10 April 2013

Holcim Indonesia: Consolidation Strategy



STRATEGI PERUSAHAAN DALAM MELAKUKAN KONSOLIDASI ORGANISASI AKIBAT KRISIS MONETER INDONESIA: HOLCIM INDONESIA

1.     RINGKASAN
 Sebagai sebuah entitas, keberadaan organisasi tidak dapat dipisahkan dari lingkungan (environment) dimana dia berada (Thomson dkk., 2010). Berbagai macam variabel dari lingkungan akan memberikan pengaruh baik positif maupun negatif terhadap upaya organisasi mencapai tujuanya (Hatch, 2006).

Kurtz dan Snowden (2003) menyatakan bahwa efek lingkungan dapat dikategorikan menjadi 4 kelompok kondisi, yaitu Known, Knowable, Complex, dan Chaos. Temuan dari studi mereka menegaskan bahwa masing-masing dari kondisi tersebut akan membutuhkan strategi korporasi yang tepat agar perusahaan mampu bertahan dan bahkan memanfaatkan keadaan yang ada untuk bertumbuh lebih baik.

Krisis moneter yang terjadi di Indonesia pada periode tahun 1997-1998 diakibatkan oleh jatuhnya nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika, membuat banyak perusahaan terjerat utang dalam bentuk devisa asing yang tiba-tiba melonjak tinggi. PT. Semen Cibinong yang dimiliki oleh Hasyim Joyohadikusomo juga tidak luput dari kondisi ini (Majalah Swa, April 2006). Keputusan stratejik diambil dengan menjual keseluruhan saham perusahaan beserta hutang-hutangnya kepada salah satu perusahaan semen kelas dunia, Holcim yang bermarkas di Swiss.

Paska akuisisi PT. Semen Cibinong, Holcim (yang juga merubah nama PT. Semen Cibinong menjadi Holcim Indonesia), melakukan berbagai macam langkah strategi korporasi untuk bisa membayar hutang dan menyehatkan perusahaan. Majalah Swa (April 2006) menjabarkan upaya pembentukan visi, misi dan nilai-nilai baru, rebranding, implementasi operational excellence serta berbagai strategi yang lain.  Segala upaya tersebut dilakukan dalam lingkup pengaruh kondisi perekonomian Indonesia yang juga sedang dalam fase pemulihan akibat krisis moneter.

Secara umum, adanya perubahan-perubahan strategi yang cukup signifikan yang dilakukan oleh manajemen Holcim Indonesia paska akuisisi dapat dijelaskan melalui pandangan Chakravarthy (1997) yang menekankan pentingnya perusahaan untuk mengadopsi strategi bisnis yang dapat mengadopsi faktor lingkungan yang dinamis.

Makalah ini bertujuan untuk mengkaji proses pembentukan dan implementasi strategi dalam konteks perubahan lingkungan yang dinamis. Untuk lebih memberikan gambaran utuh mengenai proses tersebut, maka para penulis akan menggunakan kasus yang terjadi pada PT. Holcim Indonesia sebagai konteks dari penjabaran teori-teori yang terkait dengan proses pembentukan dan implementasi strategi perusahaan.

2.     TINJAUAN TEORI STRATEGI PERUSAHAAN & LINGKUNGAN

Faktor Lingkungan dan Strategi Perusahaan
Keberadaan sebuah perusahaan tidak bisa dipisahkan dari lingkungan dimana dia berada (Thomson, dkk., 2010). Dalam Gambar 1 dibawah ini terlihat bahwa perusahaan mendapatkan pengaruh langsung dan tidak langsung dari komponen2 yang ada dalam lingkungan.      
                
Gambar 1: Lingkungan Makro Perusahaan (Thompson dkk., 2010, p. 57)


Perusahaan mendapatkan pengaruh langsung dari Suppliers, Substitute Products, Buyers, New Entrants dan Rival Firms (Porter, 1979, dalam Thomson dkk., 2010). Diluar kelima faktor tersebut, Thomson dkk. (2010) Juga mengindentifikasi 4 faktor-faktor tambahan yang mempunyai pengaruh tidak langsung kepada perusahaan (tingkatan Macroenvironment) yaitu faktor Technology, General Economy, Regulation, Demography dan Social Values.

Kondisi lingkungan yang sedemkian berpengaruh ini menuntut perusahaan untuk dapat memilih strategi yang cocok bagi perusahaan.  Thompson dkk. (2010) dalam Gambar 2 yang disajikan dibawah ini memberikan panduan yang cukup jelas bagaimana membangun strategi yang tepat.

Gambar 2. Choosing Strategy (Thompson dkk., 2010, p.56)


Mengacu kepada Gambar 2 tersebut, langkah pertama yang dilakukan adalah berfikir stratejik tentang kondisi eksternal dan internal perusahaan. Langkah tersebut kemudian diikuti oleh pembentukan visi tentang kemana perusahaan akan menuju. Langkah selanjutnya adalah dengan mengidentifikasi strategi yang tersedia untuk perusahaan dan kemudian yang terakhir adalah memilih strategi yang terbaik.

Strategi Perusahaan didalam Emerging Market Economy

Hosskisson dkk. (2000) memasukkan Indonesia sebagai salah satu negara yang masuk sebagai anggota emerging market. Katagorisasi ini didasarkan pada berbagai macam parameter yang sudah ditentukan. Parameter yang dipakai adalah besar Gross Domestic Bruto (GDP) dan juga angka inflasi. Indonesia menjadi satu kelompok dengan beberapa negara lain di Asia Tenggara termasuk China, India, Korea, Thailand, Malaysia dan Pilipina.

Dalam artikel yang sama, Hosskisson dkk. (2000), juga menyatakan bahwa perusahaan yang berada didalam negara dalam kelompok emerging market membutuhan pendekatan bisnis dan strategi perusahaan yang berbeda dibandingan dengan perusahaan yang ada dinegara maju (developed countries).

Secara khusus, terdapat tiga teori strategi organisasi yang dikemukakan oleh Hosskisson dkk. (2000) yang menurut mereka merupakan strategi yang paling cocok untuk diterapan pada perusahaan yang ada di negara yang tergolong sebagai Emerging Market. Ketiga strategi tersebut adalah:
1.     Institutional Theory
2.     Transaction Cost Economic
3.     Resource Based Theory

Institutional Theory (Scott, 1995 didalam Hoskisson dkk., 2000) menyatakan bahwa lingkungan memberikan pengaruh terhadap kondisi sosial dan perilaku organisasi dalam menjalankan bisnisnya. Dalam konteks Indonesia, teori tersebut terwujud dalam bentuk pasar yang besar (jumlah penduduk) dengan daya beli yang perlahan naik namun seringkali dibayangi oleh tingkat inflasi yang cenderung tinggi.

Teori Transaction Cost dalam konteks emerging economy khususnya Indonesia menyatakan bahwa harga yang terbentuk dipasar tidak merefleksikan sepenuhnya dari proses bisnis yang efisien (Choi dkk., 1999, didalam Hoskisson dkk., 2000). Harga yang dibentuk sangat dipengaruhi oleh struktur birokrasi, sistem kontrak dan hukum yag berlaku dinegara emerging economy yang mempunyai kecendrungan untuk tidak efisien.

Selain itu, Hosskisson dkk. (2000) juga menyarankan adanya hubungan yang penting antara teori Agency teori Transaction Cost. Berdasarkan Shleifer dkk. (1997) dalam Hoskisson dkk. (2000), teori Agency menyatakan bahwa manajer yang bekerja dalam organisasi diharapkan menjadi kepanjangan tangan dari pemilik perusahaan dalam mencapai target yang ditetapkan. Namun sebagaimana diajukan oleh Hoskisson dkk. (2000), kepentingan para pemegang saham ini sering kali tidak singkron dengan kondisi perusahaan yang berada dinegara emerging market (seperti Indonesia).

Terakhir, Hoskisson dkk. (2000) juga membahas pendekatan strategi yang berdasarkan atas teori Resource Based Theory (Barney, 1991), dimana keuntungan kompetitif perusahaan lebih ditentukan oleh adanya sumberdaya perusahaan yang bernilai (Valuable), langka (Rare), susah ditiru (Inimmitable) dan langka barang substitusinya (substitutability).
Pada akhirnya, Hosskisson dkk. (2000) menyimpulkan bahwa teori Institutional Theory merupakan yang paling penting untuk diterapkan di negara emerging economic, diikuti oleh strategi berdasarkan teori Transactional Cost dan serta Resource Based Theory.

Cynefin Domains
Kurtz dan Snowden (2003) menyajikan sebuah konsep yang menarik tentang bagaimana sebuah perusahaan harus bereaksi dan memilih strategi terhadap kondisi lingkungan dimana lingkungan mereka berada. Konsep tersebut disajikan dalam sebuah Framework yang dinamakan Cynefin Domains.

Framework ini membagi kondisi lingkungan dalam 4 katagori yang dinamakan domain (kondisi) Knowable, Known, Complex dan Chaos. Masing-masing kondisi ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan hubungan sebab-akibat (cause-effect) sebagai karakteristik pembeda yang utama, sebagai berikut:

Domain Knowable ditandai adanya hubungan sebab-akibat yang terpisah baik dalam konteks waktu dan ruang. Dalam domain Known, hubungan sebab-akibat dapat diulang dan dipahami oleh banyak pihak. Domain Complex bercirikan sebab-akibat yang tidak dapat diulang kembali. Sedangkan dalam domain Chaos tidak ditemukan hubungan sebab-akibat.

Adanya keempat domain-domain yang berbeda ini akan memunculkan pilihan strategi yang berbeda pula. Untuk sebuah organisasi yang ditenggarai berada didalam domain “Known”, strategi yang paling cocok diterapan adalah strategi Sense – Categorize – Response. Hal  yang berbeda akan muncul pada saat domain berubah menjadi Knowable. Pada domain ini strategi yang paling tepat adalah strategi yang mengadopsi proses Sense – Analysist – Response.

Gambar 3. Cynefin Domains (Kurtz and Snowden, 2003)



Dua domain sebelumnya (Known dan Knowable digolongkan dalam kondisi yang Order. Sedangan domain Complex dan Chaos masuk dalam golongan Disorder. Dalam domain Complex strategi yang paling cocok adalah strategi Probe – Sense – Response. Sedangkan domain Chaos paling cocok didekati dengan strategi Act – Sense – Response.

Secara umum, teori Cynefin Domain yang dikembangkan oleh Kurt & Snowden (2003) menyimpulkan bahwa karakteristik dari lingkungan akan berimplikasi langsung terhadap  pilihan strategi yang dapat diadopsi oleh perusahaan.

Rangka Strategi untuk lingkungan Dinamis
Didalam makalahnya, Chakravarthy (1997) secara tegas menekankan pentingnya perusahaan untuk mengadopsi strategi yang sesuai dengan lingkungan perusahaan tersebut. Secara khusus, Chakravarthy (1997) menyatakan bahwa ketika suatu perusahaan menghadapi lingkungan yang sangat rumit dan berubah cepat (complex and changing rapidly), akan sangat sulit bagi perusahaan untuk dapat menganalisa dinamis kompetisi yang terjadi dengan pesaingnya.

Untuk dapat mencapai kinerja yang tinggi, perusahaan yang berada dalam kondisi lingkungan dengan karakteristik seperti ini, perlu untuk tersus mengembangkan kapabilitas perusahaan dalam berinovasi. Studi kasus dibawah akan membahas bagaimana framework yang dikembangkan oleh Chakravarthy (1997) ini diadopsi oleh Holcim Indonesia untuk meningkatkan daya saing dan kinerja perusahaan.

3.   INDUSTRI SEMEN INDONESIA

Secara umum, industri semen merupakan industri yang bersifat capital intensive, mengkonsumsi energi secara besar, berpotensi untuk memberikan dampak terhadap lingkungan, namun juga mempunyai pengaruh langsung terhadap kelangsungan pembangunan infrastruktur suatu negara (Selim & Salem, 2011). Disamping itu, Selim & Salem (2011) juga memberikan gambaran mengenai struktur industri semen didalam suatu negara yang cenderung berbentuk oligopolistik dengan sedikit pemain yang bersaing untuk menjadi pemimpin pasar atas produk yang bersifat komoditas.

Tanpa kecuali, Indonesia sebagai salah satu negara yang tergolong sebagai emerging market economy (Hoskisson dkk., 2000) juga mempunyai ketergantungan yang tinggi terhadap keberadaan industri semen nasional untuk mendukung pembangunan infrastruktur pendukung kegiatan ekonomi nasional. Disamping itu, industri semen nasional juga ditenggarai sedang menuju kearah struktur oligopolistik dengan konsentrasi industri yang terdiri dari hanya 3 group besar produsen semen, yaitu Semen Gresik, Holcim dan Indocement (KPPU, 2012)

4.     HOLCIM INDONESIA PASKA KRISIS MONETER ASIA DARI SUDUT PANDANG STRATEGI PERUSAHAAN

Salah satu pionir dari industri semen di Indonesia adalah PT. Semen Cibinong yang didirikan pada tahun 1971 (Holcim Indonesia, 2011). Namun, keberadaan PT. Semen Cibinong yang telah cukup lama tidak memberikan imunitas terhadap perusahaan dari pengaruh negatif krisis moneter yang terjadi dalam periode tahun 1997-1998 silam.

Tahun 2001 adalah tahun dimana Holcim melakukan akuisis terhadap Semen Cibinong. Akuisi tersebut dilakukan dengan membeli lebih dari 70% saham yang beredar (Swa, April 2006). Kondisi perekonomian Indonesia pada saat itu masih dipengaruhi oleh krisis moneter yang terjadi pada periode tahun 1997-1998.

Kondisi ekonomi yang masih belum kondusif,  warisan hutang yang besar ditambah dengan produktifitas karyawan yang tidak sesuai dengan standard Holcim Internasional menjadikan Holcim Indonesia (HI) masuk dalam katagori Chaos (Kurtz dan Snowden, 2003). Kondisi HI yang tidak jelas kasualitasnya tersebut membutuhkan sebuah intervensi untuk dapat menciptakan kestabilan.

Salah satu warisan yang “buruk” yang diwariskan dari perusahaan lama adalah kondisi demografis karyawan yang “tua” dengan tingkat produktivitas yang rendah. Langkah yang dilakukan management pada tahun 2002 adalah dengan cara meningkatkan gaji karyawan sebesar hampir dua kali lipat.

Langkah ini merupakan sebuah keputusan yang cepat (Fast Moving Decision) dengan tujuan untuk mendapatkan kepercayaan dan tentunya meningkatkan motivasi dan produktivitas. Strategi ini sesuai dengan apa yang dipaparkan oleh Eisenhardt (1989), bahwa dalam high velocity environment seperti yang dihadapi HI pada saat itu maka keputusan yang cepat dibutuhkan.

Namun pada kenyataanya yang terjadi sesudah kenaikan gaji tingkat produktivitas tetap rendah. Karyawan menerima kenaikan gaji tersebut sebagai sebuah kondisi “Taken for Granted” yang selayaknya mereka terima karena sekarang menjadi karyawan sebuah perusahaan asing.

Dalam kondisi “point no return” manajemen memutuskan menggunakan pendekatan yang berbeda, strategi yang dilakukan sesuai dengan yang dianjurkan oleh David Levy (1994) dimana dalam kondisi Chaos maka fleksibilitas dan adaptiness menjadi faktor yang penting. Langkah pertama yang dilakukan adalah dengan mengeluarkan program Employee Separation Program (ESP). ESP merupakan program dimana karyawan yang tergolong tidak produktif ditawarkan pensiun dini dengan pesangon yang menarik. Strategi ini berhasil dengan baik sehingga mampu 
mengurangi jumlah karyawan secara cukup signifikan.

Gambar 4. Pabrik Holcim Indonesia


Langkah berikutnya yang dilakukan adalah dengan memperkuat dan memperluas kompetensi inti (Chakravarthy, 1997. Dalam kondisi masih merugi HI menjalankan program Change Management yang intensif dengan biaya $ 3 juta pertahun sejak tahun 2004. Inisiatif penting yang dijalankan dalam Change Management adalah Leadership Developement progam untuk mengubah mindset dan perilaku karyawan, Organizational Performance Improvement (OPI) yang masuk dalam katagori Operational Excellence inisiatif, Rebranding dlsb.

Strategy Repeat Innovation sesuai dengan teori Charavathy (1997) juga dilakukan khususnya pada fungsi Sales dan Marketing. Pada tahun 2007 diluncurkan program sertifikasi Ahli Bangunan kepada para tukang bangunan dan juga meluncurkan Solusi Holcim yang bekerjasama sama dengan toko bangunan. Solusi inovatif ini berhasil terbukti dengan makin baiknya kondisi keuangan HI. Pada tahun 2008, HI membukukan keuntungan pertamakali sebesar Rp. 225  milyar dibandingkan dengan kerugian sebesar Rp. 150 milyar yang masih ditanggung pada tahun 2007.

Kemampuan HI dalam memilih strategi akan diuji pada tahun-tahun yang akan datang pada saat kondisi lingkungan berubah dari Chaos menjadi Complex dimana banyak pemain baru yang masuk termasuk dengan makin agresifnya pemain lama seperti pemimpin pasar Semen Indonesia (dulu semen Gresik Group), semen Bosowa dan juga pendatang baru semen Kupang.

5.     PENUTUP DAN KESIMPULAN

Kondisi lingkungan memberikan pengaruh yang besar terhadap organisasi (Hatch & Cunliffe, 2006, Thompson dkk., 2010), terlebih lagi dalam lingkungan yang complex dan chaos (Kurt & Snowden, 2003). Pemilihan strategi yang tepat dan eksekusi yang baik menjadi penentu keberhasilan perusahaan dalam mempertahankan atau meningkatkan posisinya dalam persaingan bisnis (Kurt & Snowden, 2003, Chakravarthy, 2007)

Paska akuisisi PT Semen Cibinong oleh Holcim, Holcim Indonesia mengalami masa Chaos selama hampir 8 tahun (2001 – 2008), dimana perusahaan mengambil langkah stratejik yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan pada saat itu. Namun, Holcim Indonesia juga terlihat mampu mengembangkan kapabilitas dan kemampuan inovasi dari perusahaan yang kemudian menjadi keunggulan kompetitif dari perusahaan pada saat ini.

Dari pembahasan diatas, terlihat bahwa kinerja perusahaan dipengaruhi langsung oleh kondisi lingkungan dimana perusahaan tersebut beroperasi. Khusus untuk industri semen yang membutuhkan investasi modal yang besar, dampak lingkungan, serta struktur industri yang cenderung bersifat oligopoli, maka dibutuhkan adanya strategi perusahaan yang bersifat dinamis dan mendukung pengembangan kemampuan inovasi dari perusahaan untuk meyakinkan tercapainya kinerja perusahaan yang berkesinambungan kedepannya.

Written by:
Eko Jatmiko Utomo &
Donny Prasetya
Mahasiswa S3 Strategic Management UI Angkatan 2012
 


REFERENSI

Chakravarthy, B., (1997). “A New Strategy Framework Coping with Turbulence”, Sloan Management Review, 38, 2, 62.
Eisenhardt, K.M., (1989). “Making Fast Strategic Decisions in High-Velocity Environment”,  Academy of Management Journal, 32, 3, 543 – 576.
Hatch, M.J.; & Cunliffe, A.L. (2006). Organization Theory: Modern, Symbolic, and Postmodern Perspectives. Oxford: Oxford University Press.
Hoskisson, R.E.; Lau, C.M.; & Wright, M., (2000). “Strategy in Emerging Economies”, Academy of Management Journal, 43, 3, 249 – 267.

Holcim Indonesia, (2011), “Delivering Value: 2011 Annual Report”, PT. Holcim Indonesia

Kim, W.C.; Mauborgne, R., (1999). “Creating New Market Space”, Harvard Business Review. Review.
KKPU, (2012), “Media Visit: KPPU Pantau Monopoli Semen”, www.kppu.go.id/id/media-visit-kppu-pantau-monopoli-semen accessed 1 March 2013
Kurtz, C.F.; & Snowden, D.J., (2003). “The New Dyanamic of Strategy: Sense-Making in a Complex and Complicated World”,  IBM System Journal,  42, 3, 462.
Levy, D., (1994). “Chaos Theory and Strategy: Theory, Application, and Managerial Implications”, Strategic Management Journal, 15,  167 – 178.
Selim, T. H., Salem, A. S., (2011), “Global Cement Industry: Competitive and Institutional Frameworks”, Journal of Strategic Management Education, Vol. 7, No. 3, pp 181-200

Thompson, A.A.; Strickland, A.J.; & Gamble, J.E., (2010). Crafting and Executing Strategy, The Quest for Competitive Advantage. McGraw Hill.

THE IMPORTANT OF LEADERSHIP DEVELOPMENT



PENTINGNYA PROGRAM PENGEMBANGAN KEPEMIMPINAN DALAM MENCIPTAKAN KEUNGGULAN BERSAING BAGI PERUSAHAAN DI INDONESIA
  
1.     PENDAHULUAN
Topik tentang kepemimpinan (Leadership) menjadi topik yang banyak dibahas baik didunia riset maupun dunia bisnis selama beberapa dekade kebelakang. Munculnya fenomena kepemimpinan Jack Welch sebagai Chief Executive Officer (CEO) di General Electric(GE) pada awal tahun 1980an sampai dengan pensiunnya pada awal tahun 2000an membuat topic ini makin banyak dibahas oleh berbagai kalangan (Walling, 2007).

Sebagai manager tertinggi di GE, cara Jack Welch memimpin berbeda dengan cara manager yang lain dalam memimpin dan mengendalikan organisasinya. Jack Welch tidak sekedar menjalankan GE dengan cara lama menggunakan PDCA seperti yang diajarkan oleh Edward Demming, Jack Welch menggunakan pendekatan kepemimpinan yang berbeda. Jack Welch menyatakan bahwa sebagai pemimpin tugas utama yang harus dilakukan adalah menemukan orang yang tepat, mengalokasikan sumberdaya yang dimiliki dan menyebarkan ide dengan cepat (Walling, 2007).

Ketiga hal tersebut tentu saja merupakan pendekatan yang berbeda dengan apa yang dilakukan oleh para manager selama ini. Prestasi yang ditorehkan oleh Jack Welch selama lebih dari 20 tahun kepemimpinannya di GE makin menguatkan gelombang baru pembahasan dan penerapan konsep kepemimpinan diorganisasi bisnis maupun diorganisasi non bisnis. Cikal bakal konsep kepemimpinan yang ditulis oleh Chester Barnad pada tahun 1938 bahwa tugas pemimpin adalah mengelola perusahaan dan mendapatkan komitmen dari karyawan (Walling, 2007) mendapatkan titik tolaknya (tipping point) pada diri Jack Welch lebih dari 50 tahun sesudahnya.

Dalam dunia akademisi, salah satu titik tolak pembahasan tentang konsep kepemimpinan mulai ramai dibicarakan pada saat pengajar bisnis di Harvard Business School Abraham Zaleznik pada tahun 1977 menulis artikel yang berjudul “Manager and Leaders: Are They Different?” (Kotter, 1990). Sejak saat itulah pada akademis seakan berlomba-lomba untuk melakukan riset dan menulis tentang topik kepemimpinan.
            
 Konsep kepemimpinan menjadi menarik karena merubah sudut pandang bagaimana pemimpin perusahaan mengelola dan memimpin. Seorang manager berkepentingan agar dalam menghadapi masalah, jumlah pilihan untuk pengambilan keputusan diperkecil, sedangkan seorang pemimpin berlaku seolah-olah bersebrangan karena malah menambah pilihan yang sudah ada. Seorang manager berfikir dan bertindak karena kebutuhan, sedangkan pemimpin karena hasrat dan keinginan untuk tumbuh dan berkembang. Manager menciptakan keteraturan dengan kontrol yang dimiliki sedangkan pemimpin menoleransi adanya kekacauan (Chaos) dan struktur yang tidak teratur (Zaleznik, 1992).
 
