13 Februari 2016

Kenyamanan yang Memabukkan (Comfort Zone Hazard) #Hal38


Catatan Harian Eko Utomo

Kenyamanan yang Memabukkan (Comfort Zone Hazard) #Hal38

Ada 10 shower berjajar dan berhadapan. Setiap shower ditutupi sejenis tirai plastik yang mudah dibuka dan ditutup. Masing2 berukuran 1 m2 dilengkapi dengan keran air panas dan air dingin.

Lokasi mandi ini terdapat di setiap lantai Barrack X milik PT. Freeport. Masing2 lantai memiliki 2 lokasi mandi yang identik. Barrack X berlokasi di kota Tembagapura di lereng Pegunungan Jaya Wijaya.

Pagi pukul 4 dini hari. Suhu udara di kota ketinggian 2000 m dpl (dari permukaan laut) dingin menggigit tulang. Suhu sekitar 10 derajad Celcius. Hembusan angin subuh menambah dingin mencekam ke ulu hati.

Pagi itu aku segera keluar dari kehangatan heater di kamar dan masuk ke dinginnya udara di lorong barak menuju ke kamar mandi. Pyuuur, sentuhan air hangat shower mengusir dingin membelai kulit.

Masih ada waktu sebelum pergi ke kantin jam 4.30, aku mengulur waktu lebih lama menikmati hangatnya air mengalir dari shower. Tangan membuka kran air panas, untuk kesekian kali. Udara dingin diluar membuat rasa air hangat cepat terasa dingin. Untuk mempertahankannya harus membuka kran air panas lebih lebar lagi.

Tak terbilang kali kran air panas ditambah dosisnya. Sentuhan air hangat di dalam dinginnya udara sungguh melenakan. Seperti jamahan pacar yang lama tak sua.

Belasan menit kemudian, saat kesadaran datang dari lamunan, aku lihat uap panas memenuhi shower, tiada beda dengan sauna. Kulitku merah tanda kepanasan, namun keriput karena terlalu lama kena air.

Aku langsung lompat keluar dari shower. Menghindari nasib jadi manusia rebus. Shower air panas sudah maksimal, shower air dingin tidak terasa. Suhu air campuran 80 Celcius. Suhu yang cukup untuk mendidihkan air di ketinggian.

Nyaman ini melenakan. Nyaman ini hampir membunuhku pelan2.

***
Manusia merupakan salah satu penghuni planet bumi yang adaptif. Ada manusia yang hidup di panasnya gurun Sahara. Namun ada juga manusia yang bermukim di bekunya udara kutub bumi.

Banyak manusia yang bermukim dan membangun koloni di sekitar garis tropis dua musim, diguyur hujan dan panas terik setiap malam. Namun banyak juga yang sangat nyaman hidup di alam 4 musim yang datang silih berganti. Hujan salju menjadi sebuah kebiasaan.

Kemampuan adaptasi manusia kemudian menciptakan zona2 nyaman yang dibentuk oleh alam dan kebiasaan. "Jakarta panas dan macet, semrawut ngak kayak Dublin!", kata anak teman yg lahir di Irlandia. "Eropa dingin dan kurang manusiawi, tidak ada gudeg dan pecel yg lezat", kata mamanya yg lahir besar di Indonesia.

Apakah salah kalau kemudian manusia mengejar zona nyaman? Tidak salah, karena "merasa nyaman" merupakan salah satu bentuk emosi positif. Sebuah "emotional state" yang sering jadi tujuan.

Yang menjadi masalah adalah zona nyaman yang sifatnya sementara, cepat berlalu dan melenakan kita untuk mencapai zona nyaman baru yang lebih tinggi dan lebih berjangka panjang. Titik nyaman yg jadi impian. "A decoy temptation", perangkap untuk mencapai tujuan.

Sesosok pribadi yang memiliki potensi tinggi berhenti di sebuah titik nyaman pemberhentian karena cukup nyaman dan tidak cukup berani untuk mengambil resiko saat menuju titik nyaman yang lebih tinggi. Yang terjadi matinya sebuah potensi diri.

Saya sering ketemu manager2 yang mentok pada posisi sekarang karena mereka merasa cukup nyaman daripada mengejar karir lebih tinggi namun beresiko. Sama kejadiannya dengan profesional gajian yg melewatkan kesempatan membangun usaha karena nyaman menadahkan tangan dibawah.

Rasa aman memang melenakan. Sama seperti air hangat di pagi yang dingin. Namun air hangat juga yg bisa melepuhkan kulit dan menghalangi aku untuk segera pergi ke kantin dan bekerja.

Menikmati kenyamanan saat ini atau berjalan menuju kenyamanan baru yang lebih tinggi yang beresiko?. Semua adalah pilihan. Tentu dengan konsekuensi masing2.

Apakah kita siap menerima konsekuensi pilihan?

EU4U
BSD90216

Tidak ada komentar: