27 September 2015

ABK Watching Movie? No Problem at All!

Dunia Dari Kacamata ABK

Anak berkebutuhan khusus (ABK) cenderung sangat sensitif terhadap stimulus. Kerumunan orang, suara keras, cahaya dosis tinggi (terang benderang) akan memacu mereka untuk kaget, takut, marah dan kemudian histeris.

Bentuk histeris bisa dengan menangis kencang2, berteriak, menutup mata dan telinga dan bahkan berguling2 dilantai. Mereka lakukan itu untuk menghambat dan lari dari stimulus yang mengganggu mereka.

Alih2 untuk menonton bioskop, untuk diajak jalan2 ke Mall dimana bioskop berada sudah merupakan perjuangan yang luarbiasa. Sebuah bentuk ketahanan mental dan fisik baik untuk anak ABKnya maupun pendamping mereka. Secara fisik karena harus memegangi mereka yang punya ekstra tenaga, secara mental karena pasti jadi center of the mall universe pada saat ABK histeris.

Thesa dan Jason, laiknya anak ABK yang lain mengalami hal yang sama. Sangat sensitif terhadap stimulus. Dunia luar yang ramai dan riuh bukan dunia yang membuat mereka nyaman. ABK cenderung butuh dunia yang tenang, dunia mereka sendiri. Dunia sunyi.

Now or Never

Sebagai orang tua, Aku dan istriku memandang bahwa sooner or later, the Utomos (Thesa Utomo dan Jason Utomo) mau ngak mau harus berhubungan dengan dunia luar. Dengan segala macam stimulus yang bisa memacu mereka tantrum (mengamuk) dan histeris. Kami berpikir bahwa "membiasakan" mereka sejak dini akan lebih mudah daripada kalau mereka sudah besar. Proses adaptasi pasti butuh waktu, mumpung masih kecil dan mumpung kami orangtuanya masih muda.

Setiap minggu Thesa dibawa ke Sekolah Minggu (SM) oleh istriku. Bukan hal yang mudah karena aku pada saat itu masih berkarir di Freeport Indonesia di Papua dan baru pulang ke Bandung (rumah pada saat itu) setiap 2 bulan sekali. Apalagi pada saat Thesa sudah bisa berlari2 dan bayi Jason muncul. Membawa mereka berdua ke SM ditengah kota dan bertahan disana selama 2 jam merupakan perjuangan yang sangat menantang.

Thesa yang superaktif belajar bertemu dunia. Bertemu dengan teman sebaya, bertemu dengan berbagai macam jenis stimulus yang membuat Thesa kadang2 murka. Terimakasih untuk para guru SM di GKIMY yang sudah sangat sabar menjaga Thesa si hyper lari sana lari sini, panjat sana dan panjat sini. Jason di fase ini sungguh membantu, anteng dan pengamat yang baik dari polah tingkah kakak yang hiper.

Setiap kesempatan bergaul, baik itu ke tempat terapi, mall, SM, undangan, lebaran di kampung semuanya dimanfaatkan seintesif mungkin untuk membantu Thesa "menjinakkan" stimulus luar dan mengontrol respon dirinya. Menutup muka, histeris dan lari hal yang biasa. Menurutku kuncinya kami (istriku yang lebih penting karena setiap saat berinteraksi) sebagai orangtua menerima bahwa anak kami ABK dan kami sedang mempersiapkan mereka melihat dunia dengan cara berbeda dan mungkin lebih intens dan lama dibandingkan anak biasa.

Go to the Next Level: Movie Time

Tahun 2008 aku pindah kerja ke group Lippo. Kami juga pindah tempat tinggal di bilangan BSD Serpong. Thesa (6 tahun) dan Jason (4 tahun) sudah lulus menaklukkan stimulus kerumunan mall. Kalau sekali dua kali kambuh itu merupakan hal yang biasa, they still on processing mode.

Aku dan Istriku hobi nonton film. Setiap film bagus pasti kami tidak pernah lupa nonton. BSD punya 2 bioskop (21 dan Blitz) yang letaknya sepelemparan batu dari rumah. Asik juga nonton film berdua, pacaran istilah kami kalau pamitan ke the Utomos dirumah.

Sampai kemudian muncul sebuah pemikiran, kalau stimulus mall sudah bisa ditaklukkan mereka, why not go to the next level? ABK watching Movie? masak kami pacaran terus? Thesa dan Jason juga punya hak untuk nonton film favorite mereka di Bioskop.

Sebuah Proses Perulangan

Bioskop diciptakan untuk memanjakan panca indra manusia. Caranya? dengan memberikan stimulus to the max. Layar bioskop yang besar akan memberikan stimulus visual yang ekstrim, suara dolby sterio juga memberikan stimulus yang luarbiasa pada sistem audio manusia, teknis sinematika yang canggih akan mampu mengaduk2 emosi penontonnya. Semua serba max, bahkan untuk anak normal. Apalagi untuk ABK yang sangat sensitif terhadap stimulus panca indera.

Aku dan istriku akan membawa dua anak ABK mengarungi dahsyatnya stimulus di bioskop. Sama menantangnya seperti mengajari mereka naik sepeda sambil berdiri pegang stang satu tangan. Sebuah hil yang mustahal kata banyak orang. Namun bukannya selalu ada kali pertama?

Dan waktunya tiba, percobaan pertama. Tiket sudah di tangan, komunikasi ke the Utomos juga sudah dilakukan. Sabtu sore kami akan nonton film. Tiket dirobek penjaga bioskop, kami berjalan di lorong yang gelap. Thesa menangis dan Jason mogok, oke guys ........... let's go back home.

Film berikutnya .................. lumayan, sudah jalan sampai depan layar sebelum balik kanan grak mari kita pulang.

Film berikutnya ................. sempat duduk satu menit sebelum tangisan meningkat ke level 100 desibel dan pantat harus segera diangkat dari kursi.

Film yang kesekian .............. rekor 30 menit tercapai.

Masuk tahun ketiga ..................... akhirnya Thesa dan Jason berhasil duduk diam selama 100 menit di gedung bioskop. Mereka mampu menaklukkan stimulus bioskop.

Siapa bilang ABK tidak bisa nonton di Bioskop?

BSD City, 27 Sept 2015
EU4U

"How to Train ABK to Ride a Bike"

Belajar, Sebuah Perjalanan Kesabaran dan Ketekunan.

Dalam sesi coaching dan training terhadap para profesional, saya sering ketemu dengan coachee dan trainee yang berkeluh kesah dan hampir putus asa saat berlatih sebuah kompetensi.

Mereka mengeluh karena mencoba berkali-kali namun tidak berhasil juga. Berminggu-minggu mereka mencoba dan mencoba dan tidak berhasil. Hitungan bulan kemudian mereka menyerah. Dan melihat harapan akan karir terbang bak balon ditiup angin.

Untuk mereka yg cepat putus asa. Aku ceritakan perjalanan 2 ABK belajar bagaimana menghadapi dunia dan memeluknya. Perjalanan yang tentu saja panjang, tak pernah selesai, namun menyenangkan.

Thesa dan Jason, 2 ABK Memeluk Dunia

Tigabelas tahun lalu, Thesalonika terlahir normal. Bagi istriku, melahirkan Thesa anak pertamanya,  butuh perjuangan dan bantuan induksi serta raungan kesakitan selama 7 jam sebelum pembukaan 10 terjadi dan Thesa melihat dunia, untuk pertama kalinya.

Bayi cantik rambut tebal bak Dora the Explorer tumbuh seperti layaknya bayi lain. Sampai kemudian saat 10 bulan kami curiga karena tiada kata keluar dari mulut Thesa.

Dokter memberikan diagnosa kemungkinan Thesa menderita Autis atau ADHD. Dugaan menguat karena baru bulan ke-22 Thesa baru bisa berjalan. Tetap tiada kata yang keluar dari mulutnya. Sejak saat itu Thesa rutin ikut terapi, segala macam terapi.

Jason lahir, 27 bulan lebih muda dari Thesa. Disaat Thesa sedang tantrum (mengamuk), adiknya hanya duduk diam melihat. Disaat Thesa "anteng kitiran" (hiperactive), Jason bermain dengan tenang di kursinya.

Aku dan istriku sempat berharap, Jason normal dan bisa membantu perkembangan Thesa. Ternyata Jason juga ABK. Speech delay dan memiliki masalah dalam Sensory Integrity.

Sepeda yg Menggoda

Thesa tergoda melihat sepeda, Jason juga. Sangat wajar, sewajar anak kecil seusia mereka. Thesa 5 tahun dan Jason 3 tahun. Saat Thesa ultah dan dapat hadiah sepeda, Jason kecipratan hadiah sepeda yang sama.

Motorik halus dan kasar Thesa belum cukup berkembang. Naik sepeda membutuhkan sinkronisasi antara pikiran dan otot. Anak normalpun membutuhkan waktu 6 tahunan untuk mengembangkan sinkronisasi otak dan otot untuk bisa naik sepeda. Apalagi anak ABK.

Butuh 1 tahun bagi Thesa dan Jason untuk berani menaiki sepeda roda 4nya. Sebelumnya Thesa hanya berani menuntun dan naik sepeda yg diam.

Butuh 1 tahun bagi duo Utomo (Thesa n Jason) untuk bisa mengayuh sepeda roda 4 dengan benar. Selama ini mereka menjalankan sepeda dengan dorongan kakinya, juga untuk mengerem. Mereka belum bisa mengerem dengan jari tangan. Mengerem sepeda butuh sinkronisasi dan koordinasi tingkat tinggi otak dan otot bagi mereka. Jadilah sendal sering ganti karena multifungsi sebagai rem sepeda.

Melihat mereka sudah cukup mahir naik sepeda roda 4, aku nilai sudah saatnya satu roda aku copot. Sepeda roda 4 berubah menjadi sepeda roda 3. Untuk satu minggu Thesa kembali ke habit lama, mendorong sepeda. Thesa takut naik sepeda roda 3.

Sesudah dibujuk dan disemangati akhirnya berani juga Thesa naik sepeda roda 3. Semuanya serba kiri. Belok kiri, berhenti kiri, naik juga kiri. Karena roda ketiga ada disebelah kiri.

Ride a Bike Moment of Truth

Sesudah 3 bulan, Thesa and her follower (Jason) sudah mahir naik sepeda roda 3. Bahkan mereka tidak sadar sudah bisa naik sepeda roda 2. Saat berjalan kencang, posisi sepeda seimbang dan roda ketiga terangkat. Bahkan kebiasaan serba kiri sudah hilang. Thesa berani belok kanan.

Sudah saatnya roda kecil dicopot. Sepeda roda 4 berubah jadi sepeda roda 2. Thesa dan Jason kembali ke habit lama, menuntun sepeda. Sesudah diyakinkan dan janji dipegangi, Thesa kembali mencoba naik sepeda.

Akhirnya pada usia 8 tahun Thesa bisa naik sepeda. Bahkan bisa berdiri dan hanya pegang stang 1 tangan. Butuh 3 tahun buat Thesa belajar naik sepeda. Lebih lama dari anak biasa .... tapi bisa. Hanya dibutuhkan kesabaran, semangat, inovasi cara dan ketekunan. Sampai tantenya yang terapis tumbuh kembang anak terpesona. Keponakannya bisa naik sepeda, tiada beda dari anak tetangga.

Ada banyak jalan menuju ke Roma.
Ada banyak jalan untuk bisa naik sepeda.

Salam hangat dari Thesa n Jason
Keep Learning and never be satisfied.

EU4U
Sept, 26

28 Agustus 2015

Sidang Proposal 2

Story Behind the Scene.

Ruangan sidang doctoral itu sepi dan menegangkan. Semua wajah serius dan tegang. Hmmm semua serius sih iya, cuma kalau yang tegang sebenarnya cuma satu, yg lagi berdiri dan disidang (baca dibombardir pertanyaan). Raut mukanya tegang merefleksikan pikirannya yg kebat kebit.

"Pak Eko!" ketua sidang merangkap dosen penguji berseru.
"Siap bu" jawab mahasiswa dengan tenang (ditenang-tenangkan sebenarnya).
"Draft kuesioner anda ini masih kacau, face validity anda rendah sekali", dosen lulusan Inggris yg sudah jadi dosen di 4 negara memandang tajam.
"Anda ingat ngak apa itu face validity?", si ibu bertanya lebih dalam karena lihat muka yg diuji "blank".
"Maaf bu, saya lupa. Hanya ingat istilahnya dulu saat ibu mengajar 3 tahun lalu", jawab mahasiswa tenang, polos dan naif.

Sontak ruangan sidang ramai dengan tertawa dosen penguji dan dosen pembimbing.
"Wah..... ibu ketua sidang bagaimana sih sebagai dosen pengajar? Mahasiswanya sampai lupa? Dapat A lagi dulu nilainya, benar kan pak Eko?", selak Prof. Martani penguji paling senior yg mantan Dirjen itu sambil bergurau.

"Betul Prof., dapat A. Salah saya yg pendek ingatan", aku sang mahasiswa polos.
Dan seisi ruangan hangat oleh senyuman.
"Pak Eko terlalu banyak pikiran Prof.", kata dosen ketua sidang membela mahasiswanya sekaligus membela nilai yg diberikan.

11 Juli

KRITIK & PENGHINAAN dalam perspektif komunikasi leadership

Ada 3 jenis cara komunikasi: Pasif, Asertif dan Agresif. Cara Pasif adalah cara "ngalahan", digebukin dan "dibully" ya diam saja. Istilah lain yang cocok menggambarkan cara komunikasi ini adalah sansak bag.

Ketemu anjing Herder atau Bulldog yang mengeram dan menyalak mau menggigit dan menyerang adalah gambaran yang tepat untuk cara komunikasi Agresif. Si Agresif sangat senang untuk mendominasi dan selalu menciptakan kesempatan untuk menunjukkan dominasinya, at all cost.

Asertif adalah Mawar merah, kita tahu indah namun "watch out" para pemetik, ada duri yang akan menyengat kalau dikau menganggunya. Cara Asertif adalah jalan hidup Cat 797 Dump Truck, sang godzila pengangkut 400 ton sekali jalan yang produktif dan disegani.

Apa pembeda ASERTIF dan AGRESIF? Saat ketemu dengan sesuatu yang tidak sepaham sepemikiran, sang Asertif tidak segan untuk menyerang PERILAKU, PERBUATAN atau KEBIJAKAN itu. Lain lagi sang Agresif, alih2 fokus pada perilaku, Agresif menyerang pada PRIBADI orang yang berseberangan.
Agresif: "Dasar Jokowi turunan China antek Komunis dan Kapitalis pelanggar HAM!"
Asertif: "Saya tidak suka dan tidak setuju KPK dilemahkan dan Buwas dibiarkan berkeliaran. Memunculkan kembali ayat pasal penghinaan Presiden membawa kembali ke orde diktator ala Orba".
Pasif: ................................................................

Menyerang tindakan/perbuatan/kebijakan, dalam artikulasi lain dinamakan KRITIK. Menyerang pribadi orang yang tidak sepaham dinamakan PENGHINAAN. Asertif menerima perbedaan: agree for not agree. Agresif hanya kenal satu nada, semua harus sama menurut dia.

Cara komunikasi Pasif akan memancing orang lain untuk menjadi Pasif juga atau malah Agresif. Cara komunikasi Agresif membuat orang lain jadi Pasif atau Agresif. Asertif membuat orang jadi Asertif dan jalan win win menjadi peluang yang bisa diwujudkan.

Mau jadi KRITIKUS atau Pembully yang jago MENGHINA, itu pilihan anda.

EU4U
Met Pagi
Agustus 2015

Penggusuran Kampung Pulo: Perspektif Diametrikal

Layar TV nasional hari ini penuh dengan gambar bentrok antara aparat pemerintah (khususnya Satpol pp) dengan warga Kampung Pulo.

Masalahnya jelas, warga Kampung Pulo yang sudah menempati bantaran kali Ciliwung selama puluhan tahun ini tidak mau pindah ke rusun yang sudah disediakan oleh Pemprov DKI. Warga maunya selain difasilitasi rusun juga diberikan uang ganti rugi karena sudah puluhan tahun menduduki tanah negara.

Saya tidak sedang berkehendak menyatakan siapa yang benar dan siapa yang salah antara Pemprov DKI vs Warga Kampung Pulo, namun mengangkat fenomena menarik dalam kasus ini.

Sosial media dan internet sejak Pilpres tahun lalu, terbukti menjadi alat pertempuran dan propaganda yang efektif bagi political marketing. Sisi buruknya massa (yang terhubung denga sosmed) sangat mudah sekali untuk digosok dan diprovokasi. Sisi positifnya masyarakat memiliki akses yang sama cepatnya untuk meneriakkan suara hati tanpa harus lewat pak polisi atau politisi.

"Dasar ngak sadar diri, sudah menjadi penghuni liar puluhan tahun saat diminta pindah masih minta uang ganti rugi!"
"Masih mending disediakan rusun, harusnya dituntut dan dihukum karena menduduki tanah negara"
"Tangkap mereka yang menyerang aparat dan melakukan perusakan backhoe"
-Kutipan suara sosmed pro pemprov-

"Pemerintah ingkar janji, katanya akan diperlakukan manusiawi, nyatanya digusur semena-mena"
"Warga Kampung Pulo bukan warga liar, mereka bayar listrik dan PBB juga. Seharusnya dibantu sertifikasi tanahnya, bukan malah dianiaya"
"Ternyata rakyak kecil hanya jadi tumbal kampanye. Saat tidak dibutuhkan digusur-gusur"
-Kutipan suara sosmed pro warga Kampung Pulo-

Dua jenis suara yang berbeda, bagai bumi dan langit, bagi kutub Selatan dan kutub Utara untuk sebuah hal yang sama!

Jadi apa yang sebenarnya membuat dua pihak menjadi sedemikian diametrikal (berlawanan) untuk hal yang sama?

Stimulus dari luar (dalam kasus ini penggusuran Kampung Pulo) sebelum direspon oleh sebuah pribadi diseleksi (difilter) terlebih dahulu oleh Pengetahuan, Kepercayaan, Budaya, Intensi, Sifat dan Nilai2 yang dimilikinya. Sehingga apapun stimulus yang masuk akan termanipulasi sedemikian rupa sehingga menyesuaikan dengan filter yang dimiliki.

You are what you think
You see what you want to see
Your perception is your projection (yPyP)

Ada kemiripan dengan konsep "Law of Attraction". Kalau LoA semesta akan mendukung/memenuhi apa yang kita inginkan, maka konsep yPyP memperlihatkan bahwa value kita menuntun apa yang akan kita lihat dan persepsi seperti apa yang akan terbangun.

Penggusuran Kampung Pulo merupakan sebuah peristiwa yang nirvalue, hanyalah sebuah peristiwa, kita (para filter) yang kemudian memberikannya makna. Makna yang mana? ya terserah (filter) anda.

Kalau anda melihat sekeliling hitam, gelap dan menakutkan, jangan2 anda salah pilih filter? Cepat2 ganti filter jangan sampai terlanjur mabok dan keblinger

Happy Thursday
EU4U
Agustus 2015

LGBTI, Problematika dan Tuntutan Eksistensi. Perspektif hubungan pribadi dan menyikapi pernikahan sejenis



“Love but not agree - mengasihimu namun tidak menyetujuimu”

Eko Utomo

 

Sebuah Titik Tolak Baru
Pada sebuah percakapan WhatsApp (WA) Group:
Kawan 1: “Pernah berhubungan langsung dengan Gay & Lesbian ngak?”.
Kawan 2: “Pernah, ada yang teman kerja dan ada yang teman beraktivitas diluar kerja”
Kawan 3: “Bagaimana caranya tahu kalau mereka itu Gay atau Lesbian?”
Kawan 2: “Kalau sering bergaul maka kita bisa merasakan dan melihat ciri2nya”.
Kawan 1: “Bagaimana bersikap terhadap mereka?”
Kawan 2: “Yang rekan kerja? Ya biasa saja, yang penting sesuai aturan perusahaan”.

Diskusi tentang Lesbian Gay Bisexual Transgender & Intersex (LGBTI) menjadi topik yang hangat yang banyak diperbincangkan di forum-forum dan media sosial termasuk media sosial tertutup semacam WA group. Fenomena ini dipicu oleh disahkannya Gay Marriage (GM) oleh Supreme Court Amerika (yang juga disetujui oleh Presiden Obama) pada tanggal 26 Juni 2015.

Didunia tanpa batas seperti sekarang ini, dentuman di Amerika segera terdengar gaungnya di Indonesia yang berjarak puluhan ribu kilometer. Banyak profile picture (PP) pengguna sosial  media berubah dengan warna pelangi, simbol dukungan terhadap pernikahan LGBTI. Pro dan kontra terjadi, termasuk pada kalangan orang Kristen Indonesia yang goyah pandangannya dan kebingungan cara menyikapinya. 

Dalam Alkitab, Yesus menyatakan dengan jelas dan tegas bahwa pernikahan itu dilakukan oleh laki-laki dan perempuan (Matius 19:4-6), pernikahan tidak dilakukan oleh laki-laki dengan laki-laki, perempuan dengan perempuan dan juga bukan manusia dengan binatang atau tumbuhan. Tujuan dari pernikahan laki-laki dengan perempuan ini agar manusia bisa berkembang dan memenuhi bumi (Kej 1:28). Nah, kalau sesama jenis dan beda spesies jelas tujuan berkembang biak tidak akan terpenuhi bukan?

Hak Asasi & Tuntutan
Bagaimana dengan dengan Hak Asasi Manusia? Bukankah LGBTI juga manusia yang juga memiliki hak yang sama untuk melakukan pernikahan di gereja? Tuntutan ini ibaratnya menemukan anak tersesat dikeramaian dan mengklaim bahwa anak itu hak dia sebagai penemunya. Lembaga perkawinan didirikan sebagai standar moral manusia oleh Tuhan. Untuk apa gay harus melakukan pernikahan di gereja? Agar memenuhi standard moral? Bukankah menjadi seorang gay sudah dengan sendirinya tidak masuk dalam standard moral kekristenan? Dalam hal ini kita tidak berbicara tentang benar dan salah secara relativisme namun pemenuhan sebuah standar aturan dalam kekristenan yang sudah ditetapkan dan dituliskan sebagai pedoman menurut Alkitab.
Jadi jelaslah bahwa GM bukan merupakan masalah hak asasi namun merupakan masalah moral. Allah jelas menyatakan bahwa hubungan laki-laki dengan laki-laki masuk dalam katagori kemesuman yang dibenci olehNya (Roma 1: 26-32). Masuk ke lembaga pernikahan dengan restu pemerintah dunia “monggo” silahkan, itupun jika pemerintah menyetujui. Namun pernikahan sejenis dan minta restu ke gereja jelas sebuah kekacauan berpikir. Kalau standar manusia yang dipakai, tidak akan lama lagi kawin dengan binatang, saudara sekandung dan juga kawin dengan anak dibawah umur juga minta untuk disahkan. Heran? Jangan! silahkan google. Tuntuan atau tindakan ini sudah banyak terjadi diberbagai tempat di Bumi yang makin tua ini. Gereja berdiri dengan seperangkat nilai-nilai, aturan dan pedoman. Gereja yang mengingkari nilai-nilai dan pondasinya jelas bukan gereja lagi.
Bukannya orang Kristen diajarkan untuk tidak menghakimi? (Matius 7:1-2). Benar bahwa kita tidak diperbolehkan menghakimi orang lain dengan alat ukur kita sendiri. Kita juga tidak boleh menghakimi orang lain hanya dari penampilannya namun menghakimi orang harus dengan benar (adil). Maksudnya? Dengan  menggunakan alat pengukuran yang sudah diberikan oleh Tuhan (Roma 1:26-32), karena yang berhak menjadi hakim Tuhan dan bukan manusia. Maka alat penghakiman yang dipakai adalah alat penghakiman sang hakim. Kalau alat ukur yang sudah diberikan tidak kita pakai dan dicampakkan, lebih berintegritas kalau menjadi orang ateis saja daripada mengaku Kristen tadi tidak hidup menurut nilai-nilai ajaran Kristen.
Sikap Pribadi
Menjadi LGBTI adalah sebuah pilihan mungkin beberapa menyebutnya sebagai naluri, tentu dengan segala konsekuensinya. Namun melakukan pernikahan sejenis jelas sebuah pilihan, GM yang disahkan oleh pemerintah (Amerika misalnya) mungkin (seolah-olah) sebuah pemenuhan kebutuhan akan hak warga, namun GM yang minta disahkan oleh gereja jelas sebuah kekacauan logika berfikir.
Apakah tidak menyetujui GM kemudian membenci mereka secara pribadi? Tentu saja tidak. Mengasihi dan mendoakan mereka tanpa harus menyetujui dan membenarkan adalah sebuah sikap yang bisa diambil. Yesus turun dari kemuliaan surga untuk orang berdosa, Yesus jelas mengasihi orang berdosa. Namun Yesus juga dengan jelas menunjukkan bahwa Ia datang untuk mengampuni dan menunjukkan jalan yang benar bagi mereka yang tersesat. Seperti yang diucapkanNya pada perempuan yang berbuat zinah:
“Akupun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang”, (Yohanes 8:11)