Keberadaan pemimpin yang handal menjadi penentu pertumbuhan dan kelangsungan hidup sebuah perusahaan. Pakar kepemimpinan John Maxwell dalam banyak bukunya menyatakan bahwa jatuh bangunnya sebuah organisasi (termasuk organisasi bisnis) tergantung dari pemimpinnya. Pemimpin yang memiliki kompeten dan flesibel dan mampu menyesuaikan diri dalam kondisi yang berbeda sehingga dapat bertindak sebagai pemimpin yang transformational maupun transaksional terbukti memberikan efek yang positif terhadap kinerja perusahaan (Waldman, et. al, 2001).

Semakin besar bisnis berkembang, semakin keras kompetisi yang berjalan, semakin cepat perubahan maka kebutuhan pemimpin menjadi semakin banyak. Menyadari bahwa manager berbeda dengan pemimpin dan bahwa kepemimpinan yang kuat dan handal penting bagi sebuah organisasi memunculkan pertanyaan yang lain. Apakah seorang pemimpin itu dilahirkan atau bisa dilatih. Sebagian besar peneliti setuju bahwa atribut dan kompetensi yang dibutuhkan oleh seorang pemimpin merupakan area yang bisa dikembangkan (Kelloway, et.al., 2000), (Prince, 2008) dan (Amagoh, 2009). Dengan demikian sebuah Leadership Development Program (LDP) menjadi sebuah inisiatif yang harus dilakukan oleh perusahaan yang percaya dan butuh untuk mendapatkan pemimpin bagi organisasinya.

2.     SEBERAPA PENTING PROGRAM PENGEMBANGAN KEPEMIMPINAN?

Sebagai seorang praktisi Human Resources (HR) dan juga seorang konsultan HR. Penulis mendapati suatu fenomena yang menarik dalam konteks Indonesia tentang kebutuhan pemimpin organisasi. Tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup stabil dalam satu dekade kebelakang dengan angka pertumbuhan rata-rata 6% pertahun, maka organisasi bisnis juga bertumbuh secara cepat. Perusahaan berkembang dengan memperluas cabang, mendirikan anak perusahaan baru, melakukan diversifikasi, melakukan ekspansi keluar daerah bahkan keluar negri. Pada titik inilah banyak perusahaan tersebut baru menyadari bahwa mereka kekurangan pemimpin yang bisa mengeksekui rencana bisnis tersebut. Lingkungan organisasi berubah dengan cepat namun tidak diantisipasi dengan baik oleh organisasi bisa menyebabkan organisasi menjadi tidak relevan (Hatch, 2006).

Dalam sebuah kesempatan penulis berdiskusi dengan sebuah perusahaan besar yang memiliki rencana bisnis untuk bertumbuh sebesar 10x lipat dalam jangka waktu 5 tahun kedepan. Industri yang ditekuni adalah Engineering, Procurement dan Construction (EPC). Direktur dan manager HR menyadari bahwa kunci keberhasilan untuk mencapai visi pertumbuhan tersebut adalah seberapa baik dan cepat mereka bisa menyediakan dan mengadakan pemimpim (dalam kasus mereka Project Manager) yang handal dengan jumlah 4x dari yang dimiliki saat ini. Yang terjadi kemudian mereka meminta dibuatkan program LDP dengan durasi waktu 2 tahun untuk bisa menghasilkan Project Manager dengan kuantitas dan kualitas yang diinginkan, sebuah kemauan dan target yang tentu saja tidak mudah dilakukan.

Merujuk pada salah satu artikel yang ada di media online Detik tanggal 20 Nopember 2012 yang berjudul “Mendagri: 474 Pejabat Daerah Terlibat Kasus Hukum”, menunjukkan bahwa krisis kepemimpinan tidak hanya terjadi pada dunia bisnis namun juga sudah merambah pada pemerintahan juga. Kondisi ini memperkuat kebutuhan akan adanya LDP yang benar dan komprehensif  (Amagoh, 2009), agar bisnis dapat tetap tumbuh dan berkembang.

3.     PROGRAM PENGEMBANGAN KEPEMIMPINAN YANG IDEAL

Didalam konteks Indonesia, LDP mulai mendapatkan perhatian pada tahuan 1990an. Pada saat itu PT. Astra Internasional (AI), mengeluarkan program pengembangan kepemimpinan yang mereka namakan Supervisory Development Program (SDP). Bahkan sedemikian seriusnya dengan program pengembangan kepemimpinan maka AI yang seringkali dibilang sebagai GE dari Indonesia juga membangun sebuah pusat pengembangan kepemimpinan yang dinamakan Astra Management Development Institut (AMDI) yang menyerupai pusat pengembangan eksekutif yang dimiliki oleh GE di Crotonville Amerika.

Tidak mau kalah dengan Astra maka perusahaan-perusahaan di Indonesia yang lain juga mendirikan pusat pengembangan kepemimpinan seperti Bank Danamon dengan Danamon Learning Center di Ciawi, Unilever Indonesia dengan Unilever Learning Center di Cisarua, Citibank Indonesia mengadopsi induknya dengan mengeluarkan inisiatif pengembangan kepemimpinan dengan program Management Trainee (MT) dan lain sebagainya.

Adanya inisiatif LDP dibanyak perusahaan ini memunculkan pertanyaan yang penting. Apakah program LDP memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap kebutuhan pemimpin dan seberapa besar efeknya dalam kinerja perusahaan?. Pertanyaan ini menjadi bidang riset yang juga banyak diteliti oleh akademisi.

LDP khususnya yang menitikberatkan pada aspek pengembangan kompetensi bisnis (Business Acumen) terbukti memberikan dampak yang positif terhadap kinerja (Prince, 2008). Kinerja individu terutama kinerja para pemimpin akan menentukan kinerja perusahaan (Naquin and Holton III, 2006).

Banyaknya program LDP yang diselenggarakan dengan serius atau karena sekedar mengikuti trend yang ada juga memunculkan banyak kritik karena tidak efektifnya program LDP yang dikerjakan. Penelitian dari Ian Cunningham (2010) menunjukkan bahwa LDP hanya menunjukkan dampak  yang kecil bagi dunia bisnis dikarenakan eksekusi program LDP yang buruk.

Kegagalan program LDP yang diselenggarakan oleh banyak perusahaan bisa diantisipasi dengan berbagai macam cara. Ready dan Conger menyatakan ada 3 hal penting yang harus dilakukan apabila menginginkan program LDP berjalan efektif (Ready & Conger, 2003) yaitu:
1.     Individu peserta program LDP harus merasa memiliki program yang diberikan oleh perusahan (Buy in)
2.     Adanya keterkaitan yang jelas antara program LDP dan strategi organisasi
3.     Lebih banyak menempatkan sumberdaya pada proses pengembangan kepemimpinan daripada pada produk (leader) itu sendiri.

Proses pengembangan kepemimpinan yang sudah berjalan selama beberapa dekade ini mengalami evolusi sesuai dengan kebutuhan jaman. Kebutuhan pada masa lalu berbeda dengan masa sekarang dan masa depan. Sebagai contoh pada masa lalu peserta LDP diperlakukan sebagai pendengar belaka sedangkan pada masa sekarang (transisi) peserta diperlakukan sebagai seorang murid dan dimasa yang akan datang peserta akan diperlakukan sebagai pembelajar (Fulmer, 1997).

            Tabel 1 seperti yang dikembangkan dibawah ini menunjukkan terjadinya evolusi yang terjadi pada LDP pada berbagai macam dimensi baik itu perlakuan terhadap peserta, desain program, tujuan dan lain sebagainya dalam konteks masa lalu, masa kini dan masa depan.


Tabel 1. Evolusi Paradigma Pengembangan Kepemimpinan

4.     DESIGN & EKSEKUSI PROGRAM SEBAGAI KUNCI KEBERHASILAN

Agar proses eksekusi LDP berjalan dengan baik maka dibutuhakan serangkain langka aksi  yang benar dan terukur. Menurut Ian Falk (2003), ada 4 langkah penting yang harus dilakukan untuk memastikan bahwa progam LDP yang akan dijalankan bisa efektif. Langkah2 tersebut adalah:
1.     Trigger
2.     Initiating
3.     Developmental
4.     Sustainability

Langkah-langkah tersebut harus dilakukan satu persatu agar tidak menimbulkan masalah dikemudian hari. Penulis sebagai praktisi pernah mengalami langsung bahwa langkah Initiating dan Developmental yang kurang baik akan mengakibatkan Sustainability bermasalah. Masalah yang timbul dikemudian hari adalah secara perlahan-lahan efek yang ingin didapatkan dari program LDP menjadi makin kecil dan tidak dapat bertahan lama.

Mengembangkan program LDP merupakan sebuah kepususan stratejik yang harus dilakukan dengan benar dan efektif. Program yang dijalankan akan mempengaruhi dan merubah banyak polapikir, sistem kerja dan bahkan merubah budaya organisasi. Untuk melakukan perubahan tersebut maka dibutuhkan langkah-langkan manajemen perubahan (Change Management) yang tepat. Merujuk pada John Kotter (1995), terdapat delapan langkah untuk melakukan transformasi organisasi (lihat Gambar 1).

Walaupun sebenarnya Kotter menggunakan 8 langkah tansformasi ini untuk melakukan transformasi dalam lingkup organisasi, penulis merasa bahwa langkah juga tepat untuk dipakai untuk membantu agar inisiatif dan intervensi pengembangan kepemimpinan dengan program LDP juga dapat berjalan dengan baik.

Dalam langkah yang pertama yaitu Establishing Sense of Urgency, memiliki pengertian yang sama dengan apa yang disajikan oleh Ian Falk yaitu Trigger. Pemilik perusahaan dan Top Management Team (TMT) harus memiliki pengertian dan perasaan yang kuat bahwa LDP memang dibutuhkan oleh organisasi dan akan membantu perusahaan maupun divisi yang mereka pimpin agar mampu mengeksekusi strategi yang telah mereka buat. Tanpa adanya Sense of Urgency ini maka LDP akan menjadi sia-sia persis seperti yang ditemukan oleh Ian Cunningham (2010).

Langkah yang kedua merupakan langkah penting yang harus dilakukan namun seringkali tidak terjadi dibanyak perusahaan di Indonesia sesuai pengalaman penulis. Keberadaan para agen perubahan (Change Agent) yang tidak hanya buy in namun juga mau dengan sungguh2 mendorong agar program berjalan didalam kehidupan pekerjaan sehari-hari serta memainkan peranan untuk ikut mendorong rekan kerja melakukan hal yang sama. Dalam kasus Indonesia, banyak program LDP yang “dimiliki” hanya oleh tim HR. Para peserta yang sebagian besar adalah fungsi2 lain seperti operasi, marketing dan sales, logistik dll. hanyalah menjadi obyek bagi program sehingga tidak bisa menjadi kepanjangan tangan dari penyelenggara program LDP dilapangan.

Gambar 1. Delapan Langkah Transformasi Organisasi
  
Langkah-langkah berikutnya seperti Creating Vision, Communicating the Vision, Empowering Others, Short term Wins, Consolidating dan Institutionalizing tentu saja juga penting untuk dilakukan agar program LDP yang dibangun benar-benar bisa berjalan dan dapat mencapai tujuan yang sudah ditetapkan semula, yaitu mencetak para pemimpin baru bagi organisasi.


Written by:
Eko Jatmiko Utomo
Mahasiswa S3 Strategic Management UI
Class of 2012

 

REFERENSI

Amagoh, F., (2009). “Leadership Development and Leadership Effectiveness”, Management Decision, 6, 989-999.
Barling, J.; Webber, T.; & Kalloway, K., (1966). “Effects of Transformational Leadership Training on Attitudinal and Financial: A Field Experiment”, Journal of Applied Psychology, 6, 827-832.
Boaden, R.J., (2006). “Leadership Development: Does it Make a Difference?”, Leadership and Development Journal, 27, 25.

Broome, G.H.; & Hughes, R.L., (2004). “Leadership Development: Past, Present and Future”, Human Resource Planning, 1, 24.
Conger, J.A.; & Ready, D.A., (2003). “Why Leadership Development Fails?”, Center for Effective Organization.
Cunningham, I., (2010). “Leadership Development in Crisis: Leadership Development Hasn’t Made Much Difference to Organization”, Development and Learning in Organization, 5, 5-7.
Effron, M.; Greenslade, S.; & Salob, M., (2005). “Growing Great Leaders, Does it Really Matter?”, Human Resources Planning.
Elmuti, D.; Minnis, W.; & Abebe, M., (2005). “Does Education Have a Role in Developing Leadership Skills?”, Management Decision, 8, 1018.
Falk, I., (2003). “Designing Effective Leadership Interventions: a Case Study of Vocational and Education Training”, Leadership and Development Journal, 4, 193.
Fulmer, R.M., (1997). “The Evolving Paradigm of Leadership Development”, Organizational Dynamic.
Hatch, M.J.; & Cunliffe, A.L. (2006). Organization Theory: Modern, Symbolic, and Postmodern Perspectives. Oxford: Oxford University Press.
Kelloway, E.K; Barling, J.; Helleur, J., (2000). “Enhancing Transformational Leadership: the Roles Training and Feedback”, Leadership and Development Journal, 3, 145-149.

Kotter, J., (1990). “What Leaders Really Do?”, Harvard Business Review.
Kotter, J., (1995). “Leading Change”, Harvard Business Review.
Kreitner, R.; & Kenicki A., (2007). Organizational Behavior. McGraw Hill.

Mgbere, O., (2009). “Exploring the Relationship Between Organizational Culture, Leadership Styles and Corporate Performance: an Overview”, Journal for Strategic Management Education, 5, 187-202.
Morgan, G.M., (1996). “Creating Local Leadership Development Program”, Economic Development Review, 1, 36.
Mullen, H.J., (1965). “Differential Leadership Modes and Productivity in Large Organization”, Academy of Management.
Naquin, S.; & Holton III, E., (2006). “Leadership and Managerial Competency Model: A Simplify Process and Resulting Models”, Advances in Development Human Resources,2, 144.
Pernick, R., (2001). “Creating a Leadership Development Program: Nine Essential Tasks”, Public Personnel Management, 4, 49.
Prince, E.T. (2008).  “Business Acumen: a Critical Concern of Modern Leadership Development”, Human Resource Management International Digest, 6, 6-9.

Waldman, D.A.; Ramirez, G.G.; Robert, R.F.; & Puranam, P., (2001). “Does Leadership Matter? CEO Leadership Attributes and Profitability Under Condition of Perceived Environmental Uncertainty”, Academy  of Management Journal, 1, 134-143.
Walling, E.R., (2007). 50 Management Ideas You Really Need to Know. Quercus Publishing.
Zaleznik, A., (1992). “Managers and Leaders: Are They Different?”, Harvard Business Review.