19 Desember 2010

Memandang Body (Blind Spot Cases)

Blind Spot on the MOLE

Saya baru saja selesai membaca dua dari tetralogi tentang sisi lain presiden SBY karangan Wisnu Nugroho. Wisnu merupakan wartawan Kompas yang ditugaskan untuk meliput Istana Negara. Selain membuat reportase tentang hal hal besar yang terjadi di Istana, Wisnu juga memotret pernak pernik kecil yang tidak layak tayang di Kompas namun asyik untuk dituliskan dan “dipergunjingkan”. Tulisan Wisnu yang remeh temeh namun menarik tersebut dipostingkan di Kompasiana (blog Kompas). Response yang luarbiasa dari pembaca membawa tulisan “remeh temeh” tersebut naik cetak menjadi 3 buah buku yang laris manis.

Salah satu hal “remeh temeh” namun menarik dari tulisan Wisnu adalah perbandingan foto pak Beye tahun 2006 dan tahun 2007!. Foto pak Beye sebelum tahun 2006 mempelihatkan sebuah tahi lalat dikanan atas dahi beliau yang cukup eye catching. Tahun 2007 tahi lalat tersebut hilang! Jelas bukan karena diminta sama lalat yang bertahi disana tapi yang paling memungkinkan adalah tahi (lalat) tersebut diambil oleh tangan ahli seorang dokter.

Menurut saya yang menarik dibalik akuisisi sebuah tahi lalat bukan pada proses operasinya, tetapi lebih kepada pengambilan keputusan untuk membuang tahi (lalat) yang sudah menempel lebih dari 50 tahun itu.

Berhubung mata manusia cuma ada dua dan terletak sejajar pula maka manusia memiliki keterbatasan untuk memandang the whole his own body apalagi memandang tahi (lalat) yang bertengger tepat diatas mata, daerah BLIND SPOT, daerah yang hanya bisa dilihat atas bantuan feedback orang lain atau bantuan mirror on the wall.

Keputusan untuk pada akhirnya menghilangkan tahi (lalat) tersebut mungkin karena masukan team sukses untuk menciptakan “citra diri” yang lebih oke dan cocok dengan strategi pencitraan (personal branding) yang sedang dibangun. Tim ahli (mungkin) menyarankan bahwa sang tahi (lalat) kalau dihilangkan akan memberikan kesan yang lebih oke untuk dilihat dan difoto sehingga tampilan lebih (mungkin) fotogenic. Saran ini (mungkin) diterima oleh yang bersangkutan atas BLIND SPOTnya dan kemudian mengambil keputusan untuk menghilangkan tahi (lalat).

Apa yang dilakukan oleh pak Beye merupakan tindakan yang tepat dan pas dalam menangani area yang namanya BLIND SPOT. Tindakan tersebut tak lain dan tak bukan adalah meminta pendapat, saran dan masukan dari orang lain terhadap diri kita sendiri. Saran2 tersebut seringkali menyangkut pada aspek2 yang kita tidak bisa melihatnya. Saran tersebut membantu pak Beye untuk melihat bahwa tahi (lalat) yang tidak bisa dilihatnya sendiri ternyata (kata pembisik) jelek secara visual.

***

Blind Spot on JOB

Dikehidupan sehari-hari, penderita Blind Spot berkeliaran. Karena memang semua manusia pasti memiliki arena Blind Spot (diri sendiri TIDAK TAHU dan orang lain TAHU), hanya kadarnya yang berbeda-beda. Ada orang yang memiliki kadar yang tinggi dan ada orang yang kadarnya cukup rendah.

Untuk mengurangi area Blind Spot, di divisi yang saya pimpin dalam berbagai kesempatan mengadakan ajang feedback session. Setiap anggota tim memberikan 3 feedback positive dan 3 feedback negative ke seluruh anggota yang lain. Hasilnya luar biasa! Banyak orang mendapati hal-hal yang dia tidak ketahui namun dilihat oleh semua orang temannya di kantor. Saking terkejutnya salah seorang anggota tim sampai berkata “Masak Sih? Apakah aku sejelek ini”, atas feedbak negative yang menyatakan bahwa dia adalah orang yang picky dan suka memanfaatkan teman dalam bekerja.

***

Blind Spot on Politic

Pagi hari ini, di koran Media Indonesia saya membaca bahwa pemerintah menggulirkan Kredit Murah bagi para calon TKI dan TKW trilyunan rupiah! Suatu program yang pasti akan mendorong lebih banyak TKI dan TKW berbondong-bondong pergi keluar negri tanpa harus menjual sawah atau pinjam dari rentenir. Suatu program yang mulia kalau dilihat dari konteks ini.

Disisi lain pada koran yang sama, dan hampir semua media di Indonesia, 3 bulan terakhir masyarakat diharu biru oleh berita penyiksaan dan penganiyaan yang sudah diluar batas pada banyak TKW yang bekerja di jazirah Arab dan Malaysia. Banyak saran yang diberikan oleh mereka yang tergerak oleh kasus ini termasuk Motarium (penghentian) pengiriman sampai didapatkan suatu sistem perlindungan yang baik antara pemerintah Indonesia dan negara penerima TKW.

Namun yang terjadi adalah response dan kebijakan yang nyleneh (aneh) dan cenderung out of logic seperti membagikan HP pada setiap TKW yang akan berangkat! Lha wong passport dan bahkan harga diri saja bisa dirampas oleh majikan apalagi hanya sekedar HP! Saran motarium diresponse dengan program kredit TKI yang malah mendorong lebih banyak orang pergi menjadi TKW. Suatu keniscayaan akan semakin meledaknya kasus2 “Sumiati” yang lain dimasa depan.

Suatu kedegilan yang luar biasa atas itikad baik dari mereka yang memberikan saran dan membukakan mata di area Blind Spot pemegang kekuasaan.

Kalau boleh beranalogi, orang memberikan saran untuk menghilangkan tahi lalat namun yang yang dilakukan adalah melakukan operasi menghilangkan telinga dan hidung sendiri!. Kualitas seperti ini jelas kualitas yang hanya patut bersemayam pada orang yang bebal plus penyandang blind spot nurani akut.

***

Blind Spot on BODY

Sore itu kami bertiga duduk santai dibawah tenda. Di salah satu bagian kolam renang Ocean Park kami lihat Tesa, Jason, Melur dan si mbak sedang asik berenang dan main ciprat-cipratan.

“Pa, kamu lebih gendut dibandingkan orang itu lho!”, mama Jason memecah keheningan saat berkata pelan sambil pandangan matanya menunjuk seorang laki-laki yang berjalan melewati tenda kami. Mataku secara otomatis melihat ke orang yang sedang digosipkan. Seorang laki-laki dengan celana pendek tanpa baju memperlihatkan perutnya yang gendut dan lebar.

“Yang benar saja! Masak aku sebesar itu sih!”, ini adalah jawaban standar untuk pernyataan yang memang sering dilontarkan oleh istriku.

“Iya, kamu lebih gendut dari dia!”, istriku tidak berhenti mengintimidasi.

“Ah....kamu aja yang berlebihan ma!”, sahutku sambil tetap melihat punggung obyek gosip yang memang lebar dan besar itu.

“Papa mah kalau dikasih tahu ngeyel!”.

“Hmmm mumpung mami sedang ada disini coba kita tanya”, mata kami langsung beralih kepada Opung Tesa yang duduk disebelah anaknya.

“Besaran kamu dikit sih, kalau dilihat dari depan sama aja kok”, jawaban mami yang halus merobek bungkusan Blind Spot yang selama ini aku coba bungkus dan abaikan.


Via Renata Puncak

15 Desember 2010

Eko Utomo untuk Anda yang sedang membuka sisi gelap.

Tidak ada komentar: