21 Oktober 2013

SEMINAR TPT PERHAPI 2013 - STRATEGIC DECISION MAKING


“BAGAIMANA PEMIMPIN PERUSAHAAN TAMBANG MEMBUAT DAN MENGAMBIL KEPUTUSAN BISNIS STRATEJIK DI LINGKUNGAN BISNIS YANG KOMPLEK DAN TIDAK MENENTU”

RINGKASAN
Lingkungan bisnis pada industri pertambangan di Indonesia dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling berhubungan. Faktor-faktor seperti lingkungan, lembaga sosial masyarakat lingkungan, peraturan pemerintah yang terkait dengan proses penambangan, harga komoditas hasil tambang yang berubah cepat serta dinamika hubungan perusahaan dengan masyarakat sekitar, menuntut perusahaan dan pemimpinnya untuk mampu secara cepat menyesuaikan diri dengan dinamika yang ada.

Ketidakmampuan dan keterlambatan untuk menyesuaikan diri akan mengakibatkan perusahaan kehilangan keunggulan bersaing dan dapat membahayakan kelangsungan hidup perusahaan (Teece dkk., 1997).

Hambrict dan Mason (1984) menyatakan bahwa fungsi pembuatan keputusan stratejik dan kinerja perusahaan merupakan refleksi dari karakter dan kompetensi dari para pimpinan tertingginya. Kemampuan pemimpin dalam membuat keputusan stratejik (strategic decison) sangat dipengaruhi oleh karakteristik yang dimiliki.  Hitt dan Taylor (1991) menemukan bahwa karakteristik seperti demografi, kognitif dan kepribadian akan menentukan bagaimana keputusan stratejik tersebut dibuat.

Makalah ini bertujuan menyajikan teori dan aplikasi tentang bagaimana perusahaan, khususnya pemimpin organisasi membuat keputusan stratejik (leadership skill) dalam lingkungan bisnis yang komplek.

Industri pertambangan di Indonesia termasuk dalam industri yang dapat digolongkan sebagai industri yang komplek (BMI, 2013), sehingga cara pengambilan keputusan stratejik juga harus menggunakan konsep yang berbeda dibandingkan dengan konsep pengambilan keputusan stratejik pada industri yang relatif stabil dan tidak kompleks.

Dengan demikian maka pengetahuan tentang bagaimana pemimpin tertinggi perusahaan tambang mengambil keputusan stratejik yang tepat, dalam lingkungan bisnis yang komplek akan menjadi penting dan bermanfaat baik bagi dunia pengetahuan maupun bagi praktisi bisnis khususnya di dunia pertambangan Indonesia.

LINGKUNGAN BISNIS YANG KOMPLEK (Complex Business Environment)
Kurtz dan Snowden (2003) mendefinisikan bahwa kondisi komplek sebagai kondisi dimana hubungan sebab dan akibat tidak berulang. Dengan demikian pemahaman terhadap penyebab tidak dapat dijadikan referensi untuk memprediksi apa yang akan muncul sebagai akibatnya. 

Lebih lanjut lagi, Kurt dan Snowden menyatakan bahwa lingkungan bisnis dapat dibagi menjadi 4 kondisi (domain) sebagai fungsi dari dimensi keteraturan dan kompleksitas.  Kondisi tersebut adalah Known, Knowable, Complex dan Chaos. Perubahan kondisi dari known sampai dengan chaos diakibatkan oleh perbedaan faktor-faktor yang ada didalamnya.  

Apabila hubungan antar elemen yang ada makin banyak, maka sebuah sistem semakin komplek. Apabila suatu sistem kondisinya makin tidak menentu (uncertainty) maka sistem tersebut juga menjadi makin tidak teratur. Kondisi yang makin komplek dan tidak menentu akan membuat sistem menuju kondisi yang chaos (lihat gambar 1).

 
 Gambar 1. Cynefin Domain (Kurt dan Snowden, 2003)

Pola-pola yang berbeda pada masing-masing domain membutuhkan antisipasi dan respon yang berbeda dalam menyikapinya. Antisipasi yang berbeda ini termasuk pengambilan strategic decision making (SDM). Didalam sistem yang masuk katagori known maka inisiatif proses reengineering adalah inisiatif yang tepat karena hubungan sebab akibat berulang dan dapat diprediksi.

Disisi lain, inisiatif reengineering yang intensif pada kondisi yang komplek menjadi tidak efektif. Reengineering dibangun berdasarkan asumsi bahwa lingkungan stabil dan hubungan sebab akibat jelas serta ada polanya, prasyarat ini tidak dapat dipenuhi pada lingkungan bisnis yang komplek.


 
Burns (2002) memberikan istilah kondisi komplek sebagai strange attractor zone. Kondisi ini selalu berada dalam turbulensi yang dinamis. Kondisi yang teratur dinamakan zone of stability, sedangkan kondisi yang lebih tidak teratur dinamakan zone of randomness.


INDUSTRI PERTAMBANGAN SEBAGAI INDUSTRI YANG KOMPLEK (Complex Business Environment)
George Hood (1995) dalam artikel ilmiahnya tentang kasus Windy Craggy (daerah dengan cadangan tembaga potensial) di British Columbia – Canada menemukan bahwa bisnis di industri pertambangan semakin hari menjadi semakin komplek karena banyaknya faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Faktor-faktor yang menambah kompleksitas dari industri pertambangan terdiri dari isu lingkungan, perolehan hak kuasa pertambangan (land access), masalah sosial dengan penduduk sekitar dan juga peraturan pemerintah tentang pertambangan. Hal-hal diatas menjadi makin komplek dengan semakin banyaknya pihak-pihak yang berkepentingan (Interest Group) yang mampu memaksakan berhentinya proses eksplorasi/development bahkan menutup tambang yang sudah beroperasi.

Dalam kasus Windy Craggy, Geddes Resources sebagai pemegang hak eksplorasi sangat terlambat dan tidak cukup baik dalam menetralisir pihak yang tidak setuju dengan keberadaan tambang (khususnya Enviromental Interest Group) sehingga potensi nilai tambang sebesar US$15 Milyar yang dihasilkan dari  produksi 120.000 ton pertahun selama 20 tahun tidak dapat direalisasikan.

Bola salju penolakan keberadaan tambang di Windy Craggy menjadi terlalu besar untuk diatasi, sehingga potensi penemuan cadangan lain yang sama besar bahkan lebih besar dari cadangan Windy Craggy yang sudah diindikasikan disekitarnya menjadi makin jauh dari kemungkinan dieksplorasi lebih lanjut.

O’Reagen dan Moles (2006) dalam penelitian yang lebih baru mengembangkan sebuah model yang dinamakan yang System Dynamic untuk mengukur lebih akurat lagi, pengaruh lingkungan (environmental) dalam kompleksitas yang dihadapi oleh dunia pertambangan.

Makalah ini tidak membahas seberapa jauh pengaruh lingkungan dan pengaruh faktor2 lain dalam industri pertambangan, namun lebih kepada menunjukkan bahwa industri pertambangan masuk dalam katagori industri yang kompleks. Perubahan peraturan pertambangan, tumpang tindihnya Undang-Undang yang berkaitan dengan dunia pertambangan, konflik dan potensi konflik dengan masyarakat menjadi faktor yang menambah kompleksitas industri ini.

Berangkat dari asumsi bahwa industri pertambangan merupakan industri yang masuk dalam katagori industri yang berada dalam lingkungan bisnis yang kompleks, maka syarat-syarat dan kondisi Strategic Decision Making (SDM) dalam lingkungan bisnis komplek terpenuhi dan bisa menggali lebih jauh bagaimana membuat keputusan stratejik yang tepat untuk membantu perusahaan mencapai target dan tujuan yang sudah ditetapkan sebelumnya.

STRATEGIC DECISION MAKING
Hitt dan Tayler (1991) dalam kajian mereka menyatakan bahwa proses pembuatan keputusan stratejik dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor yang utama adalah karakteristik demografik dan kepribadian serta kondisi kognitif dan pemimpinnya. Faktor lain yang juga memberikan pengaruh adalah kondisi lingkungan industri dimana perusahaan berada.

Dean dan Sharfman (1996) menyatakan bahwa pembuatan keputusan stratejik dipengaruhi oleh empat faktor utama. Keempat faktor tersebut adalah procedural rationality, political behavior, environment favorability dan quality of implementation (lihat gambar 2).


Gambar 2. Model Strategic Decision Making Effectiveness (Modifikasi dari Dean dan Sharfman, 1996)
Eisenhardt (1989) menyatakan bahwa dalam lingkungan bisnis yang makin komplek maka kecepatan pembuatan keputusan merupakan keunggulan untuk memenangkan persaingan. Keputusan stratejik yang dibuat secara cepat menurut penelitian yang dilakukan Eisenhardt menggunakan data dan juga mengembangkan alternatif keputusan yang tidak kurang banyak jika dibandingkan dengan pengambilan keputusan yang lambat.
 Untuk dapat melakukan pengambilan keputusan yang cepat, maka Eisenhardt (1989) mengajukan model pembuatan kecepatan yang cepat dalam kondisi lingkungan yang juga berubah cepat (lihat gambar 3).


Gambar 3. Model Pembuatan Keputusan Cepat (Modifikasi dari Eisenhardt, 1989)

Proses pembuatan keputusan stratejik yang cepat ini dimulai dengan melakukan tindakan: mengumpulkan real time information, mengembangkan multiple simultaneous alternatives, melakukan two tier process, menyelenggarakan concensus with qualification dan selanjutnya decision integration.

Langkah tersebut kemudian dikembangkan dengan tiga proses berikutnya yang akan memediasi yaitu: accelerated cognitive processing, smooth group process dan confident to act. Ketiga proses mediasi inilah yang akan mempengaruhi kecepatan pengambilan keputusan yang kemudian akan menghasilkan kinerja unggul.

Dalam proses melakukan pengambilan keputusan stratejik yang cepat ini maka apabila terjadi konflik harus segera diatasi. Dengan demikian proses integrasi terhadap keputusan yang diambil tetap dapat dijaga.

STRATEGIC DECISION MAKING PITFALL
Banyak orang berfikir bahwa SDM yang dilakukan dengan komprehensif akan menghasilkan strategic decision yang efektif. Proses SDM yang komprehensif menurut Jannis & Mann (1977) seperti  yang dikutip oleh Fredricson & Mitchell (1984) terdiri dari 7 langkah:
1) The thorough canvassing of a wide range of alternatives
2) Surveying a full range of objectives
3) Carefully weighing the costs and risks of various consequences
4) Intensively searching for information to evaluate alternative actions
5) Objectively evaluating information, or expert judgment regarding alternative actions 6) Reexamining the positive and negative consequences of all known alternatives
7) Making detailed plans, including the explicit consideration of contingencies, for implementing the chosen action.

Fredrickson & Mitchell (1984) dalam riset di 27 perusahaan terhadap 109 eksekutif menemukan bahwa SDM yang komprehensif hanya berlaku efektif dalam lingkungan bisnis yang stabil. Dalam lingkungan bisnis yang tidak stabil maka SDM yang komprehensif memiliki hubungan negatif terhadap kinerja organisasi.

Strategic decision making (SDM) dipengaruhi oleh tiga faktor utama didalam proses pembentukannya. Ketiga faktor tersebut adalah:
1.     Karakteristik keputusan
2.     Karakteristik pengambil keputusan dan
3.     Faktor eksternal
Papadakis & Spyros (1998) menyimpulkan bahwa faktor yang pertama menjadi faktor yang paling menentukan dalam pembuatan keputusan stratejik.
Amason (1996) menemukan fakta yang menarik tentang bagaimana keputusan yang baik ternyata dibangun karena adanya interaksi (konflik) kognitif diantara pengambil keputusan (lihat gambar 4).






Gambar 4. Pengaruh Konflik dalam SDM (Amason, 1996)

Hasil riset yang dilakukan oleh Amason (1996) menunjukkan bahwa konflik kognitif memberikan efek yang positif terhadap keputusan stratejik yang dibuat sedangkan konflik yang sifatnya emosional memberikan dampak yang negatif.

Dari model yang dikembangkan oleh Amason ini juga dapat diketahui bahwa kinerja organisasi akan meningkat apabila pengambilan keputusan mengandung 4 kondisi penting yaitu: decision quality, commitment to decision, understanding of decision dan affective acceptance of TMT members. 

KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat ditarik dari makalah ini adalah:
1.     Industri pertambangan di Indonesia masuk dalam katagori lingkungan bisnis yang komplek.
2. Dalam lingkungan bisnis yang komplek kecepatan dan fleksibelitas dalam pengambilan keputusan menjadi faktor penentu kinerja organisasi
3. Proses interaksi (konflik kognitif) diantara pengambil keputusan dibutuhkan untuk dapat menghasilkan keputusan yang baik


REFERENSI
Amason, A. (1996). “Distinguishing the effects of functional and dysfunctional conflict on Strategic Decisio Making”, Academy Management Journal, 39, 1. 
Burns, J. (2002). “Chaos Theory and Leadership Studies: Exploring Uncharted Seas”, Journal of Leadership and Organizational Studies, 9, 2.
Business Monitor International, (2013). Indonesia Mining Report Q4 2013. London: BMI. 
Eisenhardt, K.M. (1989). “Making Fast Strategic Decisions in High-Velocity Environment”,  Academy of Management Journal, 32, 3, 543 – 576.
Fredrickson, J.; & Mitchell,, T. (1984) “Strategic Decision Processes: Comprehensiveness and Performance in an Industry with an Unstable EnvironmentAcademy of Management Journal, Vol, 27, No, 2, 399-423,
Hambrick, D.E.; & Mason, P. A. (1984). “Upper echelons: The organization as a reflection of its top managers”, Academy of Management Review, 9, 193–206.
Hitt, M.A.; & Tyler, B.B. (1991). “Strategic Decision Models: Integrating Different Perspectives”, Strategic Management Journal, 12.
Hood, G. (1995). “Windy Craggy: an Analysis of Environmetal Interest Group and Mining Industry Approaches”, Resources Policy, I21, 1.
Kurtz, C.F.; & Snowden, D.J. (2003). “The New Dynamic of Strategy: Sense-Making in a Complex and Complicated World”,  IBM System Journal,  42, 3, 462.
O’Reagen, B.; & Moles, R. (2005). “Using System Dynamic to Model the Interaction Between Environmental and Economic Factors in the Mining Industry”. Journal of Cleaner Production. 14, 689-707.
Papadakis, V., Lioukas, S.; & Spyros, C. (1998). “ Strategic Decision Making Processes: The Role of Management Context”, Strategic Management Journal, 19,2.
Stacey, R. D. (1996). Complexity and Creativity in Organizations. San Francisco: Berrett-Koehler Publishers.
Teece, D.J.; Pisano, G.; & Shuen, A. (1997). “Dynamic Capabilities and Strategic Management, Strategic Management Journal, 18,7. 
Yukl, G. (2010) (7th ed.). Leadership in Organizations. Upper Saddle River, New Jersey: Prentice Hall.

Penulis:
Eko Jatmiko Utomo (ekoutomo.ems1@yahoo.co.id)
Konsultan & Praktisi HR dan Leadership Development
Saat ini sedang mengambil Doctoral Degree di S3 UI jurusan Strategic Management
Pengurus Perhapi, lulusan S1 jurusan Teknik Pertambangan ITB & S2 Magister Management jurusan Strategic Management dari Prasetia Mulya Business School (PMBS).

06 Oktober 2013

THE IMPORTANT OF LEADERSHIP DEVELOPMENT



“Leaders aren’t born, they are made. And they are made just like anything else, through hardwork. And that’s the price we’ll have to pay to achieve that goal, or any goal”

Vince Lombardi

 MY LEADERSHIP: A DOOR  FOR LEADERSHIP DEVELOPMENT

Need of Leader(s)
Tahun 2013 sungguh tahun yang menarik. Fenomena Jokowi (dan juga Ahok) menunjukkan bagaimana bangsa ini rindu dan sangat membutuhkan pemimpin-pemimpin yang memiliki kualitas yang hebat. Jokowi dalam kesederhanaannya mampu meraih simpati masyarakat karena gaya kepemimpinan yang merakyat diiringi dengan kemampuan untuk “driving for result”. Ahok sebagai wakil gubernur juga mampu berperan aktif dalam membangun organisasi (Pemerintahan Provinsi DKI) menjadi birokasi yang bersih dan berdayaguna. Bagai anda yang suka membaca dan mengikuti perkembangan mereka lewat internet, coba sekali-kali masuk kekolom komentar dari artikel yang membahas apa yang mereka lakukan. Terbaca sekali bahwa bangsa ini sungguh dahaga dengan sosok-sosok pemimpin yang benar-benar mampu memimpin.

Seminggu ini kita dibombardir dengan berita tertangkap tangannya ketua Mahkamah Konstitusi oleh KPK pada saat sedang melakukan deal-deal yang dicurigai sebagai proses untuk mempengaruhi pengambilan keputusan dalam sengketa Pilkada yang sedang ditangani. Integritas Mahkamah Konstitusi runtuh. Dunia hukum Indonesia ikut runtuh bersamanya, yang ditangkap bukan hanya sekedar aparat hukum namun PEMIMPIN sebuah lembaga hukum yang tertinggi!. Berkembang dan ambruknya sebuah bangsa tergantung Presidennya, maju dan mundurnya sebuah perusahaan tergantung CEOnya, sejahtera dan bahagianya sebuah keluarga juga tergantung pada kepemimpinan kepala rumah tangganya.

Nature Vs Nurture?
Kalau kita kemudian setuju bahwa kompetensi kepemimpinan merupakan sebuah kebutuhan yang penting dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat dan bernegara maka timbul pertanyaan berikutnya: bagaimana caranya mengembangkan kepemimpinan?.

Ada dua macam kepercayaan tentang kepemimpinan pada saat ini. Satu pihak percaya bahwa pemimpin dilahirkan (Nature). Mereka percaya bahwa memang dari “sononya” seorang anak manusia ditakdirkan untuk menjadi pemimpin karena faktor genetik yang diwariskan dari orang tuanya.

Kepercayaan yang kedua berpegang bahwa kepemimpinan itu bisa ditumbuhkan dan dikembangkan (Nurture). Pendidikan, role model, exposure dan berbagai macam pendekatan bisa dipergunakan untuk membuat seseorang memiliki kompetensi dalam memimpin.

Saya adalah penganut dari aliran  yang kedua, pemimpin itu bisa ditumbuhkan dan dikembangkan. Sebagai contoh, salah satu sifat penting yang harus dimiliki oleh pemimpin adalah terbuka. Sifat ini jelas merupakan sifat yang dapat ditumbuhkan dalam diri seorang anak kecil. Membiasakan mereka mengungkapkan pendapat, berani berargumen, mau mengakui kesalahan, jelas merupakan suatu kebiasaan yang bisa ditumbuhkan dan dilakukan oleh setiap orang tua didunia termasuk kita untuk anak-anak dirumah.

Memarahi anak yang suka bertanya (gejala umum diusia muda), memberikan jawaban  yang tidak memuaskan dan tidak memberikan kesempatan dan wadah untuk berdiskusi jelas akan menghambat pertumbuhan sifat dan kompetensi ini. Sifat-sifat pemimpin yang lain seperti listening skill, empathy, communication, execution, visionary, problem solving dlsb. berada dalam katagori yang sama, bisa diajarkan dan ditumbuhkan.

Sebagai penyusun dan pengajar kurikulum leadership development, saya sampai pada sebuah kesimpulan, bahwa sebenarnya program pengembangan kepemimpinan merupakan sebuah program yang terlambat puluhan tahun dan sifatnya kuratif. Isi dari program pengembangan kepemimpinan semuanya bisa ditumbuhkan pada saat kita masih muda bahkan anak-anak.

MY Leadership Development Program
Better late than never, sebuah ungkapan yang jelas sangat relevan dan penting. Dalam konteks kesadaran bahwa kompetensi kepemimpinan sangat kita perlukan namun kita tidak (atau belum) memilikinya maka satu-satunya cara ya harus mengejar ketertinggalan. Belajar kepemimpinan bisa dari mana-mana, baca buku, mengamati orang, melakukan refleksi diri dan juga mengikuti kelas-kelas kepemimpinan.

GKI Maulana Yusuf secara luarbiasa terpanggil untuk ikut memberikan pelayanan pembangunan kepemimpinan. Sejak beberapa tahun yang lalu, GKI MY menyelenggarakan program Leadership Development Program (LDP). MY LDP menjadi sebuah oase dari sebuah program penting yang biasanya sarat dengan kepentingan komersial namun mampu diwujudkan dalam sebuah program pelayanan yang diberikan kepada para jemaat, simpatisan dan mereka yang berminat mengembangkan kompetensi kepemimpinan yang mereka miliki.

Seorang nelayan yang bernama Petrus mau dan bersedia untuk diperlengkapi dan mengembangkan diri. Nelayan tersebut kemudian menjadi sebuah pemimpin yang hebat dari jemaat mula-mula yang kemudian mampu merubah sejarah dunia. Yang dibutuhkan sederhana, kemauan dan kesediaan untuk ditempa agar bisa memberi lebih banyak.
Bagaimana dengan anda?

Eko Jatmiko Utomo
Konsultan & Praktisi HR dan Leadership Development
Candidate Doctor (S3) UI jurusan Strategic Management
Mantan Aktivis GKI MY

HOW TO DEVELOP CONSULTANT COMPANY (2)



ESTABLISHING OPPORTUNITY SEEKING BEHAVIOR FOR CONSULTING COMPANY PRINCIPAL - EX BIG COMPANY EMPLOYEE: EXI MANAGEMENT SYSTEM (EMS) CONSULTING CASE

1.     RINGKASAN
Perusahaan konsultan (Consulting Company) adalah perusahaan yang berbasiskan pada pengetahuan. Industri konsultansi oleh Berry dan Oakly (1993) diberikan nama sebagai “Knowledge Industries”. Pemberian nama ini didasarkan kepada model bisnis yang dijalankan oleh perusahaan konsultan. Pengetahuan yang dimiliki oleh konsultan dengan menggunakan berbagai macam teknik dipergunakan untuk memecahkan masalah sehingga kondisi klien menjadi lebih baik (Weiss, 1993, 2009).

Merujuk pada model bisnisnya, maka keberhasilan perusahaan konsultan menjadi sangat tergantung kepada konsultan yang dimilikinya (Weiss, 1993; Kakabadze dkk., 2006). Dalam konteks perusahaan konsultan yang masih kecil, maka peran principal (pemimpin perusahaan konsultan) menjadi sangat penting karena merangkap posisi sebagai konsultan (karyawan) dan juga sebagai pemimpin bisnis yang harus mampu menemukan dan mengeksekui peluang bisnis dipasar.

Hofstede dkk., (2010), menyataan bahwa budaya perusahaan memiliki pengaruh yang besar terhadap karyawan yang bekerja didalamnya. Principal yang mantan karyawan sebuah perusahaan besar tentu akan banyak dipengaruhi oleh budaya dari perusahaan dimana dia bekerja, disisi lain peran baru sebagai entrerener dan pemimpin bisnis membutuhkan budaya kerja yang berbeda.

Perusahaan yang besar akan cenderung mengembangkan perilaku advantage seeking untuk mempertahankan keunggulan bersaing yang dimiliki (Siren, dk., 2012). Perilaku ini tentu saja akan sangat mempengaruhi karyawan yang berada didalamnya. Disisi lain, untuk menjadi seorang enterprener dibutuhkan perilaku opportunity seeking.

Pengembangan perilaku-perilaku yang memperkuat perilaku opportunity seeking jelas menjadi keharusan bagi principal sebuah perusahaan konsultan yang ingin mempertahankan dan mengembangkan perusahaannya lebih tinggi lagi. Hal ini juga berlaku untuk principal dari Exi Management System (EMS) Consulting. Principal EMS merupakan mantan karyawan dari beberapa perusahaan besar baik perusahaan konglomerasi Indonesia maupun perusahaan multinasional. Dengan demikian perkembangan bisnis dari EMS akan sangat tergantung dari seberapa baik dan cepat principal EMS untuk belajar dan mengembangkan perilaku opportunity seeking.

2.     TINJAUAN TEORI STRATEGIC ENTREPRENEUR 
Ireland, dkk. (2003) menyatakan bahwa dalam rangka mencapai penciptaan kekayaan (Wealth Creation) maka serangkaian proses dan aktivitas harus dimiliki dan dilakukan oleh seorang entreprener. Enteprener disyaratkan untuk memiliki pola pikir (Mindset), budaya (Culture) dan kepemimpinan (Leadership) yang tepat agar mampu mengelola sumberdaya yang dimiliki dalam menjalankan usaha.

Ireland dkk., menambahkan bahwa serangkaian sumberdaya yang dimiliki, baik itu sumberdaya manusia, keuangan dan juga sosial harus dikelola secara inovatif untuk dapat menciptakan keuanggulan bersaing yang pada akhirnya mampu untuk menciptakan kekayaan.

Peluang bisnis muncul pada saat dipasar atau diindustri terdapat kondisi kompetisi tidak seimbang (competitive imperfetion). Penganut teori entrepreneur paham discovery menyatakan bahwa munculnya competitive imperfection dikarenakan perubahan yang terjadi seperti teknologi, pasar, lingkungan, budaya dan lain-lain. Penganut paham creation menyatakan bahwa competitive imperfection muncul karena dibuat oleh sang entreprener untuk membuka kesempatan bagi produk atau jasa yang dibuatnya (Alvarez dan Barney, 2007).

Sebuah organisasi yang maju dan berkembang maka disyaratkan memiliki budaya perilaku yang cukup seimbang antara opportunity seeking (OS) dan advantage seeking (AS). Perilaku OS dibutuhkan agar perusahaan mampu mengenali dan mengeksploitasi peluang yang ada dipasar atau industri. Sedangkan perilaku AS dibutuhkan agar peluang yang diambil dapat dieksplotasi dengan maksimal dengan mengembangkan keunggulan bersaing yang dimiliki oleh perusahaan (Siren dkk., 2013; Ireland dkk, 2003).

Jika Ireland dkk. (2003) fokus pada dimensi Mindset, Culture dan Leadership sebagai prasyarat yang harus dimiliki oleh seorang entreprener, maka Dyers dkk. (2008) dengan lebih tajam lagi menukik pada perilaku apa yang membedakan antara karyawan dan entreprener. Riset mereka mencoba menjawab tentang variabel-variabel apa yang membedakan antara entreprener dan manager.

Dyers dkk., menyatakan bahwa enterprener memiliki cognitive yang berbeda dibandingan dengan karyawan perusahaan. Entreprener memiliki apa yang dinamakan sebagai bias againt the status quo. Sebuah cognitive pemikiran yang langka dan cenderung menimbulkan masalah diperusahaan besar yang aktif mengembangkan AS. Perusahaan tentu saja lebih mendorong karyawan mereka untuk lebih berperilaku AS dibandingkan OS.

Bias ini yang kemudian mendorong associational thinking yang dibutuhkan dalam opportunity recognation atau opportunity seeking. Ada 4 perilaku utama associational seeking. Perilaku itu adalah Questioning, Observing, Experimenting dan Networking (Dyers dkk., 2008).

Perilaku questioning adalah perilaku mempertanyaan terhadap kondisi status quo yang ada. Setiap karyawan sebenarnya juga memiliki perilaku questioning,  namun lebih kepada bertanya bagaimana melakukan proses kerja. Perilaku observing adalah perilaku pengamatan kondisi lingkungan apapun kondisinya, baik itu hal baru maupun kondisi sehari-hari. Perilaku observing ini kemudian diteruskan dengan perilaku questioning. Perilaku experimenting adalah perilaku untuk melakukan uji coba baik secara mental maupun fisik terhadap hal-hal baru. Tujuan dari perilaku ini untuk mendapatkan informasi tambahan tentang apa yang diamati dan ditanyakan. Perilaku keempat adalah perilaku networking. Seperti juga perilau questioning, perilaku networking juga dilakukan oleh karyawan, yang membedaan adalah konteks dan tujuan dari perilaku tersebut. Karyawan melakukan networking dengan tujuan untuk kesempatan karir, penjualan produk atau jasa perusahaan atau mencari sumberdaya yang dibutuhkan oleh perusahaan. Entreprener melakukan perilaku networking untuk mengembangkan ide-ide dan mendapatkan perspektif yang berbeda yang penting bagi bisnis mereka (Dyers dkk., 2008).

3.     PERAN PRINCIPAL DALAM PERUSAHAAN KONSULTAN
Pemimpin perusahaan seperti Chief Executive Officer (CEO) atau principal dalam perusahaan konsultan akan mewarnai dan mempengaruhi kemampuan organisasi dalam mengelola perusahaan agar mencapai target yang ditetapkan (Weiss, 2003, 2009; Hambrict and Mason, 1984; Waldman dkk., 2001).

Perusahaan konsultan yang merupakan bagian dari knowledge industries (Berry & Oakley, 2003) biasanya memiliki ukuran perusahaan yang relatif kecil dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan lain dari industri yang berbeda. Weiss, (2003, 2009) menyatakan bahwa ada tren yang berkembang khususnya di Amerika, yaitu perusahaan konsultan dengan hanya memiliki satu orang karyawan yaitu pemilik bisnis itu sendiri. Perusahaan ini dinamakan solo practitioner dimana principal merangkap sebagai konsultan dan tentu saja juga bertugas mengembangkan bisnis. Pekerjaan-pekerjaan yang lain yang bersifat administrasi dialihdayakan sehingga perusahaan menjadi ramping dan hampir semua biaya yang muncul menjadi variable cost.

Kemampuan principal ex-perusahaan besar dalam membantu kondisi klien didapatkan dari proses pembelajaran dan pengalaman pada saat bekerja sebelumnya. Namun kemampuan pengembangan bisnis perusahaan (opportunity seeking) harus dibangun agar perusahaan tumbuh dan berkembang. Untuk itulah maka perilaku questioning, observing, experimenting dan nextworking harus dipupuk dan dipelihara.

4.     MENDORONG PERTUMBUHAN PT. EXI MANAGEMENT SYSTEM (EMS) 
EMS yang didirikan pada tahun 2011 memiliki tujuan untuk turut serta dalam membangun kapabilitas nasional (http://www.eximanagement.com/about). Untuk dapat berkontribusi sesuai dengan tujuan tersebut maka EMS memiliki misi dengan cara memberikan pelayanan dengan kualitas yang baik dengan cara pembangunan kompetensi dan kapabilitas dari karyawan klien.

Untuk mencapai tujuan tersebut, maka principal dibantu oleh para partner mengembangkan perencanaan bisnis secara agresif. EMS yang mulai dikelola secara penuh pada tahun 2013 ditargetkan tumbuh 100% dalam pendapatan selama tiga tahun berturut-turut sampai dengan tahun 2015.

