Tampilkan postingan dengan label Artikel Mata Elang Perhapi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Artikel Mata Elang Perhapi. Tampilkan semua postingan

21 Oktober 2013

SEMINAR TPT PERHAPI 2013 - STRATEGIC DECISION MAKING


“BAGAIMANA PEMIMPIN PERUSAHAAN TAMBANG MEMBUAT DAN MENGAMBIL KEPUTUSAN BISNIS STRATEJIK DI LINGKUNGAN BISNIS YANG KOMPLEK DAN TIDAK MENENTU”

RINGKASAN
Lingkungan bisnis pada industri pertambangan di Indonesia dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling berhubungan. Faktor-faktor seperti lingkungan, lembaga sosial masyarakat lingkungan, peraturan pemerintah yang terkait dengan proses penambangan, harga komoditas hasil tambang yang berubah cepat serta dinamika hubungan perusahaan dengan masyarakat sekitar, menuntut perusahaan dan pemimpinnya untuk mampu secara cepat menyesuaikan diri dengan dinamika yang ada.

Ketidakmampuan dan keterlambatan untuk menyesuaikan diri akan mengakibatkan perusahaan kehilangan keunggulan bersaing dan dapat membahayakan kelangsungan hidup perusahaan (Teece dkk., 1997).

Hambrict dan Mason (1984) menyatakan bahwa fungsi pembuatan keputusan stratejik dan kinerja perusahaan merupakan refleksi dari karakter dan kompetensi dari para pimpinan tertingginya. Kemampuan pemimpin dalam membuat keputusan stratejik (strategic decison) sangat dipengaruhi oleh karakteristik yang dimiliki.  Hitt dan Taylor (1991) menemukan bahwa karakteristik seperti demografi, kognitif dan kepribadian akan menentukan bagaimana keputusan stratejik tersebut dibuat.

Makalah ini bertujuan menyajikan teori dan aplikasi tentang bagaimana perusahaan, khususnya pemimpin organisasi membuat keputusan stratejik (leadership skill) dalam lingkungan bisnis yang komplek.

Industri pertambangan di Indonesia termasuk dalam industri yang dapat digolongkan sebagai industri yang komplek (BMI, 2013), sehingga cara pengambilan keputusan stratejik juga harus menggunakan konsep yang berbeda dibandingkan dengan konsep pengambilan keputusan stratejik pada industri yang relatif stabil dan tidak kompleks.

Dengan demikian maka pengetahuan tentang bagaimana pemimpin tertinggi perusahaan tambang mengambil keputusan stratejik yang tepat, dalam lingkungan bisnis yang komplek akan menjadi penting dan bermanfaat baik bagi dunia pengetahuan maupun bagi praktisi bisnis khususnya di dunia pertambangan Indonesia.

LINGKUNGAN BISNIS YANG KOMPLEK (Complex Business Environment)
Kurtz dan Snowden (2003) mendefinisikan bahwa kondisi komplek sebagai kondisi dimana hubungan sebab dan akibat tidak berulang. Dengan demikian pemahaman terhadap penyebab tidak dapat dijadikan referensi untuk memprediksi apa yang akan muncul sebagai akibatnya. 

Lebih lanjut lagi, Kurt dan Snowden menyatakan bahwa lingkungan bisnis dapat dibagi menjadi 4 kondisi (domain) sebagai fungsi dari dimensi keteraturan dan kompleksitas.  Kondisi tersebut adalah Known, Knowable, Complex dan Chaos. Perubahan kondisi dari known sampai dengan chaos diakibatkan oleh perbedaan faktor-faktor yang ada didalamnya.  

Apabila hubungan antar elemen yang ada makin banyak, maka sebuah sistem semakin komplek. Apabila suatu sistem kondisinya makin tidak menentu (uncertainty) maka sistem tersebut juga menjadi makin tidak teratur. Kondisi yang makin komplek dan tidak menentu akan membuat sistem menuju kondisi yang chaos (lihat gambar 1).

 
 Gambar 1. Cynefin Domain (Kurt dan Snowden, 2003)

Pola-pola yang berbeda pada masing-masing domain membutuhkan antisipasi dan respon yang berbeda dalam menyikapinya. Antisipasi yang berbeda ini termasuk pengambilan strategic decision making (SDM). Didalam sistem yang masuk katagori known maka inisiatif proses reengineering adalah inisiatif yang tepat karena hubungan sebab akibat berulang dan dapat diprediksi.

Disisi lain, inisiatif reengineering yang intensif pada kondisi yang komplek menjadi tidak efektif. Reengineering dibangun berdasarkan asumsi bahwa lingkungan stabil dan hubungan sebab akibat jelas serta ada polanya, prasyarat ini tidak dapat dipenuhi pada lingkungan bisnis yang komplek.


 
Burns (2002) memberikan istilah kondisi komplek sebagai strange attractor zone. Kondisi ini selalu berada dalam turbulensi yang dinamis. Kondisi yang teratur dinamakan zone of stability, sedangkan kondisi yang lebih tidak teratur dinamakan zone of randomness.


INDUSTRI PERTAMBANGAN SEBAGAI INDUSTRI YANG KOMPLEK (Complex Business Environment)
George Hood (1995) dalam artikel ilmiahnya tentang kasus Windy Craggy (daerah dengan cadangan tembaga potensial) di British Columbia – Canada menemukan bahwa bisnis di industri pertambangan semakin hari menjadi semakin komplek karena banyaknya faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Faktor-faktor yang menambah kompleksitas dari industri pertambangan terdiri dari isu lingkungan, perolehan hak kuasa pertambangan (land access), masalah sosial dengan penduduk sekitar dan juga peraturan pemerintah tentang pertambangan. Hal-hal diatas menjadi makin komplek dengan semakin banyaknya pihak-pihak yang berkepentingan (Interest Group) yang mampu memaksakan berhentinya proses eksplorasi/development bahkan menutup tambang yang sudah beroperasi.

Dalam kasus Windy Craggy, Geddes Resources sebagai pemegang hak eksplorasi sangat terlambat dan tidak cukup baik dalam menetralisir pihak yang tidak setuju dengan keberadaan tambang (khususnya Enviromental Interest Group) sehingga potensi nilai tambang sebesar US$15 Milyar yang dihasilkan dari  produksi 120.000 ton pertahun selama 20 tahun tidak dapat direalisasikan.

Bola salju penolakan keberadaan tambang di Windy Craggy menjadi terlalu besar untuk diatasi, sehingga potensi penemuan cadangan lain yang sama besar bahkan lebih besar dari cadangan Windy Craggy yang sudah diindikasikan disekitarnya menjadi makin jauh dari kemungkinan dieksplorasi lebih lanjut.

O’Reagen dan Moles (2006) dalam penelitian yang lebih baru mengembangkan sebuah model yang dinamakan yang System Dynamic untuk mengukur lebih akurat lagi, pengaruh lingkungan (environmental) dalam kompleksitas yang dihadapi oleh dunia pertambangan.

Makalah ini tidak membahas seberapa jauh pengaruh lingkungan dan pengaruh faktor2 lain dalam industri pertambangan, namun lebih kepada menunjukkan bahwa industri pertambangan masuk dalam katagori industri yang kompleks. Perubahan peraturan pertambangan, tumpang tindihnya Undang-Undang yang berkaitan dengan dunia pertambangan, konflik dan potensi konflik dengan masyarakat menjadi faktor yang menambah kompleksitas industri ini.

Berangkat dari asumsi bahwa industri pertambangan merupakan industri yang masuk dalam katagori industri yang berada dalam lingkungan bisnis yang kompleks, maka syarat-syarat dan kondisi Strategic Decision Making (SDM) dalam lingkungan bisnis komplek terpenuhi dan bisa menggali lebih jauh bagaimana membuat keputusan stratejik yang tepat untuk membantu perusahaan mencapai target dan tujuan yang sudah ditetapkan sebelumnya.

STRATEGIC DECISION MAKING
Hitt dan Tayler (1991) dalam kajian mereka menyatakan bahwa proses pembuatan keputusan stratejik dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor yang utama adalah karakteristik demografik dan kepribadian serta kondisi kognitif dan pemimpinnya. Faktor lain yang juga memberikan pengaruh adalah kondisi lingkungan industri dimana perusahaan berada.

Dean dan Sharfman (1996) menyatakan bahwa pembuatan keputusan stratejik dipengaruhi oleh empat faktor utama. Keempat faktor tersebut adalah procedural rationality, political behavior, environment favorability dan quality of implementation (lihat gambar 2).


Gambar 2. Model Strategic Decision Making Effectiveness (Modifikasi dari Dean dan Sharfman, 1996)
Eisenhardt (1989) menyatakan bahwa dalam lingkungan bisnis yang makin komplek maka kecepatan pembuatan keputusan merupakan keunggulan untuk memenangkan persaingan. Keputusan stratejik yang dibuat secara cepat menurut penelitian yang dilakukan Eisenhardt menggunakan data dan juga mengembangkan alternatif keputusan yang tidak kurang banyak jika dibandingkan dengan pengambilan keputusan yang lambat.
 Untuk dapat melakukan pengambilan keputusan yang cepat, maka Eisenhardt (1989) mengajukan model pembuatan kecepatan yang cepat dalam kondisi lingkungan yang juga berubah cepat (lihat gambar 3).


Gambar 3. Model Pembuatan Keputusan Cepat (Modifikasi dari Eisenhardt, 1989)

Proses pembuatan keputusan stratejik yang cepat ini dimulai dengan melakukan tindakan: mengumpulkan real time information, mengembangkan multiple simultaneous alternatives, melakukan two tier process, menyelenggarakan concensus with qualification dan selanjutnya decision integration.

Langkah tersebut kemudian dikembangkan dengan tiga proses berikutnya yang akan memediasi yaitu: accelerated cognitive processing, smooth group process dan confident to act. Ketiga proses mediasi inilah yang akan mempengaruhi kecepatan pengambilan keputusan yang kemudian akan menghasilkan kinerja unggul.

Dalam proses melakukan pengambilan keputusan stratejik yang cepat ini maka apabila terjadi konflik harus segera diatasi. Dengan demikian proses integrasi terhadap keputusan yang diambil tetap dapat dijaga.

STRATEGIC DECISION MAKING PITFALL
Banyak orang berfikir bahwa SDM yang dilakukan dengan komprehensif akan menghasilkan strategic decision yang efektif. Proses SDM yang komprehensif menurut Jannis & Mann (1977) seperti  yang dikutip oleh Fredricson & Mitchell (1984) terdiri dari 7 langkah:
1) The thorough canvassing of a wide range of alternatives
2) Surveying a full range of objectives
3) Carefully weighing the costs and risks of various consequences
4) Intensively searching for information to evaluate alternative actions
5) Objectively evaluating information, or expert judgment regarding alternative actions 6) Reexamining the positive and negative consequences of all known alternatives
7) Making detailed plans, including the explicit consideration of contingencies, for implementing the chosen action.

Fredrickson & Mitchell (1984) dalam riset di 27 perusahaan terhadap 109 eksekutif menemukan bahwa SDM yang komprehensif hanya berlaku efektif dalam lingkungan bisnis yang stabil. Dalam lingkungan bisnis yang tidak stabil maka SDM yang komprehensif memiliki hubungan negatif terhadap kinerja organisasi.

Strategic decision making (SDM) dipengaruhi oleh tiga faktor utama didalam proses pembentukannya. Ketiga faktor tersebut adalah:
1.     Karakteristik keputusan
2.     Karakteristik pengambil keputusan dan
3.     Faktor eksternal
Papadakis & Spyros (1998) menyimpulkan bahwa faktor yang pertama menjadi faktor yang paling menentukan dalam pembuatan keputusan stratejik.
Amason (1996) menemukan fakta yang menarik tentang bagaimana keputusan yang baik ternyata dibangun karena adanya interaksi (konflik) kognitif diantara pengambil keputusan (lihat gambar 4).






Gambar 4. Pengaruh Konflik dalam SDM (Amason, 1996)

Hasil riset yang dilakukan oleh Amason (1996) menunjukkan bahwa konflik kognitif memberikan efek yang positif terhadap keputusan stratejik yang dibuat sedangkan konflik yang sifatnya emosional memberikan dampak yang negatif.

Dari model yang dikembangkan oleh Amason ini juga dapat diketahui bahwa kinerja organisasi akan meningkat apabila pengambilan keputusan mengandung 4 kondisi penting yaitu: decision quality, commitment to decision, understanding of decision dan affective acceptance of TMT members. 

KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat ditarik dari makalah ini adalah:
1.     Industri pertambangan di Indonesia masuk dalam katagori lingkungan bisnis yang komplek.
2. Dalam lingkungan bisnis yang komplek kecepatan dan fleksibelitas dalam pengambilan keputusan menjadi faktor penentu kinerja organisasi
3. Proses interaksi (konflik kognitif) diantara pengambil keputusan dibutuhkan untuk dapat menghasilkan keputusan yang baik


REFERENSI
Amason, A. (1996). “Distinguishing the effects of functional and dysfunctional conflict on Strategic Decisio Making”, Academy Management Journal, 39, 1. 
Burns, J. (2002). “Chaos Theory and Leadership Studies: Exploring Uncharted Seas”, Journal of Leadership and Organizational Studies, 9, 2.
Business Monitor International, (2013). Indonesia Mining Report Q4 2013. London: BMI. 
Eisenhardt, K.M. (1989). “Making Fast Strategic Decisions in High-Velocity Environment”,  Academy of Management Journal, 32, 3, 543 – 576.
Fredrickson, J.; & Mitchell,, T. (1984) “Strategic Decision Processes: Comprehensiveness and Performance in an Industry with an Unstable EnvironmentAcademy of Management Journal, Vol, 27, No, 2, 399-423,
Hambrick, D.E.; & Mason, P. A. (1984). “Upper echelons: The organization as a reflection of its top managers”, Academy of Management Review, 9, 193–206.
Hitt, M.A.; & Tyler, B.B. (1991). “Strategic Decision Models: Integrating Different Perspectives”, Strategic Management Journal, 12.
Hood, G. (1995). “Windy Craggy: an Analysis of Environmetal Interest Group and Mining Industry Approaches”, Resources Policy, I21, 1.
Kurtz, C.F.; & Snowden, D.J. (2003). “The New Dynamic of Strategy: Sense-Making in a Complex and Complicated World”,  IBM System Journal,  42, 3, 462.
O’Reagen, B.; & Moles, R. (2005). “Using System Dynamic to Model the Interaction Between Environmental and Economic Factors in the Mining Industry”. Journal of Cleaner Production. 14, 689-707.
Papadakis, V., Lioukas, S.; & Spyros, C. (1998). “ Strategic Decision Making Processes: The Role of Management Context”, Strategic Management Journal, 19,2.
Stacey, R. D. (1996). Complexity and Creativity in Organizations. San Francisco: Berrett-Koehler Publishers.
Teece, D.J.; Pisano, G.; & Shuen, A. (1997). “Dynamic Capabilities and Strategic Management, Strategic Management Journal, 18,7. 
Yukl, G. (2010) (7th ed.). Leadership in Organizations. Upper Saddle River, New Jersey: Prentice Hall.

Penulis:
Eko Jatmiko Utomo (ekoutomo.ems1@yahoo.co.id)
Konsultan & Praktisi HR dan Leadership Development
Saat ini sedang mengambil Doctoral Degree di S3 UI jurusan Strategic Management
Pengurus Perhapi, lulusan S1 jurusan Teknik Pertambangan ITB & S2 Magister Management jurusan Strategic Management dari Prasetia Mulya Business School (PMBS).

06 Oktober 2013

Tangga Kepemimpinan (Leadership Ladder)



“The challenge of leadership is to be strong, but not rude; be kind, but not weak; be bold, but not bully; be thoughtful, but not lazy; be humble, but not timid; be proud, but not arrogant; have humor, but without folly.”
 Jim Rohn

Pada Sebuah Ruangan Training
“Pak Eko, departemen saya kurang perform karena pengaruh dari kinerja departmen lain dan bukan semata-mata karena kami yang kurang bekerja keras”, Toni manajer bagian operasi menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pernyataan saya didepan kelas bahwa manusia unggul (Excellence People)  adalah manusia Cause yang meletakkan tanggungjawab pada diri sendiri terhadap segala sesuatu termasuk kegagalan dan kinerja dibawah target.

“Apakah Anda dan tim Anda sudah masuk katagori mereka yang memiliki kinerja unggul mas Toni?” saya bertanya kepadanya.

“Pak Eko, seperti yang kita ketahui bersama, proses bisnis didivisi operasi merupakan proses yang saling berkaitan, tanpa input dan kinerja yang baik dari departmen lain kami tidak bisa maksimal”, Toni tetap bersikeras meletakkan tanggungjawab ketidakberhasilan timnya kepihak luar.

“Mas Toni, apakah anda dan tim anda sudah sangat unggul dan hebat sehingga tidak ada ruang perbaikan yang lain sehingga jeleknya kinerja tim anda adalah karena pihak lain?”, sebagai fasilitator saya mencoba untuk membuka perspektif baru bagi Toni.

“Pak Eko, apakah kita bisa menjadi hebat dan berprestasi tanpa dukungan dari pihak lain pak?”, kali ini kengototan Toni turun kadarnya, dari sekedar mencari kambing hitam menjadi kambing putih yang takut kelunturan warna hitam dari kambing yang lain.

“Mas Toni, selagi anda dan tim anda belum bisa dikatagorikan sebagai pemimpin dan tim yang hebat, energi kalian akan jauh lebih produktif dipergunakan untuk melakukan perbaikan dibandingkan dengan mencari-cari kesalahan pada proses bisnis dan orang lain”.

+++++

Membangun Kompetensi Kepemimpinan 

Banyak orang berfikir bahwa membangun kompetensi kepemimpinan seperti menggoreng ayam. Daging ayam yang dipotong tinggal dimasukkan ke penggorengan, ditunggu sebentar dan langsung bisa dinikmati. Sebuah proses instan yang mudah dan cepat dilakukan.

Kalau logika dan analogi ini yang dipakai maka dunia (termasuk Indonesia) seharusnya memiliki pemimpin yang berlimpah. Kenyataannya disegala penjuru dunia terlebih di Indonesia kekurangan pemimpin yang memiliki kompetensi kepemimpinan yang mumpuni. Yang ada adalah pemimpin instan yang dibangun diatas pondasi kompetensi kepemimpinan yang rapuh dan langsung roboh saat gelombang masalah datang.

Membangun kompetensi kepemimpinan lebih cocok dianalogikan dengan membangun istana. Pemilihan lokasi, gambar design, pemilihan kontraktor, pemilihan material yang dipergunakan, proses pembangunan, proses finishing dan banyak hal lain yang harus dilakukan sebelum istana yang diimpikan benar-benar mewujud sesuai dengan impian. Semuanya butuh keuletan, kesabaran dan ketekunan untuk membangunnya.

Tingkatan Kepemimpinan
Jim Collins dalam bukunya Good to Great membagi tingkat kepemimpinan dalam 5 tingkat, saya akan sajikan dalam versi yang lebih sederhana:
1.      Self Effectiveness
2.      Team Effectiveness
3.      Cross Effectiveness
4.      Charismatic Leader
5.      Legacy Leader

Membangun kompetensi kepemimpinan harus dimulai dari level yang paling dasar yaitu Self Effectiveness. Seorang pemimpin haruslah sebuah pribadi yang mampu dan bertanggungjawab menyelesaikan tugas dan tanggung jawab pribadinya.

Tingkat selanjutnya adalah Team Effectiveness, sebuah tingkat dimana seorang pemimpin yang selain effektif terhadap diri sendiri juga mampu memimpin dan memberdayakan anggota tim yang dipimpinnya agar menjadi tim yang kuat dan hebat.

Tingkat ketiga Cross Effectiveness adalah tingkat kepemimpinan yang sesudah lulus tingkat satu dan dua mampu untuk menembus batas posisi, jabatan, tanggungjawab, departmen sehingga mampu mempengaruhi dan membantu pihak lain diluar anggota tim untuk menjadi lebih baik dan produtif.

Tingkat keempat Charismatic Leader adalah pemimpin yang secara cepat mampu mempengaruhi siapapun yang berada didekatnya.

Tingkat tertinggi, Legacy Leader adalah pemimpin yang mampu mewariskan organisasi yang tertata rapi dan unggul, plus orang-orang hebat hasil sentuhan tangannya.

Kembali pada dialog yang terjadi diruangan training diawal artikel ini. Banyak pemimpin “merasa” bahwa menjadi pemimpin bisa langsung loncat kelevel tiga tanpa perlu melewati level 1 dan level 2. Alih-alih menjadi pemimpin level 3 sesungguhnya yang terjadi malah menjadi pemimpin yang medioker (tanggung) dan saat terjadi masalah kemudian menuding pihak lain sebagai penyebabnya.
Anda berada dilevel mana sekarang?

Eko Jatmiko Utomo (ekoutomo.ems1@yahoo.co.id)
Konsultan & Praktisi HR dan Leadership Development
Saat ini sedang mengambil Doctoral Degree di S3 UI jurusan Strategic Management
Pengurus Perhapi, lulusan jurusan Teknik Pertambangan ITB

STRATEGIC DECISION MAKING


“Be willing to make decisions. That’s the most important quality in a good leader.”
 General George S. Patton

Board Meeting Room
Deni duduk makin tenggelam dikursinya, bukan karena kursi diruang meeting direktur itu empuk namun karena beban pikirannya yang makin berat. Sebagai seorang Business Development Manager pada sebuah group perusahaan tambang batubara, Deni bertugas menyiapkan dan mengkoordinasikan seluruh perencanaan dan juga action plan yang harus dilakukan pada saat mereka membuka tambang baru. Sampai detik ini, dewan direksi belum dapat memutuskan siapa yang akan ditunjuk menjadi GM Site yang baru. Sampai detik ini juga Deni galau dengan ketidakjelasan keputusan dan membuat udara ruangan meeting direksi semakin berat dan tubuhnya terasa penat.  

Keputusan penting dan strategis ini sebenarnya sudah masuk dalam draft perencanaan yang disusun oleh Deni 6 bulan yang lalu. Group perusahaan mereka memiliki 6 tambang yang telah aktif beroperasi. Dengan demikian ada 12 kandidat yang tersedia, 6 orang GM dan 6 orang Deputy GM yang dapat ditugaskan ditambang baru yang akan dibuka. Deni mengusulkan 3 nama, 1 orang GM dari tambang aktif dengan tingkat produksi yang lebih kecil, dan 2 orang Deputy GM..

Sesuai dengan timeline, milestone dan action plan yang disusunnya maka tambang baru akan mulai aktif beroperasi minggu depan, namun direksi masih berdebat tiada habisnya menentukan siapa yang akan ditunjuk sebagai GM. Dalam banyak meeting sebelumnya, Deni hanya bisa menyaksikan Direktur Operasi berdebat tiada habisnya dengan Direktur Teknik tentang siapa yang cocok sebagai GM ditambang baru. Masing-masing Direktur memiliki kandidat dengan alasan kuat dan logika kenapa si A dan bukan si B yang dipilih. Direktur Utama bingung untuk membuat keputusan sementara Direktur Corporate Services lebih banyak sebagai penonton dan penggembira belaka.

+++++

How Good Your Strategic Decision
Strategic Decision (Keputusan Stratejik) jelas akan membawa dampak dan konsekuensi yang besar terhadap organisasi. Dampak itu tidak hanya terjadi dalam hal-hal yang sifatnya operasional namun dampaknya bisa sangat  besar karena akan menentukan hayat hidup dan kinerja organisasi (Hitt & Tayler, 1991). Coba kita bayangkan andaikata penunjukan GM tambang yang baru dilakukan dengan serampangan? Dengan GM yang tidak cocok dan kompeten maka proses produksi  yang sudah dijadwalkan bisa meleset dan perusahaan rugi karena kontrak penjualan dengan pelanggan menjadi tidak terpenuhi. 

Dalam studi literatur, kualitas pengambilan keputusan stratejik menurut Vroom dan Jago (1971) harus memenuhi tiga faktor penting:
1.      Kualitas rasional keputusan yang diambil
2.      Penerimaan dan komitment dari stakeholder keputusan tersebut
3.      Waktu yang dibutuhkan untuk mengambil keputusan.

Ketiga faktor ini selama bertahun-tahun menjadi pegangan dari banyak top management dalam mengambil keputusan stratejik diorganisasi terlebih faktor yang pertama. Latarbelakang para pengambil keputusan dalam hal ini direktur akan sangat mempengaruhi. Para direktur dengan pendidikan teknik pasti akan terbiasa dan nyaman untuk mengambil keputusan yang se-rasional dan se-komprehensif yang bisa dilakukan. Mereka percaya bahwa think first adalah proses yang paling tepat dalam mengambil keputusan.

Proses pengambilan keputusan think first mengedepankan pengambilan keputusan yang menggunakan data yang komplit, konteks terstruktur dan disiplin dapat diterapkan (Mintzberg & Westley, 2001). Pendekatan yang lain adalah seeing first, sebuah pendekatan dimana solusi dapat divisualisasikan dari sekian alternatif yang ada dibingkai oleh komitmen dan komunikasi yang baik. Pendekatan yang ketiga adalah doing first, pendekatan ini dilakukan karena konteks bisnis yang ada komplek, penuh ketidakpastian dan merupakan hal yang baru.

Terus bagaimana direksi diperusahaan tambang dimana Deni berada (atau juga perusahaan anda) dalam mengambil keputusan? Pengambilan keputusan apalagi yang stratejik tentu saja tidak dapat dipisahkan dari lingkungan bisnis dimana perusahaan kita berada. Komprehensiveness seperti yang terjadi diperusahaan Deni mengakibatkan pengambilan keputusan menjadi lama. Konteks bisnis pertambangan yang cenderung makin kompleks, tidak pasti dan persaingan yang makin tinggi menuntut pengambilan keputusan yang cepat dan tepat.

Sebuah riset yang dilakukan oleh Fredrickson dan Mitchell (1984) menyatakan bahwa ternyata ada korelasi negatif antara pengambilan keputusan yang komprehensif dengan kinerja organisasi dalam lingkungan bisnis yang kompleks dan tidak stabil. Semakin komprihensif sebuah keputusan maka kinerja perusahaan makin buruk.

Eisenhardt (1989) dalam sebuah risetnya menemukan bahwa pengambilan keputusan yang cepat ternyata tidak kalah baiknya (secara kualitas) dibandingkan dengan pengambilan keputusan yang lambat dan komprehensif. Dalam dunia yang cepat berubah seperti sekarang ini tentu saja fast decision making menjadi makin relevan.

What do you think?

Eko Jatmiko Utomo (ekoutomo.ems1@yahoo.co.id)
Konsultan & Praktisi HR dan Leadership Development
Saat ini sedang mengambil Doctoral Degree di S3 UI jurusan Strategic Management
Pengurus Perhapi, lulusan jurusan Teknik Pertambangan ITB