20 Desember 2016

Mengintip PTBA, Perusahaan yang UNTUNG Dalam Suasana Buntung #Hal86

Catatan Harian Eko Utomo

Mengintip PTBA, Perusahaan yang UNTUNG Dalam Suasana Buntung #Hal86

Saat datang dalam banyak acara reuni saya sering mengamati sebuah fenomena paradox. Mereka2 yang berangkat dari sekolah yang sama sesudah puluhan tahun memiliki jalur "nasib" yang berbeda.

Ada orang2 yang menjadi direktur perusahaan besar namun ada mereka2 yang karirnya cenderung mentok menjadi staff. Padahal mereka berangkat dari sekolah yang sama dan cenderung memiliki tingkat kemampuan intelektualitas yang sama.

Jadi "What is the Different that make Differrence?". Apa faktor pembeda yang membedakan,

Daniel Goleman dalam buku yang sangat populer di awal tahun 90an menyatakan bahwa faktor X itu adalah EQ (Emotional Quotient), kecerdasan emosi. EQ menjadi konsep baru untuk membedakan dengan konsep kuno yang berbasiskan IQ, kecerdasan intektualitas.

Mereka yang sukses dalam karir memiliki kecerdaasan yang tinggi dalam mengelola emosinya. Orang yg cerdas EQ pada akhirnya sangat cerdas juga dalam mengelola emosi orang lain. Mereka adalah orang2 yang cakap dalam berempati, ringan tangan dan memiliki pengaruh yang besar terhadap orang2 diselilingnya. EQ menjadi faktor PEMBEDA. IQ hanyalah prasyarat dasar.

Orang2 sukses dalam karir yang saya temui di acara reuni sangat jelas sekali perbedaannya di aspek EQ dibandingkan dengan yang lain. Mereka percaya diri, ramah, mau mendengarkan orang lain dan terlihat selalu haus untuk belajar. Sikap yang berkebalikan dibandingkan mereka yang lain.

Faktor pembeda apa yang dimiliki oleh PTBA sehingga perusahaan tambang batubara ini menjadi sangat profitable dibandingkan perusahaan2 tambang lainnya (termasuk yang BUMN), walaupun kondisi industri pertambangan saat ini sedang tiarap rapat ke tanah?

Pertanyaan ini selalu bergaung di dalam kepala saya saat mendapatkan kesempatan untuk berkunjung ke Tanjung Enim beberapa bulan yang lalu.

Saya mengantungi beberapa hipotesa tentang "different that make deferrence" dari sebuah perusahaan tambang batubara yang tahun lalu mampu untung 2T disaat perusahaan yang lain membukukan kerugian ratusan milyar bahkan trilyunan.

Salah satu dugaan saya PTBA memiliki strategi yang hebat dengan para manajer yang canggih dan fasih dalam mengelola perusahaan mereka.

Dalam waktu 2 hari saya berinteraksi dengan mereka saat membawakan workshop "Strategic Management in Crisis Situation" saya menemukan fakta yang sangat mencengangkan.

Alih2 canggih dan hebat dalam pengetahuan tentang strategi perusahaan, para first layer (Manager, Senior Manager, Kepala Divisi) PTBA cenderung nyutun atau ndeso. Mereka ngak ngerti apa itu Generic Strategy, Five Forces atau Business Model. Istilah2 itu bagaikan Alliens buat mereka, asing dan sepertinya tidak dibutuhkan oleh mereka.

Apakah mereka orang2 yang ber IQ dan EQ tinggi? Jawaban atas pertanyaan ini menjadi sangat menarik. Jawabannya adalah tidak. Mereka2 memiliki IQ yang standard dan EQ yang biasa2 saja dibandingkan dengan manager2 perusahaan tambang lain yang saya temui.

Jadi apa faktor pembedanya? menurut saya hanya satu kata PARANOID!. Sepertinya para pemimpin PTBA mampu menanamkan SIKAP (bahkan bisa dibilang BUDAYA) paranoid didalam diri para pemimpin menengah ini.

Saat saya tanya apakah perusahaan (PTBA) sedang krisis mereka menjawab kompak IYA. Saat saya tunjukkan bahwa PTBA untung trilyunan rupiah selama bertahun2, mereka kompak menjawab bahwa kalau mereka LENGAH maka dalam sekejab mata kondisi mereka yang untung akan seketika menjadi buntung! What a paranoid behavior.

Prof. Jim Collins dalam bukunya yang sangat populer "Good to Great" menyatakan bahwa salah satu karakter perusahaan hebat adalah perusahaan yang sanggup menerima dan menghadapi "Brutal Fact".

Kondisi ekonomi, industri atau internal yang buruk diterima sebagai sebuah kenyataan dan dihadapi untuk dicarikan jalan keluarnya.

Kondisi ekonomi dunia yang melemah dan industri komoditi/pertambangan yang sedang tiarap diterima sebagai sebuah keniscayaan oleh para pemimpin PTBA dan diturunkan ke mid level leaders mereka.

Sesudah confront the brutal facts maka langkah mantra stratejik berikutnya ditanamkan oleh top management: become more PRODUCTIVE dan EFFICIENT. Karena mindset sudah distel paranoid akan krisis maka inisiatif untuk menjadi lebih produktif dan efisien menjadi mudah dijalankan dan dieksekusi. The rest were shown in their annual report financial statement.

Yg lebih membuat saya kagum adalah, dalam kondisi DIATAS ANGIN, PTBA masih dalam kondisi semangat 45 untuk LOOKING for IMPROVEMENT supaya lebih produktif dan efisien lagi. Padahal mereka sudah sangat produktif dan efisien. Sangat PARANOID bukan?

EU4U
BSDCity Lebaran 2016
Untuk mereka yang Paranoid


Tidak ada komentar: