10 April 2010

Kutek, Kontex dan Konten


Pernah mendengar atau melihat tanaman yang namanya Pacar? atau yang lebih terkenal dengan nama panjang Pacar Kutek? Masa kecil diawal tahun 80an di kota Blora memberikan kami banyak kesempatan bermain-main dengan tanaman ini. Tumbuhan Pacar banyak tumbuh liar di jalan setapak dipinggir kampung, di pinggir sawah, di dekat papringan (gerumbul bambu) atau duduk manis di halaman orang. Tumbuhan tidak berkambium ini memiliki keistimewaan bagi anak2 kecil khususnya anak perempuan. Bocah2 yang suka meniru gaya orang tua bisa memanfaatkan daun pohon pacar untuk mewarnai kuku mereka! ya....daun pohon pacar yang ditumbuk halus dan ditempelkan di kuku bisa menjadi pengganti kutek pewarna kuku keluaran salon. Dari situlah maka pohon ini lebih terkenal dengan nama pohon Pacar Kutek.

Pemakaian pohon Pacar sebagai perwarna kuku untuk bocah bocah perempuan kecil LAZIM dan COCOK dan bahkan memberikan pelajaran Biologi yang luar biasa untuk mereka. Namun hal yang sama menjadi TIDAK LAZIM kalau dipakai nona nona dewasa dan ibu-ibu pejabat yang banyak duitnya untuk mewarnai kuku mereka menggunakan daun Pacar. Kalau tetep maksa menggunakannya dan belang bonteng hasilnya, saat pergi ke pesta bisa-bisa dilirik dan dibilangin orang "kukunya ngak kuku pakai pohon kutek karena kurang uang ya nyah?".

***

Pagi itu kantor saya kedatangan pak Pardi. Pak Pardi yang berkumis tipis merupakan seorang Supervisor dibagian produksi. Kedatangannya ke kantor saya bukan merupakan kedatangan yang pertama kali, namun kumis tipisnya yang agak kusut ditambah rambut yang acak2an plus wajah yang ditekuk memberikan sinyal kepada saya bahwa naga-naganya suasana hati beliau sedang gelap. "Pak Pardi, silahkan duduk pak". Aku persilahkan pak Pardi duduk di kursi hitam di depan bangku. "Ada yang bisa saya bantu?" pancingku membuka percakapan."Bruuuk" kursi hitam yang sudah agak reyot itu ditimpa tubuh pak Pardi yang lagi kesal. "Perusahaan ini ngak adil mas!", desah pak Pardi dengan nadi kesal. "Hmmm maksud sampeyan bagaimana pak" tanyaku mencoba menggali informasi lebih dalam. "Masak yang dipromosi menjadi Manager si Parno dan bukan saya!" nada kesalnya naik satu oktaf.

Ternyata gosip bahwa Pardi tidak terima rekannya Parno naik jadi manager bukan gosip. "Apa yang membuat sampeyan bilang bahwa perusahaan ngak adil?" tanyaku lebih jauh lagi. "Ya jelas ngak adil mas, lha saya ini kan sudah bekerja di perusahaan ini selama 15 tahun, sudah berpengalaman kerja tinggi, sedangkan Parno kan baru 5 tahun yang lalu masuk keperusahaan ini!" jawabnya tetap dengan nada tinggi. "Maaf pak Pardi, kalau boleh tahu apakah masa kerja menjadi syarat untuk promosi menjadi manager?" tanyaku pura2 tidak tahu. Hening sejenak..............."nga
k sih mas, kata mereka syarat utamanya harus kompenten sesuai dengan hasil assesment" kali ini nada suara Pardi turun 2 oktaf. "Oooo kalau begitu konteks promosinya dilihat dari kompetensi hasil assesment dan bukan dari masa kerja yang pak? kalau begitu apakah kita bisa bilang bahwa dalam kontek ini perusahaan tidak adil ke sampeyan? dan pak Pardi hanya duduk mematung.

***

"Pak Eko, saya masih belum mengerti pak, kenapa dalam setiap meeting bapak selalu bilang kepada saya untuk jangan terjebak ke konten dan harus lebijh fokus ke konteks, proses dan structure?" Budi anggota termuda Learning & Development sore itu tiba2 melontarkan pertanyaan saat aku lewat dibelakang meja kerjanya. Sambil tersenyum simpul aku duduk dikursi disamping Budi. "Bud, apa saja material pokok yang dibutuhkan untuk membuat rumah?" tanyaku kepada Budi. "Hmmm, pasir, batu, batubata, kayu, besi, kayu, keramik dan lain lain pak" jawab Budi sedikit bingung ditodong pertanyaan saat bertanya. "Betul Bud, yang kamu sebut tadi merupakan bahan yang diperlukan untuk membuat rumah megah seperti rumah yang ada di Pondok Indah sana. Bahan bangunan tadi kalau misalnya masih berada di toko bangunan dan diletakkan digudang atau dihalaman lebih berharga mana dibandingkan dengan rumah Pondok Indah?" tanyaku sambil menatap mata Budi yang penasaran. "Ya pasti jauh lebih mahal kalau sudah jadi rumah di PI pak? tapi apa hubungannya dengan pertanyaan saya tentang konteks proses structure vs konten" desak Budi campur bingung. "Bahan bangunan yang kamu sebutkan diletakkan di Pondok Indah sebagi konteksnya, dan dibangun menurut gambar arsitektur jempolan sebagai structurenya dan dikerjakan oleh kontraktor kelas satu akan menjadi pembeda dengan bahan bangunan yang masih tinggal di toko material" Budi terdiam dan mencoba memproses. "Coba bayangkan Bud, bahan bangunan yang sama tadi dipakai membangun rumah di Legok, ngak pakai gambar arsitek dan dikerjakan oleh tukang dari desa tetangga. Hasilnya apakah sama dengan yang di Pondok Indah" aku mencoba menerangkan lebih jauh.

***

"Teman-teman, dalam proyek kali ini kita harus memastikan bahwa semua stakeholder terkait harus buy ini terhadap action plan yang kita buat. Kita harus memastikan bahwa semua Division Head dan Department Head menerima rencana ini" jelasku kepada tim LD. "Maaf pak, apakah yang bapak maksud adalah pak Bowo, pak Toni, pak Amir" tiba-tiba Budi menyela. "Konteeeeeeeen, ngak penting" dan tiba2 tim yang lain gantian menyela Budi. Aku tersenyum simpul melihat gaya mereka memberikan feedback kepada Budi. "Ok, saya lanjutkan kembali. Masing-masing dari penanggung jawab action plan secara reguler memberikan report di meeting mingguan". "Pak Eko, saya bertanggung jawab untuk action plan yang X kan pak" tanya Budi Innocent. "Konteeeeeeeen" teman2nya dengan ramai-ramai memotong sambil cengar-cengir!.

BSD City
Tengah malam 8 April 2010
EU 4 U

Note:
+ Gajah bagi 4 orang buta akan dideskripsikan berbeda pada saat mereka meraba pada konteks lokasi yang berbeda (konteks lokasi)
+ Kontent tergantung Konteks
+ Manusia sukses akan fokus dan mendudukkan segala sesuatunya pada konteks, proses dan strukture yang tepat sebelum membahas konten

Tidak ada komentar: