Didepan meja duduk Reni dengan muka agak tunduk. Wajahnya gelap dan tangannya memegang saputangan erat-erat. Kalau bisa bicara pasti akan terdengar jeritan sapu tangan untuk minta diberikan sedikit kelonggaran. "Pa kabar Ren" kataku menetralkan suasana. "Baik pak" jawab Reni sekenanya. "Sudah bulan ke berapa?" aku masih mencoba meredakan emosi Reni dengan menanyakan usia kandungannya. "Sekarang sudah 5 bulan pak" jawab Reni sambil tersenyum kecil. "Wah, selamat ya Ren, sebentar lagi dapat momongan nih". "Makasih pak" kali ini Reni menjawab dengan lepas dan jauh lebih rileks.
Reni adalah sekretaris salah seorang direksi di perusahaanku. Dan bagi semua pihak yang berkepentingan dengan direksi (termasuk aku) jelas harus baik2 dengan mereka-mereka ini. Sebab mereka merupakan "gate keeper" atau penjaga gerbang kesempatan kita untuk ketemu dan atau minta jadwal ketemu dengan para Dewa perusahaan. Kalau belum ketemu Direktur sudah terjegal di sekretaris kan celaka duabelas betul ngak?i. Seminggu yang lalu saat aku meeting dengan bossnya, sesaat sebelum keluar ruangan Reni sempat berujar "pak, kapan ada waktu? saya butuh dicoaching nih?" kata Reni dengan penuh harap. "Anytime, coba WM aku saja kalau mau datang ke kantor" jawabku saat itu. Pekerjaan sampingan sebagai Coach tidak hanya aku kerjakan bahkan aku jadikan KPI untuk teamku di Divisi Learning & Development. Dan hari ini, 2 hari sejak pertemuan kami di ruangan direktur Reni benar2 datang untuk minta dicoaching.
"Gini pak, bapak tahukan sekretarisnya presdir kita" kata Reni mengawali sesi coaching sore itu. "Iya, kenal" sahutku. Sejenak Reni memandangku seolah-olah ada yang hendak dicarinya disana. "Bapak tahu reputasinya?" selidik Reni lebih lanjut. "Reputasi yang mana nih?" jawabku sambil tersenyum simpul. "Itu lho pak, reputasinya yang suka ngawur dalam kerja!" potong Reni cepat2. "Coba kamu ceritakan" pintaku. "Tiga hari yang lalu, saya dimarahin sama presdir dan direktur saya karena dianggap salah membuat jadwal meeting, padahal kesalahan ini terjadi karena dia salah memberikan jadwalnya presdir!". Saat menceritakan kejadian itu, muka Reni kembali memerah dan nafasnya menjadi pendek-pendek, tanda yang aku hafal sebagai salah satu tanda orang yang sedang mengalami emosi negatif. "Saya kesal sekali pak! dan ini bukan yang pertama tapi yang keseribu kali, pada waktu dikonfirmasi bukannya dia minta maaf malah marah ke saya!" Reni menambahkan dengan nada makin meninggi. "Menurut pak Eko, apa yang harus saya lakukan? saya akhir2 ini jadi uring2an kalau berurusan dengan dia, bahkan melihat mukanyapun saya sebal!".
Hening beberapa jenak, "Ren, coba tarik nafas panjang.....dan keluarkan. Buat dirimu rileks............
Saya bisa mengerti kalau Reni saat ini sedang kesal dan marah, kalau aku mendapatkan perlakuan seperti itu aku juga akan kesal seperti kamu. Keheningan menguasai ruangan. "Terus apa yang musti saya lakukan pak? saya akhir2 ini suka uring-uringan sendiri?" kali ini nada pertanyaan Reni melunak dan rendah. "Reni, apakah kondisimu yang seperti ini, suka marah2 dan kesal ngak ada ujung berguna untuk kamu?" alih2 menjawab pertanyaan, aku mencoba masuk untuk mencoba mengurai emosi negatifnya. "Ngak ada pak, kerja juga malah jadi ngak beres!" kali ini reaksi tubuh Reni lunglai. "Berguna ngak untuk anak yang ada dalam kandungan?" tanyaku menegaskan. Hening......."tidak pak" jawab Reni lirih. "Nah, kalau emosi negatif tidak berguna untuk kamu dan bayimu maukah kamu menghilangkan emosi tersebut?" pintu perubahan telah terbuka bisikku dalam hati. "Mau pak!" jawab Reni dengan semangat.
"Reni, kamu kenal mbah Covey ngak, itu lho yang mengarang 7 habits" tanyaku mengawali sesi pelepasan emosi. "Tahu pak, bukunya yang terjual banyak itu ya". "Betul" kataku sambil tersenyum. "Covey bilang bahwa suatu Stimulus atau Rangsangan dalam bahasa Indonesia akan menghasilkan Response atau Tanggapan" terangku sambil bangkit dari tempat duduk dan menggambar anak panah dan tulisan response di white board. "Menurut kamu Ren, siapa yang bertanggung jawab dengan response?" pancingku kepada Reni. "Yang bertanggung jawab jelas yang memberikan rangsangan pak, karena dialah maka seseorang harus memberikan response!" dengan semangat Reni menjawab. "Dalam kasusmu, ransangan adalah pola perilaku dari sekretaris Presdir dan tanggapan adalah hal yang kamu lakukan" pancingku lebih dalam lagi. "Wah kalau itu lebih jelas lagi pak, rangsangan dia yang kacau balau itu membuat saya memberikan response marah dan kesal seperti ini pak" jawab Reni mencoba memberikan pembenaran tindakannya.
"Coba kamu perhatikan, antara panah stimulus dan response sebenarnya ada jarak diantara keduanya. Ada hal2 lain yang bisa kita lakukan sebelum kita menanggapi suatu rangsangan yaitu: apa kata hati nurani kita, pilihan apa yang akan kita ambil, imajinasi, perhitungan kita dll" terangku sambil melihat muka Reni untuk melihat response dia akan konsep penting ini. "Maksud pak Eko?" Reni bertanya sedikit kebingungan. "Aku ulang pertanyaan yang sama, siapa yang bertanggung jawab akan response kamu?" tanyaku dan hening kembali hadir. "Saya sendiri pak" jawab Reni seakan2 menemukan hal yang baru. "Great!" sahutku senang. "Dengan demikian, kondisi kesal dan marahmu siapa yang menyebabkan" kejarku. "Saya sendiri pak" kali ini jawaban Reni tegas. Response terhadap jawaban Reni hanyalah senyuman.
"Nah, dengan pengertian baru ini Reni bebas memilih apapun yang Reni inginkan tanpa tergantung pada sekretaris itu kan? mau cuek boleh, mau menertawakan cara kerjanya yang jelek boleh, kalau mau memilih marah juga boleh, semuanya adalah pilihan Reni". "Yang pasti saya akan memilih response yang berguna buat saya dan anak saya pak!" sahut Reni penuh semangat. "Saya tidak akan terpengaruh dengan rangsangan dari luar lagi pak, response saya sepenuhnya dalam kontrol saya. Mau nungging, mau cuek, mau marah adalah pilihan hati nurani saya" gantian Reni yang menerangkan konsepnya. "Good, how do you feel now?" tanyaku kepadanya. "Santai dan tenang pak Eko, terimakasih banyak untuk sesi coachingnya." jawab Reni sambil berdiri dan menyalami tanganku. "Oke bu, salam buat sikecil dalam perut ya" kataku kepadanya. "Sekali lagi terimakasih pak" jawab Reni sebelum meninggalkan ruangan.
Jalan Raya Serpong
"Ciiiiiiiiiiiit, brum" sebuah kijang Inova dengan berangasan memotong jalur mobilku, hampir saja pantat mobil itu menyentuh bemper depan Vios yang aku kendarai. Sejenak berfikir, response apa yang akan aku berikan terhadap rangsangan ini. "Marah!" pikiranku membuat keputusan dan sesaat kemudian Vios menderum saat gas aku becek agak dalam. Dengan beberapa manuver akhirnya Inova terkejar dan kepotan sedikit menyerempet bahaya aku berhasil menempatkan Vios didepan Inova silver itu. Dan sepanjang jalan dari BSD sampai Alam Sutera, Viosku dengan lincah berhasil memblok semua pergerakan Inova. Tak ada ruang sedikitpun Inova bisa maju kedepan ngebut, semua terhalang manuver Vios.
Bundaran Alam Sutera tampak di depan mata, dan pikiran dan hati nurani bilang "Its enough dan cukup response marahnya" dan dengan santai aku masuk ke jalur lambat dan membiarkan Innova menyalib. Sambil bersiul CD aku putar untuk mengalunkan lagu Michael Buble menemani perjalanan.
BSD City
20 Feb 2010
Eko Utomo untuk Anda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar