15 Februari 2017

KUNCI SUKSES DIREKSI: MEMBANGUN KOLABORASI BERLANDASKAN KEPERCAYAAN SEBAGAI PONDASI



KUNCI SUKSES DIREKSI: MEMBANGUN KOLABORASI BERLANDASKAN KEPERCAYAAN SEBAGAI PONDASI

Penulis:
Eko Jatmiko Utomo Ph.D (c)
Business & HR Consultant
Public Trainer & Master Coach

RINGKASAN
Tugas pemimpin perusahaan (dewan direksi) singkat dan jelas, memimpin perusahaan agar dapat mencapai target yang telah ditetapkan oleh pemegang saham. Target tersebut biasanya diukur dengan pencapaian finansial seperti: pertumbuhan pendapatan, persentasi keuntungan bersih, semakin besarnya modal atau pencapaian non financial seperti: penguasaan pangsa pasar, menjadi perusahaan terkemuka dan target-target yang lainnya.

Dalam upaya untuk menunaikan tugas mencapai tujuan organisasi, maka dewan direksi menjalankan tiga pekerjaan utama: 1) Membangun strategi. 2) Melakukan eksekusi dan 3) Memimpin anggota tim. Dalam menjalankan ketiga pekerjaan utama tersebut, dewan direksi yang dipimpin oleh Direktur Utama (biasa disebut sebagai Chief Executive Officer) harus membuat dan memutuskan banyak keputusan stratejik yang jadi panduan operasional organisasi. Serangkaian keputusan yang dihasilkan oleh dewan direksi tersebut akan menentukan arah perusahaan dan keberhasilan mereka mencapai tujuan yang ditetapkan (Mintzberg, 1978; Hambrick & Mason, 1984).

Bagaimana keputusan stratejik yang hebat diputuskan dalam rapat dewan direksi? Pertanyaan ini seringkali terlewat pada saat membahas pengaruh strategi terhadap kinerja sebuah perusahaan. Semua fokus pada apa (isi/konten) keputusan yang dihasilkan, namun melupakan bagaimana proses (konteks) pengambilan keputusan yang hebat dihasilkan di dalam rapat direksi.

Dari riset yang dilakukan oleh penulis di industri pertambangan di Indonesia, terbukti bahwa proses pengambilan keputusan stratejik yang baik harus didukung kolaborasi yang optimal antar anggota dewan direksi. Sementara itu proses kolaborasi yang optimal hanya dapat dilakukan apabila terdapat kepercayaan (trust) antar dewan direksi (Utomo, 2017).

Pertamina Dalam Pusaran Tornado
Tahun 2016 merupakan tahun yang cemerlang bagi Pertamina. Sesudah berhasil mengenyahkan mafia perminyakan dalam wujud dominasi Petral pada aktivitas impor minyak, Pertamina mampu melakukan penghematan sebesar 35 Triliun (Detik Finance, 2017) dengan mengaktifkan kembali Integrated Supply Chain (ISC) menggantikan peran broker yang selama ini dipegang oleh Petral dan ditambah dengan inisiatif-inisiatif efisiensi proses lainnya.

Cerita sukses berlanjut dengan keberhasilan Pertamina untuk membukukan keuntungan bersih 42 Triliun pada tahun 2016 (Detik Finance, 2017). Tingkat keuntungan ini bahkan lebih besar dibandingkan dengan keuntungan Petronas Malaysia, perusahaan pembanding terdekat milik negara tetangga dan serumpun. Petronas selama bertahu-tahun selalu lebih unggul dari Pertamina baik dari jumlah aset yang dimiliki dan juga keuntungan yang didapatkan. Pada pada awal berdirinya, Petronas banyak belajar dari saudara tuanya, Pertamina.

Namun cerita cemerlang ini berubah total menjadi porak poranda akibat hempasan tornado. Pada awal tahun 2017 secara tiba-tiba Direktur Utama Dwi Soetjipto dan Wakil Direktur Utama Achmad Bambang dicopot dari posisinya. Big boss Pertamina, dalam hal ini menteri BUMN Rini Soemarno menyatakan bahwa alasan utama proses penggantian kedua pucuk pimpinan ini karena mereka dianggap buruk dalam bekerjasama sehingga keputusan stratejik yang diambil menjadi terlambat dan mengganggu kinerja perusahaan (Kompas, 2017).

Strategi untuk Memenangkan Persaingan

Perusahaan hidup dalam sebuah lingkungan industri yang sama dengan pesaing. Untuk menjadi pemenang, masing-masing perusahaan saling bersaing memperebutkan pasar (demand) yang tersedia. Dalam lingkungan industri yang sama, maka perusahaan menghasilkan produk dan jasa yang relatif sama. Agar mendapatkan “perhatian” dari konsumen maka perusahaan membangun strategi agar perhatian konsumen lebih tertuju kepada mereka dan kemudian mau membeli produk dan jasa yang dihasilkan dibandingkan dengan membeli dari perusahaan yang lain yang merupakan kompetitor mereka.

Berbagai macam strategi dibangun dan dipakai oleh perusahaan. Dalam upaya untuk memenangkan persaingan dan menarik hati pelanggan, ada perusahaan yang bertumpu pada strategi menjual produk dengan harga yang lebih murah dibandingkan dengan pesaing. Ada pula perusahaan yang fokus pada strategi pengembangan produk unggulan. Mereka mengembangkan produk dan jasa yang memiliki fitur yang canggih, keren dan hebat atau yang mampu memberikan solusi yang tidak dapat diberikan oleh perusahaan lain. Ada juga perusahaan yang menonjolkan bagaimana “intimnya” mereka dalam melakukan pelayanan yang istimewa bagi pelanggan mereka. Strategi mereka bukan dengan memberikan harga termurah atau produk tercanggih, namun dengan merangkul pelanggan dan memperlakukan mereka sebagai keluarga yang mendapatkan pelayanan yang istimewa.

Strategi menjadi syarat mutlak perusahaan untuk memenangkan persaingan. Semua perusahaan butuh dan harus mengembangkan strategi, hanya perusahaan yang hidup dalam lingkungan bisnis monopoli (seperti banyak kasus di Indonesia jaman dulu) yang tidak membutuhan strategi untuk mengambil hati pelanggan. Monopoli menghilangkan persaingan karena faktor pasokan dikuasai hanya satu pihak, dengan demikian konsumen tidak memiliki pilihan lain.

Strategi harga murah (hasil operasi yang efisien), produk yang canggih atau pelayanan istimewa merupakan contoh-contoh apa yang dinamakan sebagai strategy content. Buku-buku manajemen yang tersedia, sangat banyak membahas tentang strategy content yang mengulas tentang strategi apa yang akan dipakai oleh sebuah perusahaan dalam penghadapi persaingan didalam industrinya.

Misalkan perusahaan telekomunikasi X memilih harga murah sebagai strateginya, maka pimpinan perusahaan harus menerjemahkan strategi tersebut menjadi serangkaian tindakan agar perusahaan beroperasi seefisien mungkin sehingga mampu menghasilkan produk/jasa yang murah, namun masih menguntungkan buat perusahaan. Berhubung strateginya adalah harga murah, tentu saja perusahaan tidak akan memberikan fitur yang aneh-aneh atau pelayanan yang luarbiasa karena tindakan tersebut akan memberikan dampak kenaikan biaya dan akibatnya perusahaan tidak dapat menjual dengan murah. Dengan naiknya strukur biaya namun harus menjaga harga tetap murah maka keuntungan yang dihasilkan menjadi menipis bahkan bisa rugi.

Tulisan ini tidak akan membahas tentang strategy content, bukan tentang strategi apa yang dipilih oleh perusahaan namun lebih kepada bagaimana proses pembuatan/pemilihan strategi yang dilakukan oleh dewan direksi. Lebih khusus lagi membahas faktor-faktor penting yang harus dimiliki oleh dewan direksi agar mampu menghasikan keputusan strategi yang terbaik buat perusahaan.

Arah dan kinerja perusahaan sangat dipengaruhi oleh apa dan bagaimana para pemimpinnya mengambil keputusan (Hambrick & Mason, 1984). Keputusan-keputusan stratejik yang dihasilkan oleh CEO dan anggota direksi yang lain laiknya kemudi didalam kapal. Apabila kemudi digeser ke kiri, maka arah kapal akan ke kiri, demikian sebaliknya apabila kemudi diputar ke kanan, maka kapal juga akan bergerak ke arah kanan.

CEO: Penentu Maju Mundurnya Organisasi
Sebuah perusahaan teknologi yang beroperasi di Jakarta dipimpin oleh CEO ekspatriat yang dibantu oleh 10 anggota dewan direksi yang sebagian besar juga ekspatriat dari negara yang sama dengan sang CEO.

Sang CEO merupakan veteran bisnis layanan teknologi serupa di negara asalnya. Namun CEO terlihat gagap mendapati bahwa karakteristik pasar Indonesia (Jakarta) berbeda dengan karakteristik pasar di negara asalnya. Belum lagi budaya masyarakat dan pemerintah Indonesia jauh berbeda dengan apa yang menjadi bayangannya selama ini.

Keputusan-keputusan stratejik yang diambil oleh CEO dan dewan direksi menjadi kurang cocok terhadap kondisi Indonesia dan pasar layanan teknologi yang digarapnya. Sehingga dalam waktu 3 tahun masa kerjanya di Indonesia, sang CEO bersama anggota tim hanya menghasilkan kemajuan yang sangat kecil. Pendapatan tumbuh dengan lambat, keuntungan tipis dan menumpuk cukup banyak hutang untuk menambal biaya operasi.

Ketika pada akhirnya sang CEO (dan dewan direksi) diganti, CEO baru adalah orang lokal asli Indonesia. Pemahaman tentang pasar dan dan budaya Indonesia ditunjang oleh kecepatan CEO (dan tim baru) mempelajari teknologi dan operasi mampu membuat perusahaan tumbuh secara eksponensial!. Hanya dalam waktu 3 tahun pendapatan perusahaan tumbuh hampir 3x lipat dibandingkan pada saat perusahaan dipimpin oleh CEO ekspatriat.
Keputusan-keputusan stratejik yang dihasikan oleh sang CEO beserta anggota direksi yang lain mampu memberikan arah yang tepat kepada organisasi sehingga perusahaan berkembang dengan cepat dan berkinerja luarbiasa.

Yang menarik adalah, pada saat CEO lokal mengundurkan diri dan diganti oleh CEO ekspatriat lain tiga tahun kemudian, perusahaan mengalami stagnasi. Karakteristik dan kinerja CEO terbukti sangat berpengaruh terhadap pengambilan keputusan yang diambil. Perusahaan menjadi jalan ditempat dan cenderung disalib oleh kompetitor.
Dalam kasus ini, keberadaan & karakter CEO (dan anggota dewan direksi) kembali terbukti sangat berpengaruh terhadap kinerja perusahaan.

Strategi dan Proses Pengambilan Keputusan
 
Strategi merupakan kerangka kerja yang memberikan arahan kepada organisasi tentang hal-hal penting seperti: bagaimana perusahaan menghasilkan keuntungan, dimana akan bersaing, cara apa dipakai untuk bertumbuh, kelebihan apa yang akan dijual ke pelanggan serta bagaimana rencana tindakan yang akan ditempuh (Hambrick & Fredrickson, 2001).

Keseluruhan proses membangun strategi diatas didasarkan pada puluhan bahkan ratusan keputusan-keputusan stratejik yang harus diambil oleh dewan direksi yang dipimpin oleh CEO. Setiap keputusan-keputusan stratejik yang diambil, merupakan sebuah keping dari rangkaian besar gambar strategi organisasi. Bayangkan anda sedang memainkan sebuah permainan Puzzle. Kepingan2 gambar kecil akan membentuk gambar besar yang utuh. Masing-masing keping kecil memiliki kontribusi dan peran yang penting. Apabila ada keping kecil yang hilang maka gambar menjadi “bolong”. Kalau banyak keping kecil hilang maka gambar menjadi tidak utuh dan membingungkan.

Sebagai contoh, apabila direksi memutuskan bahwa perusahaan akan menjual produk yang “murah” karena proses operasi yang efisien, maka keputusan stratejik ini akan mempengaruhi keputusan-keputusan stratejik yang lain. Strategi perusahaan dapat didefinisikan menjadi serangkaian keputusan stratejik yang dihasilkan oleh dewan direksi (Mintzberg, 1978).

Dengan demikian disadari atau tidak, keputusan-keputusan yang dihasilkan oleh dewan direksi dalam setiap rapat yang mereka gelar merupakan proses pembangunan strategi itu sendiri.

Dalam banyak interaksi yang dilakukan oleh penulis dengan pemimpin perusahaan (BUMN & Swasta), penulis menangkap kesan bahwa banyak direksi yang menganggap penyusunan strategi itu hanya dilakukan pada saat acara khusus misalnya “Strategic Plan Meeting” yang dilakukan sekali dalam setahun!.

Mereka tidak menyadari bahwa keputusan-keputusan yang diambil pada saat rapat mingguan (bahkan diskusi informal) merupakan bagian dari proses yang penting dalam pembangunan dan eksekusi strategi.

Dari penjelasan diatas terlihat bahwa proses pengambilan strategi tidak kalah pentingnya dengan isi dari strategi itu sendiri. Proses pengambilan strategi yang buruk akan berpengaruh negatif terhadap isi strategi yang dihasilkan, demikian sebaliknya.

Dengan demikian proses pengambilan keputusan strategi pada dewan direksi akan sangat mempengaruhi kualitas strategi yang diputuskan dan kemudian akan berdampak besar terhadap kinerja perusahaan.

Berdasarkan studi literatur dan riset yang dilakukan, proses pengambilan keputusan stratejik oleh dewan direksi dipengaruhi oleh dua faktor penting. Faktor pertama adalah seberapa besar KEPERCAYAAN (trust) antar dewan direksi yang kemudia mempengaruhi faktor kedua yaitu seberapa baik KOLABORASI (collaboration) mereka (lihat Gambar 1). Tulisan ini akan membahas tentang dua faktor penting ini lebih dalam. 
Gambar 1. Hubungan Kepercayaan, Kolaborasi & Kualitas Keputusan (Utomo, 2017)

Kepercayaan: Pondasi Dalam Kolaborasi

Perusahaan dipimpin oleh dewan direksi yang diketuai oleh CEO. Keputusan stratejik yang dihasilkan bersifat kolektif karena diputuskan secara bersama-sama. Tentu saja sebagai pemimpin CEO memiliki pengaruh besar dalam proses pengambilan keputusan statejik yang dihasilkan. Namun sehebat-hebatnya seorang CEO, pasti banyak aspek dalam ide dan pemikirannya yang memiliki kelemahan. Tugas dari dewan direksi yang lain adalah memberikan ide alternatif atau memperbaiki ide CEO sehingga keputusan stratejik yang dihasilkan menjadi lebih sempurna.

Proses pengambilan keputusan ini dihasilkan oleh proses interaksi antar anggota dewan direksi. Proses interaksi bisa bersifat formal (rapat) maupun informal. Proses interaksi akan berhasil dengan baik apabila antar anggota dewan direksi memiliki kepercayaan yang tinggi.

Persepsi adalah Proyeksi. Apabila seorang direksi memiliki persepsi yang buruk terhadap direksi yang lain, maka semua tindak tanduk dari direksi yang lain menjadi terlihat buruk (proyeksi). Demikian juga sebaliknya, apabila seorang direksi melihat rekannya secara positif maka tindak tanduk rekannya menjadi terlihat positif juga.

Dengan demikian proses interaksi yang berlangsung diantara dewan direksi membutuhkan kepercayaan antara mereka. Tanpa kepercayaan maka proses diskusi dan pengambilkan keputusan stratejik akan diwarnai oleh kecurigaan sehingga keputusan yang dihasilkan menjadi tidak maksimal.

Memperoleh Kepercayaan (Trust)
Kepercayaan (Trust) adalah sebuah kondisi dimana satu pihak berani mengambil resiko bahwa pihak yang diberi kepercayaan mampu mengerjakan sebuah tugas tanpa diawasi (Mayer dkk., 1995). Kepercayaan ibaratnya sebuah keping uang dengan dua sisi. Satu sisi adalah “keberanian pemberi kepercayaan untuk mengambil resiko” dan sisi yang lain adalah kemampuan orang yang diberikan kepercayaan dalam “mewujudkan kepercayaan yang diberikan”.

Dengan demikian kepercayaan adalah “pemberian” bukan berdasarkan “permintaan”. Jadi kalau ada seseorang bilang bahwa dia dipercaya oleh pihak lain, maka pernyataan tersebut patut dipertanyakan. Kepercayaan baru akan valid apabila seseorang menyatakan “saya percaya sama dia”, baik di depan maupun dibelakang yang bersangkutan.

Karena kepercayaan adalah pemberian, bagaimana caranya kita dapat memperolehnya? Ada tiga faktor penting yang membentuk kepercayaan: Ability, Benevolence & Integrity (Mayer dkk., 1995).
Untuk menjadi seseorang yang dapat dipercaya, maka seseorang harus dipandang sebagai orang yang memiliki kemampuan (ability). Munculnya persepsi bahwa seseorang mampu, terjadi apabila orang itu menunjukkan bahwa dia tahu, bisa melakukan dan hasil kerjanya bagus.

Orang yang dapat dipercaya adalah orang yang dipersepsikan baik (benevolence). Persepsi ini muncul karena orang tersebut suka menolong orang lain, tidak egois dan tidak melakukan tindakan yang buruk baik didepan maupun dibelakang orang yang mempercayainya.

Untuk memperoleh kepercayaan, seseorang biasanya juga dipersepsikan sebagai orang yang memiliki integritas tinggi (Integrity). Orang tersebut “walk the talk”. Apa yang diucapkan sama dengan apa yang dilakukan. Orang yang berintegritas juga memiliki konsistensi dalam sikap dan perbuatannya, termaksuk pada saat menunjukkan karakter ability & benevolence yang dia  miliki.
 
Dengan demikan agar seseorang mendapatkan kepercayaan dari orang lain, orang tersebut harus memunculkan persepsi bahwa dia adalah orang yang memiliki Ability, Benevolence & Integrity.

Struktur organisasi yang umum dalam sebuah perusahaan biasanya terdiri dari CEO sebagai pemimpin dengan dewan direksi yang terdiri dari Direktur Sales & Marketing (CMO), Direktur Operasi (COO), Direktur SDM (CHO) dan Direktur Keuangan (CFO). Agar proses interaksi berjalan dengan baik maka CEO harus memiliki persepsi bahwa anggota timnya memiliki kemampuan dalam mengerjakan tugas yang mereka emban. CEO percaya bahwa CFO memiliki kompetensi dalam mengurusi keuangan, CMO kompeten dalam mengurusi pemasaran dan penjualan demikian seterusnya.

Karena kepercayaan yang dibutuhkan dalam proses interaksi  bersifat “saling percaya”, maka CFO dan anggota direksi yang lain juga memiliki pandangan bahwa CEO merupakan seseorang yang mampu dan layak menjadi bos didalam dewan direksi. Demikian juga CMO memiliki persepsi bahwa COO, CHO dan CFO mampu dalam menjalankan tugas dan pekerjaan mereka.

Faktor pembangun persepsi “dapat dipercaya” selain mampu (ability) namun juga ketulusan (Benevolence) dan Integritas (Intergrity). Sehingga untuk mendapatkan kepercayaan maka semua anggota dewan direksi harus memiliki ketiga faktor ini untuk mendapatkan kepercayaan dari direksi yang lain.

Dalam aktivitas rantai nilai dalam sebuah perusahaan seringkali terjadi perbedaan pendapat antara divisi penjualan dan divisi operasi. Pada divisi penjualan, kinerja mereka diukur oleh Key Performance Indicator (KPI) berupa seberapa banyak barang/jasa yang dapat dijual. Sementara itu pada divisi operasi memiliki KPI seberapa banyak barang/jasa yang dapat mereka produksi dalam kualitas yang sudah ditentukan. Dalam beberapa kesempatan, divisi penjualan melakukan proses pemasaran sebanyak-banyaknya (sudut kepentingan CMO) seringkali dengan “mengorbankan” kepentingan proses produksi & KPI dari COO. Tanpa adanya kepercayaan bahwa baik CMO dan COO memiliki intensi yang baik dan tulus (Benevolence) maka diskusi yang terjadi menjadi kontra produktif karena masing-masing akan berusaha mempertahankan kepentingan dan KPI sendiri.

Dalam beberapa kasus, seorang CEO memiliki tingkat kepercayaan yang rendah terhadap anggota direksi lainnya. Karena CEO merupakan pemimpin dewan direksi, maka proses pengambilan keputusan dilakukan oleh sang CEO tanpa meminta pendapat dari direksi yang lain. Anggota direksi yang lain hanyalah sebagai cap stempel. Proses ini dinamakan sebagai fenomena Group Think. Sebuah fenomena dimana sebuah group dalam mengambil keputusan hanya dilakukan oleh seseorang dan yang lainnya hanya mengikuti.

Diatas terlihat bahwa kurangnya kepercayaan diantara dewan direksi mengakibatkan proses pengambilan keputusan menjadi tidak optimal bahkan menimbulkan fenomena Group Think. Padahal proses pengambilan keputusan yang baik terjadi apabila proses pengambilan keputusan dilakukan dengan komprehensif (Fredrickson & Mitchell, 1984) dalam sebuah dewan direksi yang memiliki latarbelakang dan karakteristik yang berbeda-beda (Smith dkk., 1994). Pada akhirnya proses pengambilan keputusan stratejik menjadi buruk karena hanya diputuskan oleh beberapa orang atau bahkan hanya satu orang. Proses pengambilan keputusan yang buruk jelas akan mengakibatkan kualitas keputusan yang dihasilkan juga menjadi jelek dan pada akhirnya akan mempengaruhi kinerja perusahaan.

Kolaborasi dalam Harmoni

Rumah yang kokoh adalah rumah yang memiliki pondasi yang kuat. Kuat dalam menyangga beban statis (berat rumah itu sendiri) maupun beban dinamis (perubahan beban diluar beban statis). Tanpa pondasi yang kokoh, rumah bisa roboh sewaktu-waktu dan membahayakan penghuni maupun aset yang ada didalam rumah.

Namun rumah yang bagus bukan hanya memiliki pondasi yang kokoh saja. Rumah yang bagus harus memiliki kolom-kolom tiang yang perkasa dan lantai-lantai serta dinding yang kuat. Dengan struktur kolom, lantai dan dinding yang baik maka pemilik rumah akan merasa aman, nyaman dan leluasa untuk mendekorasi rumah menjadi tempat tinggal impian.

Kepercayaan (trust) memiliki kesamaan dengan pondasi rumah seperti yang saya gambarkan dalam analogi diatas. Kepercayaan merupakan syarat utama agar perusahaan dapat bertumbuh dengan optimal.

Namun, sama dengan analogi tentang rumah diatas, mengandalkan kepercayaan (pondasi) saja ternyata tidak cukup untuk membangun rumah yang sempurna. Dibutuhkan tiang, kolom, dinding, lantai dan struktur lainnya agar rumah menjadi kuat dan siap untuk didekorasi lebih lanjut.
Kolaborasi, khususnya di dalam dewan direksi ibaratnya tiang, kolom, dinding dan lantai dalam analogi rumah. Kepercayaan antar anggota direksi tidak cukup untuk membangun perusahaan. Jadi dibutuhkan sebuah aksi lanjutan yang juga sangat penting: KOLABORASI.

Kolaborasi dapat didefinisikan sebagai proses interaksi antar anggota dewan direksi untuk membangun dan atau menemukan solusi stratejik yang terbaik pada saat melakukan pengambilan keputusan bersama (Michie dkk., 2006).

Proses kolaborasi yang baik memiliki dua karakter utama, yaitu sikap asertif (assertiveness) dan kooperatif (cooperativeness) dari semua anggota dewan direksi (Liu dkk., 2008). Kedua sikap ini harus dalam kadar yang tinggi. Karena bila hanya memiliki kadar yang tinggi pada salah satu sikap, maka perilaku yang mucul menjadi berbeda dan kontra produktif dalam proses pengambilan keputusan.

Sebagai contoh, apabila seorang direktur memiliki sikap asertif (tegas) yang tinggi namun memiliki sikap kooperatif yang rendah maka perilaku yang muncul adalah bersaing (competing). Direksi ini akan cenderung untuk mau menangnya sendiri dan mencari kesalahan orang lain.

Sebaliknya apabila seorang direktur memiliki sikap asertif yang rendah namun sikap kooperatifnya tinggi maka perilaku yang muncul adalah akomodasi (accomodating). Perilaku akomodasi akan membuat keputusan yang dihasilkan menjadi tidak optimal karena antar anggota dewan direksi cenderung untuk menghindari debat dan perbedaan pendapat. Apabila CEO memiliki perilaku competing dan anggota dewan direksi cenderung accomodating maka fenomena Group Think menjadi sebuah keniscayaan.

Proses kolaborasi yang baik baru akan terjadi apabila CEO dan anggota dewan direksi lainnya sama-sama memiliki sikap yang asertif dan kooperatif. Sikap yang asertif akan mendorong anggota dewan direksi dengan terbuka memberikan ide, pandangan, umpan balik dalam proses interaksi yang dilakukan. Mereka tidak sungkan untuk berbeda pendapat dengan anggota dewan direksi lainnya dan bahkan dengan CEO.

Sikap asertif ini juga akan mendorong terjadinya debat pemikiran (cognitive debate) yang dibutuhkan untuk menemukan dan menajamkan solusi. Tanpa adanya sikap yang asertif (cenderung akomodatif) maka hanya sedikit ide dan pandangan yang muncul sehinggal alternatif solusi menjadi terbatas.

Seperti yang sudah dijelaskan diatas, apabila hanya sikap asertif yang muncul tanpa adanya sikap kooperatif maka ruang-ruang rapat hanya akan diisi oleh perdebatan dan persaingan. Masing-masing pihak bersaing untuk memenangkan ide dan pendapat mereka tanpa usaha untuk menerima ide dan pendapat rekan mereka yang mungkin lebih baik atau melengkapi ide mereka sendiri. Sikap kooperatif memunculkan harmoni diruang perdebatan untuk mencari dan menemukan solusi terbaik.

Menjadi terasa sekali bahwa kepercayaan menjadi pondasi penting dalam proses interaksi kolaboratif ini. Tanpa adanya kepercayaan yang tinggi antar anggota dewan direksi, bagaimana mungkin debat tentang perbedaan pendapat bisa berlanjut dengan proses memberi dan menerima ide orang lain. Hanya orang yang percaya kepada kemampuan, ketulusan dan integritas lawan debatnya yang dengan senang hati menerima kebenaran dan keunggulan pendapat mereka dibandingkan pendapat sendiri untuk kebaikan bersama.

Membagun Proses Kolaborasi, Proses Sederhana yang Sering Terlewatkan

Bagaimana kita mengukur bawah proses kolaborasi berlangsung dengan baik dalam dewan direksi? Ada tiga indikator utama untuk mengukur seberapa baik proses kolaborasi yang dilakukan, ketiga indikator tersebut adalah: Goal Sharing, Information Exchange, Cognitive Sharing (Boone & Hendriks, 2009; Jeffery dkk., 2005).

Goal Sharing (berbagi tujuan) merupakan sebuah proses dimana CEO dengan jelas dan sistematis memaparkan tujuan perusahaan kepada anggota dewan direksi yang lain. Proses ini terlihat sangat sederhana, namun dalam kenyataanya tidak semudah yang kita bayangkan.

Goal Sharing terdiri dari dua kata yang membentuknya, yaitu Goal (tujuan) dan Sharing (berbagi). Dalam banyak interaksi dengan CEO saya sering menemukan bahwa tujuan perusahaan bersifat ambigu, kualitatif dan tidak jelas. Dalam sebuah kesempatan seorang CEO bercerita bahwa amanat dari share holder (tujuan/target) perusahaan harus tumbuh dan menguntungkan. Pada saat ditanyakan seberapa besar tingkat pertumbuhan dan tingkat keuntungan maka jawaban yang kualitatif dan mengambang.

Tumbuh 5% dan tumbuh 50% masuk dalam katagori yang sama yaitu perusahaan tumbuh. Demikian juga keuntungan 2% dan keuntungan 20% sama-sama masuk dalam katagori menguntungkan. Tumbuh 10% pertahun mungkin terlihat cukup baik, namun apabila pertumbuhan industri adalah 15% maka jelas tingkat pertumbuhan 10% menjadi prestasi yang buruk karena pangsa pasar menyusut diambil oleh pesaing.

Proses Goal Sharing hanya akan dapat dilakukan apabila terdapat target yang jelas dan kuantitatif.

Sesudah CEO memiliki target yang jelas dan kuantitif maka proses berikutnya yang harus dilakukan adalah sharing (berbagi). CEO harus menjelaskan kepada anggota dewan direksi target dan tujuan apa yang harus mereka capai. Dalam beberapa kasus target dan tujuan tidak bersifat top down dari pemegang saham namun juga bisa bersifat bottom up dari direksi. Dengan demikian proses penentuan target dilakukan oleh dewan direksi. Proses berbagi tujuan dengan sendiri akan terjadi, terkecuali proses penentuan target dilakukan sendiri oleh CEO.

Dalam proses pengambilan keputusan stratejik, ketersediaan data yang cukup dan relevan menjadi syarat utama proses pengambilan keputusan agar menghasilkan keputusan yang baik. Proses identifikasi masalah jelas membutuhkan data latar belakang yang komplit sehingga menghasilkan pengamatan menyeluruh terhadap masalah yang diamati. Data yang terbatas akan menimbulkan perspektif yang sempit.

Demikian juga proses memunculkan alternatif solusi hanya akan maksimal apabila alternatif-alternatif yang muncul didasarkan oleh data yang valid dan relevan. Tanpa data yang komplit maka alternatif yang muncul menjadi terbatas sehingga proses memilih alternatif menjadi terbatas pula.

Dengan demikian terlihat bahwa proses Information Exchange antar dewan direksi terbukti memegang peranan yang penting dalam proses pengambilan keputusan. CEO secara natural memiliki perspektif yang stratejik yang lebih baik dibandingkan dengan anggota dewan direksi yang lain. Namun anggota dewan direksi yang mengepalai fungsi, jelas memiliki data yang lebih valid dan relevan di dalam fungsinya dibandingkan sang CEO. CMO memiliki data yang valid tentang seberapa besar sebenarnya pangsa pasar, keunggulan produk dan layanan pesaing. COO tahu persis bagaimana kondisi infrastruktur produksi barang dan jasa yang dimiliki perusahaan. COO juga tahu persis bagaimana pengaruh peningkatan atau penurunan produksi secara mendadak.

CHO mengetahui secara persis jumlah, kompetensi dan produktivitas talenta yang dimiliki oleh perusahaan. CHO juga mengerti secara mendalam apa kesulitan yang harus dihadapi untuk menyediakan SDM pada saat perusahaan harus meningkatkan produksi secara cepat atau membuka usaha baru. CFO tahu secara pasti, kondisi arus kas pada saat ini dan bagaimana efeknya apabila produksi akan ditingkatkan atau diturunkan karena beradaptasi terhadap kondisi fluktuasi pasar.

Proses Information Exchange (IE) yang berjalan optimal akan membuat masing-masing direksi meletakkan “kartu” yang mereka miliki diatas meja sehingga semua bisa melihat kartu yang tersedia dan bisa membuat pilihan akan keputusan yang akan diambil.

Indikasi proses IE terlihat mudah, namun pada kenyataanya masih banyak dewan direksi yang tidak berniat atau kesulitan dalam melakukan proses ini. Untuk mengukur seberapa baik proses ini berlangsung, penulis sebagai konsultan menanyakan kepada dewan direksi apakah ada rapat rutin yang dilakukan oleh dewan direksi. Apabila jawabannya “ada” maka pertanyaan berikutnya adalah “seberapa sering?”.

Dalam berbagai kesempatan penulis menemukan beberapa perusahaan tidak menjadwalkan rapat khusus dewan direksi. Rapat hanya dilakukan insidental sesuai dengan kebutuhan. Dalam kesempatan yang berbeda penulis menemukan rapat dewan direksi hanya dilakukan dua minggu sekali bahkan ada yang sekali dalam sebulan.

Kolaborasi membutuhkan proses IE, bagaimana mungkin proses kolaborasi akan berjalan dengan baik apabila IE tidak dijadwalkan secara teratur dan dalam jangka waktu yang panjang. Eksekusi strategi bersifat dinamis dan seringkali membutuhkan antisipasi yang tepat dan cepat. Proses ini hanya akan terjadi apabila ada proses IE yang rutin dan sering.

Informasi dan data membutuhkan interprestasi agar dapat dimanfaatkan dalam proses pembuatan keputusan stratejik. Data yang diberikan pada proses IE tidak akan berguna jika hanya disajikan dalam bentuk data mentah. Direksi yang menyajikan informasi diharapkan menyajikannya dalam konteks identifikasi masalah ataupun pembangunan alternatif solusi.

Direksi yang lain, yang dibekali pengalaman dan perspektif yang mereka miliki diharapkan dapat menantang (challange) asumsi dan inteprestasi data yang dilakukan oleh direksi pembawa informasi. Bahkan direksi lain mungkin memiliki kemampuan untuk membangun alternatif pilihan berbeda yang dapat menjadi tandingan pilihan solusi yang diberikan sebelumnya. Proses ini dinamakan Devil Advocacy dan Dialectical Inquiry (Schweiger dkk., 1985).

Proses inilah yang dinamakan sebagai proses Cognitive Sharing (berbagi pemikiran) dalam membangun kolaborasi di ruang rapat direksi. Dalam banyak studi literatur, proses berbagi pemikiran terbukti memberikan kontribusi yang positif terhadap kualitas keputusan yang dihasilkan.

Proses ini juga akan memberikan memberikan kerangka kerja yang jelas pada saat hasil keputusan akan dieksekusi dilapangan. Proses berbagi pemikiran yang tidak terjadi di ruang rapat, yang mungkin diakibatkan oleh kurang sikap asertifnya anggota dewan direksi mengakibatkan munculnya perbedaan interprestasi di lapangan. Perbedaan itu akan menimbulkan kesulitan dalam proses pengambilan keputusan. Keputusan menjadi lambatdan banyak emosi negatif yang timbul.

Kolaborasi Tanpa Debat Pemikiran
Sebuah perusahaan sedang dalam proses tranformasi untuk memperbaiki posisi mereka yang keteteran di dalam industri yang mereka geluti.

Dewan direksi sudah disusun dan dibentuk oleh pemegang saham dengan diketuai oleh seorang CEO yang diambil dari luar perusahaan. Anggota dewan direksi sebagian besar dari internal dengan satu orang direksi diambil dari ekternal.
Pemegang saham memberikan target yang jelas kepada dewan direksi. Semua anggota dewan mengetahui dengan jelas apa yang menjadi target perusahaan dan juga target dari fungsi yang mereka pimpin. Dengan demikian proses Goal Sharing terjadi.

Dewan direksi dijadwalkan melakukan rapat rutin dua minggu sekali. CEO eksternal masih kurang bisa mendapatkan “hati” dan kepercayaan dari anggota direksi yang lain khususnya yang dari internal.

Dalam rapat, terjadi kecenderungan lebih banyak CEO yang memberikan arahan satu arah kepada dewan direksi, tidak terjadi proses diskusi yang dinamis. Salah satu arahan yang diberikan adalah sentralisasi dari cabang-cabang yang selama ini menjadi kerajaan-kerajaan kecil yang otonom namun memiliki kinerja dibawah target.
Struktur organisasi diubah, termasuk siapa menduduki posisi apa dan bagaimana tugas dan tanggung jawab karyawan pada posisi yang baru.

Namun yang terjadi di lapangan berbeda dengan apa yang diputuskan di ruang rapat. Proses sentralisasi tidak didukung sepenuhnya oleh direksi yang lain karena mereka berfikir bahwa sistem otonomi (desentralisasi) yang saat ini dijalankan merupakan sistem yang paling cocok, hanya pelaksanaanya saja yang kurang maksimal.

Keberatan ini tidak dimunculkan dan tergali di ruang rapat direksi. Direksi yang tidak setuju dengan keputusan stratejik yang diambil malah secara informal mencari dukungan dari pemegang saham.

Kurangnya kepercayaan CEO terhadap anggota direksi dan sebaliknya mengakibatkan kolaborasi gagal khususnya cognitive sharing (berbagi pemikiran). Yang terjadi kemudian CEO harus meninggalkan posisinya sebelum kontrak selesai, dengan masih meninggalkan banyak pekerjaan rumah dan perusahaan dalam kondisi memburuk.

Jadi, jika perusahaan (CEO) ingin mendorong proses kolaborasi didalam dewan direksi maka harus dilakukan langkah-langkah yang terstruktur dan sistematis agar proses Goal Sharing, Information Exchange dan Cognitive Sharing dapat terjadi pada dewan direksi.

Bahkan proses kolaborasi tidak  hanya berhenti pada dewan direksi, namun juga terjadi pada seluruh lapisan organisasi. Caranya sama, dewan direksi membuat iklim dan membangun sistem agar semua karyawan mengetahui dengan jelas target perusahaan mereka, mendorong untuk saling berbagi informasi kepada karyawan yang lain, serta secara terbuka berbagi ide dan pemikiran untuk kemajuan perusahaan.

Kesimpulan: Pilih Kapten Amerika atau Avengers Assemble?

Pahlawan super yang tergabung dalam tim Avengers merupakan serial fiksi terbitan Marvel Comic yang sudah banyak dibuat versi layar lebarnya memiliki plot cerita yang sederhana. Bumi diancam oleh mahluk luar angkasa.

Ancaman ini tidak akan mampu dihadapi secara sendiri-sendiri oleh para pahlawan super yang ada dalam cerita. Hulk, Thor, Hawkeye, Iron Man kewalahan jika menghadapi serangan sendirian. Termasuk juga Kapten Amerika sebagai pemimpin mereka.

Mereka baru akan mampu mengatasi serangan mahluk luar angkasa apabila mereka saling percaya satu dengan lain, dan bahu membahu berkolaborasi untuk menyingkirkan musuh yang datang dalam bentuk tim yang dinamakan Avengers Assemble.

Jadi, apakah perusahaan ingin memilih model heroisme dalam sosok Kapten Amerika sebagai individu atau lebih memilih heroisme kelompok dalam model Avengers Assemble?



Merujuk pada perbandingan jumlah penonton film hero individu (Hulk, Thor, Iron Man) dibandingkan dengan seri Avengers menunjukkan pilihan model terbaik mana yang  dipilih oleh banyak orang di dunia. Banyak sepanjang harmonis selalu lebih baik dari sendirian.

Daftar Referensi

Boone, C.; Hendriks, W. (2009). "Top Management Team Diversity and Firm Performance: Moderators of Functional-Background and Locus-of-Control Diversity‖, Management Science, 55, 2, 165-180.
Fredrickson, J.W.; & Mitchell, T.R. (1984). “Strategic Decision Processes: Comprehensiveness and Performance in an Industry with an Unstable Environment”. Academy of Management Journal, 27: 399-423.
Jeffery, A.B.; Maes, J.D.; & Bratton, J.D. (2005). “Improving Team Decision Making Performance with Collaborative Modeling”, Team Performance Management, 11, 40.
Liu, J.; Fu, P.; & Liu, Songbo. (2008). “Conflict in Top Management Teams and Team/Firm Outcomes”, International of Journal of Conflict Management, 20, 3, 228-250.
Hambrick, D.C.; & Fredrickson, J.W. (2001). “Are You Sure You Have a Strategy?”, Academy of Management Executive, 15, 4, 48.
Hambrick, D.C.; & Mason, P. A. (1984). “Upper Echelons: The Organization as a Reflection of Its Top Managers”, Academy of Management Review, 9, 193–206.
Mayer, R.C.; Davis, J.H.; & Schoorman, F. D. (1995). “An Integrative Model of Organizatonal Trust”, Academy of Management Review, 20, 3, 709-734.
Mintzberg, H. (1978). “Pattern in Strategy Formation”, Management Science, 24, 9.
Michie, S.G.; Dooley, R. S.; & Fryxell, G.E. (2006). “Unified Diversity in Top-Level Teams:Enhancing Collaboration and Quality in Strategic Decision-Making”, International Journal of Organizational Analysis, 14, 2, 130.
Smith, K.; Smith, K.; Olian, J.; Sims, H.; O'Bannon, D.; & Scully, J. (1994). “Top Management Team Demography and Process: The Role of Social Integration and Communication”. Administrative Science Quarterly, 39, 412-438.
Schweiger, D.M., Sandberg, W.R., & Ragan, J.W. (1985). “An Empirical Evaluation of Dialectical Inquiry, Devil's Advocate, and Consensus Approaches to Strategic Decision Making”, Academy of Management Proceeding.
Utomo, J.U. (2017). “Pengaruh TMT Trust & TMT Collaboration Terhadap Pengambilan Keputusan Stratejik  Komprehesif  Pada Tahap Pra Studi Kelayakan”, Draft Disertasi Universitas Indonesia.

BIO PENULIS:
Eko Jatmiko Utomo adalah manusia multi dimensi. Pendidikan S1 ditempuh di Jurusan Teknik Pertambangan ITB dan selesai pada awal tahun 1997. Namun, pengalaman kerja selama 20 tahun lebih banyak bergelut dalam bidang Sumberdaya Manusia dan Bisnis Stratejik. Pada saat ini Eko Utomo adalah Konsultan, Praktisi Bisnis, Coach, Penulis sekaligus Trainer. Untuk memperlengkapi kompetensinya dalam bidang bisnis, Eko Utomo mengambil S2 pada MM Statejik Management Universitas Prasetiya Mulya dan kemudian dilanjutkan S3 Stratejik Management di Universitas Indonesia. Eko berpengalaman bekerja pada perusahaan besar nasional seperti Bank Danamon, Pamapersada Nusantara, Lippo dan Telkomvision. Eko Utomo juga berpengalaman bekerja pada perusahaan Multi National Company (MNC) seperti Freeport Indonesia dan Holcim Indonesia. Untuk dapat mengenal penulis lebih lanjut dapat dilihat di www.ekoutomo.blogspot.com