Disclaimer: tulisan ini adalah perspektif pribadi penulis. Tidak mewakili pihak manapun, sambil menunggu dan mendorong GKI menyatakan sikap secara resmi tentang hal ini.

Jakarta, 19 Agustus 2015

STRATEGI MINTA NAIK GAJI

"Percayailah aku untuk menaikkan gajiku"

Beberapa waktu ini ketemu sebuah fenomena agak janggal namun juga umum terjadi: seorang karyawan minta kepada bosnya untuk dinaikkan gajinya (secara langsung atau tidak langsung). Mintanya agak ngotot karena ybs merasa sangat layak untuk naik gaji. Atau bahkan mungkin anda sendiri pernah melakukannya?

Muara dari peristiwa ini sederhana, yaitu keinginan naik gaji. Yang tidak sederhana adalah proses yang terjadi dan kesalahan yang bersangkutan dalam mewujudkannya.

Kesalahan yang terjadi (juga paling umum), yang bersangkutan datang ke bos dan bilang "Bos, saya minta naik gaji. Percayai saya bahwa saya layak untuk mendapatkan kenaikan gaji!". Tindakan ini tidak hanya dilakukan sekali, namun diulang-ulang bak mantra yang diharuskan diucapkan sekian kali baru manjur.

Kesalahan utama adalah kesalahpahaman tentang kepercayaan aka "Trust". Karena sesungguhnya kepercayaan itu merupakan "PEMBERIAN" dan bukan karena "PERMINTAAN". Jadi saat seseorang bilang "Percayai Saya" maka yang terjadi adalah sebuah cacat pikir.

Trus, bagaimana bisa kita mendapatkan kepercayaan? jawabannya sederhana, kita mesti menimbulkan kesan (perceived) bahwa kita memang bisa dipercaya. Kenapa kesan? ya karena kalau urusan tentang penilaian untuk dan oleh manusia tidak akan pernah bisa obyektif 100%, semuanya tergantung persepsi yang menilai.

Menurut ahli psikologi manajemen Roger Mayer, untuk bisa mendapatkan kepercayaan dari seseorang, kita harus mampu menimbulkan kesan yang positif pada tiga hal utama: Ability, Benevolence, Integrity. Dipersepsikan mampu "Ability", tulus dalam melakukan pekerjaan (tidak egois dan punya kepentingan tertentu/Benevolence), serta memiliki Intergritas (kesamaan tindakan dan perkataan).

Jadi anda harus membangun persepsi bahwa anda MAMPU, TULUS dan BERINTEGRITAS untuk mendapatkan (diberikan) kepercayaan dari bos. Nah, dari sanalah sumber kenaikan gaji, bukan karena kita yang minta.

Kalau kita sudah MTI (Mampu Tulus Integritas) tapi gaji ngak naik2 gimana dong? Ada beberapa skenario:

- Anda GR (gede rumongso/over confidence) bahwa anda sudah MTI padahal belum. Coba minta pendapat orang lain yang netral apakah anda sudah MTI atau belum. Atau tanya langsung ke atasan apakah anda sudah MTI khususnya bagian M. Bagi anda yang bekerja di perusahaan yang sudah ada sistem penilaian kinerja yang bagus, bagian ini seharusnya sudah menjadi rutinitas.

- Bisa saja karena posisi dan tempat kerja memang tidak memungkinkan atau tidak ada budget untuk kenaikan gaji anda.

- Atasan anda tutup mata dan tidak obyektif terhadap anda. Yakin tidak atasan tidak obyektif? kalau yakin atasan tidak obyektif dan anda sudah MTI silahkan cari atasan baru atau perusahaan baru yang bisa melihat MTI anda.

Happy Thursday
EU4U
Agustus 2015

"NGONO YO NGONO NING OJO NGONO"

"NGONO YO NGONO NING OJO NGONO"
Semakin tinggi maka semakin luas yang dilihat.

Pada Sebuah Meeting
"Menurut saya tidak bisa pak!" kata sang General Manager.
"Kenapa tidak bisa?" tanya CEO
"Karena kalau itu kita lakukan kita tidak mengikuti kaidah Finance yang benar" jawab General Manager dengan penuh keyakinan.
"Kamu itu General Manager atau Finance Manager sih?" kata CEO sambil tersenyum simpul.
"Ngono yo ngono ning ojo ngono", sambung pak CEO.
"Maksud bapak?" sang GM berkata penuh tanya.
"Maksudnya, walau kamu punya background lama kerja di Finance, saat jadi GM janganlah seluruh aspek bisnis kamu ukur dengan perspektif Finance semata. Pertambangkan aspek perspektif fungsi yang lain juga", jawab CEO dengan bijak.

$$$
Sebagian besar karyawan mendaki karir mereka dengan jalan serupa. Masuk pada sebuah fungsi (Sales Marketing, Operation, HR, Finance & Accounting) dan kemudian mendaki keatas pada fungsi yang sama selama puluhan tahun sampai kemudian tiba pada posisi yang mengharuskan dia melihat dan mengawasi seluruh fungsi seperti posisi General Manager atau CEO (Chief Executive Officer).

Pola karir menanjak keatas membentuk sang karyawan menjadi karyawan yang super spesialis dalam arti menguasai seluk beluk fungsi itu namun juga membentuk yang bersangkutan menjadi sangat kaku. Kenapa kaku? karena puluhan tahun ya hanya fungsi itu yang dia kenal dan dia ketahui. Kebenaran adalah milik perspektif fungsinya sendiri.

Karyawan yang tumbuh pada satu fungsi semata, pada saat menjadi GM atau CEO maka keputusan yang dibuat menjadi berat kepada fungsi yang dia kuasai. "Logic base on knowledge", logika keputusan yang diambil berdasarkan pengetahuan yang dikuasainya selama ini, pada perspektif fungsi bisnis yang digelutinya berpuluh tahun, sama seperti yang dinyatakan oleh General Manager diatas.

Semua anak sungai menuju ke sungai induk. Semua sungai besar akan bermuara di laut. Seluruh posisi dalam organisasi bisnis ya pada akhirnya menuju keatas pada posisi CEO. Laut menerima semua air yang masuk kedalamnya, tidak peduli sungai itu datang dari gunung atau dari bukit. Posisi yang tinggi seperti GM atau CEO mengharuskan mereka "mengerti" dan "tahu" tentang semua fungsi. Karena bisnis adalah sinergi dari fungsi2 yang ada didalamnya.

Jadi bagaimana kita yang sudah terlanjur terjebak pada satu fungsi dan ingin mendaki ke posisi atas? jawabannya sederhana, ya cobalah fungsi2 yang berbeda dalam pekerjaan anda? anda mengernyitkan dahi? banyak orang yang pernah dan sedang melakukannya saat ini.

Kalau langkah pindah fungsi pada saat ini kurang memungkinkan, bergaulah sebanyak mungkin dengan orang-orang pada fungsi yang lain. Dengan demikian anda terekspose bahwa ada standar "kebenaran" lain tentang bagaimana menjalankan bisnis diluar standar anda.

Kalau berpindah2 fungsi bagaimana dengan kompetensinya? Secara sederhana saya bagi karir menjadi 4 tingkat/posisi: pertama Staff, kedua Manager, ketiga GM dan kempat Direktur.

Kompetensi utama yang harus dimiliki seorang staff adalah kompetensi Fungsional. Kalau kerja sebagai Sales Staff ya harus jagoan penjualan, kalau Operation Staff ya harus jago dalam hal operasi dst. Posisi Manager sesuai dengan namanya maka kompetensi utamanya adalah Management, hebat pada salah fungsi adalah bonus. Posisi GM mengharuskan selain management juga harus memiliki kompetensi Leadership, karena seorang GM harus memimpin anggota tim yang banyak untuk mengeksekusi pekerjaan dan mencapai target yang ditetapkan. Posisi Direktur kompetensi utamanya Bisnis dan Strategi. Kompetensi ini diperlukan agar perusahaan yang dipimpin mampu bersaing dengan kompetitor.

Perusahaan yang bagus dalam mengembangkan talenta organisasi akan melakukan rotasi pekerjaan (job rotation) kepada para managernya. Kenapa pada posisi ini? kembali ke paragraf diatas, posisi manager kompetensi utamanya sudah bergeser dari kompetensi fungsi ke kompetensi managerial. Sehingga para manager bisa dirotasi dan bisa tetap berkontribusi sepanjang kemampuan managerial mereka dikembangkan.

Lha kalau perusahaan gue sekarang tidak ada program rotasi pekerjaan bagaimana? ya jangan bergantung pada program. Secara proaktif mintalah untuk dirotasi. Atau kalau ada posisi lain yang lagi kosong angkat tangan anda tinggi-tinggi.

Ribet amat sih? tidak akan ribet kalau sudah sampai pada saatnya nanti. CEO yang sukses adalah CEO yang mengerti dan bisa mensinergikan seluruh fungsi, bukan Manager Finance yang berbaju CEO.

Selamat bereksplorasi dan berotasi
EU4U
Happy Friday
Agustus 2015

"EMPATI", Warisan Terbesar Buat Anak

Perubahan Paradigma
Tahun 90an, buku Daniel Goleman tentang Emotional Intelligence (EI) mendekonstruksi pola pikir banyak orang tentang faktor utama pendukung kesuksesan anak manusia. Goleman menemukan bahwa EI berperan 70% dalam kesuksesan, jauh lebih besar dibandingkan IQ.

Bertahun-tahun sebelumnya pola pikir utama khususnya orang tua adalah bahwa IQ (Intelleligence Quotient) merupakan kartu As buat anaknya. Pola pikir ini membuat orang tua fokus agar anaknya juara. Dengan segala macam cara dengan segala sumberdaya, whatever it takes. Dari mulai iming2 hadiah jika juara, sampai les ini itu dari sore sampai malam hari.

Konsep baru tentang EI memberikan perspektif baru. Walaupun munculnya konsep baru tidak berarti bahwa orang tua mengerti dan paham tentang nilai dan perilaku apa yang harus dikembangkan untuk anaknya.


Komponen Utama EI
Komponen utama IQ tentu saja kemampuan kognitif (pikiran) seseorang. Besar kecilnya gelas (IQ) yang diturunkan secara genetis ditambah dengan pendidikan yg diterima berpengaruh besar pada perkembangan kognitifnya.

Sementara EI dari namanya adalah intelektualitas dalam mengelola emosi (afektif) pada diri seseorang. Kemampuan EI seseorang akan sangat berpengaruh pada saat yang bersangkutan berhubungan dengan pihak lain (inter personal).

Kesuksesan di Bumi jelas kesuksesan yang diukur pada ruang ramai kota besar bukan pucuk sunyi Himalaya. Ruang ramai kota besar penuh dengan personal2 lain yang berperan membantu dan atau menggagalkan kesuksesan. Dari sanalah peran EI muncul.

Trus komponen utamanya apa? menurut banyak pakar, kemampuan berEMPATI merupakan kemampuan komponen utama dalam EI. Pribadi yang mampu berempati merupakan pribadi yang bisa "menempatkan dirinya pada perspektif dan emosi" orang lain pada saat menerima stimulus tertentu. Kemampuan berempati membuat pribadi ini mudah bergaul dan diterima banyak kalangan. Why? karena pribadi berempati dianggap sebagai bagian dari mereka.


Menyemai Benih Di Usia Muda

"Bro, aku bisa menilai orang tua mendidik anaknya tentang Empati sekejab mata" kataku keseorang kawan.

"Yang benar mas? Bagaimana caranya" tanya sang kawan penasaran.

"Sederhana, pada saat aku, istriku dan anak2 bertemu mereka dan anak2 mereka. Disitulah moment penilaian terjujur terjadi" jawabku singkat.

"How?" tanya sang kawan tambah penasaran.

"Dua anakku berkebutuhan khusus (ABK), perilaku mereka tentu saja berbeda dengan anak2 normal. Response anak2 teman akan menunjukkan bagaimana pendidikan empati berlangsung dikeluarga itu" jelasku.

"Maksudnya?" sang kawan minta tambah penjelasan.

"Anak yang dididik empati akan memberikan response penerimaan tentang perbedaan, kalaupun bertanya tentang ekspresi anakku yang berbeda dan tidak umum sifatnya eksploratif pingin tahu. Anak yang tidak atau kurang dididik empati cenderung "tidak menerima" kehadiran anak ABK dan cenderung menunjukkan emosi ketidak sukaanya" aku tambahkan detail.

"Mumpung masih kecil, mendidik anak2 agar punya perilaku empati jauh lebih mudah dibandingkan dengan nanti saat sudah jadi Manager dan kena komplain serta tidak dipromosi karena terkenal sebagai pribadi yang tidak berhati dan tak berempati" kataku menutup percakapan.

Nah, kita sebagai orang tua mau mulai mendidik empati kepada anak2 mulai kapan?
Jawabannya ditangan anda para orang tua.

EU4U
Agustus 2015

27 Februari 2015

JIKA SAYA PRESIDEN JOKOWI

Sambil menunggu keputusan mahapenting dari Presiden Jokowi (PJW) tentang Kapolri dan Cicak vs Buaya dkk, saya kok pingin berandai-andai kalau saya dalam posisi beliau. Seringkali kita (saya termasuk) bak pengamat bola yang bahkan lebih pintar dalam melakukan analisa pertandingan. Padahal kalau disuruh nendang pinalti belum tentu dari 10 kesempatan ada 1 yang masuk.

Keputusan statejik yang baik (Good Strategic Decision) menurut para ahli memiliki beberapa karakter penting seperti:
- Berkualitas tinggi
- Dimengerti oleh stakeholder
- Diterima oleh stakeholder
- Mendapatkan komitment (promise to act) stakeholder
- Mudah diterapkan
- Dan CEPAT (maksudnya keputusan cepat diambil)

PJW adalah presiden pertama republik ini yang lahir dari bapak demokrasi dan ibu reformasi yang bukan militer (seperti pak Harto dan SBY), darah biru (Megawati), kecelakaan sejarah (seperti Habibie dan Gus Dur).

Modal PJW satu2nya yang dimiliki adalah dukungan rakyat yang dikatalisasi oleh sebagian media (yang netral). PJW walaupun kaya untuk ukuran orang Indonesia tapi jelas lebih miskin dibandingkan dengan Megawati, Wiranto, Prabowo, Yusuf Kalla atau Konglomerat yang bernafsu main politik seperti Aburizal Bakrie atau Hari Tanu. Dukungan rakyat (dan media) adalah modal nyata satu2nya yang dimiliki oleh PJW.

PDIP dan jaringannya? jelas terlalu naif kalau kita menganggap bahwa elite PDIP (Mega dkk) "support without reserve" terhadap Jokowi. Semuanya menggunakan hitung2an. Kalau perlu pakai kalkulator cost and benefit ratio. Dari hasil survey 2013 dan 2014 jelas Megawati tidak akan bisa memenangkan Pilpres kalau lawan Prabowo. Mengusung Jokowi adalah satu2nya pilihan bagi PDIP yang sudah makan debu selama 10 tahun jadi oposisi.

Dengan demikian sudah teridentifikasi stakeholder utama PJW yaitu rakyat. Teridentifikasi juga tidak ada modal langsung yang dikeluarkan oleh capres Jokowi karena rakyat yang memilih dan relawan yang mendukung. Relawan bergerilya menggunakan uang mereka sendiri bahkan memberikan sumbangan untuk kampanye 2014. Dari kondisi seperti ini dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya PJW tidak memliki "something to lose" lha wong dia menjadi presiden juga tidak bermodal kok.

Rakyat mendukung pemberantasan korupsi. Survey dari jaman purbakala sampai survey terkini menjadi bukti. Cakapolri BG yang sempat dijadikan tersangka oleh KPK (walau dibatalkan oleh Hakim Sarpin) jelas bukan pilihan yang dimengerti, diterima, mendapatkan komitmen oleh stakeholder utama PJW yaitu rakyat. Pilihan satu2nya yang merujuk pada "good strategic decision" versi stakeholder utama adalah tidak melantik BG.

Melewati titik awal penting (tidak melantik BG) masuk ke titik penting keputusan berikutnya. Siapa yang dilantik dan menggantikan? seperti judul tulisan diatas kalau saya yang jadi PJW saya akan membuat keputusan seperti dibawah ini. Ingat, saya dalam posisi "nothing to lose".
1. Mengangkat Suhardi Alius dan melakukan penugasan untuk melakukan pembersihan di Polri terhadap oknum2 yang anti KPK.
2. Segera mengangkat Pansel KPK baru untuk menggantikan pimpinan yang "terlanjur diberi catatan hitam" untuk memilih pimpinan baru. Memastikan nama Komjen Purnawirawan Oegroseno masuk.
3. Meminta pada Pangab untuk menjaga ketertiban dan keamanan. Memastikan pergantian Kapolri berlangsung mulus.
4. Memanggil menteri2 yang partisan seperti Tedjo, Puan, Yasona untuk memilih jadi menteri atau balik partai. Memastikan bahwa semua menteri adalah President's man.
5. Bertemu ketua partai KIH (satu persatu) mau tetap dukung atau tidak. Kalau tidak dukung silahkan pergi.

Skenario yang terburuk yang terjadi? dimaksulkan sama DPR? bisa tapi sulit. Anggap pemaksulan terjadi seperti yang dialami oleh Gus Dur. PJW akan kehilangan apa? nothing! namun tetap akan mendapatkan dukungan rakyat. Kalau sesudah pemaksulan masih minat jadi Presiden segera buat partai (Projo bisa jadi embrio) dan negara ini paling suka sama underdog yang dikuyo2 seperti SBY tahun 2004. Jokowi dan partai baru pasti akan mendominasi pileg dan pilpres 2019.

Kalau melakukan sebaliknya? modal satu2nya akan hilang. Akan dikenang sebagai kelelawar dan bukan rajawali seperti yang dibilang Buya Syafii Maarif.

Dan sesuai dengan teori strategic decision diatas maka semuanya harus dilakukan dengan CEPAT. Nasi sudah jadi bubur. Segera dimakan. Kalau dibiarkan jadi busuk akan mengundang banyak penyakit.

Rabu abu yang kelabu.
18 Peb 2015
BSD City

Note: untung saya bukan PJW, kalau harus memutuskan seperti ini saya bisa turun 20 kg dalam sebulan!

RELIGIUSITAS PERMALINGAN (Ahok vs DPRD DKI)

Para mangga bergelayut syahdu diranting tinggi. Semburat merah kekuningan disela warna hijau mulus. Cantik. Mengundang siapapun yang melihatnya ngiler, termasuk si anak kecil tanggung usia 10 tahun.

Yang menjadi masalah adalah mangga itu milik tetangga, bukan milik bapaknya atau moyangnya. Dan yang lebih seru lagi, walau pohon mangga itu ada dihalaman belakang, pagar kayu rapat setinggi 3 meter menghadangnya. Juga menghalanginya untuk sekedar memungut mangga "jatuhan" pagi hari saat malam hujan.

Hanya ada satu jalan, menjatuhkan mangga, memanjat pagar kayu 3 meter, ambil mangga yang jatuh dan segera kabur kembali naik pagar secepat mungkin. Tentu sambil berharap cemas keseluruhan rangkaian permalingan mangga tadi tidak didengar dan diketahui sama yang punya.

Proses bisnis permalingan itu sungguh rumit untuk sang anak kecil. Dia tidak percaya diri mampu melakukan aksi dengan sempurna. Nah, karena si anak kecil adalah anak yang religius dan rajin beribadah maka untuk memuluskan strategic planning permalingan, berdoa kepada Tuhan YMK adalah pilihan yang logis baginya.

Sore itu, dengan khusuk sang anak kecil berdoa: "Tuhan bantulah aku saat mengambil mangga itu. Buatlah sang pemilik tidur dan tidak mendengar bunyi batu yang aku lemparkan. Berikan aku kesempatan manjat pagar dan balik kembali dengan selamat". Demikan dia berdoa dengan khusyuk.

"Sssssssssst bruk bruk brok", bunyi sambitan batu dan jatuhnya batu dan mangga bersahut2tan. Sesudahnya sunyi, sang anak kecil mengintip lubang di pagar dan aman. Sang pemilik tidak mendengar. Segera dengan lincah memanjat pagar dan mengambil mangga jatuhan yang berhamburan dengan kembali memanjat dan melompat pagar tinggi.

"Tuhan, terimakasih untuk kebaikanmu dalam membantu aku mengambil mangga2 ini". Demikian si anak kecil yang religius memanjatkan doa penutupan dan syukur atas penjagaan Tuhan terhadap aksi permalingannya.

32 tahun berikutnya, sang anak kecil yang sudah jadi anak besar terserang dejavu (merasa terjadi pengulangan memori masa lalu) saat membaca artikel anggota DPRD DKI berseru dan berdoa kepada Tuhan pada saat mau menguntit budget APBD 12.1 T.

Anak kecil yang sudah besar
Cisarua Peb 2015
EU4U

SERIGALA PADA SEBUAH DESA (refleksi terorisme ISIS)

Ada sebuah desa dipinggir hutan. Sebelumnya tentram, damai dengan sedikit kegaduhan yg kadang malah mengurangi kebosanan.

Sampai suatu masa. Tanpa ada tanda2 dan peringatan segerombolan serigala yang ganas menyerang. Setiap selesai membunuh warga, gerombolan itu kembali ke sarang mereka. Di pojok hutan dekat desa. Lolongan mereka pada malam hari terdengar jelas menyeramkan dan menakutkan. Mencekam jiwa dan raga.

Banyak warga desa yang terbunuh. Ada yang mati dengan tubuh dicabik2. Ada yang lehernya digigit sampai putus. Bahkan ada warga desa yang mati terbakar karena saat menyerang malam hari gerombolan serigala mengobrak-abrik lampu minyak yang sedang menyala. Tak terbilang yg mati, yang lain bagaikan antri.

Yang menyeramkan ada beberapa orang yg tergigit dan selamat tetap terbaring lemah di pembaringan. Setiap malam saat lolongan terdengar, mereka yg tergigit ikut2an melolong. Warga makin cemas, apakah ini pertanda wabah?

Warga desa takut dan tercekam. Mereka bingung apa yg harus mereka lalukan. Apa harus melawan dan bagaimana melawan gerombolan serigala. Belum lagi bagaimana merawat mereka yg tergigit.

Sesudah berdiskusi berhari2 warga desa bermufakat. Mereka akan melawan! Yang tergigit dikarantina. Semua pada mulanya sepakat, sampai kemudian ada yg berseru: "sebelum melawan kita harus selidiki dulu". "Apanya yg diselidiki?" tanya seorang kawan. "Gerombolan serigala ganas itu apakah memang serigala liar yg kelaparan atau jangan2 kiriman dari desa sebrang yang tidak suka sama kita!".

Dipojokan ruang pertemuan, seseorang menunduk menahan senyum. Gerombolan serigala itu telah membunuh tetangga yg dia benci. Tetangga yg memergoki aksinya mencuri di kantor desa.

Berhari2 semua berdebat, aksi dan tindakan terhambat. Debat ttng asal-usul serigala. Jenis serigala, ciri serigala jantan dan betina. Serigala suka bunuh warga berkulit hitam atau coklat.

Sampai suatu malam, pada pertemuan kesekian kalinya. Lolongan gerombolan serigala terdengar dekat sekali. Tidak lagi dipojok hutan, tapi didepan pintu balai pertemuan desa. Semua mengintip keluar. Barisan serigala bergigi tajam menatap siap menyantap.

BSD City
Awal Maret 2015
EU4U