20 Agustus 2020

SALAH JURUSAN (Perjalanan Menemukan Ikigae)

SALAH JURUSAN?

PART ONE

"Le*, kamu nanti mau kuliah di mana?", tanya mbokde** di belakang rumah Klaten.
"Teknik Pertambangan ITB", jawabku mantab tanpa ragu.
"Trus nanti kerja di mana?", tanya mbokde lebih lanjut.
"Freeport tambang emas. Gaji 6 juta rupiah mbokde", jawabku percaya diri dengan suara keras dan bergetar. Seolah2 omong kosong itu sudah jadi sebuah kebenaran. Macam saya sdh diterima di ITB dan saya beneran seorang Mining Engineer di Freeport bergaji 6 juta*** rupiah. 😁
Mbuh dari mana saya kok bisa menyebut angka 6 juta. Pokoknya angka 6 juta tahun 90 saat saya kelas 3 SMA itu merupakan angka yang bueeesar, sak hohah kata orang Klaten. Bisa beli apa saja. Uang 5 rupiah masih ada harganya.
Dan mbokdhe saya jelas ternganga. Saya menikmati kekaguman mbokdhe dengan jumawa, sekali lagi seolah2 bahwa saya benar2 sudah jadi Mining Engginer PT Freeport dng gaji 6 jt/bulan. Sementara gaji bapak dan ibu saya sebagai guru SMP hanyalah 200 ribu/bulan. Dan saya memiliki gaji 30x lipat mereka. Saya bakalan kaya tidak seperti orang tua.
Ngak salah dong kalau saya halu dan bangga di depan mbokdhe saya yg hanyalah pedagang kecil di pasar 😅.
"Mbok aku nanti dipinjamin barang 100 atau 200 rb!", seusai ternganga maka hobi pinjam minjam uang untuk dagang mbokdhe muncul ke permukaan.
"Cuma 200 rb!, gampang mbokde. Pasti aku pinjamin. Enteng itu!", begitulah gaya anak Klaten kalau sdh halu level tinggi. Padahal saat itu uang bulanan saya hanya 30 rb. Kiriman ibu yg tinggal di kota berbeda (Blora).
Jadi itulah "the ultimate reason" saya milih jurusan Tambang ITB saat saya kelas 3 SMA.
Sederhana, karena saya mau kaya. Saya mau hidup saya berbeda dengan hidup bapak dan ibu saya yang guru dan sangat paspasan.
Dan setahun berikutnya saya dengan gagah berani pergi ke Jakarta untuk test STAN yang sebenarnya saya jalani ogah2an karena paksaan ibu.
"Sudah, kuliah di STAN saja. Gratis, dapat uang saku dan pasti kerjanya. Tar dapat pensiun lagi".
Demikian amanah ibu. Sempat saya bantah bahwa saya ingin kaya tapi ngak mau korupsi (hasil ketakutan bacaan komik siksa neraka yg ngehit 80an 😅). Bagi yg umur kepala 4 ke atas pasti tahu komik ini yang sangat ngehit saat tahun 80an.
Namun demi menenangkan dan menyenangkan hati ibu, saya tetap berangkat juga ke Jkt untuk ikut ujian masuk STAN.
Pulang dari Jakarta bersama dua orang kawan sesama anak Smansa Klaten R dan A, kami mampir ke Bandung menggunakan bis AKAP. Saat itulah untuk pertamakalinya menginjakkan kaki di Bandung dan ITB. Kota yang selama ini cuma ada di angan belaka.
Seharian kami keliling kampus sambil memvalidasi asumsi penting untuk kuliah di sana: Bandung kotanya dingin dan ceweknya cantik2. Terbukti di gang seribu punten di mana kami nebeng menginap senior, di angkot, di mall semua cewek yg kami temui: cantik. Jika ketemu 10 cewek Bandung maka 11nya cantik semua. Validasi selesai dan terbukti. Jadi makin semangatlah untuk kuliah di ITB.
Rencana awal kami mau ambil formulir di Bandung dan UMPTN di sana. Namun saya berubah pikiran. Berhubung uang terbatas saya memutuskan pulang ke Klaten dan UMPTN dari Yogya, lintas area. Pilihan pertama Tambang ITB dan pilihan kedua Geologi UGM. Tanpa backup Univ Swasta. Mirip dengan sebagian kawan2 yang tidak ada pilihan untuk kuliah swasta. Demikian ancaman ibu. "Ngak ada biaya kuliah di swasta le", demikian katanya.
UMPTN tahun 1991 diikuti oleh 750.000 peserta seluruh Indonesia. Memperebutkan jumlah kursi PTN yang terbatas. Semakin favorite jurusan dan PTN maka persaingan semakin keras baik kuantitas dan kualitas. Saya harus menyingkirkan 27 pesaing sesama pelamar untuk 1 kursi di jurusan Tambang ITB saat itu.
Dimodali oleh nekad karena di kelas saya bukanlah juara (hanya masuk posisi 10 besar). Sedikit persiapan bimbel di Netron College depan Smansa Klaten majulah saya bertempur UMPTN di Fak Kehutanan UGM.
"Ambil jurusan apa?", tanya beberapa peserta UMPTN di Fak Kehutanan UGM di hari H.
"Tambang ITB dan Geologi UGM", jawab saya.
Dan mereka memandang penuh keheranan. Seolah tidak percaya dengan sosok saya.
Aje gile aja ambil pilihan di ITB dan UGM.
Fyi, berhubung saya last minute ambil form UMPTN di Yogya, maka saya bergabung dengan mereka2 yang ngak PD atau niat ngak niat kuliah di PTN. Semua terkumpul di Fak Kehutanan. Formulir last minute.
Kumpulan anak2 dari SMA coret dari Gunung Kidul dan Wonogiri coret. Pilihan mereka mentok di jurusan tidak populer di UGM atau pilihan lain di UNS, UNSOED, UNDIP yang juga jurusan non fav. Kalau bisa diterima sudah merupakan prestasi yg wah. Lha kok ketemu "sesamanya" macam saya yang berani ambil pilihan fav di Univ fav pula. 😁.
Beberapa minggu berikutnya pengumuman keluar. Pagi2 buta naik vespa butut ke terminal bus cari Kompas. Dan nama saya terpajang di dalamnya. Yeeess gue masuk ITB, saya berteriak dalam hening karena jam 5 pagi saat itu hanya ada saya dan tukang koran. Saya cari baris lain di pengumuman saya menemukan R yang tembus di Sipil ITB namun A tidak lolos. Ada sekitar 8 orang kawan Smansa Klaten yg tembus ITB waktu itu.
Pada akhirnya Tuhan adil, saya dan R yg ngak suka jadi PNS ngak diterima di STAN namun diterima di ITB. Sedangkan A sukses masuk STAN dan jadi pejabat di dept keuangan sekarang.
Dan masuklah saya jadi anak gajah berjaket merah (jaket himpunan mahasiswa tambang ITB). TPB (Tahun Pertama) dilewatin mulus. Nilai cukup untuk segera mendapatkan beasiswa di tahun berikutnya. Namun begitu masuk himpunan dan aktif di banyak kegiatan nilai jatuh berantakan. Semester 3 merupakan semester paling kelam karena Nasakom 🤣. Kimia Fisik, mata kuliah momok berbobot 4 sks cuma dapat D. Kristalografi yg blas ngak ngerti juga dapat D. Sementara yang lain bertabur C.
Kehidupan di jurusan menguatkan saya bahwa jurusan Tambang adalah pilihan tepat. Alumni kalau lagi datang ke kampus semua keren2 dan yang jelas tampak Kaya! Cocok dengan imajinasi saya saat SMA. Urusan kuliah cincaylah. Asal rajin kuliah dan mau belajar nilai bisa dikejar dan diperbaiki.
Moment of Truth itu tiba tahun 1993. Kami TA 91 mendapatkan kesempatan untuk KP di Inco. Salah satu magnum opus industri pertambangan pada masa itu. Presdir dan banyak bos di sana banyak lulusan gajah duduk. Klop untuk mengenal calon dunia kerja yang nyata. Kami 2 bulan di Inco Soroaka. Di jantung pulau Sulawesi. Belajar proses penambangan, melihat bagaimana mereka membangun PLTA dan merasakan bagaimana hidup sebagai pekerja tambang di lokasi tambang.
Sebagai mining site, Inco sebenarnya mewah luarbiasa. Karena sudah cukup lama beroperasi maka semua ada di sana. Lap Tennis di bukit dengan pemandangan menawan, tempat hiburan, bioskop, pasar dan danau Matano yang indah. Semua ada dan tersedia. Dan yg jelas, gaji karyawannya juga oke pada masanya. Sebuah kompensasi dari keterasingan.
Namun setibanya di Bandung saya declare ke kawan dekat kuliah si L anak asli Bandung "Gue tar lulus ngak mau kerja di Tambang!".
"Kenapa?", kata L keheranan.
"Ngak cocok gue hidup sampai pensiun di hutan!.
Salah jurusan sepertinya gue".
"Trus, loe tar lulus kerja di mana?".
"Apa sajalah, ngak jadi kaya ngak papa. Tar gue ngelamar di Bank deh".
Hanya butuh waktu 3 tahun PD bercampur halu sebagai mining engineer Freeport bergaji 6 jt/bulan hilang. Dan saya lupa bagaimana menjawabnya kalau nanti mbokde bakal pinjam uang ke saya.
EU4U
Stay strong and happy
Note:
Ternyata salah jurusan berkembang menjadi salah kerjaan. Tar dilanjut perjalanan salah kerjaan di 10 perusahaan berbeda.
* Le = panggilan jawa untuk anak laki
*** Mbokdhe: panggilan ke ibu2 jawa yg lebih tua dari ibu sendiri atau lebih tua secara keturunan.
*** Nilai 6 juta tahun 1990 sekitar 50 jt - 200 jt tahun 2020 dng menggunakan konversi kurs rupiah dollar, harga beras, emas dan sepeda motor.


PART TWO

SALAH PEKERJAAN?
Blora, medio 94
"Bagaimana kuliahmu le?", ibu bertanya kepadaku. Saat itu aku pulang ke Blora libur semesteran. Bapak seperti biasa nonton bola. Tapi aku tahu beliau ikut nguping pertanyaan ibu dan menunggu jawabanku.
Pertanyaan sederhana namun tidak mudah menjawabnya. Sesudah sempat terpuruk IP Nasakom di semester 3 aku segera rebound ke track yang seharusnya. Bukan apa2, kalau total IPK di bawah standard bisa2 beasiswa Indocement yg aku terima bisa dicabut ITB. Kan berabe. Ngak bisa sewa komik Kho Ping Hoo di jalan Cihapit tar 😅.
"Baik bu. Lancar kok kuliahnya. Ini dah mau lulus Sarmud. Semoga tar bisa jadi Insinyur tepat waktu".
Jawabanku formal dan jujur. Namun yang tidak aku ungkapkan adalah cita2 kerja di Freeport sudah luntur. Padahal saat UMPTN dulu "menentang" harapan ibu untuk masuk STAN dan memilih pilihan sendiri jurusan Tambang ITB.
Kalau ngak cerita karena ngak ditanya ngak bohong kan? Ngak berdosa kan? ha ha ha.
Sama kasusnya dengan aku ngak cerita ngejungkel nabrak bukit di daerah Banjar selepas Tasik saat pulang ke Klaten pakai motor. Benar2 nabrak bukit di pengkolan. Menyisakan cap knalpot panas di betis sampai sekarang 😅
Jadi sekian tahun berikutnya aku fokus kuliah. Meski sudah tidak berniat kerja di industri tambang tapi jurusan ini adalah pilihanku sendiri. Jadi aku bertekad menyelesaikannya tepat waktu. Perjuangan tingkat 3 dan 4 berjalan cukup baik. IP membaik. Goodbye semester horor yang sempat Nasakom***. 😅
Semua terwujud karena aku fokus kuliah dan belajar. Biar IPK lumayan buat melamar kerja di Bank. Ingat, aku tetap fokus belajar ya. Kalau ada kesibukan sana sini di Unit Kegiatan atau di tempat lain itu bukan semata cari pacar ya. Kalau dapat bonus namanya. 😎
Medio 96
"Ju*, rapi amat. Dari mana?", tanya R yg selama di Bandung kami kontrak rumah yg sama sebagai markas anak2 Smansa. Di bilangan Sangkuriang dekat kompleks dosen ITB.
"Kenapa? Gue terlihat rapi dan ganteng?", jawabku sambil tersenyum.
"Ngak biasanya?", tanya R mendesak. Asem dia, emang dipikir Anak Tambang ngak bisa rapi. Lha anak jurusan dia Sipil juga banyak yg kucel ngak pernah mandi berhari2.
"Ikut test dan wawancara", jawabku kalem.
"Perusahaan tambang?".
"Bukan, Matahari Dept. Store", jawabku kalem.
"Busyeeeeet, anak Tambang melamar kerja di Matahari. Emang loe mau jadi SPG?", tanyanya penasaran.
"Management Trainee dong, calon bos", jawabku mbuh percaya diri atau sombong.
Dan sejak saat itu dan setahun berikutnya setiap ada test recruitment di kampus atau di Koran aku tidak pernah melewatkan kesempatan. Sebagian besar posisi MT atau Marketing: IBM, UT, ACC, Astra, Semen Gresik, BAT, Danareksa, Citibank, Matahari, dll dlsb. Dan tidak satupun perusahaan tambang.
"Bu, aku diterima kerja", tentu dengan semangat meluap2 karena secara resmi aku diterima kerja. Sebelumnya pernah kerja juga sebagai inspektur ekskavasi terowongan di Singkarak selama 6 bulan. Walau dapat duit aku anggap sampingan karena tujuan utama ambil data buat bikin Tugas Akhir (skripsi).
"Ibu senang le. Kamu diterima di Freeport?", tanya ibu dengan nada super gembira. Bagaimana tidak gembira karena anaknya selama bertahun2 selalu bicara tentang kerja di Freeport dan gaji besar.
"Hmmmmm bukan bu, aku diterima di Bank Danamon", jawabku sedikit ragu. Balon yang dulu aku tiup kencang mendekati meletus.
"Lho, kok bukan Freeport? Gajinya berapa: 6 juta?". Maka saudara2, berhati2lah memberikan ocehan dan harapan ke orang tua. Semua akan ditagih pada waktunya 😅.
"Hmmmm 600 rb/bulan bu". Kali ini suaraku melemah sekian puluh desibel. Hanya 10% dari sesorahku pada waktu itu. Aku pandang wajah ibu. Aku tidak bisa membaca apa yang ada dihatinya. Mungkin kecewa anaknya sudah ngak jadi PNS dan ngak kerja Tambang pula.
"Lumayan kok bu. Bukannya gajiku yang pertama ini sudah sama dengan gaji bapak dan ibu**. Ya betul saudara2, gaji anak baru lulus kerja sama dengan gaji guru yg sudah puluhan tahun ngajar dan hampir pensiun. Sungguh guru pahlawan tanpa tanda jasa. Jawabanku mencoba menghibur ibu. Lebih tepatnya menghibur diriku sendiri.
Dan sejak saat itu dimulailah perjalanan mencari jenis pekerjaan yang cocok. Yang sesuai passion. Kalau mau dibuat kriteria jenis pekerjaan yg diinginkan sebenarnya simple: yang banyak di luar ruangan (tapi jangan di tengah hutan kayak di tambang 😅). Terus banyak berinteraksi dengan manusia.
Jadi dari sekian banyak lamaran yg diterima, semua yg dari Jakarta dicoret. Karena ngak suka Jakarta yang panas dan sangat kapitalis. Walau sebenarnya ambil Bank Danamon karena ditempatkan di wilayah Bandung dan sekitarnya. Nah, kecengan sedang kuliah di kota yg sama.
Manusia bisa berencana namun Tuhan yg menentukan, lagi senang2nya jadi Marketing Bank Danamon tiba2 krismon menghajar dunia terkhusus Indonesia. Bank tengkurep semua. Setahun pindah gawe ke perusahaan manufaktur sepatu Nike dan 6 bulan jadi eksportir akar kayu jati.
Padahal aku sempat berpikir bahwa kerja di Bank merupakan pekerjaan ideal yg aku cari. Tinggal di keramaian. Sebagai Marketing Kredit dan Funding setiap hari ke luar kantor sampai jam 3 sore. Keluar masuk ke toko2 dan kios2 di pasar. Pakai dasi dan lengan panjang tetap wangi dan harum asal ngak masuk kios ikan asin.
Pekerjaan ini mengharuskan aku berinteraksi dengan pengusaha mikro dan kecil. Menganalisa usaha dan kebutuhan kredit mereka. Membantu usaha mereka berkembang. Idealis kan? 😊
Pernah ditanya satu engkoh2 juragan kelontong: "Dulu kuliah di mana mas? Unpad?", katanya mungkin terpesona dengan gayaku menjelaskan manfaat dia ambil kredit bagi usahanya. Gini2 walau lulusan Teknik Pertambangan yg hampir tidak ada kuliah ekonominya saat mengikuti pendidikan MT Danamon aku masuk 3 besar. Akuntansi 1 dan 2 serta Kredit Analis 1 dan 2 nilaiku A semua.
"Bukan koh, di ITB", jawabku singkat mencoba mengalihkan pertanyaan.
"Wah.... ITB hebat dong, ada jurusan ekonominya ya". Meni kasebelen pisan si engkoh.
"Ngak ada koh jurusan ekonomi. Saya lulusan Teknik Pertambangan", terpaksa buka kartu.
"Kok mau kerja ginian, bukannya kerja di tambang itu gajinya besar?".
Dan aku segera pamit ke engkoh pindah ke toko sebelah. 😅.
Seperti biasa langsung geber cita2. 4 tahun pingin jadi Pincapem (Pimpinan cabang pembantu). Cita2 yg musnah dengan datangnya krismon.
Setahun sebelumnya aku diterima di pabrik sepatu Nike, sempat diinterview sama Direktur HRDnya. Iseng coba telp dan ternyata tawaran masuk kerja masih terbuka. Maka saudara2, jagalah hubungan baik, siapa tahu suatu ketika kita butuh bantuan. Dan itu a phone away karena hub baik sebelumnya. Betul atau benar? 😊.
Dapatlah posisi sebagai Asisten Manager. Gaji 750 rb. Lumayan naik dikit. Jadi Asisten Manager Purchasing banyak kerja di belakang meja, membosankan. Kalau pas ke luar ketemu supplier godaan menegangkan. Aku masih anak idealis pingin kaya di jalan yg benar. Belum lagi kalau diajak spa atau karaoke sama taoke2 Korea. Lama2 kan bisa berabe😊. "Jangan membawa dirimu dalam pencobaan", demikian nasehat kakak Sekolah Minggu yg jadi patokan.
Jadi begitu ada tawaran buka perusahaan (start up jaman sekarang), langsung aku embat. Pemodalnya eksekutif Nike dari Taiwan yg suka datang ke Bandung cari prospek bisnis di Indonesia. Aku dimodalin $10.000. Cari dan ekspor akar kayu jati ke Taiwan. Gajiku 2 juta dan bonus 10% keuntungan. Jadi CEO tapu tanpa karyawan tetap Keren kan? walau tetep wae jauh dari 6 juta 😅. Sayang, usia muda dan minim pengalaman memaksaku keluar dari bisnis yg punya potensi hebat saat itu. Walau sempat ekspor 2 kontainer, aku kena hajar dan dikerjain partner lokal.****
Insinyur tambangpun akhirnya jadi pengangguran.
Awal 99an aku menganggur 2 bulan. Duit habis bis bis tanpa sisa. Kebiasaan gaji pas habis buat gaya hidup sebulan menjadi pola hidup yg berakhir tidak menyenangkan. Mosok harus minta subsidi kembali ke orang tua?
Aku jadi rajin datang ke kampus, cari dinding pengumuman lowongan. Biasanya dinding penuh tempelan pengumuman lowongan. Namun krismon membuatnya jadi kosong. Sekosong dompetku yang bolong. Dompet pengangguran.
Di salah satu papan pengumuman ada satu lembar kertas lowongan nyempil tertempel di jurusan tambang ITB: lowongan posisi Management Trainee PT. Pamapersada Nusantara. Tapi..... Pama termasuk perusahaan tambang, yang 3 tahun sejak lulus sama sekali tidak pernah masuk di list lamaran! Dan ada catatan di bagian bawah: "akan ditempatkan di site tambang".
Karma itu cepat datangnya saudara2 😅
EU4U
Happy Friday
*: panggilan khusus Keju. Hanya oleh teman2 SMP dan SMA. Sengaja dibuat karena nama Eko di Jateng mirip ma nama Asep di Jabar 🤣
KEJU: Kependekan Eko Jatmiko Utomo. Kebetulan saat itu lagu "Madu dan Racun" Ari Wibowo sedang populer. Gue anak Keju dan bukan anak Singkong 😁
** Bapak dan ibu kerja sebagai guru SMP. Yang gajinya pas. Pas terima slip gaji pas habis buat bayar cicilan 😊
*** Nasakom: Nasib Satu Koma. IP di bawah 2 di atas 1. Under performer
**** Bisa jadi satu tulisan sendiri tentang ini.


PART THREE

KULI TAMBANG
"Berhati-hatilah dengan apa yang kamu hindari. Karena yg kamu hindari akan menghampiri".
Demikian sesorah seseorang. Yg terbukti menjadi kenyataan.
Sesudah 3 tahun tidak melamar dan menghindar untuk kerja di dunia tambang, maka tibalah pada kondisi buah simalakama. Pilihan menganggur atau bekerja pada bidang yang selama ini dihindari. Melamarlah pada posisi Management Trainee (MT) Pama UT (Astra Group) seperti yang tertulis di pengumuman yg ditempel di jurusan Tambang. Sesudah proses ini itu akhirnya diterima (kembali). Karena tiga tahun sebelumnya sempat test juga di group Astra dan diterima di Astra Credit Company (ACC).
Sesudah konsultasi dengan pacar (cieeeee 😘), dia merelakan kekasih hati untuk jadi kuli tambang demi sesuap nasi dan semangkok berlian. Literally merasa kaya mendadak. Gaji 4 juta cing! Paket KFC tahun 99 cuma 5 rb. Artinya traktir pacar makan pagi, siang, dan malam tiap hari doku berlebih. Kalau dihitung2, gaji sebulan bisa buat beli KFC 800 paket. Kaya kan? 😁. Padahal jaman kuliah hanya berani 1x sebulan ke KFC. Itupun sesudah terima uang beasiswa.
Saya ditempatkan di jobsite Indominco di dekat Bontang Kaltim dengan rotasi kerja 8:2. 8 minggu full kerja di jobsite dan 2 minggu off kembali ke Bandung. Selama di jobsite dapat tambahan uang saku sehingga pendapatan 4 juta/bulan. Cukup besar buat saya walau masih di bawah cita2 jaman SMA. 😁
Berhubung sudah pengalaman kerja dan pernah jadi MT sebelumnya maka saya MT yang merangkap posisi sebagai Kepala Seksi Project Control. Aneh bin ajaib sih. Lha masih trainee kok menjadi Kasie plus membawahi tim 7 orang. Momen yg memberikan banyak pengalaman yang berharga.
"Watch your mouth!", semburku kencang ke arah bule kekar yang ada di depanku pagi itu. Bule Amerika badan kingkong dan kekar itu terperangah mendengar bentakanku. Gimana ngak kekar, walau konsultan bisnis gelar MBA dia mantan marinir. Mantan SEAL yg di tipi2 itu lho.
Pagi itu aku mendapati si bule itu memaki2 anak buahku dengan ucapan kasar dan merendahkan. Aku tidak terima dan balas kusemprot.
"We have help you with a lot of datas but your manner is terible", semburku kencang.
Si bule mukanya merah. Kalau ngajak berantem fisik pasti kami babak belur. Namun dia sepertinya sadar dia ada di tanah Indonesia. Selain kalah banyak bisa kupanggilkan Imigrasi tahu rasa. Si bule akhirnya keluar ruangan Project Control.
Tak berapa lama GM datang, "Eko, come to my office!". Sepertinya bule kucluk Amrik mengadu ke GM kami yang orang Inggris. Siapa takut! Aku ikutin langkah GM ke ruangannya. Dan ternyata benar, konsultan bermulut kasar itu ada di dalam ruangan. Dipikirnya gue takut berantem ma bule apa ya.
Jadi sejam berikutnya kami berdebat keras di depan GM. Saya kemukakan keberatan dan kemarahan atas gayanya yg bak koboi Texas bermulut kasar. Sejam berikutnya GM memintaku keluar ruangan dan bulan berikutnya konsultan kembali ke Jakarta dan tidak pernah kembali lagi ke jobsite.
Kerja di lapangan benar2 menguras energi mental. Bayangkan selama 8 minggu kerja terus menerus termasuk hari Sabtu dan Minggu. Istirahat hanya malam hari. Itupun selalu standby karena tambang beroperasi 24 jam. Sebagai kompensasi perusahaan memberikan makanan katering yang wah untuk ukuran saya. Semua daging ada, daging ayam, kambing, sapi yang dulu harus hati2 memesan dinl resto saat kerja di Bandung apalagi saat masih mahasiswa. Belum lagi es krim dlsb. Walhasil kerja kurang dari setahun berat badan naik 10 kg!. Ngak betah kok gain weight ya 🤔😅
Lokasi kerja benar2 di tengah hutan. Jauh lebih maju Inco di Soroako. Tiap pagi kami sering lihat Beruang madu mengkorek2 tempat sampah. Sore hari giliran babi hutan yang berkeliaran. Bahkan pernah suatu ketika saat mengeringkan sebuah belumbang yg mau ditambang, operator menangkap ular sanca sepanjang 7 meter!.
Jadi pada saat cuti ke Bandung benar2 dimanfaatkan untuk enjoy life. Pacaran tiap hari plus makan yg enak2 yang tak tersedia di hutan. Plus tentu saja nonton 21 sambil gelap2an 😎.
Sampai suatu ketika secara tidak sengaja ketemu ketemu L kawan kuliah di sebuah mall.
"Eko, piye kabare? Kamu kerja di mana?", sudah 4 tahun kami ngak ketemu.
"Di Pama bro", jawabku sambil tersenyum sambil mengguncang tangannya. Senang rasanya ketemu kawan lama.
"Lho, kok loe kerja di tambang? Bukannya loe ngak mau ke jobsite?", ternyata L ingat omonganku 7 tahun lalu.
"Bagaimana lagi, susah cari kerjaan. Musti jadi manusia pragmatis", jawabku tersenyum simpul.
"Oh gitu? Tanggung lah, kerja aja skalian di tambang terbesar di Indonesia", kata L.
"Maksudmu?", tanyamu bingung.
"Kawan gue orang Kanada Superintendent di Freeport lagi cari engineer, loe mau coba? Tar gue rekomendasikan ke dia", sambung L.
We ladalah. Apakah ini yang dinamakan karma? Atau malah semesta bekerja memenuhi hukum "law attraction"?. Tanggung kerja terpencil, sekalian aja ke ujung dunia sambil kumpulin duit.
"Okey, aku tertarik", jawabku singkat
"Sip, tar aku info kawanku itu", jawab kawan L.
Dan selanjutnya proses interview by phone oleh si bule, HRD, test TPA, test kesehatan semua berjalan singkat dan cepat. Hanya butuh waktu satu kali periode cuti di Pama semua beres. Aku diterima di Freeport.
Tibalah moment of truth salary offering dari pihak HRD. Mereka sudah tahu pendapatanku di Pama saat itu 4 jt/bulan. Dan email offering tiba dan dengan tergesa aku buka, gaji pokok dan tunjangan Rp. 6jt/bulan!! Persis seperti cita2ku 10 tahun sebelumnya saat masih di SMA.
Pasti ini karena doa mbokde yang gencar biar bisa dapat utangan 😁. Kalau tahu betapa mujizatnya kekuatan cita2, mustinya cita2 jadi Bupati Klaten kali ya?.
"Bu, aku pindah kerja lagi", aku segera tlp ibu di Blora.
"Kok pindah kerja lagi? Apa kamu dipecat? Bukannya gajimu dah tinggi le? Kamu ngak papa kan?", bak miltraliyur ibu bertanya.
Aku tersenyum mendengarnya, menikmati momen kejutan.
"Ya pindah aja bu, aku diterima di Freport!".
"Freeport le? Kok bisa? Trus gajimu berapa? 6 juta?". Ingatan ibu terhadap bualanku 10 tahun lalu ternyata sedemikan dalam.
"Iya bu, 6 juta".
"Yo wis, ditabung. Buat ongkos kawin. Aku dah pingin gendong cucu".
Dan akhirnya sejarah membawaku terdampar di ujung timur Indonesia. Ke lokasi paling remote dan paling indah yang pernah aku temui. Menjalani dan menggumuli kanvas berwarna kehidupan.
Namun sebelum berangkat ke sana, aku pulang dulu ke Klaten untuk memberikan pinjaman uang 200 rb ke mbokde 😊.
EU4U
Gerimis kecil sore hari.


PART FOUR

There is No Failure
(Only Feedback)
Malam itu saya duduk termenung di terminal 2 Bandara Soetta. Menunggu panggilan pesawat Airfast terbang ke Papua. Waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Badan masih pegal2 dibanting kiri kanan sama mobil travel yang menghajar tol Purbalenyi dan kemudian tol dalam kota. Bandung - Bandara Soetta hanya butuh waktu 4 jam!.
Masih terbayang wajah kekasih yang harus merelakan saya pergi ke daerah yang lebih remote dibandingkan Bontang. Dalam jangka waktu yang lebih lama pula. Jika di Pama Bontang saya dapat cuti tiap 2 bulan maka di Freeport saya hanya dapat jatah cuti 3x setahun!. Sebuah trade off yang harus saya ambil.
Dulu, waktu masih unyu2 tingkat 1 di ITB, salah satu favorite saya kencan di Gramedia jalan Merdeka. Eiiit terimakasih untuk dugaan saya pacaran di sana ya. 😁. Saya bukan pacaran di Gramed tapi melewatkan sabtu malam dengan baca buku gratis di tempat berAC dingin. Kaki remaja saya masih kuat berdiri 2-3 jam tanpa gemetaran.
Saya terpengaruh oleh David Schwartz dalam bukunya "The Magic of Thingking Big". Manusia sukses harus punya visi. Maka di Gramed malam itu saat usia 18 thn saya melisting dan mencap visi usia 30 tahun:
1. Menikah
2. Punya Rumah
3. Punya Mobil
Belagu? Apalagi yg bisa dibanggakan oleh anak desa yang sekolah di kota kalau ngak belagu mengguncang langit? 😁
Jadi "tersasarnya" saya ke Freeport di usia 27 tahun sebenarnya tersasar nikmat. Karena memudahkan saya dalam menuntaskan cita2 umur 30 tahun. Gaji full bisa ditabung karena semua biaya ditanggung perusahaan: rumah, perjalanan, makanan, kesehatan dll. Apakah benar2 terjadi? Nanti kita telusuri.
Sesudah 7 jam perjalanan lewat Surabaya, transit Makassar akhirnya tibalah di Timika. Pagi hari. Sempat kebingungan karena ngak ada yg jemput tanya sana sini akhirnya naiklah saya ke Tembagapura dengan naik bus gaya Amerika yg hanya pernah saya lihat di TV.
Perjalanan dari Timika 0 Dpl (dari permukaan laut) sampai ke Tembagapura (2000an dpl) ngeri2 sedap bagi saya. Bagaimana tidak mengerikan karena bus merayap mendaki pinggang dan punggung pegunungan. Kiri kanan jurang nan dalam puluhan meter siap menampung kita jika kepleset. 🥴
Namun perlahan sesudah rasa ngeri berangsur menghilang maka kedahsyatan ciptaan yg Kuasa terpampang di depan mata. Tanah Papua begitu indah! Nonton film "a walk in the cloud" mas Keanu Reves?. Begitulah imajinasi saya mencari kesetaraan awan yang terbang rendah di jurang2 di bawah badan jalan yg kami lewati. Belun lagi sensasi hawa dingin yang makin tajam saat kami naik ke atas.
Eko Wellcome for the next 5 years (yup saya proclaim cukup hanya 5 tahun kerja di Freeport sejak awal datang ke sana). Sebuah statement yg membuat saya sering dibuli saat mulai masuk tahun ke-5 😅
Siang hari itu saya ditahbiskan menjadi X-Men karena tinggal di Barrack X. Keesokan hari sesudah safety induction saya di bawa ke Mile 74 (yg lebih tinggi dan lebih dingin) sebagai manusia orong2 alias Underground Miner di Dept UG Enginering. Supt saya bule dari Kanada, Manager bule Texas dan Kepala Divisi juga bule dari negara Paman Sam.
Bulan pertama adaptasi dilakukan. Strategi saya kontak teman2 senior2 se alumni. Dibantu teman kuliah si L yang sudah Supt. Hampir tiap hari main tenis dan bulutangkis cari tambahan kenalan. Setiap makan di kantin yang super mewah bagi saya. Kenalan dengan setiap orang yg duduk semeja sehingga sebulan sudah cukup banyak yg saya kenal. Termasuk penghuni kantor di Mile 74.
Kantor UG Engineering memiliki kurang lebih 30an karyawan. Engineer ada 20an dengan komposisi 50:50 antara nasional dan bule.
"Mas Eko, sini makan bareng sama kita", seru seorang senior di kantor saat maksi. Kesempatan yg mak nyus karena ransum perusahaan cenderung monoton sementara senior yg bawa keluarga biasanya berbekal masakan rumahan dari istri. Sesuatu yg wah di sana.
"Gimana mas, betah?", tanya salah seorang senior.
"Betah pakdhe, namanya juga pekerjaan ya harus ditekuni", jawabku. Padahal dalam hati ya kangen sama yang ditinggal di Bandung 😅.
"Menurut mas Eko yg sudah berpengalaman kerja di luar bagaimana suasana kerja di sini?", sambil makan ada yg mancing pendapat.
"Agak aneh saja sih menurut saya", jawab saya cuek bebek.
"Apa anehnya?", yang lain bertanya lebih lanjut.
"Kok banyak bule2 kroco di sini ya?", jawab saya terus terang. Ini mulut memang kurang sekolahan. Antara mulut dan pikiran ngak ada batas. Jadi dari pikiran langsung terlontar ke mulut 😁. Saya sempat terpikir mereka akan menganggap karyawan baru 1 bulan join ini agak miring.
"Kok kroco?", semua orang yg di meja menghentikan makan siang dan memandang penasaran.
"Lha krocolah, lha mereka fresh graduate unyu2. Excel saja kita yang ajari. Dulu saya pikir bule2 yang ada di sini expert semua", jawab saya. Pengalaman di Pama jadi referensi. Kalau hire bule pasti expert.
"Trus menurut pendapat mas Eko", salah seorang senior mengejar.
"Ya jadi ngak fair. Engineer nasional berpengalaman gaji 6 juta, sementara bule freshgrad gaji $6.000!. Kan selisih 10x lipat!", jawabku enteng tanpa tedeng aling2.
Semua yg sedang makan di meja saling berpandangan. Sesudah sekian lama salah seoramg di antara berkata: "pengamatan mas Eko tajam dan tepat. Kami yg lama di sini juga diperlakukan tidak adil termasuk urusan promosi. Bule yang tidak capable yg selalu diprioritaskan".
Sesudah sejenak berhenti sang senior melanjutkan.
"Kami sedang dalam proses membuat petisi tentang ini ke manajemen. Mas Eko mau join?".
"Saya join pak!", jawabku cepat dan tegas. Bibit idealisme sejak mahasiawa masih bercokol di dalam diri.
Sejak saat itu, di bulan ke dua masuk Freeport aktiflah awak dalam kelompok petisi 13 UG Engineering. 13 Engineer nasional yang membuat petisi ke GM (KTT) pucuk tertinggi PT Freeport ttng "ketidakadilan" proses rekruitment dan promosi di UG Eng. Dan berhubung bahasa Inggris saya dianggap paling mahir maka saya diajukan jadi juru bicara kelompok petisi 13. Mulailah pertempuran yang melelahkan selama hampir 1tahun terjadi. Engineer Nasional vs Engineer Bule. Meeting2 sering dilakukan dengan manajemen UG dan juga divisi Industrial Relation.
"Braaaaaak", suara meja meraung keras dipukul oleh tangan Kadiv Bule sang Senior Manager. Badan tinggi besar 190 cm berat sekwintal lebih. Tah berapa momentum yang tercipta dari kecepatan dan berat ayunan tangan yg menghajar meja.
"What you are fu##&ing demanding?", teriaknya keras sambil menuding kami semua. Semua terkaget2 dan membeku. Suasana horror terjadi. Very gloomy situation.
"Braaaaak", beberapa detik kemudian kembali terdengar meja keras dihantam tangan. Semua tambah kaget, termasuk bule Kadiv. Kali ini bukan dia yg menggebrak meja tapi saya 😠.
Jadi saking jengkelnya karena merasa direndahkan saya ngak mau kalah gebrak. Emang dia pikir cuma bule yang bisa gebrak meja.
Q
"Pak LT, we are Indonesian and you are not. You have to remember that Freeport located in Indonesia!", balasku ngak mau kalah gertak sambil ikut tunjuk muka. Senior Manager bule yang saya tunjuk muka melongo saking ngak percayanya saya balas gebrak meja. 😁
Dan peristiwa itu membawa kami petisi 13 bak petisi 50 Ali Sadikin. Ngomong kencang, berbangga terhadap perjuangan sebenarnya kalah total di pertempuran. Kami kena blacklist. Karir dihambat. Saya yang siap dipecat ternyata probation period selamat*. 2 tahun karir di UG nilai PA (Performance Appraisal) mentok di 2 (skala 4).
"Eko, tadi aku nanyain ke Managermu kok nilaimu cuma 2, sementara kawanmu yg biasa2 saja nilainya malah 3", kata Manager Operasi orang Indonesia suatu ketika.
"Trus apa jawabnya mas?", aku balik tanya.
"Eko lack of collaboration attitude", jawabnya menirukan jawaban managerku. Dan aku tertawa dan maklum. Ya iyalah masa ya iya dong. Lha kami bikin petisi mau mulangin sang Manager. Layak sama dia diganjar nilai 2 karena tidak bisa kolaborasi 😊.
Setahun berikutnya.
"Mas, kalau join seksi Ventilasi mau ngak?. Ada posisi Senior Engineer kosong", kata Supt Ventilasi.
Ini tawaran yang menggiurkan sekaligus membingungkan. Menggiurkan karena gaji bakalan naik jadi 9 juta. Kebayangkan saudara2, berapa mbokde di Klaten yang bisa saya kasih utangan:). Namun saya merasa aspirasi saya bukan di sana.
"Mas Eko ngak usah setiap hari masuk UG. Dua hari sekali masuknya yang penting design dan report dikerjakan dengan baik", lanjut pak Supt seolah tahu keengganan saya jadi dewa angin di gelapnya lorong2 tambang bawah tanah.
Bentar lagi saya menikah, jadi Senior Engineer bisa bawa istri ke Tembagapura. Belum lagi gaji dan pendapatan naik tinggi. Namun pekerjaan itu akan makin mengikat saya jadi UG Miner tulen, sesuatu yang dulu saya hindari. Sejak kuliah dulu. Dan hati saya terbagi.
Kalau pembaca jadi saya, tawaran ini diterima ngak?
Gaji naik 50% termasuk berbagai macam failitas lain.
EU4U
Tengah Malam.


PART FIVE

CROSS ROAD
"Jadi pindah ke QMS*?", tanya kawan sesama X-Men**
"Jadi".
"Tawaran ke posisi Senior Engineer UG Ventilation ngak diambil?"
"Ngak".
"Kenapa ngak diambil? Kan bisa dicoba dulu. Kalau ngak cocok tahun berikutnya bisa pindah. Yg penting posisi dan gaji dah naik".
"Ngak pas sama hati nurani euy", jawabku kalem. *****
"Emang di QMS posisinya level 2***?", tanya kawan penasaran.
"Ngak. Katanya sih tar mau diusulkan ke level 2", jawabku sambil tersenyum simpul. Dan kawan ikut tersenyum simpul. Kami tahu bahwa bahasa "akan diusulkan" seambigu bagaimana bunyi Supersemar yg sesungguhnya seperti apa😆.
"It doesn't matter. Gue merasa suka dan bisa belajar di kerjaan baru sebagai Leadership Trainer bro", jelasku ke kawan yg mukanya masih menunjukkan keheranan akan "kenaifanku" menolak promosi untuk posisi yang belum jelas.
"Apa yg membuatmu pindah ke QMS? bukannya UG Mine bakal jadi masa depan? Cocok dengan background kuliah pula?", desaknya meminta penjelasan.
"Dua bulan lalu aku kan ikut SDP****. Terus kok aku suka ya belajar management dan bagaimana mengenali dan memimpin orang. Lebih challanging dan menarik dibandingkan bikin design driling dan meledakkan batu gunung untuk bikin terowongan".
"Kan beda kompetensi?".
"Kompetensi bisa dipelajari dan dikejar lah. Gue the best participant di kelas SDP lho!", belagu n songong is in the blood. 🤣
Jalan simpang yang diambil 3 tahun lalu saat off track kerja sebagai Engineer di Pama dan kemudian lanjut di Freeport ternyata kembali ke jalan simpang berikutnya. Kali ini tetap di Perusahaan Tambang, namun dalam posisi bukan sebagai engineer tetapi Leadership Trainer.
Pengalaman pertama sebagai Leadership Trainer sungguh mendebarkan dan menggelikan. Ada proyek baru mengajar modul "Effective Meeting" buat para engineer. Engineer UG Mine kebagian juga. Termasuk para engineer bule. Rencana awal yg akan mengajar Supt., gue yg S2 di Australia dan jam terbang sudah terbukti mumpuni. Gue sebagai co traineer yg bantu2. Durasi workshop 3 jam.
Pada hari H, hanya 30 menit sebelum workshop dimulai, pak bos pamitan harus ke tempat lain.
"Jalanin saja, tar saya kembali secepatnya", katanya saat pamitan. Meninggalkan saya dengan berbagai macam pikiran yang berkecamuk. Saya masih hijau di dunia pertrainingan dan workshop ini dideliver in english pula. Mau minta bantuan rekan yg lain semua pada angkat tangan. Pilihan membatalkan atau lanjut dng kondisi siap2 ancur2an.
Sifat nekat muncul, the show must go on. Hajar terus. Biarin saja pakai bahasa Inggris seadanya. Kalau ngomong English percakapan sih cemen, lha ini mengajar lho pakdhe! bahasa Inggrisnya musti dua tingkat lebih correct grammar and structure bukan?
Dengan harapan pak bos segera kembali akhirnya workshop saya jalankan sendiri dengan peserta mostly bule dan level mereka lebih tinggi (L2). Tentu in English!. Kasih training pertamakali full bhs Inggris (belepotan).
Dan sampai workshop selesai pak bos ngak kembali sama sekali. Namun workshop selesai! Saya ngak peduli peserta bule ngerti atau kagak yg penting materi selesai. 😅
Belum setahun belajar jadi Leadership dan Mangement Trainer tiba2 ada tawaran menarik lewat.
"Mas, mau gantiin saya ngak?", tanya T kawan baik yang orang asli Papua kepada saya.
"Maksudmu?", tanyaku.
"Pegang Seksi GDP & Training!", jawabnya singkat.
Tawaran yang menarik. Seksi itu pejabatnya level 2, otomatis promosi dong. Belum lagi yang paling menarik adalah salah satu pekerjaanya menangani program GDP******. Jaman kerja 2 tahun di UG Engineering, saya merupakan pengkritik keras program GDP!
"Program GDP kok pesertanya dibiarkan lontang lantung lau lau ngak jelas!. Buang waktu 2 tahun peserta dengan sia-sia", kritik saya pada waktu itu.
Dan secara ajaib, program yang pernah saya kritik keras itu, pengelolaanya ditawarkan untuk saya pegang. Sekali lagi semesta berbicara penuh arti. Jelas kesempatan emas tidak saya lewatkan. Nilai test assesement SHL saya lebih dari cukup untuk posisi itu. Best 2% feedback dari assessor 😎.
Dan dimulailah episode pembelajaran yang sungguh menantang. Peserta GDP diseleksi dengan ketat, best of the best dari perguruan tinggi ternama di Indonesia. ITB, UI, UGM, Unpad, UPN dll. IPK menjulang tinggi dengan IQ yang juga pasti tinggi.
Pada saat proses recruitment dan assesment, sebagai kepala seksi yang pernah ikut di 2 program MT di dua perusahaan sebelumnya (Danamon dan Pama) saya tertantang ikut test mereka. Dan voila, diantara 14 orang peserta GDP tahun 2004 nilai assesmen saya #10 di antara 14 anak GDP baru. Lumayan buat saya yang 8 tahun lebih tua dari mereka. Untung gak masuk posisi bontot 🤣.
Dan 14 anak2 freshgrad yg terpilih dari 3000 pelamar seindonesia ini tentu punya ekspektasi dan harapan tinggi terhadap saya sebagai mentor dan coach mereka. Dan itu dituangkan dalam bentuk "challange dan ujian" mereka kepada saya dalam berbagai macam bentuk. Mereka menguji apakah Eko Utomo layak jadi pembimbing mereka. Dan "kesombongan" mereka saya ladenin dalam bentuk yang tidak kalah sombong 😁.
Saya challange mereka dengan berbagai macam program baru yg menantang. Saya tekankan "jangan malu2in almamater sebagai the best graduate". Saya set final presentation mereka di akhir program fully in english!. Saya set KPI mereka secara ketat week by week. Saya tantang mereka untuk bikin English Conversation Club 2x seminggu malam hari usai jam kerja. Saya buat forum biweekly sabtu full day untuk training management, leadership dan sharing session apa yg mereka pelajari di lapangan. Saya siap membantai dan melecut mereka. Kerja lembur dah bahkan di hari libur.
Saya tahu bahwa anak2 cerdas yang kelebihan energi ini butuh ditantang. Kalau mereka ngak bersedia dan menolak ya tinggal dibuli aja. Tanggung sudah jadi manusia terpencil tapi ngak usaha ekstra keras.
Tebakan saya benar. Tantangan saya mereka terima. Dan GDP 2004 final presentation mengguncang jagad Freeport. In English dan tajam melihat problem dan memberi rekomendasi di tempat di mana mereka akan ditempatkan nanti.
"Mas Eko, wah keren nih anak2 GDP. Presentasinya malah lebih baik dari kita2", kata seorang Supt., yg mengikuti. Mereka jadi rebutan! Oversubscribe!. Banyak Manager ingin lulusan GDP join ke tempat mereka.
Tidak sia2 perjuangan kami malam2 belajar conversation dan setiap Sabtu yg mustinya libur kami pakai buat sharing knowledge untuk penajaman.
Di sela2 keseruan mentoring anak2 GDP ada moment of truth yg lewat depan mata. T, Supt., bos saya mendapatkan tugas untuk sosialisasi 2 pasal dari "Declaration of Human Right" dari top management Freeport untuk disosialisasikan ke 10.000 karyawan terkhusus 2000 lebih karyawan Papua. Target waktu 1 tahun. Sebuah pekerjaan yang maha besar dan maha sensitif. Karena konon di masa lalu terjadi banyak pelanggaran HAM atas penduduk lokal dengan adanya kehadiran Freeport. Dan ini sosialisasi tentang HAM. Kepada banyak peserta yg punya memori kelam 😬.
"T, butuh bantuan?", aku bertanya. Ngak tega melihat bos pontang panting mengerjakan pekerjaan raksasa nan sensitif itu. Ini tawaran nekad sebenarnya. Tim sosialisasi yang berjumlah 6 orang untuk highland dan lowland semuanya Papuan. Sementara saya jelas Jawa kowek yang 100% oyame (non papuan). Suatu kondisi yang juga sensitif.
"Yakin mau bantu mas?", tanya T.
"Yakin, yg penting niat baik", jawabku singkat terdorong adrenalin yg meluap2 pingin punya "mainan" baru. Mainan yg sempat menimbulkan ancaman non verbal (email), ancaman verbal (di ruang sosialisasi), helm dibanting dan meja dibalikkan pun pernah terjadi. Dan puncaknya dalam satu sesi mampu menghadirkan 600 karyawan di hall dan saya bicara di depan mereka selama 2 jam!. Sebuah momen ekstasi yang tidak terkira 😊.
Target 1 tahun kami selesaikan 10 bulan. Tanpa ada kerusuhan yang berarti. Semua berjalan lancar. Surprising everyone. Above target. Walau hadiah 2 minggu berkunjung ke Nola US yg dijanjikan kemudian diganti voucher Pasaraya 1 juta kami terima. Yg penting dapat pengalaman dan kebanggaan menyelesaikan pekerjaan menantang.
Dan tahun ke-4 di Freeport saya dapat nilai appriasal 4! Excellence. Yihaaaa. Sesudah hanya mampu dapat nilai 2, 2 dan 3 di tiga tahun pertama akhirnya saya sampai juga to the top. Saya mampu. Blacklist 2 tahun nilai jelek di UG terlupakan. Yes nilai 4!, naik gaji 20% dan bonus 4x gaji. 😊
Sebentar saudara2, konflik belum mereda dan hilang ya. Walaupun 2 tahun secara de facto menduduki posisi Sect. Head Level 2 namun secara de yure posisi Level 2 tidak direlease secara resmi. Kritis dan mulut bawel ngak bisa nahan diri sehingga saya sering berantem (baca protes) di meeting kepada kepala divisi QMS yang bule Australia. Seorang yang berkarakter keras dan tidak suka dibantah. Dan akhirnya datanglah anakbuah Coklat (Cowok Klaten) yg tidak kalah keras kepala dan merasa "I hv nothing to lose".
Aturan internal perusahaan menyatakan bagi pjs yang menduduki posisi lebih dari 6 bulan secara otomatis harus dipromosi. Dan saya sudah menduduki posisi 2 tahun bahkan penilaian kinerja excellence (4). Dijalani saja, yg penting belajar. Pasti suatu ketika akan berguna ilmu dan pengalamannya.
Trade off idealism dengan hak naik gaji 50% dan fasilitas lainnya. Ngak promosi "ora pateken" meniru ungkapan penguasa Orba. Suatu hal yg juga tidak pernah saya ceritakan ke istri sampai saya resign. Karena bisa ditebak dia pasti marah besar karena "haknya" untuk hidup lebih berkecukupan tidak terjadi.
Dan status higlander Freeport memasuki tahun ke-5.
"Katanya di Freeport cuma 5 tahun? Jangan2 loe sampai pensiun di sini plus minta diextend pula", goda seorang kawan.
"D&*mput", saya misuh sambil cengengesan plus mikir dan khawatir. Target kerja 5 tahun di Freeport hampir lewat. Padahal saya saat lulus S1 10 tahun lalu saya pingin sekolah di the best MBA School Indonesia. Dan tentu adanya di Jakarta bukan di Papua. Padahal usia dah masuk 32 tahun. Sementara target S2 usia 35 tahun, 3 tahun lagi. Sementara saya masih stuck di puncak tertinggi kepulauan Nusantara.
Dan hari2 penuh pemikiran dan kontemplasi kembali hadir. Apakah semesta akan kembali berbicara?
EU4U170820
Indonesia Merdeka.
Merayakan Perbedaan Demi Kemajuan
*QMS: Quality Management Services (Divisi Strategic HR)
**X-Men: penghuni barak X Tembagapura
***: Posisi dan jabatan Staff di Freeport ditandai oleh Level. Mulai Level 1 sampai Level 7. Semakin tinggi posisi semakin tinggi level. Jabatan Non Staff menggunakan sistem berbeda.
****: Supervisor Dev Program (SDP). Management Training untuk frontline leader (Level 1 dan Level 2). Berlangsung selama 6 hari berturut-turut.
*****: Peristiwa menolak promosi ini baru diceritakan ke istri sesudah resign dari Freeport sekian tahun berikutnya. Dan hasilnya dia marah besar karena kesempatan untuk mendapatkan jatah kiriman lebih besar hilang karena idealisme 🤣.
******: Graduate Development Program (GDP) semacam program pengembangan karyawan baru level staff yang fresh graduate.

PART SIX