"Apa?, papa menolak kesempatan dipromosi 2x????". Tanpa harus ditafsirkan dengan buku primbon atau buku almanak jawa yang setebal bantal aku bisa melihat dari mukanya yang mecucu dan suaranya yang meninggi, wanita yang beruntung (atau buntung) aku kawini sejak 5 tahun yang lalu itu sedang sangat sangat very pretty kesal banget.
"Itu kapan terjadi?", pertanyaan yang masih mengandung kekesalan dan gemas terluncur dari mulutnya yang masih mecucu.
"Ya, sudah lama. Pertama saat aku ditawarin jadi Chief Ventilation Engineer tahun 2001 dan berikutnya saat ditawarin jadi Senior Officer HR tahun 2002".
"Kenapa papa menolak?" kembali pertanyaan bernada tuduhan yang diblender dengan kekesalan tercurah.
"Tawaran pertama aku tolak karena aku ngak suka jenis pekerjaan itu"
"Emang papa ngak bisa ngerjain pekerjaan itu?"
"Bisalah....itukan bagian dari salah satu kuliahku dulu, aku ngak terima memang karena aku ngak suka aja".
"Gimana sih kamu pa!" kembali komplain terlontar.
"Yang kedua aku ngak ambil karena aku merasa ngak etis meninggalkan ajakan oran lain dan berbelok demi pangkat dan promosi".
Hening menguasai gasibu yang aku bangun tepat diatas garasi rumah di Bandung. Sayup sayup terdengar rintihan daun bambu dipinggir komplek yang berdekatan dengan kampung penduduk. Istriku masih duduk diam memandang ubin gasibu, tarikan nafas dan kerut didahinya menunjukkan pikirannya sedang bekerja untuk mencerna informasi yang baru saja diterimanya. Suatu kondisi yang tidak semestinya kalau diukur dari kacamatanya.
"Terus kenapa sampai bertahun-tahun papa ngak cerita sama aku?" kembali nada suaranya naik setengah oktaf.
"Tar kalau aku cerita sama kamu pasti kamu marah," jawabku yakin.
"Ya, iyalah masak dipromosi dan naik gaji berjuta juta kok ditolak!". Jawaban istriku sangat manusiawi dilihat dari konteks seorang ibu yang merasakan cupetnya cash flow karena kesedot untuk bayar cicilan KPR.
"Nah itu dia, itu alasan kenapa aku ngak cerita sama kamu. Karena aku ngak mau terima tawaran itu namun aku ngak mau kamu uring-uringan".
"Dasar papa aja yang sok idealis!". Rupanya kekesalan ibu dua anak itu belum mengendap juga.
"Tapi kalau dilihat dari sudut pandang lain, keputusan itu menguntungkan lho ma".
Dengan tiba-tiba alis matanya terangkat tanda penasaran dan ketidakmengertian.
"Coba bayangkan", aku buru buru menyambung penjelasan.
"Kalau aku terima tawaran itu, emang benar gaji dan fasilitas naik cukup significant. Tapi disisi lain kita jadi makin tergantung dari apa yang kita dapatkan dari pangkat itu".
Istriku masih duduk diam mendengarkan.
"Karena tidak menerima tawaran itu maka aku terjun ke bagian leadership dan mendapatkan banyak pengalaman dari sana. Pengalaman dan kompetensi itulah yang membuat aku mendapatkan tawaran untuk kerja di Jakarta dan keluar dari dari pegunungan di ujung timur Indonesia itu".Aku pandang muka istriku dan terlihat kerutan didahinya sudah menguap.
"Atau kamu mau aku tetap kerja disana?" pancingku. "Dan ketemu kalian 5 minggu sekali?".
"Jangan dong pa!", hanya itu yang terucap dari mulutnya karena mukanya sudah terbenam dipangkuanku dan tangannya memeluk erat tubuhku.
***
Lereng Merapi akhir 2010
"Mbah Marijan meninggal!" kata pasanganku main tennis.
"Itu hukuman dari Tuhan untuk orang yang sombong dan menantang kuasanya!" sahut lawan main Tennisku dengan emosi tinggi.
"Tapi meninggalnya saat sujud!" pasanganku masih mencoba membela si mbah.
"Tetap saja dia orang klenik yang menduakan Tuhan!" suara penghakiman dari lawan main Tennis terdengat penuh kegeraman pada orang yang sudah mati ratusan kilometer dari lokasi kami main tennis.
"Mbah Marijin ditemukan meninggal", security di bagian depan meneruskan warta berita paling hot di akhir pekan itu ke sekelompok karyawan yang sedang ngisap rokok di teras kantor.
"Dasar orang ngak tahu diri aja, mau mati kok ngajak ajak orang lain", geram perokok pertama yang baju lengan panjangnya dilinting setengah bagai geraman serigala lapar.
"Tapi dia orang yang setia terhadap amanat pekerjaan", perokok kedua berkacamata membela.
"Setia dari Hongkong, seharusnya secara logika dia malah harus turun kebawah duluan agar warga sekitar mengikuti dia mengungsi" perokok pertama geramannya main keras.
"Dia itu pahlawan, yang tidak meninggalkan tugas seperti para anggota DPR dan pejabat pemerintahan", pendengar lain ikut nimbrung.
"Pahlawan kesiangan yang mati sia sia!" selak pihak yang kontra dengan emosi yang lagi lagi tinggi.
"Pak, mbah Marijan Pahlawan atau Pecundang?", seorang anggota tim mencegat langkahku sebelum masuk ke kantor kecil di pojok.
"Kamu sendirnya maunya menganggap dia sebagai Pahlawan atau Pecundang?", aku balik bertanya.
"Itu yang saya bingungkan pak. Ada banyak pro kontra diluar tentang hal itu" jawabnya sambil menggaruk kepala yang aku yakini tidak gatal.
"Oke, kalau kita hakimi si mbah sebagai Pecundang emosi apa saja yang muncul di pikiran kita?" tanyaku sambil meletakkan laptop diatas meja.
"Hmmmmm kesal, geram, marah, kecewa dll" garukan tangan diatas kepada berubah menjadi usapan didagu.
"Kalau mbah Marijan kita anggap sebagai Pahlawan, emosi apa saja yang akan muncul di pikiran kita?" tanyaku melanjutkan.
"Kagum, bangga, tercengang, terilhami, hormat dlsb".
"Nah, kamu mau memilih emosi mana yang akan menguasai dirimu berhari-hari tergantung dari dari pilihan sudut pandang yang kamu ambil sendiri", kataku sambil tersenyum dan mengangkat pantat untuk berjalan ke kantor kecil di pojok.
"Tapi yang benar yang mana pak?" masih penasaran dia rupanya.
"Ngak ada benar dan salah, yang ada adalah pembenaran sudut pandang yang kita pilih!" kataku meninggalkannya duduk termenung.
"Dan sekali lagi, jenis emosi mana yang akan kamu biarkan menguasi pikiranmu. POSITIF atau NEGATIF".
BSD City, 10 12 2010
Jumat malam yang tenang.
Eko Utomo untuk mereka yang senang membuat pilihan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar