17 Juni 2010

Ketakutan sang (ibu) Karate Kid


"Horeeeeeeeeeee.......plok
plok plok plok", Studio 1 Blitz Teraskota BSD serasa hendak runtuh! semua penonton berdiri dan bersorak ramai mengalahkan suara soundsystem yang dahsyat dan mendadak dejavu* itu datang, aku serasa menjadi anak kecil yang sedang berteriak, bersorak dan bertepuk tangan dengan ribuan orang di lapangan bola desa Senden dikotaku di awal tahun 80an. Hmm....ternyata manusia dijaman yang berselisih seperempat abad ini masih memiliki kerinduan yang sama, rindu pahlawannya menang. Rindu kebenaran mengalahkan kejahatan! dan kerinduan itu diwakili oleh Dre (yang diperankan dengan apik oleh Jaden Smith anak Will Smith). Kerinduan yang sulit diwakili oleh tokoh2 masa kini apalagi oleh tokoh2 nasional yang tingkah lakunya layak untuk dituntut harakiri. Dre mengakhiri adegan laga di kejuaraan kungfu dengan satu kaki patah namun mampu mengakhiri sang antagonis dengan jurus cobra yang aduhai!

Judulnya jelas ngawur yaitu Karate Kid! seharusnya berjudul Kungfu Boy karena tidak ada Kata** namun jurus kungfu sepanjang 2 jam melototin layar lebar. Produsernya kurang percaya diri sehingga mendompleng judul dan skenario film yang serupa ditahun 80an. Anyway, mantan pacar yang nonton bareng berkata bahwa Karate Kid merupakan film yang paling dia sukai sepanjang tahun ini, lebih berkesan dibandingkan dengan "Prince of Persia" yang kami tonton 2 minggu yang lalu.

Adegan remake versi baru ini menyajikan pesan yang tidak lekang oleh jaman dan selalu uptodate: sang jagoan mengerang kesakitan saat dihajar lawan di semifinal dan hampir hampir tidak bisa bangun untuk melanjutkan pertandingan di babak final. Sang Master (diperankan oleh Jacky Chen) dengan bijak menasehati bahwa kemenangan bukan segala-galanya. Proses untuk mendapatkan kemenangan adalah yang terpenting. Sang jagoan menjawab bahwa kenekatan dia untuk maju ke final bukan karena mengejar kemenangan tetapi untuk menghadapi musuh besarnya, musuh semua manusia yaitu ketakutan! ketakutan yang timbul karena proses "bulliying" yang dilakukan lawannya disekolah. Dan jagoan ingin menaklukkan ketakutan itu, bukan sekedar mengejar kemenangan.

"Pa, kamu takut ngak?" mantan pacar yang duduk dijok samping tiba-tiba bertanya saat kami meninggalkan Teraskota.

"Takut apa?" jawabku sambil mengambil uang 8 ribu buat bayar biaya parkir.

"Jason, karate kid kita sampai sekarang belum lancar bicara juga" jelasnya dengan mata menerawang seakan akan menembus remang cahaya lampu pusat kota BSD. Mungkin dia terbawa bisik bisik kami tadi saat nonton, Jaden mirip dengan Jason, hitam dan manis.

Yang ada kemudian adalah hening...........yang ribut adalah dialog internal dalam pikiranku dan mungkin juga pikiran mantan pacar dibangku kebelah. "Ma, coba kita bareng-bareng, visualisasikan masa dimana Jason dengan cerewetnya bertanya ini itu kepada kita. Sudah dapat?" aku lirik senyum tipis membayang diwajahnya. "Simpan itu dalam pikiran kita!, Jason is fine and will be fine. Kita akan support dia dan Tuhan akan bekerja secara ajaib dalamnya." Roda mobil menapaki jalan Nusa Loka saat tangan kiriku terasa hangat dipegang tangan lembut mantan pacarku.

BSD City,
June 12, 2010
Eko Utomo untuk Anda



* Dejavu: already seen, merasa sudah mengalami peristiwa yang sama di masa lalu
** Kata: jurus karate
*** Bulliying: kekerasan fisik dan psikis dari orang lain

Wiyata Guna: melihat dengan hati.


Plang jalan Pajajaran terlihat dan terbaca jelas di seberang lampu lalu lintas. Lampu merah menghentikan honda Astrea Prima yang menemaniku dengan setia selama 4 tahun menuntut ilmu di bumi parahiyangan, pengganti Vespa putih yang kumusiumkan sejak lulus SMA tahun 91 lalu. Siang hari ini, lalu lintas yang turun dari jalan Cihampelas mengarah ke stasiun kereta lenggang. Orang mungkin malas keluar rumah disiang hari bolong walau udara Bandung jelas lebih dingin terutama kalau dibandingkan dengan kota Klaten kota asalku.

Bergegas aku tarik gas saat lampu lalu lintas berubah warna menjadi hijau. Tak berapa lama aku sudah sampai di depan GOR Pajajaran dan aku segera sign kanan masuk ke gedung kuno dan kusam didepan GOR. Aku parkir Astrea Prima dibawah pohon dan melangkah cepat masuk melewati gerbang kecil yang terbuka. Dibagian depan gedung berdiri kokoh papan nama yang bertuliskan: Panti Sosial Bina Netra WIYATA GUNA.

Sejak 2 bulan yang lalu hampir setiap minggu siang aku datang ke tempat ini. Persekutuan pemuda GKI MY sabtu malam itu memberikan pengumuman bahwa dibutuhkan pelayanan membaca untuk mahasiswa tunanetra yang tinggal di Wiyata Guna. Atas ajakan teman aku tergerak untuk ikut serta pelayanan ini mumpung kuliah disemester 2 tahun 1995 ini tinggal beberapa sks saja dan banyak waktu luang yang aku punya disela-sela kesibukan mencari tempat untuk Tugas Akhir (skripsi).

Siang ini aku berangkat sendiri, bergegas aku masuk ke dalam komplek dan sejurus kemudian aku sudah masuk disalah satu gedung asrama berwarna kusam itu.

"Simon, selamat siang"

Seorang pemuda berkulit hitam dan berambut keriting yang sedang duduk di pinggir ranjang itu sedikit mengerutkan dahinya. Kepalanya sedikit diangkat dengan telinga kanan mengarah ke pintu masuk.
"Eko, selamat siang juga...silahkan masuk!" dan bibir yang gelap dan tebal itu membentuk senyuman yang lebar. Tangannya terulur kedepan.

"Pa, kabar Mon?" aku tangkap tangan yang terulur sambil memandang bola mata Simon yang menatap kearahku......bola mata yang jarang berkedip dan tanpa sinar itu.

"Baik, selalu baik. Kebetulan banget Ko, besok aku mau ujian. Aku butuh bantuanmu untuk untuk belajar materi ujian", wajah Simon yang asli NTT bersinar-sinar. Tangannya meraba-raba keatas meja sederhana di sebelah tempat tidur. Sesaat kemudian Simon mengangsurkan diktat kuliah dengan judul "Tata Bahasa Indonesia".

"Buku Tata Bahasa Indonesia ya Mon? bab berapa?" tanyaku sambil mengambil posisi duduk disebelah tempat tidur. "Aku rekam sekalian ya", aku ambil tape recorder kecil di ujung meja.

"Mulai aja dari bab 1 Ko, kemarin sempat dibacakan sama orang lain tapi kelupaan direkam. Jadi sekalian mengulang sekalian merekam". Senyum Simon tidak pernah pergi dari wajahnya, terlihat bahwa pembacaan buku yang aku lakukan sungguh berarti baginya untuk persiapan ujian di kampus IKIP Bandung dimana Simon mengambil kuliah jurusan Bahasa Indonesia. Dan 2 jam berikutnya kami berdua tenggelam dengan kegiatan belajar, aku membaca, Simon mendengarkan dan tape recorder merekam suaraku.

"Terimakasih untuk kedatangannya" tangan Simon mengenggam tanganku erat-erat. Senyum lebar dan tulus itu memenuhi mukanya. "Membantuku banyak dalam persiapan ujian minggu depan", ujarnya sambil mengantarku keluar dari asrama.

"Sama-sama Simon, semoga sukses di ujian nanti" kataku lirih sambil menatap bola matanya yang memandang kemukaku, bola mata itu kosong tak bersinar. Bola mata orang buta.

"Hati-hati dijalan Ko, jangan ngebut ya" teriaknya sambil tetap tersenyum saat aku mulai mengarahkan Astrea Prima meninggalkan halaman Panti. Sekali lagi aku lihat Simon yang melambaikan tangan, senyum yang tidak lepas dari wajahnya dan tiba-tiba aku merasa bahwa Simon memandangku dengan tajam. Aku dapat merasakan bahwa Simon melihatku.........melihatk
u dengan hatinya!.

Bandung, 12 Juni 2010
Note untuk Simon.
dari Eko Utomo

Tanggung jawab siapakah?


Long weekend kali ini sungguh produktif. Tiga hari libur, mulai hari Jumat, Sabtu dan kemudian Minggu diisi dengan jadwal ketemu dengan teman baru, teman lama atau teman lama yang baru ketemu kembali. Banyak memori lama muncul dan juga memori baru minta jatah waktu untuk diendapkan.

Materi diskusi di hari sabtu sore adalah tentang bagaimana membangun komunikasi yang efektif dan powerfull. Bagian penting dari materi adalah memiliki mindset atau belief dalam berinteraksi dan berkomunikasi. Salah satu belief penting itu adalah "The Meaning of Your Communication is the Response you Get". Efektif atau tidaknya cara kita berkomunikasi tidak terletak dari apa yang kita pikirkan namun dari response yang diberikan oleh partner didalam berkomunikasi. Artinya kalau partnernya ngak ngerti yang salah ya kita .......dan bukan partner bicara!.

Konsep diatas memicu diskusi yang menarik, salah seorang teman diskusi memberikan contoh bagaimana kalau orang yang diajak berkomunikasi kemampuan pemahamannya sederhana? atau dengan kata lain prosesornya agak lambat. Saya mencoba berdiskusi dengan mengajukan pertanyaan sederhana: sebenarnya tujuan dari kita berkomunikasi apa? jika tujuannya adalah kita ingin agar pesan yang disampaikan dapat dimengerti oleh pihak lain, maka tanggung jawab untuk membuat mereka mengerti pesan kita 100% ada ditangan kita, karena kita yang butuh.

Lha, bagaimana kalau orang yang diajak bicara masuk dalam katagori prosesor 386? ya bungkuslah pesan yang ingin disampaikan bisa dipahami oleh prosesor 386. Bagaimana jika lawan bicara keras kepala, tidak mau mengerti, sok pinter dan mau menang sendiri? sebagai pihak sender tugas kita membuat ybs menjadi lunak kepala, mau mengerti, menghargai orang dan mau mendengarkan! Walah.....berat banget dong kalau begitu sebagai sender? yes..............sebab sender dalam posisi menginginkan bahwa pesan yang dia kirimkan dapat dimengerti dan dibeli oleh pihak lain.

Hal penting lain yang muncul sebagai konsekuensi dari belief "The Meaning of Your Communication is the Response you Get" adalah membuat sender menjadi manusia yang bertanggung jawab untuk membuat proses komunikasi berjalan dengan efektif dan tidak mencari kambing hitam pada saat komunikasi tidak berjalan seperti yang diinginkan. Pemberi pesan menjadi kreatif dalam mencari cara agar pesannya dapat ditangkap dan dimengerti.

***

"Bu Santi, ada satu hal yang ingin saya bicarakan", guru pendamping* Tesa yang masih berstatus mahasiwa itu mendekati mama Tesa pada istirahat siang.
"Miss Sari, silahkan duduk. Mau bicara apa ya?" mama Tesa menggeser duduknya untuk memberikan ruang bagi Sari.
"Makasih bu, saya berdiri saja"
Mama Tesa tersenyum mencoba mencairkan suasana yang agak kaku, walau dalam hatinya penuh tanda tanya tentang masalah yang hendak dibicarakan oleh Sari.

"Begini bu Santi, sudah seminggu ini Tesa sering banget memanggil nama saya tanpa Miss didepannya. Saya sudah beberapa kali mengingatkan Tesa tapi Tesanya tetap saja melakukan hal yang sama. Saya ngak enak bu, takutnya nanti ditirukan oleh teman2 Tesa yang lain".

"Oooo masalah itu to, maaf miss Sari, memang Tesa beberapa hari ini kalau dirumah sering membicarakan miss Sari langsung sebut nama. Kami dirumah selalu mengingatkan Tesa untuk menyebut nama miss Sari lengkap tidak hanya Sari saja. Maapin Tesa ya miss".

"Tapi bu Santi, Tesa harus diingatkan terus menerus. Tadi pagi dia masih melakukan hal yang sama" terlihat bahwa guru pendamping ini masih belum puas dengan jawaban mama Tesa.

"Iya miss, nanti saya ingatkan kepada Tesa kembali. Tesa kan memang masih kelas 1, jadi mungkin dia meniru kalau saya atau ibu-ibu yang lain membicarakan guru pendamping anaknya menyebut nama langsung, maaf ya miss".

"Iya bu Santi, kalau dirumah tolong diingatkan Tesa terus bu, biar Tesanya tahu kalau menyebutkan nama saya harus dengan kata miss, tidak hanya nama saja!", Sari kelihatannya mengalami kekecewaan yang cukup dalam dengan Tesa anak bimbingannya semata wayang itu.

"Miss Sari, sebagai guru pendamping salah satu tugas utama miss Sari adalah mengerti perilaku dan kebutuhan Tesa. Kalau Tesa yang harus mengerti perilaku dan kebutuhan miss Sari artinya Tesa yang jadi guru pendamping dan miss Sari yang jadi murid kelas 1 SD!" kali ini kalimat yang dilontarkan mama Tesa membuat miss Sari diam dan merenung.


* Guru Pendamping: dalam sistem pendidikan di sekolah inklusif, anak dengan kebutuhan khusus belajar dan bergaul bersama anak2 lainnya. Namun agar proses belajar menjadi efektif maka anak berkebutuhan khusus memiliki guru pendamping pribadi yang membantu mereka didalam kelas.



BSD City
Akhir May 2010
Eko Utomo untuk Anda

Dikira TAHU ternyata BATU


Tol Cawang Priok, tempat yang tepat untuk membuktikan bahwa Jakarta tercemar berat dengan polusi industri dan kendaraan bermotor. Konstruksi jalan Tol yang melayang diudara mendekatkan kita kepada gumpalan asap keabuan yang memeluk Jakarta, asap yang berubah menjadi debu kotor saat jatuh ke mobil saat hujan datang. Kiri kanan jalan tol adalah atap-atap rumah dan perkantoran, luar biasa padat dan menghimpit. Lingkungan yang tepat untuk membentuk penghuninya berfikir dan bertindak menang kalah dengan cara saling menekan, mendorong, memukul dan bahkan memakan manusia lain, tempat sempurna pembuktian konsep "Homo Homini Lupus"*.

Dibelokan jalan keluar tol arah Rawamangun berdiri dua orang petugas. Baju mereka yang berdebu tertutup rompi, kacamata hitam bertengger diatas hidung, sedangkan mobil patroli diparkir mepet ke tembok jalan. Pandangan mata mereka tajam memperhatikan lalu lintas yang padat dari arah Cawang yang lalu lalang, sesekali mereka melirik saat ada mobil yang membelok turun keluar dari toll. Tidak ada suara yang keluar dari mulut mereka berdua, entah apa yang ada dalam pikiran di tubuh yang tegak kaku yang sedang menghirup asal knalpot ratusan mobil itu.

"Priiiiiiiiiiiiiiit", tiba-tiba salah seorang dari petugas itu menyembunyikan peluit dan tangan kanannya memberhentikan sebuah mobil warna biru berplat nomer D, plat nomer kota Bandung.
"Selamat sore bu"
"Selamat sore pak, ada apa ya" sesosok wajah ibu muda dari balik kemudi terlihat jelas sesudah kaca mobil diturunkan.
"Ibu dari Bandung ya?"
"Tidak pak, saya dari Cibubur mau ke Rawamangun. Ada apa sih pak?" kembali ibu pengemudi bertanya ke petugas.

Sang petugas sekejap melirik keplat nomer mobil, D1234EU jelas mobil Bandung, diliriknya penumpang didalam mobil, hanya ada seorang nenek tua di sebelah sopir dan dua balita bersama pengasuhnya di jok belakang.
"Ibu dari Bandung mau kemana?"
"Bapak ini bagaimana sih......dari tadi sudah saya bilang saya dari Cibubur mau ke Rawamangun, kenapa saya dihentikan?" kali ini nada intonasi sang pengumudi terdengar naik setengah oktaf.
"Ibu sudah melanggar marka jalan dibelakang" jawabnya sambil menunjuk ke belakang.
"Melanggar apanya? saya tahu pasti bahwa saya berbelok dengan benar, bahkan dari jauh saya juga sudah menyalakan sign ke kiri" bukannya takut dengan petugas, intonasi suara pengemudi bahkan naik lebih tinggi lagi.

"SIM dan STNK" kata petugas dengan tegas dan tangan terulur kepengemudi.
Pengemudi wanita di mobil biru mengambil apa yang diminta dari dompet kulitnya.
"Ini pak SIM dan STNK saya, sekali lagi saya bertanya apa kesalahan saya? yang jelas saya tidak melanggar marka jalan!",
"Ibu bernama Santi Diana Tampubolon?" tanya sang petugas sambil membaca SIM.
"Betul"
"Ibu harus ditilang karena melanggar marka jalan" suara itu terdengar keras dan galak.
"Bapak tuli ya, saya sudah bilang saya tidak merasa melanggar marka jalan. Bapak jangan sembarangan menilang orang dengan alasan yang dibuat-buat!"
"Begini bu, kalau ibu tidak mau repot membayar dipengadilan, ibu bisa menitipkannya kepada saya".
"Pak polisi, bapak ini bener bener tuli ya, saya tidak melanggar marka. Bapak sudah baca nama saya, saya orang batak marga Tampubolon. Keluarga saya pengacara semua! Anda kenal Juan Felik Tampubolon tidak?" nada suara pengemudi mobil bernama Santi Diana itu makin tinggi.
Sang petugas mengerutkan dahinya, "tapi ibu telah melanggar marka jalan dan itu menyalahi aturan" nada suara petugas menurun dan melemah.

"Nama Anda siapa dan dari polsek mana? coba buka rompimu!" kata pengemudi wanita semakin keras.
Dari mukanya petugas polisi menjadi bingung tidak tahu apa yang harus dia perbuat.
"Berikan SIM dan STNK saya! dan buka rompimu biar saya lihat namamu! saya kebetulan mau ketemu dengan Ajun Kombes Agus Sunarko dari Mabes."
Muka sang petugas tampak makin kecut, dengan tergesa-gesa dia serahkan SIM dan STNK kepada sang pengumudi.
"Kalau ibu tidak mau ditilang ya sudah, silahkan lanjut" ucap sang petugas entah dasar atau tidak sadar saat mengucapkan kalimat itu.
"Anda ini keras kepala ya, saya minta buka rompi Anda dan Anda bertugas di polsek mana?" sesudah menerima SIM dan STNKnya sang pengemudi membuat gerakan seolah-olah mau keluar dari mobil. Melihat hal itu sang petugas dengan tergesa gesa bilang "lanjut bu" dan dengan tergesa-gesa meninggalkan mobil plat D warna biru sialan itu.

"Santi emang kenal dengan Ajun Kombes Agus?" nenek tua dikursi penumpang bertanya.
"Ngak kenal ma, aku ngarang aja...........emang cuman dia aja yang bisa main gertak!" kata pengemudi wanita itu dengan cuek sambil memasukkan kembali SIM dan STNK kedalam dompet.
"Juan Felik Tampubolan aja aku kenalnya hanya di TV kok he he he he, dikira supir cewek semuanya makanan empuk apa. Biar lain kali dia ngak sembarangan main tilang" sambungnya sambil mengarahkan mobil ke pintu keluar tol.

Dipersembahkan khusus untuk para pengemudi wanita yang perkasa namun tetap jelita.

Bandung, 29 Mei 2010
Wonderfull longweekend
Eko Utomo untuk Anda

* Manusia merupakan srigala bagi manusia yang lain

Lelayu lelayu dan konsep "Always Begin with the End in Mind"*


Lelayu: "Telah meninggal dunia dengan tenang mantan Ibu Kepala Negara Ainun Habibie di rumah sakit Jerman. Beliau meninggalkan banyak kenangan manis dan jasa kepada negara Republik Indonesia ini". Demikianlah selama 2 hari media massa Indonesia di bombardir oleh berita lelayu ini. Tidak peduli media TV, media cetak maupun media internet berlomba-lomba memberikan detail demi detail peristiwa dan kesan orang2 terhadap orang yang meninggal.

Kalau kita mau kembali ke masa beberapa bulan yang lalu, peristiwa yang sama dengan magnitute yang lebih besar dan massive juga terjadi saat mantan Kepala Negara Gus Dur meninggal dunia. Selama seminggu penuh berita in momeriam Gus Dur memenuhi media dan memenuhi pemikiran banyak orang Indonesia. Terlepas dari sikap kontroversialnya Gus Dur mampu mendesakkan ruang khusus di pemikiran kita tentang dia.

Pemakaman Kalibata 25 Mei 2010
Bau harum bunga mawar masih tajam menyeruak di udara yang basah oleh gerimis. Gundukan tanah merah itu baru berumur beberapa jam, masih teramat muda dan belia. Warna merah tanah itu menjadi gelap seiring datangnya senja di pemakaman. Tapak kaki masih jelas tercetak di basahnya tanah. Namun sosok tiga orang yang tunduk masih tegak berdiri disisi makam, tersisa dari mereka yang hadir dalam pelepasan. Tiga sosok manusia yang paling dekat dengan si jenasah.

Sosok pertama adalah nyonya Famiglia, seorang keluarga dekat. Sering ketemu dalam acara-acara keluarga. Yang walapun lebih muda tapi tahu persis tentang kisah kisah dari si jenasah dari sejak kecilnya sampai dengan meninggalnya kemarin sore. Sosok yang memiliki darah yang sama. Dan Famiglia termenung dan memikirkan si jenasah.

Sosok kedua adalah adalah Tuan Pari, seorang rekan kerja yang sama-sama meniti karir di perusahaan. Bersama dengan Pari membangun kompetensi, pengalaman dan reputasi. Bersama Pari pula mereka jadi saksi bahwa hidup pekerjaan adalah abu abu dan tidak hitam putih seperti yang mereka bayangkan saat mereka baru lulus kuliah sekian tahun yang lalu. Disisi makam Pari tegak dan diam, namun tarikan mata dan alisnya menunjukkan bahwa dia sedang merenung. Pari sedang memikirkan kisah hidupnya dengan si jenasah.

Sosok ketiga adalah Amico, pria berpakaian kasual namun dandy ini adalah sahabat setia dalam suka dan duka. Amico seorang teman sejati, teman yang ada tidak hanya pada saat kegembiraan datang namun juga saat kesedihan menyapa. Pertemanan yang erat itu bahkan berlanjut ke anak anak mereka, seiring dengan seringnya dua keluarga main bareng dan wisata bersama. Namun sore itu wajah Amico yang biasanya ceria tampak mendung, tarikan nafas yang berat menandakan Amico sedang merenung dan memikirkan suatu hal yang berat, sesuatu tentang si jenasah.

Dan tiba-tiba.................
...............dari ruang dimensi keempat Anda bisa menjenguk wajah sang jenasah. Wajah yang sangat dikenal...karena wajah itu adalah wajah Anda!

Disamping makam, tiga sosok terakhir Famiglia, Pari dan Amico hendak menyampaikan ucapan perpisahan. Ucapan perpisahan kepada Anda yang terbaring diam dan beku. Salam perpisahan seperti apa yang hendak mereka ucapkan kepada Anda? apakah salam perpisahan yang semanis madu atau sepahit empedu? apakah tentang cerita indah atau caci maki? apakah ucapan terimakah atau tagihan hutang yang belum terbayar?

waktu sekarang sampai dengan tiba saatnya nanti yang akan berbicara! dan itu ditentukan oleh ANDA!

BSD City
25 Mei 2010
EU 4 U

* Habit kedua Steven Covey

Hebatnya (lemahnya) Tunnel Boring Machine - TBM


Danau Singkarak nan cantik! Kabut pagi mengambang lembut di bibir air danau yang jernih. Sepanjang mata memandang yang ada adalah hening dan hijau daun yang sejuk. Desah angin pagi yang menyapa danau dan menggoda daun yang luruh menyatu dalam mistis Singkarak yang eksotis.

Back to 1996. Tahun dimana rupiah masih jaya terhadap dollar. Dan ditahun yang sama adipati tua sedang kehilangan roh tahta jawa karena ditinggal mati sang istri. Nah, ditahun yang sama pula penulis yang sedang duduk ditingkat akhir musti kerja sambil Tugas Akhir (Skripsi) di danau Singkarak nan indah. Waktu 6 bulan di daerah yang asing jelas bukan hal yang mudah untuk dilalui, beruntung alam yang cantik di sekitar proyek mampu menjadi obat dahaga dikala kangen tanah parahiyangan.

Setiap hari yang dikerjakan adalah memperhatikan mas TBM (Tunnel Boring Machine) bekerja ekstra keras untuk menggali lobang dari tepian danau Singkarak menuju ke turbin yang letaknya di dekat Lubuk Alung di seberang danau. TBM ini merupakan alat penggali bumi yang luarbiasa. Bagaimana tidak luarbiasa kalau sistem penggalian bumi konvensional dengan menggunakan bahan peledak (drill & blast-DnB) hanya mampu menggali kurang lebih 6 meter kemajuan sehari dan TBM mampu maju 30an meter! Dalam sebuah literatur bahkan dicatat rekor kemajuan TBM dengan diameter 5 m, mampu maju sejauh 500 m/hari! suatu rekor yang luarbiasa yang mungkin hanya bisa ditandingi oleh Antarejo anaknya mbah Werkudoro. Selat Channel yang menghubungkan Perancis dan Inggris juga dibangun dengan bantuan dan jasa TBM.

Nah, ceritanya PLN sebagai pemilik proyek menggunakan dua metode penggalian ini (atas anjuran konsultan tentunya) sekaligus. Dari arah Lubuk Alung menggunakan TBM dan dari arah Singkarak menggunakan drill and blast. Dan pada masa awal2 mas TBM menunjukkan keperkasaanya! setiap hari mampu menggali batu gunung yang keras puluhan meter, jauh meninggalkan DnB. Semua pihak terkait baik pemilik proyek, konsultan dan kontraktor tersenyum gembira membaca laporan kemajuan setiap harinya.

Tibalah pada suatu ketika, mas TBM yang sudah maju ratusan meter ketemu dengan tanah yang lembek yang diakibatkan oleh suatu patahan, atau istilah gampangnya adalah area gesekan lempeng bumi. TBM yang begitu perkasa menghancurkan dalam batu keras ternyata langsung takluk ketemu tanah lembek. TBM tenggelam karena tanah yang lembek tidak mampu mendukung badan TBM yang berat. Alhasil mas TBM berhenti bekerja selama berbulan2 bahkan hampir setahun! Ternyata mas TBM hanya mampu bekerja di batuan yang sesuai dengan speknya, pada saat batuan tidak sesuai lagi maka alatnya menjadi loyo dan tidak berguna. Mas TBM tidak mampu untuk menyesuaikan dengan kondisi batu yang berubah dan kemudian menunggu nasib dan pertolongan dari manusia agar tidak kejeblos lumpur patahan.

***

"Maaf pak, gagal lagi nih" Priyono salah seorang anggota tim duduk dikursi depan mejaku dengan lesu.
"Coba ceritakan apa yang terjadi Pri" tanyaku sejenak kemudian.
"Saya tadi pergi ke bu Dora pak, untuk berdiskusi tentang project A kita. Tapi reaksinya sama persis dengan minggu lalu. Bu Dora menolak project itu dan bilang bahwa masih ada prioritas lain yang lebih penting".

"Hmmm, saat tadi presentasi dan diskusi dengan bu Dora cara kamu presentasi sama dengan minggu lalu ya?" tanyaku kepada Priyono.
"Iya pak, kan memang materi projectnya sama ngak ada yang berubah!" kali ini Priyono memandangku setengah bingung setengah linglung.
"Lha kalau caranya begitu kamu sama dengan mesin TBM di Singkarak 14 tahun yang lalu Pri" jawabku setengah ketawa.
"TBM? makanan apa tuh pak?" mulut Priyono makin lebar terbuka menggambarkan pikirannya yang makin bingung.

"Mesin TBM itu alat pembuat terowongan yang hebat, kerjanya menghajar dan menggali terowongan dengan cara yang sama ngak peduli jenis batuan yang dihadapinya. Nah mesin TBM yang hebat dalam menggali batu keras ini takluk, stuck dan kejeblos di lubang batu yang lunak!" penjelasanku tentang TBM malah makin membuat Priyono bingung.
"Ya sudah, sekarang coba kamu kembali ke mejamu dan sekarang pikirkan strategi yang lain yang berbeda dengan strategi presentasimu yang pertama Pri. Buatlah pikiranmu menjadi lebih luwes dan fleksible tidak kaku dan asal tabrak seperti TBM".

Karawaci
25 Mei 2010
Lunch Time
EU for U

Kacamata Tesa (memilih sudut pandang)


Adakah anak kecil yang tidak suka berenang? demikianlah juga Tesa dan Jason. Pengalaman berenang selama 9 bulan di air kehidupan di rahim mama saat tumbuh sebagai bayi mendorong mereka untuk mencari pemenuhan hal yang sama di kolam renang lagi dan lagi tiada bosan.

"Asyiiiiiiiiiik kita berenang ke Ocean Park!" seru Tesa dengan nada gembira. Sore ini dengan ditemani oleh papa, mama, eyang, opung boru dan si mbak, Tesa dan Jason dengan semangat 45 menuju taman bermain merangkap kolam renang Ocean Park yang berada di jantung BSD City. Rupanya kolam renang plastik dengan diameter 2 meter yang dibelikan mamanya tidak dapat mengurangi kesukaan mereka bermain seluncuran di Ocean Park.

"Papa lihat pa" teriak Tesa gembira. Diatas hidungnya telah bertengger kacamata rayben kepunyaan sang mama!
"Wooow cantik nih anak papa, kayak artis ibukota Serpong" seruku saat melihat gaya Tesa.
"Papa..........pohon warnanya coklat"
"Iya sayang........pohon warna coklat karena Tesa pakai kacamata mama, coba kacamatanya kamu copot"
"Pohon warna hijau lagi pa!" jerit suara bening Tesa mengalahkan deru mesin mobil.
Aku hanya tersenyum simpul sambil memijat hidung Tesa.

Jam menunjukkan pukul 4 sore saat kami tiba di lokasi. Gerimis kecil turun perlahan mengantarkan kami masuk ke Ocean Park. Tesa dan Jason segera membuka baju dan terjun ke kolam begitu tiba disana.
"Opung coba lihat tuh si Jason......badannya montok dan gendut kayak papanya" mama Jason memberi komentar terhadap anak laki-lakinya.
"Memang gede benar si Jason, umur baru 5 tahun tapi sudah tinggi dan besar, ada kali 30 kg dia" opungnya membalas komentar mama Jason.
"Byuuuuuuuuuuuur" air kolam muncrat cukup tinggi. Seorang anak sepantaran Jason meloncat dan meluncur di seluncuran dan mengakibatkan huru hara kecil.
"Walaaaaah......dikasih makan apa ya sama mamanya? badannya kok sebesar kingkong." kata mama Tesa. "Jason disebelahnya jadi kurcaci he he he" lanjutnya sambil tertawa kecil.
"Nah....itu dia ma, besar kecilnya Jason mah tergantung dengan pembandingnya" komentarku menanggapi seruan mama Tesa.

***
Pengumuman pengumaman.....mohon menjadi perhatiannya, kepada ibu Sri dari Tangerang untuk segera ke ruang informasi karena sedang ditunggu oleh suaminya bapak Anto" loudspeaker diatas kami meneriakkan pengumuman.
"Dasar suami ngak sabaran, masak gitu aja dimasukkan ke bagian pengumuman. Apa dia ngak bisa mencari sendiri istrinya" desis mama Tesa mengomentari pengumuman barusan.
"Bisa jadi istrinya yang ngak tahu diri ma, asyik berenang sehingga lupa waktu dan lupa suami" sahutku sambil tersenyum simpul.

"Maksud papa apa?"
"Maksudku ungkapan mama barusan adalah interprestasi sepihak dari mama terhadap pengumuman tadi. Dan interprestasi tadi sangat dipengaruhi oleh sudut pandang mama. Orang lain bisa juga melakukan interprestasi yang lain dan yang sangat mungkin juga salah. Sama dengan kacamata rayben yang dipakai Tesa tadi."
"Lha terus interprestasi yang benar gimana dong?" kali ini nada mama Tesa menuntut penjelasan.
"Ya tidak perlu diinterprestasikan, yang ada adalah ibu Sri yang ditunggu oleh pak Anto diruang tunggu" jawabku sambil tetap tersenyum simpul.
"Lha kejadian sebenarnya bagaimana?" mama Tesa mengejar jawaban seperti angkot mengejar setoran.
"Kejadian sebenarnya bisa tanya langsung ke bu Sri dan pak Anto!, diluar itu adalah asumsi kita yang mungkin benar dan juga mungkin salah."

BSD City
22 May 2010
Bebek cabai hijau itu memang amboii
EU for U