27 September 2015

ABK Watching Movie? No Problem at All!

Dunia Dari Kacamata ABK

Anak berkebutuhan khusus (ABK) cenderung sangat sensitif terhadap stimulus. Kerumunan orang, suara keras, cahaya dosis tinggi (terang benderang) akan memacu mereka untuk kaget, takut, marah dan kemudian histeris.

Bentuk histeris bisa dengan menangis kencang2, berteriak, menutup mata dan telinga dan bahkan berguling2 dilantai. Mereka lakukan itu untuk menghambat dan lari dari stimulus yang mengganggu mereka.

Alih2 untuk menonton bioskop, untuk diajak jalan2 ke Mall dimana bioskop berada sudah merupakan perjuangan yang luarbiasa. Sebuah bentuk ketahanan mental dan fisik baik untuk anak ABKnya maupun pendamping mereka. Secara fisik karena harus memegangi mereka yang punya ekstra tenaga, secara mental karena pasti jadi center of the mall universe pada saat ABK histeris.

Thesa dan Jason, laiknya anak ABK yang lain mengalami hal yang sama. Sangat sensitif terhadap stimulus. Dunia luar yang ramai dan riuh bukan dunia yang membuat mereka nyaman. ABK cenderung butuh dunia yang tenang, dunia mereka sendiri. Dunia sunyi.

Now or Never

Sebagai orang tua, Aku dan istriku memandang bahwa sooner or later, the Utomos (Thesa Utomo dan Jason Utomo) mau ngak mau harus berhubungan dengan dunia luar. Dengan segala macam stimulus yang bisa memacu mereka tantrum (mengamuk) dan histeris. Kami berpikir bahwa "membiasakan" mereka sejak dini akan lebih mudah daripada kalau mereka sudah besar. Proses adaptasi pasti butuh waktu, mumpung masih kecil dan mumpung kami orangtuanya masih muda.

Setiap minggu Thesa dibawa ke Sekolah Minggu (SM) oleh istriku. Bukan hal yang mudah karena aku pada saat itu masih berkarir di Freeport Indonesia di Papua dan baru pulang ke Bandung (rumah pada saat itu) setiap 2 bulan sekali. Apalagi pada saat Thesa sudah bisa berlari2 dan bayi Jason muncul. Membawa mereka berdua ke SM ditengah kota dan bertahan disana selama 2 jam merupakan perjuangan yang sangat menantang.

Thesa yang superaktif belajar bertemu dunia. Bertemu dengan teman sebaya, bertemu dengan berbagai macam jenis stimulus yang membuat Thesa kadang2 murka. Terimakasih untuk para guru SM di GKIMY yang sudah sangat sabar menjaga Thesa si hyper lari sana lari sini, panjat sana dan panjat sini. Jason di fase ini sungguh membantu, anteng dan pengamat yang baik dari polah tingkah kakak yang hiper.

Setiap kesempatan bergaul, baik itu ke tempat terapi, mall, SM, undangan, lebaran di kampung semuanya dimanfaatkan seintesif mungkin untuk membantu Thesa "menjinakkan" stimulus luar dan mengontrol respon dirinya. Menutup muka, histeris dan lari hal yang biasa. Menurutku kuncinya kami (istriku yang lebih penting karena setiap saat berinteraksi) sebagai orangtua menerima bahwa anak kami ABK dan kami sedang mempersiapkan mereka melihat dunia dengan cara berbeda dan mungkin lebih intens dan lama dibandingkan anak biasa.

Go to the Next Level: Movie Time

Tahun 2008 aku pindah kerja ke group Lippo. Kami juga pindah tempat tinggal di bilangan BSD Serpong. Thesa (6 tahun) dan Jason (4 tahun) sudah lulus menaklukkan stimulus kerumunan mall. Kalau sekali dua kali kambuh itu merupakan hal yang biasa, they still on processing mode.

Aku dan Istriku hobi nonton film. Setiap film bagus pasti kami tidak pernah lupa nonton. BSD punya 2 bioskop (21 dan Blitz) yang letaknya sepelemparan batu dari rumah. Asik juga nonton film berdua, pacaran istilah kami kalau pamitan ke the Utomos dirumah.

Sampai kemudian muncul sebuah pemikiran, kalau stimulus mall sudah bisa ditaklukkan mereka, why not go to the next level? ABK watching Movie? masak kami pacaran terus? Thesa dan Jason juga punya hak untuk nonton film favorite mereka di Bioskop.

Sebuah Proses Perulangan

Bioskop diciptakan untuk memanjakan panca indra manusia. Caranya? dengan memberikan stimulus to the max. Layar bioskop yang besar akan memberikan stimulus visual yang ekstrim, suara dolby sterio juga memberikan stimulus yang luarbiasa pada sistem audio manusia, teknis sinematika yang canggih akan mampu mengaduk2 emosi penontonnya. Semua serba max, bahkan untuk anak normal. Apalagi untuk ABK yang sangat sensitif terhadap stimulus panca indera.

Aku dan istriku akan membawa dua anak ABK mengarungi dahsyatnya stimulus di bioskop. Sama menantangnya seperti mengajari mereka naik sepeda sambil berdiri pegang stang satu tangan. Sebuah hil yang mustahal kata banyak orang. Namun bukannya selalu ada kali pertama?

Dan waktunya tiba, percobaan pertama. Tiket sudah di tangan, komunikasi ke the Utomos juga sudah dilakukan. Sabtu sore kami akan nonton film. Tiket dirobek penjaga bioskop, kami berjalan di lorong yang gelap. Thesa menangis dan Jason mogok, oke guys ........... let's go back home.

Film berikutnya .................. lumayan, sudah jalan sampai depan layar sebelum balik kanan grak mari kita pulang.

Film berikutnya ................. sempat duduk satu menit sebelum tangisan meningkat ke level 100 desibel dan pantat harus segera diangkat dari kursi.

Film yang kesekian .............. rekor 30 menit tercapai.

Masuk tahun ketiga ..................... akhirnya Thesa dan Jason berhasil duduk diam selama 100 menit di gedung bioskop. Mereka mampu menaklukkan stimulus bioskop.

Siapa bilang ABK tidak bisa nonton di Bioskop?

BSD City, 27 Sept 2015
EU4U

"How to Train ABK to Ride a Bike"

Belajar, Sebuah Perjalanan Kesabaran dan Ketekunan.

Dalam sesi coaching dan training terhadap para profesional, saya sering ketemu dengan coachee dan trainee yang berkeluh kesah dan hampir putus asa saat berlatih sebuah kompetensi.

Mereka mengeluh karena mencoba berkali-kali namun tidak berhasil juga. Berminggu-minggu mereka mencoba dan mencoba dan tidak berhasil. Hitungan bulan kemudian mereka menyerah. Dan melihat harapan akan karir terbang bak balon ditiup angin.

Untuk mereka yg cepat putus asa. Aku ceritakan perjalanan 2 ABK belajar bagaimana menghadapi dunia dan memeluknya. Perjalanan yang tentu saja panjang, tak pernah selesai, namun menyenangkan.

Thesa dan Jason, 2 ABK Memeluk Dunia

Tigabelas tahun lalu, Thesalonika terlahir normal. Bagi istriku, melahirkan Thesa anak pertamanya,  butuh perjuangan dan bantuan induksi serta raungan kesakitan selama 7 jam sebelum pembukaan 10 terjadi dan Thesa melihat dunia, untuk pertama kalinya.

Bayi cantik rambut tebal bak Dora the Explorer tumbuh seperti layaknya bayi lain. Sampai kemudian saat 10 bulan kami curiga karena tiada kata keluar dari mulut Thesa.

Dokter memberikan diagnosa kemungkinan Thesa menderita Autis atau ADHD. Dugaan menguat karena baru bulan ke-22 Thesa baru bisa berjalan. Tetap tiada kata yang keluar dari mulutnya. Sejak saat itu Thesa rutin ikut terapi, segala macam terapi.

Jason lahir, 27 bulan lebih muda dari Thesa. Disaat Thesa sedang tantrum (mengamuk), adiknya hanya duduk diam melihat. Disaat Thesa "anteng kitiran" (hiperactive), Jason bermain dengan tenang di kursinya.

Aku dan istriku sempat berharap, Jason normal dan bisa membantu perkembangan Thesa. Ternyata Jason juga ABK. Speech delay dan memiliki masalah dalam Sensory Integrity.

Sepeda yg Menggoda

Thesa tergoda melihat sepeda, Jason juga. Sangat wajar, sewajar anak kecil seusia mereka. Thesa 5 tahun dan Jason 3 tahun. Saat Thesa ultah dan dapat hadiah sepeda, Jason kecipratan hadiah sepeda yang sama.

Motorik halus dan kasar Thesa belum cukup berkembang. Naik sepeda membutuhkan sinkronisasi antara pikiran dan otot. Anak normalpun membutuhkan waktu 6 tahunan untuk mengembangkan sinkronisasi otak dan otot untuk bisa naik sepeda. Apalagi anak ABK.

Butuh 1 tahun bagi Thesa dan Jason untuk berani menaiki sepeda roda 4nya. Sebelumnya Thesa hanya berani menuntun dan naik sepeda yg diam.

Butuh 1 tahun bagi duo Utomo (Thesa n Jason) untuk bisa mengayuh sepeda roda 4 dengan benar. Selama ini mereka menjalankan sepeda dengan dorongan kakinya, juga untuk mengerem. Mereka belum bisa mengerem dengan jari tangan. Mengerem sepeda butuh sinkronisasi dan koordinasi tingkat tinggi otak dan otot bagi mereka. Jadilah sendal sering ganti karena multifungsi sebagai rem sepeda.

Melihat mereka sudah cukup mahir naik sepeda roda 4, aku nilai sudah saatnya satu roda aku copot. Sepeda roda 4 berubah menjadi sepeda roda 3. Untuk satu minggu Thesa kembali ke habit lama, mendorong sepeda. Thesa takut naik sepeda roda 3.

Sesudah dibujuk dan disemangati akhirnya berani juga Thesa naik sepeda roda 3. Semuanya serba kiri. Belok kiri, berhenti kiri, naik juga kiri. Karena roda ketiga ada disebelah kiri.

Ride a Bike Moment of Truth

Sesudah 3 bulan, Thesa and her follower (Jason) sudah mahir naik sepeda roda 3. Bahkan mereka tidak sadar sudah bisa naik sepeda roda 2. Saat berjalan kencang, posisi sepeda seimbang dan roda ketiga terangkat. Bahkan kebiasaan serba kiri sudah hilang. Thesa berani belok kanan.

Sudah saatnya roda kecil dicopot. Sepeda roda 4 berubah jadi sepeda roda 2. Thesa dan Jason kembali ke habit lama, menuntun sepeda. Sesudah diyakinkan dan janji dipegangi, Thesa kembali mencoba naik sepeda.

Akhirnya pada usia 8 tahun Thesa bisa naik sepeda. Bahkan bisa berdiri dan hanya pegang stang 1 tangan. Butuh 3 tahun buat Thesa belajar naik sepeda. Lebih lama dari anak biasa .... tapi bisa. Hanya dibutuhkan kesabaran, semangat, inovasi cara dan ketekunan. Sampai tantenya yang terapis tumbuh kembang anak terpesona. Keponakannya bisa naik sepeda, tiada beda dari anak tetangga.

Ada banyak jalan menuju ke Roma.
Ada banyak jalan untuk bisa naik sepeda.

Salam hangat dari Thesa n Jason
Keep Learning and never be satisfied.

EU4U
Sept, 26