19 Desember 2010

Memandang Body (Blind Spot Cases)

Blind Spot on the MOLE

Saya baru saja selesai membaca dua dari tetralogi tentang sisi lain presiden SBY karangan Wisnu Nugroho. Wisnu merupakan wartawan Kompas yang ditugaskan untuk meliput Istana Negara. Selain membuat reportase tentang hal hal besar yang terjadi di Istana, Wisnu juga memotret pernak pernik kecil yang tidak layak tayang di Kompas namun asyik untuk dituliskan dan “dipergunjingkan”. Tulisan Wisnu yang remeh temeh namun menarik tersebut dipostingkan di Kompasiana (blog Kompas). Response yang luarbiasa dari pembaca membawa tulisan “remeh temeh” tersebut naik cetak menjadi 3 buah buku yang laris manis.

Salah satu hal “remeh temeh” namun menarik dari tulisan Wisnu adalah perbandingan foto pak Beye tahun 2006 dan tahun 2007!. Foto pak Beye sebelum tahun 2006 mempelihatkan sebuah tahi lalat dikanan atas dahi beliau yang cukup eye catching. Tahun 2007 tahi lalat tersebut hilang! Jelas bukan karena diminta sama lalat yang bertahi disana tapi yang paling memungkinkan adalah tahi (lalat) tersebut diambil oleh tangan ahli seorang dokter.

Menurut saya yang menarik dibalik akuisisi sebuah tahi lalat bukan pada proses operasinya, tetapi lebih kepada pengambilan keputusan untuk membuang tahi (lalat) yang sudah menempel lebih dari 50 tahun itu.

Berhubung mata manusia cuma ada dua dan terletak sejajar pula maka manusia memiliki keterbatasan untuk memandang the whole his own body apalagi memandang tahi (lalat) yang bertengger tepat diatas mata, daerah BLIND SPOT, daerah yang hanya bisa dilihat atas bantuan feedback orang lain atau bantuan mirror on the wall.

Keputusan untuk pada akhirnya menghilangkan tahi (lalat) tersebut mungkin karena masukan team sukses untuk menciptakan “citra diri” yang lebih oke dan cocok dengan strategi pencitraan (personal branding) yang sedang dibangun. Tim ahli (mungkin) menyarankan bahwa sang tahi (lalat) kalau dihilangkan akan memberikan kesan yang lebih oke untuk dilihat dan difoto sehingga tampilan lebih (mungkin) fotogenic. Saran ini (mungkin) diterima oleh yang bersangkutan atas BLIND SPOTnya dan kemudian mengambil keputusan untuk menghilangkan tahi (lalat).

Apa yang dilakukan oleh pak Beye merupakan tindakan yang tepat dan pas dalam menangani area yang namanya BLIND SPOT. Tindakan tersebut tak lain dan tak bukan adalah meminta pendapat, saran dan masukan dari orang lain terhadap diri kita sendiri. Saran2 tersebut seringkali menyangkut pada aspek2 yang kita tidak bisa melihatnya. Saran tersebut membantu pak Beye untuk melihat bahwa tahi (lalat) yang tidak bisa dilihatnya sendiri ternyata (kata pembisik) jelek secara visual.

***

Blind Spot on JOB

Dikehidupan sehari-hari, penderita Blind Spot berkeliaran. Karena memang semua manusia pasti memiliki arena Blind Spot (diri sendiri TIDAK TAHU dan orang lain TAHU), hanya kadarnya yang berbeda-beda. Ada orang yang memiliki kadar yang tinggi dan ada orang yang kadarnya cukup rendah.

Untuk mengurangi area Blind Spot, di divisi yang saya pimpin dalam berbagai kesempatan mengadakan ajang feedback session. Setiap anggota tim memberikan 3 feedback positive dan 3 feedback negative ke seluruh anggota yang lain. Hasilnya luar biasa! Banyak orang mendapati hal-hal yang dia tidak ketahui namun dilihat oleh semua orang temannya di kantor. Saking terkejutnya salah seorang anggota tim sampai berkata “Masak Sih? Apakah aku sejelek ini”, atas feedbak negative yang menyatakan bahwa dia adalah orang yang picky dan suka memanfaatkan teman dalam bekerja.

***

Blind Spot on Politic

Pagi hari ini, di koran Media Indonesia saya membaca bahwa pemerintah menggulirkan Kredit Murah bagi para calon TKI dan TKW trilyunan rupiah! Suatu program yang pasti akan mendorong lebih banyak TKI dan TKW berbondong-bondong pergi keluar negri tanpa harus menjual sawah atau pinjam dari rentenir. Suatu program yang mulia kalau dilihat dari konteks ini.

Disisi lain pada koran yang sama, dan hampir semua media di Indonesia, 3 bulan terakhir masyarakat diharu biru oleh berita penyiksaan dan penganiyaan yang sudah diluar batas pada banyak TKW yang bekerja di jazirah Arab dan Malaysia. Banyak saran yang diberikan oleh mereka yang tergerak oleh kasus ini termasuk Motarium (penghentian) pengiriman sampai didapatkan suatu sistem perlindungan yang baik antara pemerintah Indonesia dan negara penerima TKW.

Namun yang terjadi adalah response dan kebijakan yang nyleneh (aneh) dan cenderung out of logic seperti membagikan HP pada setiap TKW yang akan berangkat! Lha wong passport dan bahkan harga diri saja bisa dirampas oleh majikan apalagi hanya sekedar HP! Saran motarium diresponse dengan program kredit TKI yang malah mendorong lebih banyak orang pergi menjadi TKW. Suatu keniscayaan akan semakin meledaknya kasus2 “Sumiati” yang lain dimasa depan.

Suatu kedegilan yang luar biasa atas itikad baik dari mereka yang memberikan saran dan membukakan mata di area Blind Spot pemegang kekuasaan.

Kalau boleh beranalogi, orang memberikan saran untuk menghilangkan tahi lalat namun yang yang dilakukan adalah melakukan operasi menghilangkan telinga dan hidung sendiri!. Kualitas seperti ini jelas kualitas yang hanya patut bersemayam pada orang yang bebal plus penyandang blind spot nurani akut.

***

Blind Spot on BODY

Sore itu kami bertiga duduk santai dibawah tenda. Di salah satu bagian kolam renang Ocean Park kami lihat Tesa, Jason, Melur dan si mbak sedang asik berenang dan main ciprat-cipratan.

“Pa, kamu lebih gendut dibandingkan orang itu lho!”, mama Jason memecah keheningan saat berkata pelan sambil pandangan matanya menunjuk seorang laki-laki yang berjalan melewati tenda kami. Mataku secara otomatis melihat ke orang yang sedang digosipkan. Seorang laki-laki dengan celana pendek tanpa baju memperlihatkan perutnya yang gendut dan lebar.

“Yang benar saja! Masak aku sebesar itu sih!”, ini adalah jawaban standar untuk pernyataan yang memang sering dilontarkan oleh istriku.

“Iya, kamu lebih gendut dari dia!”, istriku tidak berhenti mengintimidasi.

“Ah....kamu aja yang berlebihan ma!”, sahutku sambil tetap melihat punggung obyek gosip yang memang lebar dan besar itu.

“Papa mah kalau dikasih tahu ngeyel!”.

“Hmmm mumpung mami sedang ada disini coba kita tanya”, mata kami langsung beralih kepada Opung Tesa yang duduk disebelah anaknya.

“Besaran kamu dikit sih, kalau dilihat dari depan sama aja kok”, jawaban mami yang halus merobek bungkusan Blind Spot yang selama ini aku coba bungkus dan abaikan.


Via Renata Puncak

15 Desember 2010

Eko Utomo untuk Anda yang sedang membuka sisi gelap.

Berbagi Opung (nenek)

Gerimis kecil di sebuah Minggu pagi. Matahari tampaknya malas untuk bangun tidur, jeng Siwi yang mungkin juga masih mengantuk kami minta untuk mengantar kami bertujuh pergi kebaktian pagi. Bunyi mesinnya menderum pelan membelah udara dingin jam 6 pagi dan meluncur meninggalkan komplek perumahan di bilangan Nusa Loka BSD. Tujuannya adalah kebaktian pagi bagi yang tua dan sekolah minggu bagi para krucil.
"Aku mau!", dari bangku belakang terdengar suara anak perempuan kecil terdengar nyaring.
"Melur mau makan juga ya?", dari suaranya jelas sang pemilik suara berselisih umur lebih dari 70 tahun dari suara pertama.
"Iya, aku mau makanan itu!", suara pertama memberikan penegasan.
"Abang Jason, adik Melur minta nasi punya abang ya?", suara perempuan tua terdengar lembut minta ijin.
Dari kaca spion tengah aku lihat pemilik nama Jason hanya tersenyum kecil. Kami semua tahu bahwa senyuman semanis gula yang sangat digandrungi tante tante itu berarti yang bersangkutan mengijinkan bekalnya di bagi untuk sang anak perempuan kecil. Sepanjang jalan si mbak akhirnya bekerja simultan untuk menyuapi dua mulut di kiri dan dikanannya.
"Jangan dekat-dekat!", kembali suara anak perempuan kecil yang bulan depan baru genap berumur 3 tahun itu terdengar nyaring.
"Melur, ngak boleh dorong-dorong abang Jason dong!", kembali suara perempuan tua dengan lembut memberikan nasehat.
"Abang Jason ngak boleh dekat-dekat Opung!".
"Lhoooo, Opungkan juga Opungnya abang Jason?", kami berdua yang duduk di jok depan mesam mesam mendengarkan dialog di jok belakang itu.
"Ngak......Opung hanya Opungnya Melur!", anak kecil yang pintar bicara itu kekeh mempertahankan pendapatnya.
"Opung ini milik bersama Melur, Opungnya Abang Jason juga, Opungnya kakak Tesa, Opungnya abang Joy, Opungnya kakak Anggi", sang Opung berusaha menanamkan konsep berbagi yang sederhana kepada sang cucu.
"Ngak mau...........!" sang cucu masih merasa berkeberatan untuk berbagi Opung.
"Tadi, makanan bang Jason diminta untuk dibagi, sekarang giliran Opung ngak boleh dibagi. Gimana ini Melur?", dan kami yang berdua yang duduk didepan tertawa terpingkal-pingkal mendengarkan kalimat terakhir Opung.
***
Lantai direksi itu sepi, setelah membuka pintu lantai dua dengan ID Card aku bergegas mendekati salah satu ruangan yang ada disana. "Bapak ada ngak?", pertanyaan itu aku ajukan ke sekretaris Direktur CS.
"Tadi sedang keluar pak, kelihatannya sebentar. Bapak tunggu saja".
Mendengar jawaban sang sekretaris mataku mencari spot meja dan kursi kerja yang kosong di area depan kantor direksi.
Ada sebuah meja yang kosong, namun ada hal aneh bin ajaib. Sebuah post it warna kuning tertempel di atas Monitor, Keybord, Kursi dan...............kotak Tissue. Aku ambil salah satu post it tadi dan aku baca tulisannya "MILIK PRIBADI, JANGAN DIAMBIL".
Sambil menenteng post it aku dekati sang sekretaris, "ini maksudnya apa ya?", kataku penuh keheranan.
Yang ditanya bukannya menjawab tapi malah cengar cengir, seorang sekretaris direksi yang lain yang ikut mendengar pertanyaanku juga ikut tersenyum lebar.
"Yang punya merasa bahwa barang-barang itu miliknya dan tidak boleh dipinjam oleh orang lain pak".
"Bukannya barang-barang ini milik perusahaan yang dipinjamkan ke karyawan", kataku masih dengan heran.
"Itu menurut kita pak, kalau menurut yang bersangkutan tidak begitu, jadi saat mendapati kursinya dipinjam orang maka setiap kali cuti post it itu akan muncul!".
"Hua ha ha ha ha ha...............", aku ngak bisa menahan tertawa mendengar jawaban sang sekretaris.
Sambil mengembalikan post it pada tempatnya aku ambil beberapa lembar tissue diatas meja.
"Pak, entar ditanyain sama yang punya lho!" sambil bercanda karyawan yang lain berseru.
"Baguslah, bilang aja saya yang ambil. Kalau nanti dia marah, aku ganti dua dus deh", jawabku menutup pembicaraan.
Kelihatannya cucu Opung punya teman seorang manager untuk belajar bareng.

BSD City, 121210
Menikmati membelah Jakarta yang sepi (pada kemana ya semua orang?)
Eko Utomo untuk mereka yang suka berbagi.
15 to go

Bensin Oktan 'Takut' or Oktan 'Pengharapan'?

"Bou (tante), aku ngak berani pipis sendiri!", anak lelaki kecil itu memandang istriku dengan muka pucat dan takut. Sementara tangan kirinya memegang erat celana menahan kencing yang sudah mau keluar.

"Emang kenapa kalau pipis sendiri? kan kamar mandinya dekat?", tanya istriku kepada keponakannya yang sedang menginap dengan penasaran.

"Kata mami, kalau dikamar mandi suka ada setan!", anak kecil itu menjawab pertanyaan dengan muka yang kelihatan bergidik ketakutan.

"Emang kamu sudah pernah ketemu dengan setan?" kali ini tersungging senyuman di muka sang Bou.

"Belum sih, cuma aku sering lihat sama mami di film yang diputar di TV". Kami berdua saling berpandangan, masih terngiang kata terakhir yang diucapkan kakak ipar sebelum meninggalkan anaknya dirumah kami "Awas.........jangan nakal kalau dirumah Bou ya, kalau nakal kamu nanti digondol sama setan!".

***

"Thesa, ayo kerjain PRnya. Dari tadi kok main terus sih! tar kalau ngak belajar Thesa bisa ngak naik kelas lho!". Thesa yang yang dibilangin sama sang mama terdiam sesaat di depan pintu, masih dengan posisi satu kaki diatas scooter pink kesukaanya.

"Yang", aku panggil mama Thesa yang masih saling berpandangan beradu kekuatan mata dengan anak sulungnya.

"Apasih pa?" jawabnya singkat.

"Itu lho, bahasa yang kamu pakai terhadap Thesa mungkin harus dirubah sedikit agar lebih baik buat Thesa".

"Apa yang salah dengan ucapanku?" kali pertanyaan itu dilontarkan dengan urat leher sedikit lebih menonjol.

"Ngak ada yang salah, ucapanmu juga salah satu cara untuk memotivasi si cantik Thesa".

"Trus........", sang istri hapal bahwa penjelasan suaminya belum sampai ke titik.

"Cara memotivasi seperti itu mungkin akan membuat Thesa melakukan apa yang dibilang, tetapi berdasarkan ketakutan yang kita ciptakan, bukan karena apa yang dia inginkan".

"Hmmmm trus ucapan motivasi yang lebih baik bagaimana?", ini pertanyaan yang ditunggu-tunggu.

"Kalau yang kamu ucapkan tadi metodologinya Outside Inside, yang sekarang Inside Outside. Ucapanmu bisa dirubah sedikit seperti ini: Thesa ayo belajar sayang, biar Thesa jadi pintar dan naik kelas."

"Emang pengaruhnya apa pa, terhadap perkembangan Thesa?".

"Kalau dibiasakan dengan kalimat negatif yang berisi ancaman dan ketakutan, dimasa depan Thesa hanya akan "bergerak" kalau ada ancaman dan ketakutan. Menjadi orang yang reaktif daripada orang proaktif".

***

"Emang salah pak, kalau kita mendidik anak kita agar berbuat baik dengan menakut nakuti mereka dengan Neraka?", Jangkung salah satu anggota tim tiba-tiba bertanya saat makan siang bareng.

"Ngak ada yang salah Kung, namun cara motivasi seperti itu tidak akan pernah menghasilkan orang yang outstanding!".

"Maksud bapak?, saya kurang mengerti", alis Jangkung terangkat.

"Contohnya begini Kung, kamu bilang sama anak kamu: tidak boleh mencuri ya, kalau mencuri maka kamu masuk Neraka. Nah, apa yang akan dilakukan sama anak kamu agar tidak masuk Neraka?" aku balas bertanya.

"Ya tidak mencuri pak".

"Jawabanmu betul Kung, anak kamu akan berhenti di level itu karena sudah bisa memenuhi kalimat motivasi untuk tidak mencuri. Bagaimana kalau sekarang kita modifikasi cara motivasinya dengan motivasi yang lebih positif."

"Saya mendengarkan pak." tubuh Jangkung lebih mendekat tanda dia pingin tahu penjelasan berikutnya.

"Alih-alih tidak masuk Neraka, apa sih yang diinginkan dalam konteks positif?" tanyaku ke Jangkung kembali.

Mata Jangkung memandang kelangit langit mencoba menemukan jawaban, "masuk ke Surga pak!"

"Sip, jawaban yang tepat".

"Hmmm bedanya dimana ya pak?", Jangkung masih penasaran.

"Tidak mencuri agar tidak masuk neraka berhenti hanya sampai dilevel itu, sedangkan berbuat baik agar masuk ke surga merupakan unlimited action yang berlanjut terus tidak terbatas". Kali ini penjelasanku masuk di hati Jangkung.

"Dalam konteks pekerjaan Kung, orang yang berjalan dan berkativitas karena motivasi ketakutan akan menjadi karyawan yang medioker (pas pasan), sedangkan mereka yang bermotivasi positif dan berpengharapan akan tumbuh dan berkembang menjadi excellence dimanapun mereka berada", ucapan terakhirku diamini oleh anggukan kepala Jangkung tanda setuju.


BSD City,

Sabtu 11 Desember 2010

Eko Utomo untuk mereka yang selalu berpengharapan

16 to go

Membingkai (almarhum) mbah Marijan!

Lereng Manglayang, Bandung 2006

"Apa?, papa menolak kesempatan dipromosi 2x????". Tanpa harus ditafsirkan dengan buku primbon atau buku almanak jawa yang setebal bantal aku bisa melihat dari mukanya yang mecucu dan suaranya yang meninggi, wanita yang beruntung (atau buntung) aku kawini sejak 5 tahun yang lalu itu sedang sangat sangat very pretty kesal banget.

"Itu kapan terjadi?", pertanyaan yang masih mengandung kekesalan dan gemas terluncur dari mulutnya yang masih mecucu.

"Ya, sudah lama. Pertama saat aku ditawarin jadi Chief Ventilation Engineer tahun 2001 dan berikutnya saat ditawarin jadi Senior Officer HR tahun 2002".

"Kenapa papa menolak?" kembali pertanyaan bernada tuduhan yang diblender dengan kekesalan tercurah.

"Tawaran pertama aku tolak karena aku ngak suka jenis pekerjaan itu"

"Emang papa ngak bisa ngerjain pekerjaan itu?"

"Bisalah....itukan bagian dari salah satu kuliahku dulu, aku ngak terima memang karena aku ngak suka aja".

"Gimana sih kamu pa!" kembali komplain terlontar.

"Yang kedua aku ngak ambil karena aku merasa ngak etis meninggalkan ajakan oran lain dan berbelok demi pangkat dan promosi".

Hening menguasai gasibu yang aku bangun tepat diatas garasi rumah di Bandung. Sayup sayup terdengar rintihan daun bambu dipinggir komplek yang berdekatan dengan kampung penduduk. Istriku masih duduk diam memandang ubin gasibu, tarikan nafas dan kerut didahinya menunjukkan pikirannya sedang bekerja untuk mencerna informasi yang baru saja diterimanya. Suatu kondisi yang tidak semestinya kalau diukur dari kacamatanya.

"Terus kenapa sampai bertahun-tahun papa ngak cerita sama aku?" kembali nada suaranya naik setengah oktaf.

"Tar kalau aku cerita sama kamu pasti kamu marah," jawabku yakin.

"Ya, iyalah masak dipromosi dan naik gaji berjuta juta kok ditolak!". Jawaban istriku sangat manusiawi dilihat dari konteks seorang ibu yang merasakan cupetnya cash flow karena kesedot untuk bayar cicilan KPR.

"Nah itu dia, itu alasan kenapa aku ngak cerita sama kamu. Karena aku ngak mau terima tawaran itu namun aku ngak mau kamu uring-uringan".

"Dasar papa aja yang sok idealis!". Rupanya kekesalan ibu dua anak itu belum mengendap juga.

"Tapi kalau dilihat dari sudut pandang lain, keputusan itu menguntungkan lho ma".

Dengan tiba-tiba alis matanya terangkat tanda penasaran dan ketidakmengertian.

"Coba bayangkan", aku buru buru menyambung penjelasan.

"Kalau aku terima tawaran itu, emang benar gaji dan fasilitas naik cukup significant. Tapi disisi lain kita jadi makin tergantung dari apa yang kita dapatkan dari pangkat itu".

Istriku masih duduk diam mendengarkan.

"Karena tidak menerima tawaran itu maka aku terjun ke bagian leadership dan mendapatkan banyak pengalaman dari sana. Pengalaman dan kompetensi itulah yang membuat aku mendapatkan tawaran untuk kerja di Jakarta dan keluar dari dari pegunungan di ujung timur Indonesia itu".Aku pandang muka istriku dan terlihat kerutan didahinya sudah menguap.

"Atau kamu mau aku tetap kerja disana?" pancingku. "Dan ketemu kalian 5 minggu sekali?".

"Jangan dong pa!", hanya itu yang terucap dari mulutnya karena mukanya sudah terbenam dipangkuanku dan tangannya memeluk erat tubuhku.

***

Lereng Merapi akhir 2010

"Mbah Marijan meninggal!" kata pasanganku main tennis.

"Itu hukuman dari Tuhan untuk orang yang sombong dan menantang kuasanya!" sahut lawan main Tennisku dengan emosi tinggi.

"Tapi meninggalnya saat sujud!" pasanganku masih mencoba membela si mbah.

"Tetap saja dia orang klenik yang menduakan Tuhan!" suara penghakiman dari lawan main Tennis terdengat penuh kegeraman pada orang yang sudah mati ratusan kilometer dari lokasi kami main tennis.

"Mbah Marijin ditemukan meninggal", security di bagian depan meneruskan warta berita paling hot di akhir pekan itu ke sekelompok karyawan yang sedang ngisap rokok di teras kantor.

"Dasar orang ngak tahu diri aja, mau mati kok ngajak ajak orang lain", geram perokok pertama yang baju lengan panjangnya dilinting setengah bagai geraman serigala lapar.

"Tapi dia orang yang setia terhadap amanat pekerjaan", perokok kedua berkacamata membela.

"Setia dari Hongkong, seharusnya secara logika dia malah harus turun kebawah duluan agar warga sekitar mengikuti dia mengungsi" perokok pertama geramannya main keras.

"Dia itu pahlawan, yang tidak meninggalkan tugas seperti para anggota DPR dan pejabat pemerintahan", pendengar lain ikut nimbrung.

"Pahlawan kesiangan yang mati sia sia!" selak pihak yang kontra dengan emosi yang lagi lagi tinggi.

"Pak, mbah Marijan Pahlawan atau Pecundang?", seorang anggota tim mencegat langkahku sebelum masuk ke kantor kecil di pojok.

"Kamu sendirnya maunya menganggap dia sebagai Pahlawan atau Pecundang?", aku balik bertanya.

"Itu yang saya bingungkan pak. Ada banyak pro kontra diluar tentang hal itu" jawabnya sambil menggaruk kepala yang aku yakini tidak gatal.

"Oke, kalau kita hakimi si mbah sebagai Pecundang emosi apa saja yang muncul di pikiran kita?" tanyaku sambil meletakkan laptop diatas meja.

"Hmmmmm kesal, geram, marah, kecewa dll" garukan tangan diatas kepada berubah menjadi usapan didagu.

"Kalau mbah Marijan kita anggap sebagai Pahlawan, emosi apa saja yang akan muncul di pikiran kita?" tanyaku melanjutkan.

"Kagum, bangga, tercengang, terilhami, hormat dlsb".

"Nah, kamu mau memilih emosi mana yang akan menguasai dirimu berhari-hari tergantung dari dari pilihan sudut pandang yang kamu ambil sendiri", kataku sambil tersenyum dan mengangkat pantat untuk berjalan ke kantor kecil di pojok.

"Tapi yang benar yang mana pak?" masih penasaran dia rupanya.

"Ngak ada benar dan salah, yang ada adalah pembenaran sudut pandang yang kita pilih!" kataku meninggalkannya duduk termenung.

"Dan sekali lagi, jenis emosi mana yang akan kamu biarkan menguasi pikiranmu. POSITIF atau NEGATIF".


BSD City, 10 12 2010

Jumat malam yang tenang.

Eko Utomo untuk mereka yang senang membuat pilihan.

Kalah Pintar Always!

Blora 1985.

Pemandangan langka! bagaimana tidak dibilang langka kalau fenomena yang muncul di salah satu sudut kota Blora itu merupakan gabungan antara nafsu, semangat dan ketidaksabaran. Sebuah sepeda jengki tua ditungganggi sesosok tubuh tanggung kurus dan kecil remaja muda kelas 1 SMP. Badan yang baru mulai bertumbuh itu belum memungkinkan kaki untuk menggenjot sepeda dengan kaki melekat di pedal. Jadi setiap kayuhan akan diiringi oleh menggantungnya kaki diudara dan kemudian diikuti kayuhan kaki sebelah demikian seterusnya.

Bukan itu yang membuat pemandangan menjadi ganjil dan langka, si remaja tanggung naik sepeda tanpa melihat ke jalan didepannya. Hanya sekali-kali aja matanya melirik jalan didepan, 90% waktunya fokus ke buku kecil yang dia letakkan diatas stang sepeda. Sekilas terbaca sebuah komik berjudul "Pendekar Mata Keranjang" karangan sang Maestro Kho Ping Hoo.

Sebuah kantong plastik kecil tergelantung distang kanan. Setumpuk komik berjudul sama berhimpitan disana dan terayun kesana kemari oleh goncangan sepeda. "Hmmmm, moga-moga ibu ngak sadar kalau uang receh koperasi berkurang 100 rupiah dari dompetnya", remaja tanggung itu tersenyum simpul atas keberhasilannya nguntit uang yang kesekian kali dari dompet ibunya untuk sewa komik.

"Gubraaaaak!" kisah Hay Hay si Pendekar Mata Keranjang terbang berhamburan bersama debu. Sepeda yang ditunggangi menabrak lobang dan membuat kerangka sepeda jengki patah 2. Kepala benjut dan badan kiyut miyut terhantam aspal menjadi konsekuensi terjun bebas yang tidak direncanakan itu. "Alamak........penjelasan dari mana dan sedang apa sehingga sepeda bisa patah jadi dua harus segera dikarang untuk menjawab pertanyaan ibu nih", batin sang remaja sambil celingak celinguk mencari pertolongan abang becak untuk membawa sepedanya yang patah dua.

Karawaci 2010

"Iko, sebenarnya jawaban dari pertanyaanmu sederhana, yang perlu kamu lakukan adalah tinggal berfikir keluar dari penjara pikiranmu saat ini dan cari benang merah yang akan menuntun kamu pada terang pikiran yang menyoroti kegelapan persoalan ini", sambil tersenyum simpul Tomi melemparkan stimulus terakhir pada sesi coaching dengan Iko salah satu anggota timnya.

Iko memandang Tomi dengan sedikit terperangah! dari raut muka terpancar kekaguman dan sedikit penasaran akan jalan keluar yang ternyata sederhana. "Pak Tomi kok bisa bisanya terfikir ke sana ya?"

"Itu alasan kenapa gajiku lebih besar dari gaji kamu Iko", sambil bergurau Tomi menjawab lontaran penasaran Iko.

"Wah, kapan saya bisa mengejar kompetensi dan cara berfikir bapak ya?", kalau ini pertanyaan yang terlontar dihiasi oleh semangat untuk maju mengejar ketertinggalan baik ilmu, pangkat dan gaji.

"KAMU TIDAK AKAN PERNAH LEBIH PINTAR DARI SAYA IKO!".

Iko terdiam dan terkejut, pak Tomi tidak pernah sesombong ini selama lebih dari 2 tahun menjadi atasannya. Penuh percaya diri dan sedikit narsis memang iya, tapi kalau sombong kuadrat seperti ini bukan merupakan kebiasannya.

"Saat ini, kamu dibandingkan dengan aku lebih kompeten siapa Iko?", belum sempat mendapatkan penjelasan tentang gejala kesombongan boss, sudah keluar pertanyaan baru.

"Saat ini jelas lebih pintar dan kompeten pak Tomi", jawab Iko sambil sedikit mangkel karena disudutkan untuk mengakui dia kalah pintar.

"Bagaimana caranya supaya kita bisa tambah kompeten dan pintar?"

"Tentu saja belajar pak!"

"Praktisnya?"

"Mengerjakan proyek"

"Trus?"

"Minta pembimbangan dan coaching dari orang yang lebih jago".

"Trus?"

"Membaca buku".

"Good! berapa buku yang sudah kamu baca bulan lalu Iko?".

"Hmmmmm dua pak", sambil tersenyum malui Iko mulai dapat menebak arah pembicaraan sang boss.

"Kamu setuju kalau membaca buku merupakan langkah penting dan praktis untuk membuat kita makin pintar?".

"Setuju pak!" senyum Iko makin lebar.

"Bagaimana caranya kamu mau mengejar kompetensi dan kepintaran saya kalau kamu baca buku 2 perbulan saja gara gara saya wajibkan, sementara setiap bulan saya baca lebih dari 6 buku!".

Dan kali ini senyum Iko benar benar lebar karena habis kena skak dan sentil dari sang boss.


BSD City,

Best Part of Jakarta coret

09122010

Eko Utomo untuk para pecinta buku & ilmu

Ayo dicoba! coba ini, coba itu, coba teruuuuuus!

Jason dan Thesa, mojang bujang Bandung yang tinggal di BSD dan tumbuh besar di jalan Toll JORR Jagorawi sore tadi baru saja punya pengalaman baru, NONTON BIOSKOP. Ceritanya Thesa di hari libur tanggal 1 suro ini hendak diperkenalkan sesuatu hal yang baru dalam perjalanan hidupnya yaitu nonton film. Rencana aslinya sih Jason mau ditinggal dirumah berhubung dari hasil pengamatan si Tole gundul ini belum layak tayang untuk dicoba nonton bioskop. Papanya takut si Tole teriak teriak di bioskop seperti yang dia lakukan saat kesal dirumah. Namun akhirnya Tole diajak juga sesudah sang pendukung utama yaitu mama Tole menyatakan bahwa dia layak juga untuk diberikan kesempatan mencoba pengalaman baru, tidak hanya kakaknya.

"Monsteeeer..!" dengan reflek Thesa berteriak saat adegan tokoh antagonis tukang sihir menculik baby Rapunzel dari kamarnya. Papa Thesa yang duduk disebelah kanan tersenyum mendengar teriakan Thesa, suatu ekspresi khusus dari Thesa apabila sedang kesal dengan suatu karakter di playhouse disney dirumah. "Waaaaaaaaaaaa", Tole Jason yang sebelumnya duduk dengan tenang disaat yang bersamaan berdiri diatas kursinya, wajahnya terlihat takut dengan gambar penyihir yang memenuhi layar bioskop dan suaranya yang menyeramkan. Soundsystem di bioskop jelas berlipat efeknya dibanding di rumah. Segala usaha mamanya untuk membuat Jason duduk kembali gatot (gagal total), bahkan Jason lari keluar dari deretan bangku. Mama Thesa dan si mbak bergegas menyusul Jason dan membawanya ke Timezone disebelah bioskop sesuai dengan rencana yang sudah disusun dari rumah. Disebelah kiri, tangan Thesa memegang lengan papanya erat-erat. Matanya menatap lekat ke layar dengan muka setengah seram setengah senang. Percobaan selesai! setengah berhasil dan setengah menunggu dicoba dilain kesempatan untuk si gundul Tole.

Sore itu, sesudah puas main scooter Thesa minta makan ke AW. "Makan AW papa! ma Jason ma Mama" kata Thesa berusaha membujuk papanya. Nah, berhubung papa Thesa ngak tahan di bujuk oleh cewek cantik kutilang ini, maka beramai ramailah mereka pergi ke Teraskota. Saat pintu lift terbuka, bunyi musik yang keras menyambut mereka. Ternyata the Titans sedang pentas di panggung utama bahkan disiarkan live oleh Trans TV. Jason sudah ngeloyor ke tempat main di depan pintu utama sedangkan Thesa sudah duduk dengan manis menunggu AW orderan tiba dibawakan oleh mamanya.

Sepuluh menit berikutnya Thesa sudah selesai makan dan menyusul adiknya di tempat mainan. Dan papa mama akhirnya punya kesempatan makan di salah satu cafe sambil melihat penampilan the Titans plus presenter dan tim horenya yang kebetulan duduk disebelah meja mereka. Melihat polah tingkah tim hore presenter yang berbadan Rambo tetapi hati Rinto merupakan selingan yang lebih menghibur daripada melihat gaya presenternya sendiri. "Pulang yuk ma.....", the Titans jelas bukan group fave papa Thesa.

"Anak2 mana ma?" papa Thesa celingukan kesana kemari karena tidak melihat Thesa dan Jason di tempat mainan. "Pada kemana ya pa?" mama Jason bergegas mengeluarkan HP untuk kontak si mbak yang menjaga anak-anak. "Ma...lihat?" papa Thesa menggapai tangan istrinya sambil menunjuk arah kiri mereka. Tepat didepan panggung si gundul tole Jason dan kakaknya sedang asik menonton dan berjoged bak fans setia the Titans. "Wah.....ngak ngira di Jason ternyata senang nonton konser" mama Thesa bergumam sambil lari kecil mendekati kedua krucil yang lagi asyik bergoyang. "Buk, tadi Jason berdiri paling depan dan dia ngasih toss ke sang penyanyi!" warta berita dari simbak menyambut. "Mama......Ecen joged ma!" Thesa yang melihat papa mamanya datang ikut memberikan warta berita. "Ayoooo kita joged!", ngak mau kalah sama anaknya papa dan mama berjingkrakan didepan panggung bersama-sama.

"Pak Tomi, apa yang harus saya lakukan untuk bisa mengetahui potensi terbesar saya?" tanya ibu recruitment yang mengantar Tomi keluar dari ruang meeting menuju ke lift. Tomi tersenyum simpul sambil sedikit geli hati. Bagaimana tidak geli karena baru beberapa menit yang lalu dia baru selesai dinterview untuk keperluan sebuah posisi malah sekarang sudah dimintai konsultasi. "Mbak Reni, masih ingat cerita saya tentang bagaimana saya yang kuliah di teknik sampai bisa pindah ke HR?", Tomi balik bertanya. Peran sebagai coach benar benar sudah mendarah daging - menjawab pertanyaan dengan pertanyaan.

"Masih pak" jawab Reni sedikit bingung.

"Masih ingat dengan salah satu jendela Johari yang bernama UNKNOWN?", pertanyaan kedua dari Interviewee yang berubah menjadi Coach terlontar.

"Emmm masih pak!", dari wajahnya Reni jelas tampak makin bingung.

"Great........cara satu satunya untuk memperkecil jendela Unknown kita dan menemukan potensi diri kita adalah dengan cara MENCOBA dan MENGEKPLORASI hal baru", jawab Tomi sambil tersenyum. Reni sang rekruiter tampak tersenyum, moga moga senyum karena mendapat jawaban yang dibutuhkan.

"Makasih mbak Reni, saya tunggu kabar baik dari Anda", Tomi mengucapkan salam perpisahan sesaat sebelum masuk ke lift.

Saat Lift membawanya turun kebawah di layar HPnya Tomi membaca SMS dari mama Jason, "Pa, berhubung Jason sudah bisa diajak nonton konser, kita nonton Once manggung di Gading Serpong yuuuk".

BSD City, Tanggal satu Suro, 7 12 2010

Have a nice Dream

Eko Utomo for You.

GELAP MATA TULI TELINGA

Terbangun oleh suara petasan dari luar aku lirik jam dinding, 10 malam. Dekat pintu rumah kulihat sesosok tubuh sedang asyik dengan netbook. "Pa, ngak capek apa....kok online mulu?", papa Jason memang tidak pernah berubah sejak aku pertama kali berkenalan dengan dia lebih dari 10 tahun yang lalu. Tiap hari kerjanya membaca mulu, kemana mana pasti selalu menenteng buku. Yang paling menyebalkan....malam minggu saat apel jam 8 malam yang dilakukannya sesaat sesudah tiba di kostku adalah ngobrol kecil dan kemudian membiarkanku "nganggur", sementara dia asyik pacaran dengan buku dan komiknya. Jam 10 malam dia pamitan pulang. Kalau didefinisikan pacaran baginya mungkin adalah pindah tempat membaca buku dari tempat kostnya ke tempat kostku.

"Pa, tidur......tar sakit", aku coba ingatkan dia kembali. Sekarang dunia internet menyediakan bacaan yang tidak terbatas banyaknya bagi laki laki kutubuku yang sudah memberikan dua buntut kepadaku ini.

"Tar, dulu ma.....ini lagi asyik baca Kho Ping Hoo".

Hmmmm, betulkan....daur ulang membaca komik Kho Ping Hoo menjadi lebih mudah baginya sesudah adanya internet. Dulu pernah aku pikir bahwa dia lebih mencintai buku daripada diriku.

" Dor dor dor doooor suiiiiiiiit dor dor dor doooooooooor", suara keras diluar itu tidak berhenti, bahkan sepertinya makin keras. "Pa, orang sebelah membunyikan petasan lagi ya", kataku. Mister kutubuku terlihat sedikit mengangkat bahu dan menelengkan kepala.

"Sudah sejam mereka membunyikan petasan dan makin lama makin keras, ngak kapok mereka", papa Jason menggeremang dan kemudian kembali asyik dengan netbook.

"Dor dor dor doooooooor" suara menyengat telinga kembali menyerbu. Dua tahun yang lalu, dimoment yang sama dimalam pertama lebaran, keluarga pakde mbokde disebelah timur yang datang dari Semarang beramai ramai dari kakek, nenek, anak dan cucu membunyikan petasan selama lebih satu jam di depan rumah mereka dipinggir desa, dan sialnya yang menjadi korban polusi suara adalah rumah ibu yang persis disebelahnya. Dua tahun lalu pula, almarhum bapak mertuaku yang sedang sakit lever tidak tahan mendengar suara petasan, bangun dari tidur dan kemudian marah marah sambil menghadap ke timur......kearah rumah penyebar polusi udara. Saat itu papa Jason yang melihat bapak yang sedang sakit dan marah marah, bangkit dan kemudian berjalan ke timur. Dan sesaat kemudian bunyi petasan itu hilang. Waktu kembali masuk ke rumah dia bilang dia tegur gerombolan si berat untuk berhenti membunyikan petasan karena ada orang sakit. "Pakai marah marah ngak pa ngomongnya?" kataku pada waktu itu. "Ngak, aku ngomong baik baik kok ke mereka", Jawab papa Jason santai.

"Dooor doooor doooor suiiiiiiiiiiit doooor doooor dooooor dooooor suiiiiiiiit doooooor doooooor doooooor", "Oeeeeeeeeekk"......bunyi suara mercon diluar ditingkahi oleh bunyi tangisan Rebeca adik sepupu Jason yang tidur dibelakang.

"Dasar kampungan, ngak tahu aturan!" aku dengar mama Rebeca mencak mencak dikamar belakang berusaha menidurkan Rebeca kembali. Aku lirik dikamar tengah ibu mertua yang sedang sakit juga terganggu tidurnya. Papa Jason mukanya beralih dari layar netbook, pandangannya lurus kedepan dengan alis berkerut seakan akan sedang berfikir tentang sesuatu.

"Dooooor dooooor dooooor suuuiiiiit suuuuiiit dooooooor doooooor doooooor", "Dasar katrok" lha kok makin lama makin keras?".

"Biarin aja ma, inikan sudah sejam mereka main petasan, pasti sebentar lagi habis stoknya!" papa Jason kembali asyik dengan netbooknya. Kelihatannya dia sudah bisa menghilangkan emosinya yang tadi sempat terlihat naik.

"DOOOOOOOOOOR"

Tepat diatas rumah kami bom meledak! aku masih sempat mendengar Rebeca yang kembali terbangun dan menangis keras di belakang. Aku juga sempat melihat ibu mertua yang sedang sakit tiba tiba terbangun langsung berdiri (yang dalam kondisi normal butuh waktu 2 menit) sambil marah marah dan aku sempat mendengar rengekan Thesa dan Jason yang tiba-tiba ikut terbangun. Namun bukan itu yang menjadi perhatianku, yang aku lihat adalah papa Jason yang tiba tiba berdiri dan langsung lari keluar rumah!

"DIAAAAAAAAAAAAAM! KALIAN BISA DIAM NGAK! APA PERLU AKU YANG MENDIAMKAN KALIAN!". Aku kaget............mungkin lebih kaget dibandingkan mendengar bom yang jatuh diatas rumah. Papa Jason dengan celana pendek dan kaos singlet berdiri ditengah jalan menghadap kearah timur dan berterik keras sekali, teriakan yang sangaaat keras, mungkin terdengar diseluruh dusun.

"Pendatang aja Sombong..........kamikan sedang merayakan lebaran, masak dilarang larang!" aku dengar suara perempuan dari gerombolan orang-orang disebelah timur!"

"NGAAAAAAAAK PEDULI! KALAU KALIAN TIDAK BISA BERHENTI MAIN PETASAN AKU YANG AKAN MENGHENTIKAN KALIAN. AWAS KALAU TERJADI APA APA DENGAN IBUKU KALIAN AKAN AKU SERET KEPENJARA!", darahku tersirap, 13 tahun kenal dia baru kali ini aku lihat emosinya sedemikian tinggi! Master NLP itu tidak bisa mengontrol diri. Dari barat orang-orang mulai berdatangan karena bunyi petasan dan teriakan papa Jason.

"Dasar sombong, terserah kami dong!" suara perempuan dari arah timur itu kembali menyahut. Gelap malam hari yang hanya diterangi oleh neon kecil membuat tidak kelihatan muka orang yang berbicara.

"TERSERAH KALIAN, SEKALI LAGI PETASAN BUNYI, AKU TUNTUT KALIAN......KALAU MAU MAIN PETASAN SANA DITENGAH SAWAH" papa Jason menjawab sambil berteriak tidak kalah kerasnya.

Segera aku berlari kearah timur, aku takut papa Jason kena serangan jantung atau stroke atau darah tinggi, anak-anakku masih kecil, kami sangat membutuhkan dirinya. Aku hampiri orang-orang ditimur itu. "Maaf ya mbak, maaf. Iya memang kami pendatang dan sombong tapi mohon maaf, bisa ngak berhenti main petasan. Ibu sedang sakit dan tadi kaget sekali dengan bunyi petasan. Maaf ya mbak, iya kami memang sombong mohon dihentikan pertengkaran ini". Aku sudah tidak peduli dengan kata kataku, yang ada dikepalaku adalah minta maaf kepada mereka agar mereka menyudahi perang mulut dengan suamiku. Aku takut melihat suamiku yang sedemikian emosi nanti kenapa kenapa.

Waktu kembali ke barat dan masuk rumah aku lihat suamiku tadi baru saja meledak bak petasan itu sudah kembali didepan netbooknya. Tiada sisa emosi dan ketegangan di wajahnya. Hmmm, pasti dia pakai teknik "buang emosi" ala NLP.

"Kamu kenapa pa? aku takut.....baru pertamakali ini aku melihat kamu seperti itu" aku bertanya sambil duduk disebelahnya. Kepala dengan rambut yang mulai menipis itu menoleh sambil tersenyum, "aku jengkel saja ma, peristiwa 2 tahun lalu terjadi lagi. Mereka benar benar tidak tahu diri" jawabnya sambil tetap tersenyum.

"Aku takut pa, kamu tidak pernah seperti ini. Biasanya kamu bisa mengontrol emosi kamu dalam kondisi apapun".

"Mungkin karena aku terlalu kawatir dengan kondisi ibu", jawabnya santai.

"Ada yang menarik ma!".

"Apanya yang menarik?" aku bertanya dengan kebingungan. Orang-orang masih bergerombol diluar, lha ini aktor utama kok malah asik sendiri mencerna peristiwa dibabak utama.

"Tadi, saat emosiku sedang meledak, aku merasakan adrenalin yang mengalir disekujur tubuh. Dalam beberapa detik dunia menyempit, yang ada hanyalah mereka. Kemudian semua suara hilang, yang ada hanyalah suaraku dan suara mereka!", aku diam mendengarkan walau tidak mengerti apa maksudnya.

"Itu mungkin yang dinamakan GELAP MATA TULI TELINGA" papa Jason mengakhiri penjelasannya dan kembali kelayar komputer. Kondisi dimana tiada jeda antara Stimulus dan Response. "Mungkin lain kali aku memang harus lebih tenang dan tidak perlu menyempitkan duniaku untuk menghadapi mereka. Karena jeda yang tidak hadir saat stimulus masuk akan menghadirkan response yang tidak matang".

"Tenang pa, kamu punya teman si TUMPUL RASA", kataku menghiburnya.

"Siapa?"

"Mereka", dan kami berdua tertawa.

"Kok, kamu dibilang pendatang pa?" aku bertanya pertanyaan lain yang aku mengherankan aku.

"Biarin aja, ma. Lha aku lahir dan besar sampai SMA di sini kok. Mungkin definisi pendatang lain dimata mereka!."

"Dooor dooor dooor" petasan itu berbunyi kembali, sudah tidak terdengar keras lagi karena gerombolan ditimur itu pindah lokasi jauh ketengah sawah.

"Tolong itu disusul mbah Warno", seseorang berteriak dari arah barat. Aku lihat mbah Warno Putri, tetangga depan rumah kami sedang mencincing (mengangkat) jariknya tinggi tinggi dan setengah berlari ketimur.

"Lha mbah Warno yang sudah tua dan setengah tuli aja protes kok," suara seseorang dari arah barat terdengar.

BSD City, 8 Okt 2010.

Menunggu peralihan hari.

Remembering lebaran hari pertama

Note dari sudut pandang mama Tesa

EU for U

Menyeberangi sungai banjir

Warna air itu coklat tua dan keruh, mengingatkan Tomi akan susu kental manis yang dijual di toko pojok pasar. Sejauh mata memandang yang dilihatnya adalah gelegak air coklat tua yang bergemuruh yang seperti terburu buru untuk lari ke tujuan yang tidak Tomi ketahui. Sungai Lusi seperti musim hujan tahun sebelumnya penuh dan hampir meluap. Sungai yang melewati belakang SD Tambahrejo 1 Blora dimana Tomi menjalani kelas 3 ini selalu bergairah memanggil Tomi dan teman temannya untuk bermain. Pada musim kemarau, lebar sungai yang berisi air dari pegunungan Kendeng tidak lebih dari 5 meter lebarnya. Musim kemarau merupakan kesempatan bagi Tomi and the gank untuk mencari udang kecil dan kerang yang berserakan didasar sungai sambil sekalian mandi. Mandi saat kemarau sangat menyenangkan, sungai menjadi dangkal dan relatif bening. Pasti akan lebih menyenangkan asal dari arah hulu tidak membawa ranjau warna kuning yang dengan sengaja dilepas oleh orang di bagian atas dengan semena-mena.

Kali ini lebar sungai Lusi lebih dari 10 meter, sekali lagi Tomi memandang gemuruh sungai Lusi yang mengelegak, sesekali dilihatnya ranting pohon bahkan batang pohon pisang hanyut dibawa oleh derasnya sungai.

"Tomi, ayooooooo nyebur cepet, ini kami sudah dapat batang pisang!".

Dilihatnya Heri, salah satu teman mainnya sedang melambaikan tangan dari kejauhan. Pagi tadi disekolah mereka sudah berjanji untuk mandi di sungai. Kali ini dalam kondisi sungai banjir, biar lebih seru berenangnya demikian kesepakatan 4 anak usia 10 tahun itu.

"Tomi, sini......kita adakan perlombaan!"

Kali ini Parmin yang berteriak dari tepian sungai yang sedang banjir.

Untuk sejenak Tomi ragu, terngiang ditelinganya pesan dari ibu dirumah "Tomi, kalau sungai lagi banjir jangan mandi di sungai ya".

"Tomi, cepat...kamu mau mandi ngak sih?"

Sekarang Panjul yang dahinya nonong itu yang berteriak. Seketika kalimat ibu dirumah hilang kata "jangan" menjadi "Tomi, kalau lagi banjir mandi di sungai ya!". Tomi segera menghambur ke tepian sungai.

"Apa yang akan kita lakukan", sambil setengah berteriak Tomi melepas baju yang dia lemparkan di gerumbul semak dipinggir sungai sambil bergegas mendekati tiga orang temannya. "Kita lomba menyebrang Tom!", Heri memberikan usul.

"Oke, aku sama Panjul satu tim dan kamu sama Parmin satu tim ya Her!" dan tiga anak yang lain mengangguk menandakan persetujuan mereka. Sungai Lusi yang sedang marah dan sering makan korban itu tidak masuk sama sekali dalam perhitungan mereka. Yang mereka tahu Lusi adalah sahabat mereka, teman mereka bermain setiap siang sepulang sekolah.

"Satu, dua, tiga.................".

Tomi & Panjul bergegas menjatuhkan batang pisang ke sungai bersamaan dengan Heri dan Parmin yang melakukan hal yang sama. Mereka berpegang erat pada batang pisang dan mencoba memotong arus sungai. Namun sungai Lusi musim hujan berbeda dengan sungai Lusi musim kemarau. Arus yang deras membuat mereka hampir tidak dapat maju, yang ada adalah derasnya arus yang menyeret mereka kearah muara. Lebih dari 10 menit dua tim dengan dua anggota selalu gagal untuk memotong sungai, dan mereka harus selalu kembali ke tepian.

"Panjul, kita ganti strategi", Tomi berbisik di telinga Panjul.

"Kita jangan motong arus, awake dewe ngeli nyerong wae (kita mengikuti arus sambil berenang nyerong)", Tomi menjelaskan strategi barunya ke Panjul.

"Tapi nanti kita keli adoh (hanyut jauh) Tom!" Panjul mengungkapkan ketidaksetujuannya.

"Ben wae, sing penting tekan sebrang terus mlayu mbalik neng target (biar aja, yang penting sampai ke sebrang terus kita lari ke tujuan). Tomi berhasil meyakinkan Panjul. "Byuuuuuur" segera mereka berdua kembali masuk ke sungai, kali ini sambil pegangan batang pisang mereka tidak berusaha melawan arus Lusi namun mengikuti tarian Lusi sambil mencoba menyerong. Setelah dengan sukses minum susu coklat made in sungai Lusi dua tegukan, Tomi dan Panjul mendarat di tepian sebrang sungai 100 m dari titik target. Kali ini mereka tidak mempedulikan batang pisang yang hanyut dan bergegas lari ke titik target. "Horeeeeeeeeee kita menang!" kolor mereka yang basah dikibarkan diatas kepala sambil menjulurkan lidah kepada Heri dan Parmin yang masih berkutat ditepian disebrang sana, sebagai anak kelas 3 SD telanjang di sungai sangat halal hukumnya.

***

Tomi memandang di kejauhan, dejavu menyebrang banjir sungai Lusi muncul di sudut ruang imajinasinya. Beda waktu hampir 30 tahun merubah luapan air banjir sungai Lusi dengan luapan mobil yang mengalir tiada henti. Sungai yang bernama jalan raya Serpong itu penuh dengan mobil menderu dan klakson yang menyalak tiada beda dengan suara gemuruh air banjir sungai Lusi. Tomi tenggelam, tidak pada banjir mobil di jalan raya Serpong tetapi pada lamunan imajinasinya. Sudah setahun target penting dalam kehidupannya belum bisa tercapai juga. Berbagai macam cara dia coba namun selalu gagal. Desah tarikan nafas panjang Tomi menyaingi klakson di luar sana.

"Tiiiiiiiiiiiiiiiiiiin", klakson truk pengangkut tanah dibelakang membuyarkan lamunannya akan target yang sulit dicapai itu. Banjir mobil diluar kembali mengingatkan Tomi akan banjir sungai Lusi.

"Eurekaaa" teriak Tomi sambil menepuk setir mobil.

"Aku harus ngeli nyerong!", dan Tomi tambah tidak peduli dengan macet diluar.

BSD City, 05 Oktober 2010

Close to midnight

EU for U

Kado Cinta untuk Tesa dari para sahabat........

Ruang kelas itu riuh..............Tiga puluh kurcaci kecil pemilik masa depan menjajah kelas yang biasanya hanya berisi 15 orang. Kali ini 2A dan 2B bergabung menjadi satu, 4 guru tetap dan 4 guru bantu mencoba menenangkan anak-anak yang berlarian kesana kemari. Siang itu jam 11.30 mereka tidak langsung bubar dari kelas seperti biasa, guru kelas memberikan pengumuman bahwa siang ini mereka akan merayakan ulang tahun teman sekelas mereka Thesalonika Putri Utomo yang ke-8, anggota kelas khusus, special need student dikelas inklusif mereka.

Didepan kelas, gadis kecil cantik itu matanya bercahaya. Sebentar bentar dia memegang gaun putihnya yang berkilau ditimpa sinar matahari siang yang mengintip dari pojok jendela. Dipunggungnya menempel sayap malaikat yang khusus dibelikan oleh mama sesuai dengan pesanan Tesa. Senyumnya yang lebar dan memancar keseluruh ruangan mengiringi tangan kanannya yang terayun tiada henti pada sebuah magic wound (tongkat sihir) pasangan dari sayap malaikat. Mungkin ia ingin menyulap agar waktu berhenti dihari ulang tahunnya.

Dibagian kiri ruangan kelas, mama Tesa sibuk membagikan kue ulang tahun untuk anak anak yang sudah mengular antri didepannya. Sesekali tatapan matanya beradu dengan tatapan mata buah hatinya yang sedang berulang tahun. Mama tahu, mama bisa membaca dan mendengarkan mata Tesa berkata "aku senang dan bahagia mama....., terimakasih untuk acara ulang tahun ini". Gadis cantik itu sudah tambah dewasa, speach delay tidak menghalangi Tesa untuk menemukan masa kecil yang indah bersama dengan teman teman SD Penuainya. Ketidakmampuan untuk membaca dan menulis seperti teman teman yang lain tidak menjadi penghalang mereka untuk berbagi ceria di ulang tahun Tesa, setiap hari dan khususnya hari ini. Tesa tahu bahwa teman temannya mencintai dia seperti apa adanya dia.

"Anak anak, ayo.......sebelum pulang kita berdoa untuk Tesa", Ibu guru Sinta memberikan komando kepada pasukan kurcaci yang segera berdiri dengan posisi siap berdoa. "Tesa yang pimpin doa ya sayang!".

Mama Tesa sedikit kaget mendengar perintah bu guru tadi, hatinya berdebar saat anak sulungnya dalam pakaian malaikat bersayap berdiri maju sedikit ke depan dan dengan lantang berkata "mari kita berdoa!". Diliriknya 30 kurcaci kecil teman sekelas Tesa, semua berdiri dengan tangan berlipat. Semua diam menunggu "aba aba" dari pemimpin doa.

"Tuhan Yesus......." bibir Tesa mulai berbicara.

"Tuhan Yesus......." 30 bibir kecil dan 9 bibir besar menirukan serempak.

"Ulang tahun mbak Esa" bibir Tesa kembali bergerak.

Hening................tidak ada mulut yang menirukan, ketidaklengkapan kalimat membingungkan mereka. Mata mama Tesa melirik kedepan dan kemudian dia mengulang sendiri dengan keras.

"Ulang tahun mbak Esa"

"Ulang tahun mbak Esa" 30 bibir kecil dan 8 bibir besar mengulang

"Sudah selesai" kembali bibir Tesa bergetar

"Sudah selesai" yang lain menirukan

"Pulang berkati dijalan" Tesa memimpin

"Pulang berkati dijalan" 39 bibir menirukan

"Amin" Tesa menutup

"Amiiiiiiiiin" yang lain menirukan dengan kencang.

Senyum cinta, kasih dan sayang menggantung di 30 bibir kecil para sahabat. Mereka yang menerima Tesa dengan tangan terbuka, bibit bibit pemimpin masa depan yang sedang menumbuhkan EQ tentang penerimaan dan empati, pelajaran yang kata papa Tesa dipelajari para pemimpin masa kini dengan harga mahal.

Disudut mata mama Tesa menggantung setetes air mata, sambil menyeka air mata cinta dia berkata ke pada para kurcaci 'Terimakasih anak-anak untuk doanya kepada Tesa, Tuhan memberkati kalian semua".

BSD City,

Happy Birthday my Love

You are always my shining star.

27 September 2010

Kiri dan Kanan (Hereditas in Action part 2)

Pagi yang kemrungsung (tergesa gesa)................bagaimana tidak kemrungsung kalau semua penghuni rumah kalang kabut mau pergi beraktivitas dan mendapati bahwa banyak hal ternyata harus dikerjakan sendiri. Biasanya asisten berpengalaman kerja 4 tahun itu yang melakukan banyak hal, namun godaan dari headhunter dan calon user baru membuat kami rela tak rela harus melepaskannya.

"Pa, tolong pakaikan baju anak-anak", ini adalah jenis order yang tidak bisa dibantah atau istilah lainnya adalah sabdo pandito ibu kuoso. Dengan segera aku raih dua set baju yang tergeletak di atas meja. "Mbak Tesa pakai baju sendiri ya sayang? papa tahu kamu bisa!" sedikit merayu aku coba meringankan pekerjaan. Namun mata Tesa tidak lepas dari Cebebes di layar kaca, sinyal bahwa Tesa sedang M, malas untuk pakai baju sendiri. Sesudah adegan kejar mengejar dengan Jason akhirnya Tesa mendapat giliran untuk memakai baju seragamnya. "Pa, jangan lupa pakaikan kaos kakinya juga!" siap grak........kataku sigap. "Jangan lupa sekalian suapin Jason!" order yang lain meluncur dengan dengan kecepatan yang tidak kalah dari proses produksi ban berjalan di pabrik Astra di Cakung sana.

"Sudah jam 6.30, ayo berangkat!", bak Kapten Winters di miniseri Band of Brothers mama Tesa memberikan komando kepada dua orang anggota kompinya. Berhubung, kapten yang satu ini cerewet dan rada rada galak maka private (prajurit) Tesa dan private Jason segera melaksanaan perintah dan menghambur ke luar rumah. "Ayo, pakai sepatunya!", sebagai CO (Commanding Officer) mama Tesa jelas memiliki modal, paling tidak suara yang keras dan tinggi hasil latihan sebagai soprano saat masa masa aktif dipaduan suara dulu.

"Tesa......! bagaimana sih, masak kamu tidak bisa membedakan kiri dan kanan?", suara sang CO makin meninggi melihat prajuritnya salah pakai sepatu. Sang prajurit yang dibentak berhenti bekerja, tahu bahwa ada kesalahan yang sudah ia buat, dengan segera ia menggerakkan sepatu kiri kesebelah sepatu kanan. Kemudian prajurit Tesa mengambil sepatu yang satunya untuk dipakai ke kaki kanan. "Tesa............lha kok salah lagi to? ini namanya sepatu kiri untuk kaki kiri, dan ini sepatu kanan untuk kaki kanan!, kamu sudah 7 tahun kok masih salah pakai sepatu gimana sih!", kapten mama Tesa jelas kelihatan marah atas kelakuan prajurit kecilnya.

"Ma, sudahlah.....Tesa kan memang belum begitu bisa membedakan kiri dan kanan" kataku mencoba membela Tesa.

"Papa ini gimana sih, coba lihat tuh.....Jason yang lebih muda sudah bisa membedakan mana kiri dan kanan kok. Aku diam saja agar darah kapten mama Tesa tidak makin naik karena merasa dilanggar wewenang dan otoritasnya terhadap anggota kompinya.

***

Mobil Peugeot 307 SW warna biru meluncur keluar dari parkiran ITC BSD. Sore hari ini kami mau ngak mau harus beli mesin cuci yang ada pengeringnya, buntut dari resign asisten ternyata cukup panjang dan tidak selesai selesai. Keluar dari gerbang ruko dimana kami parkir aku mengarahkan mobil kearah kanan, "pa, kok kekanan sih? bukannya kita harus ke kiri?" mama Tesa yang duduk disebelah berkomentar. "Kan untuk keluar musti lewat kesini!" jawabku kalem. "Salah ini pa, kita harus kekiri, aku kan yang sering datang kesini" kali ini Kapten mama Tesa mulai keluar ngototnya. "Aku kan yang nyetir ma, biar kita lihat saja nanti", jawabku sambil sedikit senyum simpul.

"Tuh, lihat.....bener kan apa yang aku bilang", gerbang keluar tampak didepan kami. "Akukan sudah beberapa kali bilang ma, kamu ini memiliki kesulitan dalam spatial visual thinking, sehingga sering tersesat dan susah membayangkan posisi ditempat yang baru dan ditempat yang mirip mirip. Ingat ngak tadi saat nyari konter perbaikan modem diatas? kamu juga kesulitan menemukan konter itukan? hanya gara-gara masuknya lewat elevator yang berbeda?" aku lirik cewek langsing di sebelahku ini kelihatan berfikir dan bisa menerima pendapatku. "Kesempatan untuk masuk nih" bisikku kepada diriku sendiri. "Nah, kesulitan dalam spatial thinking salah satunya adalah kesulitan untuk membedakan antara kiri dan kanan ma, seperti yang dialami oleh Tesa," aku berhenti sejenak sambil sekali lagi melirik melihat reaksi disebelah kiriku. "Tesa butuh waktu dan mengembangkan cara yang lain untuk bisa membedakan kiri dan kanan, dan tugas kita untuk menerima kondisinya dan membantunya untuk berkembang!", tidak ada komentar dari bangku sebelah sampai kami sampai didepan rumah.

"Tesa, kalau main scooter copot sepatunya dan ganti pakai sendal", mama Tesa berkata kepada Tesa dan Jason yang begitu turun dari mobil buru buru menyambar mainan mereka. Tesa segera mencopot sepatu dan mengambil sandal di rak. "Thesa..........sendalnya terbalik ................sayang" nada suara yang semula mau naik berbalik arah. Mama Tesa mendatangi anak sulungnya itu dan membantunya untuk menukar kiri dengan kanan dan sebaliknya.

BSD City,

26 September 2010

Hujan tiada henti

Invasi (suara) dari (anak) Tetangga!


"Buka dulu topengmu.............buka dulu topengmu"....suara keras sember yang bergaya bak Ariel Peter Pan itu menerjang dan menginvasi rumah kami. Suara nyanyian dengan kekuatan 100 desibel didorong oleh angin jam 11 malam jelas mampu untuk mendobrak dimensi mimpi Jason Utomo. Jason si gilung gindut birong yang sudah dengan susah payah ditidurkan segera merengek rengek karena tidak menyangka mimpi main scooternya diterjang oleh suara sember dari luar. Saat itu kami baru datang ke Bandung untuk berlibur weekend dan melarikan diri dari pengabnya Jakarta. Jendela dan pintu rumah kami buka lebar untuk menghilangkan bau penguk rumah yang sudah 2 minggu tidak dihuni.

"Anjriiit........aing tek nyangka loe bisa nyanyi juga!" ucapan keras ini susah didefinisikan sebagai pujian, makian atau amarah. Tapi yang jelas ucapan ini kembali menjajah teritori rumah kami di jam 11 malam! Suara itu menyebrangi jalan didepan rumah, menerobos pagar, menyelinap di petak kebun depan rumah dan kemudian berak persis di ruang tamu kami.

"Pa, kita musti bertindak!" mama Jason si boru Tampubolon yang sedang membenahi kamar tidur mendadak berhenti bekerja dan mendekatiku yang sedang memasang decoder Indovision.

"Bertindak apaan sih ma?" walau sudah menduga arah pembicaraanya aku pura pura tidak tahu.

"Anak anak diluar itu! mereka pikir dunia ini milik mereka apa? masak jam 11 malam begini masih genjrang genjrang ngak jelas! mending kalau merdu. Udah suara jelek, berisik lagi!" kulihat alis mata mama Jason sudah hampir bertemu.

"Terus maumu apa?" kataku sambil mencoba menghidupkan TV dan mencari channel ESPN.

"Mereka itu kan bukan anak RT sini, aku tahu persis mereka anak RT sebelah. Kenapa mereka ngak bikin ulah di rumah mereka sendiri? pasti karena dimarahi orangtuanya kan? nah kita harus dengan tegas bilang ke mereka untuk tidak membawa kegaduhan di RT ini!" senapan serbu AK 47 buatan Rusia jelas kalah angin dibandingkan dengan serbuan kalimat dari mulut mama Jason.

"Terus mama mau ngapain" kataku tetap dengan gaya coach yang menggali informasi dari coachee.

"Aku akan datangi anak anak itu!"

"Bentar bentar ma, kamu mau datangin terus mau kamu apain ma?"

"Tenang pa, walau lagi jengkel aku masih ingat dan masih bisa membedakan antara komunikasi Asertif dan komunikasi Agresif!"

"Wuuuih keren nih bini gue" kataku cengengesan. "Coba jelaskan bedanya ma!"

"Dasar Coach! bukannya papa yang ngajari aku. Tenang pa, aku ngak bakalan ngajak anak anak kecil itu berantem. Aku hanya dengan tegas akan bicara ke mereka bahwa AKU TIDAK SUKA mereka main gitar dan teriak teriak malam hari menganggu tetangga" belum selesai kalimatnya, mama Tesa sudah turun tangga.

"Jreeeeeeeeeeeeeng gelooo", dan kemudian sunyi. Sesaat sesudahnya yang terdengar adalah bunyi motor yang dinyalakan dan kemudian sunyi. Dari bawah tangga terdengar langkah kaki mama Tesa.

"Kamu apain mereka ma?" kataku penasaran melihat akibat yang ampuh dan seketika itu.

"Gampang, aku dekatin mereka dengan senyum lebar, kemudian aku bilang ke mereka untuk segera pulang kerumah masing masing. Kalau mereka ngak pulang juga aku bilang akan laporkan ke orangtuanya dan ke pak RT karena menganggu ketentraman!".

"Gue pikir loe maki maki dan ngajak perang anak anak itu ma" sahutku.

"Ngak level pa, masak berantem sama anak anak SMA!, tapi kita memang musti tegas dan asertif ngomong ke mereka bahwa mereka telah menganggu kita".

"Keren bok! kayaknya loe lebih keren dibandingkan presiden nih".

"Kalau itu jangan ditanya pa, makanya aku ngak pernah nyoblos beliau!"

BSD City

City of Hope

5 September 2010

Doa si kecil Tomi


Sebagai orang tua yang menjunjung tinggi Pancasila maka bapak dan ibu Tomi tidak hanya memberikan pendidikan tentang hal hal yang bersangkutan dengan kehidupan duniawi tapi juga hal hal yang bersifat sorgawi. Sesuai dengan Pancasila sila ke-1 Ketuhanan Yang Maha Esa, maka petatah petitih dan nasehat tentang Tuhan, ketuhanan dan perilaku rohani menjadi menu sehari-hari yang disantap oleh Tomi disamping nasi dengan lauk telor asin seperempat bagian kesukaanya.

"Tomi, Tuhan itu maha pengasih dan penyayang. Dia mengasihi umatNya yang taat menjalankan perintahNya!"

"Kalau begitu Tuhan itu baik ya buk?" si kecil Tomi yang duduk dikelas 3 SD balik bertanya.

"Iya, Tuhan itu baik. Karena itu Tuhan akan mengabulkan umatNya yang memanjatkan doa."

"Oooo, jadi kalau kita menginginkan sesuatu maka kita bisa minta kepada Tuhan dengan berdoa ya buk?" tanya Tomi mencari kepastian kepada ibunya.

"Betul Tomi, maka rajin rajinlah berdoa agar keinginan dan cita2mu tercapai", jawab ibu Tomi sambil mengelus kepala anak sulungnya.

"Asyiiiik, Tuhan bakal mengabulkan semua doa doaku", pikir sikecil Tomi mengambil kesimpulan dari sudut pandang yang menyenangkan bagi dirinya.

***

Pagar kayu disamping lapangan bulutangkis itu sungguh tinggi. Mungkin tingginya hampir 3 meter! Dari sela sela jalinan kayu yang tidak rapat itu, Tomi bisa mengintip kedalam halaman belakang pemilik pagar. Halaman yang cukup luas, penuh dengan tanaman dan pohon buah-buahan. Ada juga rumpun tebu yang sudah cukup tua bertebaran di halaman itu. Namun bukan tebu yang menjadi perhatian Tomi, tapi pohon mangga cengkir! Ya, mangga cengkir. Dari lapangan bulutangkis Tomi bisa melihat gerombolan mangga yang sudah semburat kuning, menandakan bahwa mangga diatas pohon sudah matang dan siap dinikmati oleh siapa saja. Banyaknya mangga yang matang di pohon menandakan bahwa pemilik mangga mungkin sudah bosan makan sehingga membiarkannya matang dipohon dan jatuh ke tanah, demikian pikir Tomi penuh keyakinan.


Kembali Tomi mengintip dari sela-sela pagar kayu.......sepi. Jam 2 siang yang panas membuat orang malas untuk keluar rumah. Aman.............bisik Tomi. Segera diambilnya sebutir batu sekepalan tangan. 'Tuhan, tolonglah aku agar batu ini bisa kena mangga diatas sana", demikian Tomi memanjatkan doa dengan khusuk. "Suuuuit tuuuk kreseeeek bluuug" dalam sekian detik batu yang dilempar Tomi menjatuhkan 3 mangga dari tangkainya.Tomi menunggu dengan tegang, sambil mempersiapkan diri untuk kabur sewaktu-waktu. Hening...........aman. Kembali diintipnya posisi mangga yang sudah jatuh didalam kebun. Sekarang saatnya pekerjaan yang lebih berat menanti, memanjat pagar kayu setinggi 3 meter.

Sebagai insan yang taat dan religius kembali Tomi berdoa, "Tuhan, terimakasih telah membantuku melempar mangga diatas pohon, terimakasih juga untuk membuat pemilik rumah tidak mendengarkan batu dan mangga yang jatuh. Kali ini Tuhan, aku ingin memanjat pagar ini, tolonglah hambamu ini agar tidak ketahuan dan dapat mengambil mangga dengan selamat". Dengan hati hati Tomi memanjat pagar kayu, dengan susah payah akhirnya badan kecil itu sampai keatas pagar. Aman dan sepi.............kelihatannya Tuhan membuat semua orang tidur siang saat ini. Perlahan lahan Tomi turun ke halaman dan mengambil mangga hasil lemparan. Sebelum memanjat pagar kembali Tomi melirik ke pintu belakang pemilik rumah, aman........tidak ada satu orangpun yang keluar dari sana. Dengan bergegas Tomi kembali memanjat pagar kayu.

Sesaat kemudian Tomi sudah sampai diatas pagar, didalam kaosnya terasa 3 buah mangga mengganjal perutnya. "Terimakasih Tuhan, engkau telah mengabulkan doaku" bisik Tomi sambil tersenyum."Heiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii, siapa itu! Turuuuuuuuuuuuuuun kamu!" suara yang menggelegar mengagetkan Tomi yang baru saja mengucapkan amin atas doanya. Ketakutan setengah mati Tomi bergegas turun ketanah. "Bruuuuug" karena tergesa-gesa Tomi jatuh dan dahinya benjol terbentur pagar kayu. Tanpa menghiraukan benjol didahi dan kiyut miyut rasa yang ditimbulkan Tomi lari dengan kecepatan 100 km/jam, terbirit-birit meninggalkan rumah berpagar kayu. Sesudah aman Tomi berhenti.

Sebagai anak yang religius kembali Tomi memanjatkan doa. "Tuhan, terimakasih telah menyelamatkan aku dari marabahaya tertangkap pemilik rumah. Tapi, Tuhan kenapa doaku agar aku dapat mengambil mangga itu cuma separo yang Kau kabulkan" keluh Tomi didalam doanya. Tiga mangga yang dia ambil, jatuh kembali kehalaman rumah saat dia tergesa-gesa turun dari pagar.

BSD City,

10 Agustus 2010

EU for U