Selain mengembangkan keunggulan bersaing agar mampu bersaing dengan nama-nama besar diindustri sejenis seperti Daya Dimensi Indonesia (DDI), Hay Consult, Mercer dan lain-lain, maka EMS dalam hal ini principal harus tanggap dan sigap dalam mengambil dan menciptakan peluang bisnis dengan perilaku OS yang dimilikinya.

Dalam organsasi yang sangat ramping dengan hanya memiliki 3 orang karyawan permanen termasuk principal maka perilaku opportunity seeking juga harus ditularkan kepada dua karyawan yang lain. Dengan demikian potensi pertumbuhan EMS tidak hanya semata-mata mengandalkan bisnis yang didapatkan oleh principal namun juga oleh dua karyawan yang lain.

Perilaku opportunity seeking yang digabungkan dengan advantage seeking menghasilkan strategi referal (Weiss, 2003) dengan memberikan value proposition yang jauh lebih tinggi kepada siapapun yang membawa bisnis ke EMS. Strategi ini terbukti membawa EMS tumbuh ditahun 2013 sesuai dengan target yang sudah ditetapkan.

5.     PENUTUP DAN KESIMPULAN 
Principal dalam perusahaan konsultan skala kecil menjadi tumpuan utama perkembangan perusahaan (Weiss, 2003; Farrell, 1997), dengan demikian kemampuan principal dalam mengenali dan mengeksploitasi kesempatan bisnis yang ada menjadi vital bagi perusahaan.

Bagi principal yang sebelumnya merupakan karyawan pada perusahaan besar, maka perilaku opportunity seeking harus dipupuk dan dikembangkan. Perilaku tersebut mencakup questioning, observing, experimenting dan nextworking terhadap hal-hal yang bersifat status quo sehingga perusahaan mampu menangkap dan menciptakan peluang bagi pertumbuhan organisasi.

Proses pengembangan perilaku opportunity seeking menjadi keharusan bagi setiap karyawan perusahaan besar yang ingin membangun bisnis konsultasi berlandaskan kemampuan dan pengelaman kerja sebelumnya.



REFERENSI

Alvarez, S. A.; & Barney, J. B., (2007). “Discovery and Creation: Alternative Theories of Entrepreneurial Action”, Strategic Entrepreneurship Journal, 1, 11-26.
Berry, A.; & Oakley, K., (1993). “Consultancies: Agent of Organizational Development – Part 1”, Leadership and Organization Development Journal, 14, 5.
Dyer, J. H.; Gregersen, H. B.; & Christensen, C., (2008). “Entrepreneur Behaviors, Opportunity Reognition and the Origins of Innovative Ventures”, Strategic Entrepreneurship Journal, 2, 317-338.
Farrell, L. A., (1997). “So You Want to be a Consultant...”, Record Management Quarterly, 13, 1.
Hambrick, D. E., & Mason, P. A. (1984). “Upper echelons: The organization as a reflection of its top managers”, Academy of Management Review, 9, 193–206.
Hofstede, G.; Hofstede, G.J.; & Mincov, M., (2010).  Cultures and Organizations: Software of the Mind. New York: McGraw-Hill.
Ireland, D.; Hitt, M. A.; & Sirmon D. G., (2003). “A Model of Strategic Entrepreneurship: the Construct and its Dimensions”, Journal of Management, 29, 6.
Kakabadse, N.; Louchart, E.; & Kakabadse, A., (2006). “Consultant’s Role: a Qualitative Inquiry from the Consultant’s Perspective”, Journal of Management Development, 25, 5.
Nonaka, I., (1994). “A Dynamic Theory of Knowledge Management Creation”, Organization Science, 5, 1.
Siren, C. A.; Kohtamaki, M.; & Kuckertz, A., (2012). “Exploration and Exploitation Strategies, Profit Performance, and the Mediating Role of Strategic Learning: Escaping the Exploitation Trap”, Strategic Entrepreneurship Journal, 6, 18-41.
Szulansky, G., (2003). Sticky Knowledge: Barrier to Knowing in the Firm. London: SAGE Publications.
Waldman, D. A.; Ramirez, G. G.; & House, R. G., (2001). “Does leadership matter? CEO leadership attributes and profitability”, Academy of Management Journal, 44, 1.
Weiss, A., (2003). Organizational Consulting. New Jersey: John Wiley and Sons.
Weiss, A., (2009). Million Dollar Consulting. New York: McGraw Hill.