hidup karyawan yang baru
masuk akan berubah secara luarbiasa karena pendapatan yang mereka terima
berlipatganda. Kondisi ini disisi lain menciptakan semacam exit barrier karena dengan kompetensi dan pengalaman yang dimiliki,
“harga” karyawan tersebut diluar jauh lebih kecil dibandingkan dengan yang
diterima di FI.
Bagi karyawan (dan juga
keluarganya) yang tidak mampu dan tidak bersedia menurunkan gaya hidup, maka
yang terjadi adalah sang karyawan akan mengabdi di FI sampai pensiun atau
menikmati pensiun dini karena alasan kesehatan. Karyawan yang pensiun dini
dengan alasan kesehatan juga akan diberikan pesangon yang ukurannya luarbiasa
untuk ukuran orang Indonesia normal. Pada tahun 1999, pensiun dini seorang
karyawan dengan pangkat Supervisor dan pengalaman kerja 20 tahun mendapat
pensiun dini sebesar 2,5 milyar rupiah (informasi internal). Kondisi RFE inilah
yang membuat karyawan loyal dan berdedikasi untuk bekerja di FI.
Perubahan lingkungan baik global
dan lokal membuat RFE tidak bertahan karena response FI yang lambat atau salah
dalam menanggapi perubahan tersebut. Korporasi yang tidak tepat dalam
meresponse perubahan lingkungan membuat keunggulan bersaingnya menjadi tidak
relevan lagi (Hatch & Cunliffe, 2006).
Perubahan itu adalah:
1. Perubahan
lingkungan global dimana penawaran engineer tambang dunia menurun tajam sejak
akhir tahun 1990an dikarenakan tutupnya banyak sekolah tambang baik di
Australia, Eropa maupun Amerika. Pada paruh kedua dekade baru milenium baru
tahun 2005 dunia pertambangan kembali semarak baik global maupun lokal
Indonesia. Tambang barubara dibuka diseluruh dunia termasuk di Indonesia karena
konsumsi China yang sedemikian besar untuk pemenuhan kebutuhan energi mereka
(IBM, 2013).
2. Ekonomi
Indonesia tumbuh secara konsisten diatas 5% sejak tahun 2005 sampai dengan
tahun 2013 (Kompas, 2013). Pertumbuhan ekonomi
Indonesia yang tingi ini menciptakan jutaan lapangan kerja baru
diseluruh pelosok Indonesia terutama Jakarta sebagai ibukota. Dengan demikian
kebutuhan tenaga kerja juga melonjak.
3. Masih
timpangnya antara kompetensi dan pasokan tenaga kerja di Indonesia
mengakibatkan kandidat yang memiliki kompetensi yang tinggi dihargai mahal oleh
perusahaan yang membutuhkan sehingga dari tahu ketahun selisih gaji profesional
di Jakarta dengan di Tembagapura Papua makin kecil.
4. Masalah
keamanan yang tidak stabil sesudah berubahnya kondisi politik Indonesia dari
rezim Orde Baru berubah menjadi Orde Reformasi menciptakan ketidaknyamanan bagi
karyawan yang bertugas di Papua (Sethi, dkk., 2011).
Perubahan-perubahan yang terjadi
diatas tidak atau kurang diresponse dengan baik oleh FI. Hal ini terbukti
dengan makin kecilnya selisih gaji karyawan dalam posisi yang sama. Pada tahun
2012 Seorang manager yang berpengalaman di FI mendapatkan gaji (50 jt – 100 jt)
per bulan (informasi internal). Namun pada saat yang sama seorang manager yang
berpengalaman dan kompeten menerima gaji 20 jt – 40 jt di Jakarta. Selisih ini
jauh lebih kecil dibandingkan dengan yang terjadi pada tahun 90an. Tentu saja
bagi banyak karyawan yang potensial kualitas hidup di Jakarta atau kota besar
lainnya jauh lebih nyaman bagi mereka daripada bekerja di pedalaman Papua
dengan kondisi keamanan yang tidak bisa
dijamin.
RFE menjadi tidak relevan lagi
mulai dirasakan sejak tahun 2005, terjadi eksodus besar2an karyawan keluar
negeri (menjadi expatriate perusahaan tambang luar negeri) atau menjadi
profesional di Jakarta dengan gaji “sedikit turun” namun mendapatkan kualitas
hidup yang jauh lebih baik.
Disisi lain, lulusan segar
universitas yang berpotensi tinggi makin sedikit yang berminat untuk bergabung
dengan FI (informasi internal). Dengan kondisi seperti ini maka yang terjadi FI
kekuranga tenaga kerja terampil.
1. PENUTUP
DAN KESIMPULAN
Kemampuan perusahaan untuk
membangun keunggulan bersaing dari sumberdaya (resources) yang dimiliki akan
menjadi faktor penentu kelangsungan hidup korporasi dan faktor utama dalam
memenangkan persaingan (Barney, 1986).
Keunggulan bersaing dapat dibangun
dengan menggunakan cara menciptakan kompetensi inti (Prahalad dan Hamel,
1990). Kemampuan organisasi untuk
menciptakan kondisi yang tepat dalam pengelolaan sumberdaya yang dimiliki akan
mampu membangun keunggulan bersaing yang berharga, jarang dimiliki perusahaan
lain, tidak dapat ditiru dan digantikan (McKay, dkk., 2010).
PT. Freeport Indonesia melakukan
proses penciptaan keunggulan bersaing dengan program Privatisasi dan juga
menciptakan Resign Free Environment (RFE) sehingga mampu bersaing dan memenuhi
target-target keuangan yang ditetapkan.
Keunggulan bersaing harus selalu
ditinjau terus menerus karena sifatnya yang dinamis (Cavusgil, dkk., 2007).
Keunggulan bersaing yang tidak disesuaikan dengan perubahan lingkungan akan
menjadi tidak efektif. Hal ini terbukti dengan keunggulan bersaing RFE Freeport
Indonesia yang menjadi tidak efektif lagi sejak tahun 2005.
REFERENSI
Business Monitor International, (2013). “Indonesia Mining Report
Q1, 2013”.
Cavusgil, E.; Seggie, S.H.; & Talay, M.B., (2007). “Dynamic
Capabilities View and Research Agenda”, Journal
of Marketing Theory and Practice, 15, 2, p.159.
Hatch, M.J.;
& Cunliffe, A.L. (2006). Organization Theory: Modern, Symbolic, and
Postmodern Perspectives. Oxford: Oxford University Press.
McKay, R.C.; Ciocirlan, C.; & Chung, E.,
(2010). “Thinking Strategically About Workplace Bullying in Organizations”, Journal of Applied Management and
Entrepreneurship, 15, 4, p.73.
Makhija, M., (2003). “Comparing the Resource-based and Market Base
Views of the Firm: Emperical Evidence from Czech Privatation”, Strategic Management Journal”, 25, 5, p.433.
Margareta, A.P., (1993).
“The Corner Stones of Competitive Advantage: A Resource-Based View”, Strategic Management Journal”, 14,
p.179-191.
Prahalad, C.K.; & Hamel, G., (1990). “The Core Competence of
the Corporation”, Harvad Business Review.
Rifai-Hasan, P.A., (2009). “Develoment, Power
and the Mining Industry in Papua: A Study of Freeport Indonesia”, Journal of Business Ethics, 89,
p.129-143.
Sethi,
S.P.; Lowry, D.B.; Veral, E.A.; Shapiro, J.; & Emelianova, O., (2011).
“Freeport_McMoRan Copper & gold, Inc.: An Innovative Voluntary Code of
Conduct to Protect Human Rights, Create Employement Opportunities, and Economic
Development of the Indigenous People”, Journal
of Business Ethics, 103, p. 1-30.
Thompson,
A.A.; Strickland, A.J.; & Gamble, J.E., (2010). Crafting and Executing Strategy, The Quest for Competitive Advantage. McGraw
Hill.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar