19 Mei 2016

Kawin (tidak) paksa #Hal69


Catatan Harian Eko Utomo

Kawin (tidak) paksa #Hal69

"Love is blind". Bagi banyak orang mungkin menganggap ungkapan ini lebay. Namun coba tanyakan kepada mereka yang sedang "gandrung" dan jatuh cinta. Atau paling tidak amati perilaku yang sedang mabuk asmara.

Maka "cinta itu buta" merupakan sebuah ekspresi yang sangat akurat dalam menggambarkan bagaimana kekuatan cinta mampu membutakan manusia. Bukan mata secara fisik, namun mata pikiran rasional dalam memperhitungkan faktor untung rugi dan resiko2 yang ditanggung pada saat mabuk cinta.

Banyak novel, cerita dan film dengan apik menggambarkan bagaimana cinta membutakan rasio manusia. Pernah baca atau menonton film Romeo & Juliet? Semua hal diterjang demi cinta, at any cost!

Duapuluh tahun yang lalu, seorang pemuda menyandang masalah yang sama. Terjangkit virus LiB, Love is Blind. Jatuh cinta pada seorang perempuan beda suku.

Dalam konteks Indonesia 20 tahun yang lalu (masih banyak jejaknya saat ini) pacaran dan menikah beda suku masih banyak menghadapi kendala.

Masing2 suku di Indonesia memiliki budaya adat istiadat yang dijunjung tinggi. Peristiwa pernikahan merupakan salah satu moment untuk menunjukkan bagaimana sepasang keluarga "mempertontonkan" pada keluarga besar dan khalayak ramai bagaimana mereka menghargai dan menempatkan budaya dan adat istiadat dalam kehidupan mereka.

Pacaran sang pemuda Jawa dan pemudi Batak jelas akan menghasilkan benturan2 dan gegar budaya.

Hal yang sederhana, saat pernikahan nanti pesta yang dilakukan menggunakan adat apa? Biaya pernikahan akan menjadi beban siapa? Dalam adat Jawa pihak wanita yang akan menanggung sebagian besar biaya pernikahan. Sedangkan dalam adat Batak maka biaya pernikahan harus banyak ditanggung oleh pihak laki2. Jelas tidak akan ketemu. Yang paling mudah pemuda Batak dan pemudi Jawa, kedua keluarga secara adat "merasa dan bertanggung jawab" untuk menanggung biaya.

Belum lagi paska merger (menikah). Budaya dan adat apa yang akan dipakai. Siapa yang harus mengalah, bagaimana mendidik anak, bagaimana menyikapi stimulus dua keluarga besar dan tetek bengek 1001 urusan yang timbul karena proses merger ini.

Agar proses merger berlangsung mulus dan going concern (till the death do us part) tentu saja harus dipersiapkan strategi, inisiatif dan eksekusi yang ciamik. Kalau tidak ya siap2 terbentur batu karang.

***
Sore ini saya dan tim sedang berdiskusi tentang studi yang kami lakukan tentang kemungkinan proses merger dua perusahaan dibawah holding company.

Studi dilakukan agar opsi2 yang ada, baik itu skenario tetap berdiri sendiri atau merger dapat dievaluasi dengan komprehensif sehingga dapat menjadi pertimbangan top management untuk GO atau NO GO dalam proses merger.

Organisasi atau lebih tepatnya perusahaan jelas merupakan bentuk abstract. Namun organisasi ternyata memiliki karakter dan perilaku yang mirip dengan manusia, termasuk dalam proses "pernikahan" antar perusahaan.

Proses AKULTURASI budaya menjadi penentu apakah merger menghasilkan manfaat yang baik atau malah menciptakan dan memperuncing konflik (Sarala, 2010).

Proses merger perusahaan adalah proses menggabungkan keseluruhan aspek perusahaan menjadi satu. From TWO become ONE. Yang menarik adalah bahwa yang sedikit (one) diharapkan menjadi lebih baik kinerjanya dibandingkan dengan yang lebih banyak (two).

Penggabungan yang paling mudah terlihat adalah penggabungan sumberdaya mereka. Aspek keuangan jadi satu, aspek SDM, material, metode, mesin dan peralatan semuanya menjadi satu.

Penggabungan sumberdaya yang sudah disebutkan diatas relatif mudah dilakukan. Yang paling tidak mudah adalah penggabungan BUDAYA ORGANISASI dua perusahaan yang berbeda.

Sangat mirip dengan perilaku manusia dalam perkawinan antar suku, maka merger dua perusahaan dengan budaya yang berbeda akan menemui banyak tantangan dan rintangan.

Mega merger HP dan Compaq yang terjadi hampir satu dekade lalu memperlihatkan bahwa "kawin paksa" yang dilakukan oleh 2 perusahaan kelas Godzila (dalam size) ternyata berujung sad ending. Pemrakarsa merger CEO HP Carly Fiona dipecat dan kinerja perusahaan hasil pernikahan alih2 membaik malah terjun bebas.

Apa yang menjadi masalahnya? perbedaan budaya organisasi tidak diperhitungkan oleh Carly Fiona bakal jadi batu sandungan proses merger yang dilakukannya.

Dalam proses merger, dua faktor utama menjadi penentu keberhasilan proses akulturasi adalah PRESERVATION dan ATTRACTIVENESS masing2 perusahaan (Sarala, 2010).

Semakin tinggi tingkat preservation (keinginan mempertahankan budaya lama) maka konflik akan meningkat dan proses akulturasi terhambat. Sebaliknya semakin attractive (menarik) budaya pihak lain maka proses akultarasi menjadi mudah.

Jadi apa yang harus dilakukan agar proses pernikahan dua perusahaan berlangsung efektif? mulai dengan memetakan budaya organisasi masing2 perusahaan. Analisa perbedaan yang ada dan buat bermacam inisiatif sebagai jembatannya.

Langkah berikutnya "melunakkan" sikap Preservation dan membangun persepsi attractive dari partner pernikahan, sehingga konflik bisa direduksi dan upaya dapat difokuskan dalam membangun SINERGI.

***
"Yayang, katanya kamu mau berupaya melakukan proses akulturasi adat batak?", mantan pemudi bertanya.

"Lho, kan aku melakukannya dengan sepenuh hati. Buktinya kalau ke Lapo aku semangat 45!", jawabku mantab.

"Bukan yang itu, suami harus 100% berusaha membahagiakan istrinya!", mantan pemudi meneruskan sok tahu.

"Itu mah tugas semua suami kalee", sahutku sambil menyengir.

"Makanya, kapan mobilku diganti yang baru?", mantan pemudi menembakkan senapan jitunya.

EU4U
BSDCITY290316

Buat yang mau dan sudah merger.

Tidak ada komentar: