27 April 2010

"Is it negotiable?"

"Apakah angka ini bisa dinegosiasikan?" tanya recruiter.
"Maaf, itu adalah angka minimal yang sudah saya tetapkan" jawab yang diinterview tegas.

***

Siang hari itu saya dan dua orang rekan kerja sedang diskusi santai tentang proses seleksi yang baru saja dilakukan oleh rekan kerja kami, sebut saja Anya. Beberapa hari yang lalu Anya mendapatkan panggilan untuk mengikuti suatu proses interview oleh suatu perusahaan. Sesudah proses interview dan proses-proses lainnya selesai, profile Anya dinyatakan cocok dengan kebutuhan perusahaan tersebut.

"Jadi itulah yang terjadi dengan negosiasi saya kemarin" kata Anya kepada kami berdua.

"Bentar bu, jadi Anda mengajukan angka tertentu dan kemudian ditanya apakah angka tersebut bisa dinegosiasikan?" Ito yang sedari tadi diam menyimak mencoba mengklarifikasikan apa yang terjadi antara Anya dan perusahaan yang hendak merekrutnya yang diwakili oleh HR Manager mereka.

"Betul, itulah yang saya jawab".

"Anya, kamu tadi bilang bahwa peristiwa kemarin itu merupakan peristiwa negosiasi gaji antara kamu dan perusahaan yang hendak mengambil kamu, namun kalau mendengarkan ceritamu, kok aku tidak melihat dimana letak proses negosiasi berlangsung ya", kali ini aku bertanya sambil mencoba untuk memberikan sudut pandang lain ke Anya.

"Maksud pak Eko?" alis Anya terangkat.

"Cerita kamu itu mirip dengan proses kita belanja di Mall. Tidak ada negosiasi disana. Yang ada adalah harga pas bandrol. Kalau yang namanya negosiasi tentu saja ada yang naik dan ada yang turun." aku mencoba menjelaskan definisi negosiasi versiku.

"Hmmm, bener juga sih pak. Trus baiknya harus gimana pak?"

"Anya, pihak disebrang meja merupakan manusia juga seperti kita. Dengan demikian mereka pasti ingin juga merasakan suatu kemenangan dalam suatu proses negosiasi. Kalau belum belum kita sudah bilang bahwa angka yang kita ajukan adalah angka mati, tentu saja mereka jadi keki, meskipun angka yang diajukan masuk didalam budget mereka" jawabku. "Sebelum proses negosiasi gaji dilakukan, akan lebih baik kamu tentukan berapa sebenarnya angka yang kamu ingin dapatkan atau istilah kerennya BATNA*. Dari situ baru kamu naikkan sekian persen untuk memberikan kesempatan kepada pihak seberang meja menawar".

"Untung ruginya buat mereka dan kita apa pak?", Ito melontarkan pertanyaan manis.

"Misalkan saja BATNA kamu adalah 10 jt. Let say, kamu naikkan 20% dari angka BATNA sehingga angka yang didapatkan adalah 12 jt. Kita lihat skenario yang mungkin terjadi:
Skenario 1: Disetujui pihak sana karena masuk dalam budget mereka, Anya tetap untung karena dapat lebih tinggi dari BATNA dia. Pihak sana juga senang karena dapat karyawan sesuai budget.
Skenario 2: Ditawar 10 juta. Anya minta 11 juta dan akhirnya ketemu di angka 10,5. Anya senang karena yang didapatkan tetap lebih tinggi dari Batna dan pihak sebrang meja juga senang karena (merasa) menang dan dapat menurunkan permintaan.

"Wah, bener juga tuh pak. Dan sepertinya konsep ini bisa juga dipakai dalam banyak konteks yang lain", sahut Anya dengan gembira. "Saya akan pakai di kesempatan berikutnya pak".

***

"Hallo, ada apa ma?" tanyaku sesaat sesudah mengangkat telepone dari mama Tesa.

"Pa, biaya sekolah Tesa & Jason, plus terapi dan guru bantu total 3 jt. Kirim sekarang ya pa, aku mau bayar ke sekolah hari ini", suara mama Tesa dari sebrang terdengar merdu khas suara (mantan) penyanyi.

"Ma, aku transfer 2,5 jt saja ya?"

"Papa ini gimana sih? biaya sekolah kok ditawar kayak beli ikan dipasar saja!" gerutuan dari sebrang tetap terdengar merdu ditelinga.

BSD City
Hampir tengah malam
24 April 2010
EU 4 U

BATNA: Best Alternative to Negotiate Agreement. Alternative yang bisa kita terima.

Tidak ada komentar: