"Emang kenapa kalau pipis sendiri? kan kamar mandinya dekat?", tanya istriku kepada keponakannya yang sedang menginap dengan penasaran.
"Kata mami, kalau dikamar mandi suka ada setan!", anak kecil itu menjawab pertanyaan dengan muka yang kelihatan bergidik ketakutan.
"Emang kamu sudah pernah ketemu dengan setan?" kali ini tersungging senyuman di muka sang Bou.
"Belum sih, cuma aku sering lihat sama mami di film yang diputar di TV". Kami berdua saling berpandangan, masih terngiang kata terakhir yang diucapkan kakak ipar sebelum meninggalkan anaknya dirumah kami "Awas.........jangan nakal kalau dirumah Bou ya, kalau nakal kamu nanti digondol sama setan!".
***
"Thesa, ayo kerjain PRnya. Dari tadi kok main terus sih! tar kalau ngak belajar Thesa bisa ngak naik kelas lho!". Thesa yang yang dibilangin sama sang mama terdiam sesaat di depan pintu, masih dengan posisi satu kaki diatas scooter pink kesukaanya.
"Yang", aku panggil mama Thesa yang masih saling berpandangan beradu kekuatan mata dengan anak sulungnya.
"Apasih pa?" jawabnya singkat.
"Itu lho, bahasa yang kamu pakai terhadap Thesa mungkin harus dirubah sedikit agar lebih baik buat Thesa".
"Apa yang salah dengan ucapanku?" kali pertanyaan itu dilontarkan dengan urat leher sedikit lebih menonjol.
"Ngak ada yang salah, ucapanmu juga salah satu cara untuk memotivasi si cantik Thesa".
"Trus........", sang istri hapal bahwa penjelasan suaminya belum sampai ke titik.
"Cara memotivasi seperti itu mungkin akan membuat Thesa melakukan apa yang dibilang, tetapi berdasarkan ketakutan yang kita ciptakan, bukan karena apa yang dia inginkan".
"Hmmmm trus ucapan motivasi yang lebih baik bagaimana?", ini pertanyaan yang ditunggu-tunggu.
"Kalau yang kamu ucapkan tadi metodologinya Outside Inside, yang sekarang Inside Outside. Ucapanmu bisa dirubah sedikit seperti ini: Thesa ayo belajar sayang, biar Thesa jadi pintar dan naik kelas."
"Emang pengaruhnya apa pa, terhadap perkembangan Thesa?".
"Kalau dibiasakan dengan kalimat negatif yang berisi ancaman dan ketakutan, dimasa depan Thesa hanya akan "bergerak" kalau ada ancaman dan ketakutan. Menjadi orang yang reaktif daripada orang proaktif".
***
"Emang salah pak, kalau kita mendidik anak kita agar berbuat baik dengan menakut nakuti mereka dengan Neraka?", Jangkung salah satu anggota tim tiba-tiba bertanya saat makan siang bareng.
"Ngak ada yang salah Kung, namun cara motivasi seperti itu tidak akan pernah menghasilkan orang yang outstanding!".
"Maksud bapak?, saya kurang mengerti", alis Jangkung terangkat.
"Contohnya begini Kung, kamu bilang sama anak kamu: tidak boleh mencuri ya, kalau mencuri maka kamu masuk Neraka. Nah, apa yang akan dilakukan sama anak kamu agar tidak masuk Neraka?" aku balas bertanya.
"Ya tidak mencuri pak".
"Jawabanmu betul Kung, anak kamu akan berhenti di level itu karena sudah bisa memenuhi kalimat motivasi untuk tidak mencuri. Bagaimana kalau sekarang kita modifikasi cara motivasinya dengan motivasi yang lebih positif."
"Saya mendengarkan pak." tubuh Jangkung lebih mendekat tanda dia pingin tahu penjelasan berikutnya.
"Alih-alih tidak masuk Neraka, apa sih yang diinginkan dalam konteks positif?" tanyaku ke Jangkung kembali.
Mata Jangkung memandang kelangit langit mencoba menemukan jawaban, "masuk ke Surga pak!"
"Sip, jawaban yang tepat".
"Hmmm bedanya dimana ya pak?", Jangkung masih penasaran.
"Tidak mencuri agar tidak masuk neraka berhenti hanya sampai dilevel itu, sedangkan berbuat baik agar masuk ke surga merupakan unlimited action yang berlanjut terus tidak terbatas". Kali ini penjelasanku masuk di hati Jangkung.
"Dalam konteks pekerjaan Kung, orang yang berjalan dan berkativitas karena motivasi ketakutan akan menjadi karyawan yang medioker (pas pasan), sedangkan mereka yang bermotivasi positif dan berpengharapan akan tumbuh dan berkembang menjadi excellence dimanapun mereka berada", ucapan terakhirku diamini oleh anggukan kepala Jangkung tanda setuju.
BSD City,
Sabtu 11 Desember 2010
Eko Utomo untuk mereka yang selalu berpengharapan
16 to go
Tidak ada komentar:
Posting Komentar