Suara mercon dan kembang api yang ditingkahi klakson itu begitu keras menghentak, menggaung dan menjajah udara malam tahun baru 2009. Bunyi bersuitan dan gelegar besar menyerbu saat percikan api yang menyebar membentuk bola api raksasa diatas angkasa bertalu-talu tanpa henti. Namun sunyi dan senyap menguasai pojok kamar yang dingin dan beku di lantai 3 RS Bethesda. Tiga orang luruh dalam lamunan dan tersesat di gelapnya lembah ketakutan dan kegelisahan. Semuanya tepekur, semuanya diam dan semuanya menangis dalam kesunyian hati. Diatas tempat tidur, sesosok tubuh yang kurus kering, tulang dahi yang menonjol dan tangan bersilang yang hanya dilapis kulit tipis itu bergerak naik turun diatas perut yang buncit dan hitam. Hatinya yang rusak tidak mampu lagi memproses metabolisme tubuh seperti seharusnya. Cairan tubuh memenuhi rongga perut laksana penderita busung lapar di tengah gurun Afrika.
"Bu.....aku wis ra kuwat" suara lirih dari bibir yang kering hitam dan tipis laksana bunyi mercon yang jatuh tepat didepan muka kami bertiga, mengalahkan kerasnya pesta kembang api di bundaran UGM disudut rumah sakit. "Paaaak, dikuat kuatke pak, ojo tinggalke aku dewe hu hu hu hu", ibuku yang renta dimakan penyakit gula menahun itu kembali harus menguras air mata dari sumur hatinya yang sudah kering kerontang. "Aku.....njaluk pamit" mata sayu itu sekejap bersinar dan tangganya bergerak pelan turun dari bulatan perut mencoba meraih kepala istrinya. "Ojoooo pak" ibuku menciumi tangan kisut itu dengan penuh cinta kasih. "Pak-e, apa bapak tega ninggalin aku sendiri. Selama ini 37 tahun kita bersama....jangan pak, aku sayang sama bapak. Kemanapun bapak pergi aku ikut. Ingat pak dulu waktu bapak pergi ke tengah hutan di Lampung aku juga ikut, kalau bapak mati aku juga ikut sayangku" dan kemudian sunyi kembali menguasai kamar gelap itu.
Aku lirik jam menunjukkan pukul 12.15 dinihari, diluar suara mercon dan kembang api masih menjajah langit kota Yogya. Disebrang tempat tidur, aku dan istriku hanya bisa duduk diam melihat pertunjukkan cinta yang luarbiasa ini. Mataku basah dan berat seberat hatiku yang berteriak "apa yang sudah kamu persembahkan untuk tubuh renta ini?, sudahkah kau buat dia bahagia akan engkau!". Jeritan hati membuatku makin pilu, meringkuk dan mengalirkan airmata penyesalan. Dengan bibir gemetar dan suara parau aku bergumam kecil "pak, kita berdoa ya. Mohon kekuatan dari Tuhan agar bapak bisa kuat dan sembuh. Bapak ingin lihat cucu dari adik kan?", pintaku kepada tubuh lunglai yang penuh dengan selang yang menghujam dibadannya.
Dengan perlahan aku pegang tangan istriku untuk kemudian memegang tangan kisut itu dan menggengamnya erat bersama-sama dengan tangan ibuku. "Ya Tuhanku ya Allahku, engkau yang empunya kerajaan surga yang mulia. Terimakasih Tuhan atas semua berkat yang sudah kami nikmati selama ini. Ampunilah kami akan kesalahan yang sudah kami perbuat." Kalimatku berhenti dan digantikan oleh isak tangis yang tak tertahankan. "Tuhan, kami sungguh rindu akan pertolonganmu. Kami sungguh rindu engkau mengulurkan tanganmu untuk menolong bapak kami yang tercinta. Jamahlah dia Tuhan, berikan bapak kekuatan dan kesembuhan". Dan kembali isak tangis menciptakan jeda sunyi. "Tuhan, kami tahu bahwa rencana kami bukan rencanamu. Rencana kami hanyalah rencana manusia yang penuh dengan kelemahan. Kami sadar Tuhan bahwa rencanamulah yang paling sempurna. Berikan pada kami kekuatan Tuhan untuk bisa menerima rencanamu akan kami, karena kami percaya bahwa Engkau tidak akan pernah meninggalkan kami". Dikejauhan suara mercon dan kembang api sayup sayup masih terdengar, klakson mobil dan terompet masih bersahut-sahutan.
"Pa, Eyang dimana?" wajah cantik anakku mengagetkan lamunanku. "Eyang ada di surga sayang......." kataku lirih sambil memeluk dan mencium pipinya. "Ooo eyang di suga ya pa?" katanya lagi memastikan. "Iya" sahutku lirih. "Bu Pamungkas, bapak sekarang bersama-sama dengan Tuhan, bebas dari penderitaan duniawi. Bagi kita orang percaya, kematian bukanlah hal yang menakutkan seperti yang diucapkan oleh Paulus dalam Filipi 1:21 - Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan-". Bapak pendeta tua itu sedang mencoba menguatkan hati kami sekeluarga. Disebelah kiri, ibuku masih terisak-isak sambil menyebutkan nama suaminya. Sayup terdengar lirih pertanyaan yang bergema "pak, kok kamu duluan pak?, harusnya aku yang sakit-sakitan ini yang harus lebih dulu dipanggil".
Siang itu kami mensemayamkan jasad bapak kami yang tercinta di tempat peristirahatan terakhirnya, kuburan tua dipojok desa. Penyakit lever mampu mengalahkan badan bapak yang renta, tapi penyakit tidak sedikitpun mampu menggesar kedudukan bapak di hati kami anak2nya. Bapak memberikan yang terbaik untuk kami, istri dan anak2nya. Selamat jalan bapak......tanganku menabur bunga ke gundukan tanah merah itu untuk yang terakhir kali. "Pa, eyang mana?" sekali lagi Tesa bertanya. Kali ini aku tidak mampu menjawabnya. "Eyang di suga ya pa?" kembali Tesa bertanya, dan aku hanya bisa mengangguk.
BSD City
10 Maret 2010
EU untuk mereka yang sedang berduka.
Special dedication utk bpk & ibu Merak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar