27 April 2010
Ode Untuk Sahabat
Timika 2005
Pagi itu suasana di kantor Nemangkawi Mining Institute(NMI)* ribut, semua orang dengan penuh perhatian mendengarkan kronologi kejadian dari salah seorang staff pengajar yang ditodong pisau saat membawa mobil ke mess karyawan di dekat Bandara Moses Kilangin. Bagaimana tidak ribut kalau pagi hari tadi mobil dinas Head of NMI Landcruiser LWB dengan nomer lambung 229 dirampas 2 orang Papua yang setengah mabuk dan dibawa lari masuk ke daerah Kwamki Lama!
Laporan tentang kejadian pagi tadi segera diteruskan ke security Freeport dan juga ke pihak kepolisian. Saksi mata yang melihat peristiwa yang terjadi termasuk juga security yang menjaga di gerbang mess karyawan dengan jelas menyatakan bahwa mobil 229 dibawa kabur ke Kwamki Lama namun pihak security dan kepolisian masih juga belum masuk ke Kwamki Lama untuk mencari mobil yang hilang. Dari sudut pandang sosiologis hal ini bisa dimengerti. Kwamki Lama bagi pihak security dan kepolisian merupakan daerah ”angker!”.
Kwamki Lama merupakan daerah yang dibuka khusus untuk merelokasi penduduk ”High Land” yang berada di dalam kawasan tambang di dekat Tembagapura. Perang antar suku sering terjadi disini bahkan hampir dibilang rutin dengan seratus satu penyebab. Tahun 2005 ini banyak terjadi gesekan antara penduduk Kwamki Lama dengan Freeport. Sangat bisa dimengerti bahwa security Freeport dan kepolisian sangat hati hati sekali untuk masuk kekawasan itu ”hanya” untuk mencari sebuah LWB 229.
Jam menunjukkan pukul 9 pagi. ”Mas, ikut aku!” aku sedikit kaget dengan ajakan itu.
Sesosok perempuan Papua dengan potongan rambut pendek dan badan besar yang memenuhi pintu depan ruangan kantorku sambil melambaikan tangan mengajak pergi. Ajakan seperti ini bukan merupakan ajakan yang pertama kalinya. Setiap kali ada meeting dan hal2 yang penting yang menyangkut keberadaan NMI dengan 1000 lebih apprentice (pemagang), pasti perempuan satu ini akan mengajak aku untuk naik mobil dan berputar2 kesana kemari sambil sambil meeting dan diskusi didalam mobil!
Perempuan Papua yang aku kenal sejak 3 tahun yang lalu di highland ini sudah menjadi sahabat, teman berantem dan boss sejak interview untuk mengisi posisi Scholarship Section Head. Aku masih ingat bagaimana proses interview berlangsung di sore yang dingin, berkabut dan gerimis dilantai 2 kantor scholarship Tembagapura.
”Pak Eko, silahkan duduk” suara yang nyaring dan tegas menyapaku saat itu, dan kami tenggelam dalam diskusi tentang pekerjaan, keberadaan Freeport, orang Papua dan seribu satu hal lainnya.
”Boleh juga dia ini!” desisku dalam hati pada saat itu.
Walaupun belum pernah kenal secara langsung, aku serba sedikit sudah tahu profile Trifena Tinal. Anak Papua juara 1 sekolah YPJ Tembagapura yang mampu kuliah di New Orleans State University di jurusan yang jarang (atau belum pernah!) diambil oleh anak Papua lain yang sedang sekolah disana, jurusan Teknik Sipil!. Jurusan momok karena syarat untuk lulus sama sulitnya dengan syarat untuk masuk. Dan sore hari itu aku tahu bahwa aku menemukan orang yang sama ”idealisnya” dalam memandang dimensi keberadaan perusahaan raksasa dipucuk gunung Jayawijaya dan juga bagaimana pandangan kami tentang manusia Papua dan keberadaan mereka dibumi Papua yang kaya ini.
”Mau kemana Trif?” tanyaku sedikit heran.
Disaat sedang krisis penyanderaan mobil kok malah diajak pergi. ”Nanti kalau security dan polisi cari informasi bagaimana?” tanyaku lebih lanjut. Sebagai orang pertama dan kedua di NMI semestinya kami harus tinggal di kantor dalam kondisi seperti ini. ”Aku ingin cek ke lokasi kejadian, cepat....!” jawabnya keras. Kalau dia sudah menjawab dengan intonasi seperti itu aku hafal itu adalah intonasi yang menyatakan bahwa dia tidak ingin di bantah. Segera kami berdua naik ke mobil pribadinya, kijang kapsul dan meluncur menuju ke lokasi kejadian.
”Trif, ini mau kemana?” seruku bingung, dipertigaan sesudah pos pemeriksaan, mobil bukannya mengarah ke mess karyawan tapi malah belok kanan menuju ke Kwamki Lama!
”Trif, kondisi lagi genting banget nih...........apa kita ngak nunggu security atau polisi yang menyelesaikan masalah ini!” seruku setengah kecut setengah tegang.
Memang bukan pertama kalinya aku pergi ke Kwanki Lama, sudah beberapa kali Trifena mengajakku masuk kesana ketemu dengan beberapa saudaranya atau hanya main2 saja. Tapi kondisi sedang genting seperti sekarang ini membuat adrenalinku naik tinggi! Kami masuk kandang macan!
”Tenang mas, aku kenal mereka. Mereka adalah masyarakatku dan juga saudaraku!” kata perempuan Papua itu yakin.
Yang bisa aku lakukan hanyalah menahan nafas dan berdoa. Sesudah bertanya dalam bahasa Amungme kebeberapa orang di pinggir jalan akhirnya kami berdua masuk ke tengah-tengah perkampungan. Satu putaran, dan mobil putih LWB 229 tidak terlihat. Dua putaran, juga masih tidak terlihat. Dan diputaran ketiga di tengah jalan kampung kami melihat mobil itu dari arah depan berpapasan dengan kami. Segera Trifena memalangkan mobil ditengah badan jalan! Dan mobil LWB 229 berhenti didepan kami.
Yang terjadi kemudian adalah perang mulut dan debat keras dalam bahasa Amungme yang tidak aku mengerti. Perang itu terjadi berjam-jam dari pagi sampai dengan siang hari ditingkahi oleh provokasi seorang Papua setengah mabuk yang naik motor dengan gas yang ditarik sekencang2nya! Makin siang makin penuh area itu karena berbondong2 seluruh penghuni Kwamki Lama datang ketempat itu. Mungkin ada 200 orang Papua disana. Dan aku merupakan satu2nya Oyame (non Papua) yang ada ditempat itu. Aku hanya bisa berdiri menyaksikan Trifena beradu mulut dengan penyandera mobil dan kawan kawanya. Tegang campur takut karena seolah-olah kami masuk area terlarang. Bagaimana tidak takut kalau pikiranku penuh dengan bayangan tiba2 ratusan orang ini marah dan melampiaskannya kepada Trifena dan kepada aku kawannya.
Jam menunjukkan pukul 12 siang, drama itu berakhir. ”Mas Eko bawa kijang dan aku bawa 229” Trifena melemparkan kunci mobil kepadaku.
Drama 3 jam berakhir dengan ”kemenangan” gemilang ditangan singa kampung Waa**. Dan kami berdua keluar dari Kwamki Lama dengan disaksikan ratusan penduduk yang berdiri memenuhi pinggir jalan. Saat laporan itu masuk ke security dan polisi mereka hanya ternganga mendengarkan kenekatan dan keberanian boss NMI ini.
Malam harinya aku dan Trifena merayakan kembalinya 229 ke restoran Nyiur Melambai.
”Trif, gila banget loe........apa yang membuat kamu yakin bahwa kita pagi tadi akan berhasil?” tanyaku kagum.
Aku dan Trifena berloe gue karena dia pernah setahun sekolah di SMA terfavorite di kota Bandung sebelum melanjutkan high schoolnya di Amrik.
”Mas, aku adalah orang Papua juga seperti mereka. Aku dengarkan dan perhatian apa yang menjadi jeritan hati mereka. Sepanjang kita bisa tegas dan tulus, mereka pasti ada dipihak kita!”.
Jawaban yang tidak aku ragukan sedikitpun. Bagaimana aku harus meragukan orang yang tidak pernah peduli berapa besar gaji yang dia terima & berapa kenaikan gajinya sesudah Performance Appraisal. Orang yang hanya peduli bagaimana masyarakatnya bisa maju namun dengan jalan yang benar!
”Aku percaya Trif dan harapanku untuk kamu cuma satu!” kataku sambil menatap matanya.
”Apa itu mas? tanya Trifena sambil menghentikan makan 4 porsi kangkung Cah kesukaanya.
”Kamu tetap seperti ini dan tidak pernah berubah sampai kapanpun! Tanah ini banyak berharap kepada kamu!”.
Jakarta 12 April 2010
Sebuah Ode untuk seorang sahabat
Untuk keberadaan 34 tahun di bumi ini
EU for Trifena
Happy Birthday sister!
*NMI : sebuah institusi yang didirikan oleh Freeport untuk mengembangkan masyarakat Papua agar mampu bersaing dan masuk di formasi karyawan Freeport. Seorang pemagang akan mendapatkan pendidikan selama 3 tahun (setara D3) sesuai dengan jurusan yang dipilih dan uang saku selama belajar di NMI. Mereka yang sudah lulus akan mendapatkan prioritas kerja di Freeport
**Kampung Waa: kampung asal Trifena yang berada di pucuk gunung Jayawijaya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar