13 Februari 2016

"Diffusing Negative Emotions". #Hal41


Catatan Harian Eko Utomo

"Diffusing Negative Emotions". #Hal41

Kehidupan manusia digerakkan oleh "state". Gabungan antara "Feeling & Thinking" pada suatu waktu tertentu pada obyek yang spesifik.

Saat saya sampai di rumah dan bertemu Jason, state saya adalah state pingin meluk badanya yang montok dan menghirup (mencium pipinya dalam2) yang semanis madu. State ini bahkan lebih kuat dibandingkan keinginan untuk mencium Thesa atau mamanya (ehem).

State yang berbeda mucul saat saya lagi nyetir di jalan dan bertemu Polantas yang berdiri di pinggir jalan. State saya gabungan antara pikiran "pasti nih polantas lagi cari uang sarapan" sama perasaan sebel karena "bukannya ngelancarin jalan malah cari2 kesempatan".

Dalam teori pengambilan keputusan, proses utama dipengaruhi oleh dua hal: RASIONAL dan EMOSI. Semakin rasional proses dilakukan dan semakin rendah faktor emosi terlibat, maka keputusan yang dihasilkan makin berkualitas. Demikian sebaliknya.

Oleh karena itu benar adanya nasehat orang2 tua yang bilang "jangan membuat keputusan penting pada saat sedang emosi". Hasil keputusan yang dibuat akan banyak memunculkan penyesalan.

Puluhan tahun lalu, saat saya LDR (Long Distance Relationship) Bandung - Tembagapura, kalau sedang marahan saya langsung tutup telepon. Ngak peduli yang disebrang sambungan makin marah.

Saat marah, selain membakar uang di udara (SLJJ berjam2), juga keputusan pokok diskusi yang dihasilkan tidak sesuai yang diharapkan. Pada akhirnya harus dibahas ulang kembali. Dan Telkom mendapat lebih banyak pendapatan karena emosi kami.

Emosi positif dan emosi negatif sama2 "mendistorsi" pengambilan keputusan yang dilakukan. Emosi negatif memberikan pengaruh yang relatif lebih buruk dibandingkan dengan emosi positif.

Emosi negatif utama seperti: MARAH, TAKUT, SEDIH, MERASA BERSALAH, akan menggelapkan pikiran rasional kita sehingga keputusan yang dihasilkan jadi jelek.

Coba anda perhatikan orang2 yang sedemikian dalam terlibat pada sebuah peristiwa yang sangat emosional dimasa lalu. Peristiwa itu membuat "current state" bergelimang emosi negatif. Ekspresi dan keputusan yang diproduksi turun level sangat dalam.

Peristiwa Pilpres 2 tahun yang lalu, membekas sedemikian dalam. Emosi Marah, Sedih, Kecewa dan Jengkel berkelindan jadi satu. Sehingga muncul aliran kepercayaan baru: SALAWI, semua salah Jokowi.

Sedemikian ekstrimnya emosi negatif ini mempengaruhi, mampu mematikan pikiran rasional. Data dan informasi palsu diproduksi hanya untuk dapat menjatuhkan pihak lawan.

Sehat? Jelas tidak sehat.
Bermanfaat? Sangat tidak bermanfaat karena KEPUTUSAN yang dihasilkan buruk adanya. Pikiran rasional ditundukkan oleh emosi negatif dalam state.

Hanya ada satu cara untuk menyehatkan kembali state kita yang sedang tidak sehat. Caranya adalah membuang (diffuse) emosi negatif sehingga pikiran rasional kembali berkembang.

Caranya?
Tarik nafas dalam2, masuk dalam peristiwa (bayangkan) yang penuh emosi dimasa lalu dan cari PEMBELAJARAN dari peristiwa itu. Cari pembelajaran (Take Learning) sampai dapat.

Yang ajaib adalah, pada detik kita mendapatkan pembelajaran sebuah peristiwa, di detik yang sama emosi negatif akan luruh.

Kita bebas dan merdeka dari jajahan emosi. Harta karun yang tertinggal adalah pembelajaran. Yang pasti akan berguna saat ini dan masa depan. Dalam mengambil keputusan.

***
"Dad, kamu lagi emosi positif ya?", pertanyaan jebakan muncul dari mama Thesa.
"Kok tahu?", tanyaku gantian menggoda.
"Lha itu, mukamu bercahaya dan bersinar terang", jelasnya mempraktekkan ajaran Sensory Acuity NLP.
"Trus", tanyaku penasaran.
"Beliin aku sepatu Nike baru ya, kan dah lama gak beliin", rajuk mama Thesa.

Mengajari dan meng-coach ilmu NLP kepada istri di rumah bagaikan main boomerang. Sering berbalik arah ke kita yang melemparnya.

EU4U
KRLTASerpong090116

Tidak ada komentar: