19 Desember 2010

GELAP MATA TULI TELINGA

Terbangun oleh suara petasan dari luar aku lirik jam dinding, 10 malam. Dekat pintu rumah kulihat sesosok tubuh sedang asyik dengan netbook. "Pa, ngak capek apa....kok online mulu?", papa Jason memang tidak pernah berubah sejak aku pertama kali berkenalan dengan dia lebih dari 10 tahun yang lalu. Tiap hari kerjanya membaca mulu, kemana mana pasti selalu menenteng buku. Yang paling menyebalkan....malam minggu saat apel jam 8 malam yang dilakukannya sesaat sesudah tiba di kostku adalah ngobrol kecil dan kemudian membiarkanku "nganggur", sementara dia asyik pacaran dengan buku dan komiknya. Jam 10 malam dia pamitan pulang. Kalau didefinisikan pacaran baginya mungkin adalah pindah tempat membaca buku dari tempat kostnya ke tempat kostku.

"Pa, tidur......tar sakit", aku coba ingatkan dia kembali. Sekarang dunia internet menyediakan bacaan yang tidak terbatas banyaknya bagi laki laki kutubuku yang sudah memberikan dua buntut kepadaku ini.

"Tar, dulu ma.....ini lagi asyik baca Kho Ping Hoo".

Hmmmm, betulkan....daur ulang membaca komik Kho Ping Hoo menjadi lebih mudah baginya sesudah adanya internet. Dulu pernah aku pikir bahwa dia lebih mencintai buku daripada diriku.

" Dor dor dor doooor suiiiiiiiit dor dor dor doooooooooor", suara keras diluar itu tidak berhenti, bahkan sepertinya makin keras. "Pa, orang sebelah membunyikan petasan lagi ya", kataku. Mister kutubuku terlihat sedikit mengangkat bahu dan menelengkan kepala.

"Sudah sejam mereka membunyikan petasan dan makin lama makin keras, ngak kapok mereka", papa Jason menggeremang dan kemudian kembali asyik dengan netbook.

"Dor dor dor doooooooor" suara menyengat telinga kembali menyerbu. Dua tahun yang lalu, dimoment yang sama dimalam pertama lebaran, keluarga pakde mbokde disebelah timur yang datang dari Semarang beramai ramai dari kakek, nenek, anak dan cucu membunyikan petasan selama lebih satu jam di depan rumah mereka dipinggir desa, dan sialnya yang menjadi korban polusi suara adalah rumah ibu yang persis disebelahnya. Dua tahun lalu pula, almarhum bapak mertuaku yang sedang sakit lever tidak tahan mendengar suara petasan, bangun dari tidur dan kemudian marah marah sambil menghadap ke timur......kearah rumah penyebar polusi udara. Saat itu papa Jason yang melihat bapak yang sedang sakit dan marah marah, bangkit dan kemudian berjalan ke timur. Dan sesaat kemudian bunyi petasan itu hilang. Waktu kembali masuk ke rumah dia bilang dia tegur gerombolan si berat untuk berhenti membunyikan petasan karena ada orang sakit. "Pakai marah marah ngak pa ngomongnya?" kataku pada waktu itu. "Ngak, aku ngomong baik baik kok ke mereka", Jawab papa Jason santai.

"Dooor doooor doooor suiiiiiiiiiiit doooor doooor dooooor dooooor suiiiiiiiit doooooor doooooor doooooor", "Oeeeeeeeeekk"......bunyi suara mercon diluar ditingkahi oleh bunyi tangisan Rebeca adik sepupu Jason yang tidur dibelakang.

"Dasar kampungan, ngak tahu aturan!" aku dengar mama Rebeca mencak mencak dikamar belakang berusaha menidurkan Rebeca kembali. Aku lirik dikamar tengah ibu mertua yang sedang sakit juga terganggu tidurnya. Papa Jason mukanya beralih dari layar netbook, pandangannya lurus kedepan dengan alis berkerut seakan akan sedang berfikir tentang sesuatu.

"Dooooor dooooor dooooor suuuiiiiit suuuuiiit dooooooor doooooor doooooor", "Dasar katrok" lha kok makin lama makin keras?".

"Biarin aja ma, inikan sudah sejam mereka main petasan, pasti sebentar lagi habis stoknya!" papa Jason kembali asyik dengan netbooknya. Kelihatannya dia sudah bisa menghilangkan emosinya yang tadi sempat terlihat naik.

"DOOOOOOOOOOR"

Tepat diatas rumah kami bom meledak! aku masih sempat mendengar Rebeca yang kembali terbangun dan menangis keras di belakang. Aku juga sempat melihat ibu mertua yang sedang sakit tiba tiba terbangun langsung berdiri (yang dalam kondisi normal butuh waktu 2 menit) sambil marah marah dan aku sempat mendengar rengekan Thesa dan Jason yang tiba-tiba ikut terbangun. Namun bukan itu yang menjadi perhatianku, yang aku lihat adalah papa Jason yang tiba tiba berdiri dan langsung lari keluar rumah!

"DIAAAAAAAAAAAAAM! KALIAN BISA DIAM NGAK! APA PERLU AKU YANG MENDIAMKAN KALIAN!". Aku kaget............mungkin lebih kaget dibandingkan mendengar bom yang jatuh diatas rumah. Papa Jason dengan celana pendek dan kaos singlet berdiri ditengah jalan menghadap kearah timur dan berterik keras sekali, teriakan yang sangaaat keras, mungkin terdengar diseluruh dusun.

"Pendatang aja Sombong..........kamikan sedang merayakan lebaran, masak dilarang larang!" aku dengar suara perempuan dari gerombolan orang-orang disebelah timur!"

"NGAAAAAAAAK PEDULI! KALAU KALIAN TIDAK BISA BERHENTI MAIN PETASAN AKU YANG AKAN MENGHENTIKAN KALIAN. AWAS KALAU TERJADI APA APA DENGAN IBUKU KALIAN AKAN AKU SERET KEPENJARA!", darahku tersirap, 13 tahun kenal dia baru kali ini aku lihat emosinya sedemikian tinggi! Master NLP itu tidak bisa mengontrol diri. Dari barat orang-orang mulai berdatangan karena bunyi petasan dan teriakan papa Jason.

"Dasar sombong, terserah kami dong!" suara perempuan dari arah timur itu kembali menyahut. Gelap malam hari yang hanya diterangi oleh neon kecil membuat tidak kelihatan muka orang yang berbicara.

"TERSERAH KALIAN, SEKALI LAGI PETASAN BUNYI, AKU TUNTUT KALIAN......KALAU MAU MAIN PETASAN SANA DITENGAH SAWAH" papa Jason menjawab sambil berteriak tidak kalah kerasnya.

Segera aku berlari kearah timur, aku takut papa Jason kena serangan jantung atau stroke atau darah tinggi, anak-anakku masih kecil, kami sangat membutuhkan dirinya. Aku hampiri orang-orang ditimur itu. "Maaf ya mbak, maaf. Iya memang kami pendatang dan sombong tapi mohon maaf, bisa ngak berhenti main petasan. Ibu sedang sakit dan tadi kaget sekali dengan bunyi petasan. Maaf ya mbak, iya kami memang sombong mohon dihentikan pertengkaran ini". Aku sudah tidak peduli dengan kata kataku, yang ada dikepalaku adalah minta maaf kepada mereka agar mereka menyudahi perang mulut dengan suamiku. Aku takut melihat suamiku yang sedemikian emosi nanti kenapa kenapa.

Waktu kembali ke barat dan masuk rumah aku lihat suamiku tadi baru saja meledak bak petasan itu sudah kembali didepan netbooknya. Tiada sisa emosi dan ketegangan di wajahnya. Hmmm, pasti dia pakai teknik "buang emosi" ala NLP.

"Kamu kenapa pa? aku takut.....baru pertamakali ini aku melihat kamu seperti itu" aku bertanya sambil duduk disebelahnya. Kepala dengan rambut yang mulai menipis itu menoleh sambil tersenyum, "aku jengkel saja ma, peristiwa 2 tahun lalu terjadi lagi. Mereka benar benar tidak tahu diri" jawabnya sambil tetap tersenyum.

"Aku takut pa, kamu tidak pernah seperti ini. Biasanya kamu bisa mengontrol emosi kamu dalam kondisi apapun".

"Mungkin karena aku terlalu kawatir dengan kondisi ibu", jawabnya santai.

"Ada yang menarik ma!".

"Apanya yang menarik?" aku bertanya dengan kebingungan. Orang-orang masih bergerombol diluar, lha ini aktor utama kok malah asik sendiri mencerna peristiwa dibabak utama.

"Tadi, saat emosiku sedang meledak, aku merasakan adrenalin yang mengalir disekujur tubuh. Dalam beberapa detik dunia menyempit, yang ada hanyalah mereka. Kemudian semua suara hilang, yang ada hanyalah suaraku dan suara mereka!", aku diam mendengarkan walau tidak mengerti apa maksudnya.

"Itu mungkin yang dinamakan GELAP MATA TULI TELINGA" papa Jason mengakhiri penjelasannya dan kembali kelayar komputer. Kondisi dimana tiada jeda antara Stimulus dan Response. "Mungkin lain kali aku memang harus lebih tenang dan tidak perlu menyempitkan duniaku untuk menghadapi mereka. Karena jeda yang tidak hadir saat stimulus masuk akan menghadirkan response yang tidak matang".

"Tenang pa, kamu punya teman si TUMPUL RASA", kataku menghiburnya.

"Siapa?"

"Mereka", dan kami berdua tertawa.

"Kok, kamu dibilang pendatang pa?" aku bertanya pertanyaan lain yang aku mengherankan aku.

"Biarin aja, ma. Lha aku lahir dan besar sampai SMA di sini kok. Mungkin definisi pendatang lain dimata mereka!."

"Dooor dooor dooor" petasan itu berbunyi kembali, sudah tidak terdengar keras lagi karena gerombolan ditimur itu pindah lokasi jauh ketengah sawah.

"Tolong itu disusul mbah Warno", seseorang berteriak dari arah barat. Aku lihat mbah Warno Putri, tetangga depan rumah kami sedang mencincing (mengangkat) jariknya tinggi tinggi dan setengah berlari ketimur.

"Lha mbah Warno yang sudah tua dan setengah tuli aja protes kok," suara seseorang dari arah barat terdengar.

BSD City, 8 Okt 2010.

Menunggu peralihan hari.

Remembering lebaran hari pertama

Note dari sudut pandang mama Tesa

EU for U

Tidak ada komentar: