19 Desember 2010

Menyeberangi sungai banjir

Warna air itu coklat tua dan keruh, mengingatkan Tomi akan susu kental manis yang dijual di toko pojok pasar. Sejauh mata memandang yang dilihatnya adalah gelegak air coklat tua yang bergemuruh yang seperti terburu buru untuk lari ke tujuan yang tidak Tomi ketahui. Sungai Lusi seperti musim hujan tahun sebelumnya penuh dan hampir meluap. Sungai yang melewati belakang SD Tambahrejo 1 Blora dimana Tomi menjalani kelas 3 ini selalu bergairah memanggil Tomi dan teman temannya untuk bermain. Pada musim kemarau, lebar sungai yang berisi air dari pegunungan Kendeng tidak lebih dari 5 meter lebarnya. Musim kemarau merupakan kesempatan bagi Tomi and the gank untuk mencari udang kecil dan kerang yang berserakan didasar sungai sambil sekalian mandi. Mandi saat kemarau sangat menyenangkan, sungai menjadi dangkal dan relatif bening. Pasti akan lebih menyenangkan asal dari arah hulu tidak membawa ranjau warna kuning yang dengan sengaja dilepas oleh orang di bagian atas dengan semena-mena.

Kali ini lebar sungai Lusi lebih dari 10 meter, sekali lagi Tomi memandang gemuruh sungai Lusi yang mengelegak, sesekali dilihatnya ranting pohon bahkan batang pohon pisang hanyut dibawa oleh derasnya sungai.

"Tomi, ayooooooo nyebur cepet, ini kami sudah dapat batang pisang!".

Dilihatnya Heri, salah satu teman mainnya sedang melambaikan tangan dari kejauhan. Pagi tadi disekolah mereka sudah berjanji untuk mandi di sungai. Kali ini dalam kondisi sungai banjir, biar lebih seru berenangnya demikian kesepakatan 4 anak usia 10 tahun itu.

"Tomi, sini......kita adakan perlombaan!"

Kali ini Parmin yang berteriak dari tepian sungai yang sedang banjir.

Untuk sejenak Tomi ragu, terngiang ditelinganya pesan dari ibu dirumah "Tomi, kalau sungai lagi banjir jangan mandi di sungai ya".

"Tomi, cepat...kamu mau mandi ngak sih?"

Sekarang Panjul yang dahinya nonong itu yang berteriak. Seketika kalimat ibu dirumah hilang kata "jangan" menjadi "Tomi, kalau lagi banjir mandi di sungai ya!". Tomi segera menghambur ke tepian sungai.

"Apa yang akan kita lakukan", sambil setengah berteriak Tomi melepas baju yang dia lemparkan di gerumbul semak dipinggir sungai sambil bergegas mendekati tiga orang temannya. "Kita lomba menyebrang Tom!", Heri memberikan usul.

"Oke, aku sama Panjul satu tim dan kamu sama Parmin satu tim ya Her!" dan tiga anak yang lain mengangguk menandakan persetujuan mereka. Sungai Lusi yang sedang marah dan sering makan korban itu tidak masuk sama sekali dalam perhitungan mereka. Yang mereka tahu Lusi adalah sahabat mereka, teman mereka bermain setiap siang sepulang sekolah.

"Satu, dua, tiga.................".

Tomi & Panjul bergegas menjatuhkan batang pisang ke sungai bersamaan dengan Heri dan Parmin yang melakukan hal yang sama. Mereka berpegang erat pada batang pisang dan mencoba memotong arus sungai. Namun sungai Lusi musim hujan berbeda dengan sungai Lusi musim kemarau. Arus yang deras membuat mereka hampir tidak dapat maju, yang ada adalah derasnya arus yang menyeret mereka kearah muara. Lebih dari 10 menit dua tim dengan dua anggota selalu gagal untuk memotong sungai, dan mereka harus selalu kembali ke tepian.

"Panjul, kita ganti strategi", Tomi berbisik di telinga Panjul.

"Kita jangan motong arus, awake dewe ngeli nyerong wae (kita mengikuti arus sambil berenang nyerong)", Tomi menjelaskan strategi barunya ke Panjul.

"Tapi nanti kita keli adoh (hanyut jauh) Tom!" Panjul mengungkapkan ketidaksetujuannya.

"Ben wae, sing penting tekan sebrang terus mlayu mbalik neng target (biar aja, yang penting sampai ke sebrang terus kita lari ke tujuan). Tomi berhasil meyakinkan Panjul. "Byuuuuuur" segera mereka berdua kembali masuk ke sungai, kali ini sambil pegangan batang pisang mereka tidak berusaha melawan arus Lusi namun mengikuti tarian Lusi sambil mencoba menyerong. Setelah dengan sukses minum susu coklat made in sungai Lusi dua tegukan, Tomi dan Panjul mendarat di tepian sebrang sungai 100 m dari titik target. Kali ini mereka tidak mempedulikan batang pisang yang hanyut dan bergegas lari ke titik target. "Horeeeeeeeeee kita menang!" kolor mereka yang basah dikibarkan diatas kepala sambil menjulurkan lidah kepada Heri dan Parmin yang masih berkutat ditepian disebrang sana, sebagai anak kelas 3 SD telanjang di sungai sangat halal hukumnya.

***

Tomi memandang di kejauhan, dejavu menyebrang banjir sungai Lusi muncul di sudut ruang imajinasinya. Beda waktu hampir 30 tahun merubah luapan air banjir sungai Lusi dengan luapan mobil yang mengalir tiada henti. Sungai yang bernama jalan raya Serpong itu penuh dengan mobil menderu dan klakson yang menyalak tiada beda dengan suara gemuruh air banjir sungai Lusi. Tomi tenggelam, tidak pada banjir mobil di jalan raya Serpong tetapi pada lamunan imajinasinya. Sudah setahun target penting dalam kehidupannya belum bisa tercapai juga. Berbagai macam cara dia coba namun selalu gagal. Desah tarikan nafas panjang Tomi menyaingi klakson di luar sana.

"Tiiiiiiiiiiiiiiiiiiin", klakson truk pengangkut tanah dibelakang membuyarkan lamunannya akan target yang sulit dicapai itu. Banjir mobil diluar kembali mengingatkan Tomi akan banjir sungai Lusi.

"Eurekaaa" teriak Tomi sambil menepuk setir mobil.

"Aku harus ngeli nyerong!", dan Tomi tambah tidak peduli dengan macet diluar.

BSD City, 05 Oktober 2010

Close to midnight

EU for U

Tidak ada komentar: