22 Desember 2016

"Begin with the End in Mind" #Hal117


Catatan Harian Eko Utomo #Hal117

"Begin with the End in Mind".

Barusan pindah channel Fox Movie dan sempat menyaksikan kembali 5 menit adegan penutup dari film peraih Oscar "Saving Private Ryan".

Prajurit James Ryan berdiri sendu di TMP dan memandang makam Kapten John Miller (Tom Hank). Sang Kapten beserta beberapa prajurit lain secara habis2an, bahkan sampai mengorbankan nyawa menyelamatkan Prajurit James Ryan dari medan pertempuran yang ganas dan mematikan di WWW2 medan pertempuran Eropa.

Prajurit Ryan harus diselamatkan karena menjadi satu2nya Ryan brothers yang masih selamat. Saudara2nya yang lain telah gugur dipertempuran terbesar dalam sejarah dunia itu.

Saat sang istri mendekat, prajurit Ryan yang telah menjadi kakek bertanya, "do I have a good life?", sambil memandang sang istri dengan sungguh2. Kemudian dengan nada yang lebih dalam memberikan pertanyaan lain "do I a good person?".

Pertanyaan prajurit Ryan tua kepada sang istri merupakan pertanyaan reflektif yang sangat dalam dan penting dalam kehidupan manusia. Pertanyaan ini sejajar dengan pertanyaan #1 di benak jutaan manusia: "what is the purpose of my life in this world?".

Minggu lalu saat membawakan workshop kepemimpinan di salah satu BUMN, kami mendiskusikan pentingnya Habit ke-2 dari 7 habits yang ditulis oleh Stephen Covey, "Begin with the End in Mind".

Menurut Covey, pribadi yang efektif (dan produktif) dalam melakukan tindakan dan aktivitas sehari2 sudah memiliki bayangan akan seperti pada akhirnya nanti.

Mirip seperti adegan penutup film "Saving Private Ryan", Covey meminta kepada kita untuk membayangkan apa yang akan diucapkan oleh orang2 dekat kita pada saat kita dikubur nanti.

Apa yang akan dikatakan keluarga tentang kita?
Apa yang akan dikatakan rekan sekerja kita?
Apa yang akan dikatakan teman dekat kita?
Apa yang akan dikatakan rekan pergaulan sosial kita?

Apakah mereka akan mengatakan hal2 yang baik tentang diri kita atau mengatakan sebaliknya?

"Begin with the End in Mind", ibaratnya visi dan pelita kita dalam melakukan perjalanan kehidupan.

Pada saat visi semakin dalam dan nyata, maka tindakan2 kita (misi) akan menjadi sebuah aksi pemenuhan dan perwujudan visi. Sebuah proses "law of attraction", "pygmalion effect" in motion.

Bukti konsep ini dinyatakan secara empiris pada sebuah riset di Inggris. Dari ratusan anak SD yang ditanya "siapa yang punya cita2?". Hanya kurang dari 10% yang mengangkat tangan.

Pada 30 tahun berikutnya, saat periset melakukan evaluasi responden yg sudah menjadi dewasa, ditemukan mereka2 yang "sukses" adalah anak2 yang mengangkat tangan 30 tahun yang lalu.

Sebuah bukti empiris bahwa "Begin with the End in Mind" mendapatkan kesahihan dalam alam nyata.

***
"Dad, kamu menerapkan habit ke-2 dari Stephen Covey ngak?", tanya istri tercinta.

"Pastilah, masak Trainer ngak walk the talk!", jawabku sambil tersenyum.

"Trus, Daddy bayangin lulus on time ngak waktu mau ambil S3 dulu", pertanyaan jelas mulai tendensius dan berbau politis nih.

"Kan aku dah share dulu mom, kalau aku mau lulus on time 3 tahun", jawabku mulai ragu dan tersendat.

"Kok, sekarang dah 4.5 tahun daddy blum lulus juga?", tanya istri mengeluarkan langkah skak mat.

Beberapa detik waktu seakan berhenti berdetak.
"Hmmm soalnya daddy kurang tekun dan disiplin menerapkan habits ke-1 (Be Proactive) dan ke-3 (1st Think 1st) mom, jadi habits ke-2 kurang maksimal".

Bersyukur menjadi trainer puluhan tahun suka ditanya yang aneh2 di ruang kelas. Jam terbang ngeles jadi cukup tinggi.

EU4U
BSDcity 091216
Untuk anda yang sedang melukis warna kehidupan

Survival for the Fittest: Adapt or Vanish #Hal116


Catatan Harian Eko Utomo

Survival for the Fittest: Adapt or Vanish #Hal116

Pembunuh TV Berjadwal: Youtube & Technology

"I am going back Home" terdengar sendu. Membuat saya dejavu kembali ke masa 8 tahun lalu saat kami sekeluarga mengendarai mas Peso Siwi sepanjang jalur Pantai Selatan Jawa dalam rangka mudik menengok bapak dan Simbok di Klaten.

Dejavu di masa kini karena anchoring emotion yang ditanamkan pada waktu itu demikian dalam, masif dan berjangka waktu lama. Bagaimana tidak masif karena sepanjang 15 jam perjalanan Bandung-Klaten, kami paksa mas Buble bernyanyi tiada henti menemani perjalanan nan panjang melelahkan but fun, untuk bertemu eyang di kampung.

Delapan tahun berikutnya mas Buble melantunkan lagu yang sama non stop di layar kaca. Bukan di sebuah acara TV, namun thanks to Youtube sebagai content Channel, thanks to Internet High Speed sebagai penyedia jalan toll merangkap sebagai mobil Ferari yang melaju kencang. Dan thanks to Smart TV yang makin berkualitas dan terjangkau.

"And I say good bye", Michael Buble masih asik bernyanyi di layar kaca UHD dengan merdu.

Dan saya "say good bye" dengan TV berjadwal (sooner and fast)!.

Sebuah era baru telah lahir. Dan jika yang baru yang fresh dan fun muncul, maka yang lama yang sudah usang akan tenggelam.

Era di mana saya bersama segerombol anak2 kecil dengan jambul basah dan tersisir rapi, suatu sore medio 80an menunggu acara kartun diputar di stasiun TVRI hanya menjadi sebuah monumen sejarah.

Platform baru cara menonton TV yang mudah, menyenangkan telah lahir!. Business Model baru dalam dunia siaran telah berubah.

Kalau dahulu kala, pemilik jaringan penyiaran sedemikian berkuasa mendikte para musisi, pengisi acara dan konten provider lainnya maka sandyakalaning (masa akhir) TV siaran berjadwal sudah terlihat di kaki langit. Dan akan cepat mendekat secepat harga smart tv turun dan secepat penetrasi broadband internet di pelosok negeri.

Apakah pemilik stasiun TV akan mati? sangat mungkin kalau mereka lalai dan abai terhadap fenomena baru ini.

Mirip dengan lalainya PT Pos (atau strategi burung onta) pada saat SMS mulai memerdekakan cara kita berkirim pesan (surat) secara cepat, intensif dan murah.

PT Pos yang sedemikian berjaya sampai tahun 90an menjadi tidak relevan di platform bisnis baru. Mirip dengan dinosaurus yang kebingungan di belantara hutan beton di abad modern.

Jadi RCTI, SCTV, Trans, Indosiar, Metro TV, TV One (apalagi TVRI) please be carefull, you are not the king anymore (sooner or later)!

Welcome to the new king: mereka yang kreatif dan inovatif. Dunia baru menyediakan panggung yang sama buat anda untuk berdansa. This is the era of Content Creative Developer.

How Adapt & Creative R U?

EU4U
121116BSDCity of Morning Glory
Sabtu pagi yang indah & cerah.

Debat di Ruang Medsos: Logical Fallacies #Hal115


Catatan Harian Eko Utomo

Debat di Ruang Medsos: Logical Fallacies #Hal115

"Kamu sekolah dimana? mosok mendefinisikan strategi seperti itu?" kata pihak sana dalam sebuah debat.

Bukan saudara2, debat diatas tidak terjadi pada sebuah simposium internasional. Debat tersebut terjadi pada medsos. Antara saya dan temannya teman saya.

Atas pertanyaan diatas saya menjawab: "kuliah S1 saya di ITB, S2 saya di Strategic Management Prasmul dan S3 saya di Strategic Management UI, emang apa hubungannya pak?". Dan yang terjadi berikutnya adalah kalau ngak sunyi ya ngeles sana sini.

Dengan riuhnya medsos saat ini, ditambah dengan hebohnya Pilpres dan Pilkada maka dunia perdebatan mencapai sebuah titik yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Sangat riuh rendah dan tanpa henti.

Debat itu sendiri merupakan sebuah proses penting untuk menghasilkan pemahaman atau keputusan yang berkualitas. Tanpa adanya debat maka akan banyak ruang2 kosong dari bangunan pemahaman dan keputusan yang kita hasilkan.

Tentu saja ada debat yang produktif maupun debat yang sia2. Debat yang produktif adalah debat yang RASIONAL. Sebaliknya debat yang buang energi adalah debat yang EMOSIONAL.

Debat yang rasional akan membantu kita untuk melihat masalah dengan lebih jelas. Lawan debat kita akan "membantu" kita melihat dari arah seberang hal2 yang mungkin tidak terlihat.

Sementara debat emosional hanyalah akan menambah bensin dalam api emosi kita dan malah akan mengaburkan masalah yang sedang didebatkan.

Hebohnya orang berdebat di medsos mirip dengan hebohnya orang memiliki HP Smartphone. Banyak orang membeli HP Smartphone namun fitur yang dipakai hanyalah buat Telphone dan SMS.

Dalam keriuhan debat medsos, banyak sekali para debaters yang sering melakukan kesalahan mendasar dalam berdebat. Salah satunya seperti pada pembuka catatan ini.

Kesalahan diatas dinamakan "Argumentum ad Hominem". Pada saat berdebat salah satu pihak "menyerang" kredibilitas atau pribadi pihak lainnya.

Bentuk penyerangan bisa macam2, seperti yang tertulis diatas menanyakan "sekolah dimana?", atau memberi label orang lain "miskin", "goblok", "liberal", "kapitalis", dlsb.

Argumentud ad hominem (menyerang pribadi) merupakan LOGICAL FALLACY karena TIDAK ADA hubungan "pokok debat" dengan orang yang sedang berdebat. Debat bisa dimenangkan kalau kita bisa menunjukkan kesalahan logika pada pokok materi debat bukan cacat cela pribadi yang berdebat.

Kesalahan mendasar lain yang sering saya temukan adalah ARGUMENTUM AD AUTHORITY (False Authority).

False Authority adalah kesalahan mendasar dalam berdebat dimana pihak pendebat mencoba memperkuat argumen mereka dengan menyatakan bahwa argumen mereka merujuk kepada "nama besar seseorang".

Kenapa menjadi logical fallacy? karena kebenaran ya kebenaran tanpa harus dihubung2kan dengan nama besar seseorang.

Misal: "Menurut Profesor ANU bumi itu datar". Dalam debat flat earth misalnya, yang dibutuhkan adalah logika2 dan bukti bahwa bumi itu datar/bulat bukan siapa yang ngomong. Kalau hal ini dilakukan maka pihak yang lain akan melakukan hal yang sama (mengajukan referensi berbeda) sehingga debat rasionalnya malah tersingkir.

Yang paling parah dalam fallacy ini saya sering sekali menemukan seseorang mengutip ucapan orang atau memberikan link tertentu namun saat diajak berdebat ternyata tidak menguasai apa yang direferensikan atau asal comot. Yang terjadi kemudian ngeloyor atau bilang "debat aja sama prof. Anu!".

Kesalahan dasar lain dinamakan ARGUMENTUM AD POPULUM (False Majority).

"Kan banyak orang menyatakan begitu!", demikian ucapan atau tulisan mereka yang melakukan fallacy ini.

Kebenaran TIDAK SELALU milik orang banyak atau mayoritas. Logikanya sederhana, kalau orang banyak menyatakan bahwa 2 + 2 = 5 apakah kemudian kita menyatakan bahwa argumentasi diatas benar?

RED HERRING. Fallacy ini juga sering sekali terjadi. Red Herring merupakan suatu kesalahan dimana yang bersangkutan mengalihkan pembicaraan pada hal2 lain yang berbeda dengan pokok pembahasan. Yang terjadi kemudian adalah kekaburan topik awal yang didebatkan.

Misal, saya sering berdebat dengan istri saya bahwa saya ganteng. Saya mengajukan fakta bahwa Jason (anak cowok kami) ganteng! Itu jelas bukti bahwa saya ganteng karena saya menyumbang 50% genetik Jason. Apalagi istri saya juga selalu bilang Jason ganteng.

Dalam kondisi terdesak akan fakta itu maka istri saya bilang "Artinya gue cakep banget dong pap? kan loe bilang Thesa lebih cakep dari Dian Satro?".

Nah, yang dilakukan istri saya diatas contoh dari Red Herring, mengalihkan pokok diskusi.

Masih banyak fallacy2 lain yang dilakukan para debaters. Silahkan tanya ke mbah Google supaya debat menjadi makin berkualitas.

EU4U
BSDCITY071116
Untuk para pegiats medsos termasuk mamanya Thesa Santi Utomo

The Deepest EQ: EMPATHY #Hal114


Catatan Harian Eko Utomo

The Deepest EQ: EMPATHY #Hal114

Saat ada kesempatan, saya mengantar dan menjemput Thesa dan Jason sekolah.

Kami tinggal di kawasan BSD, sementara mereka sekolah di kawasan Bintaro. Kedua kawasan ini sebenarnya relatif dekat dan berdampingan.

Sejak dibangunnya jalan toll BSD - Pondok Indah maka jalan2 arteri kecil yang menghubungkan BSD dan Bintaro kehilangan banyak peminatnya. Semua pindah menggunakan jalan toll mengejar waktu yang makin sempit buat manusia modern megapolitan Jakarta.

Karena semua berbondong2 pindah ke Jalan toll, maka sejak beberapa tahun ini, pintu keluar dan masuk toll di wilayah Pondok Aren Bintaro seringkali macet parah. Butuh belasan menit untuk bisa membebaskan diri dari kemacetan.

Beruntunglah kami ditolong oleh Google Map yang sejak mengakuisisi Waze menjadi makin canggih dan akurat.

Dalam sebuah kesempatan kami mencoba jalan arteri kecil yang direkomendasikan oleh Google Map daripada lewat jalan Toll. Ada perbedaan 20 menit lebih cepat waktu tempuh yang dibutuhkan.

EQ in Action
Jalan tikus ini, benar2 layak disebut jalan tikus. Berlika-liku, putar sana putar sini. Lewat kampung warga yang padat dan memiliki banyak tikungan "ciluk ba" karena terhalang oleh tembok warga.

Kondisi itu masih ditambahkan oleh lebar jalan yang di banyak tempat hanya muat oleh satu mobil. Apabila ketemu mobil lain lebih2 ketemu truk (yg lagi iseng lewat) maka ujian ketrampilan menyetir mobil dimulai, jauh lebih sulit dibandingkan dengan ujian menyetir mobil di kantor polisi.

Yang menarik buat saya bukan ketrampilan berkendara di jalan sempit berkelok, namun RESPONS dan TINDAKAN manusianya.

Dalam banyak kejadian, EQ pengendara khususnya EMPATHY langsung diuji di depan mata tanpa tedeng aling-aling.

Manusia2 egois yang tidak memikirkan orang lain saat bersimpangan di kelokan sempit, alih2 menempatkan diri diposisi yg aman agar bisa saling bersimpangan, mereka asal seruduk maju mengambil jalan.

Yang kemudian terjadi adalah macet berkepanjangan. Dan konyolnya manusia yang sama tidak mau mundur untuk mengurai kemacetan, padahal itu merupakan jalan keluar dari kebuntuan.

Kondisi mirip terjadi saat ada kemacetan panjang dan beberapa mobil buru2 menyerobot dan maju beberapa meter sehingga mobil dari arah kiri kanan ikut terblock tidak bisa jalan.

Jadi kalau hendak menguji EQ seseorang, lihat dari cari dia berkendara, kalau perlu ajaklah jalan2 ke jalur tikus BSD - Bintaro.

EU4U
BSDCity251016

Untuk para EQ Developers

Bedak Muka Zombie #Hal113

Catatan Harian Eko Utomo

Bedak Muka Zombie #Hal113

Selembar Sertifikat

Saya paling geli hati kalau menerima surat lamaran pekerjaan di mana pelamar menyertakan semua tetek dan bengek sertifikat yang dia miliki.

Dalam sebuah proses interview, pelamar menyertakan sertifikat kursus bahasa Inggris dari mulai level dasar sampai level mahir dari bermacam lembaga.

Saat pelamar dipanggil wawancara, sesudah perkenalan singkat dalam bahasa Indonesia maka saya langsung mengajaknya berdiskusi dalam bahasa Inggris. Dan yang terjadi yang bersangkutan "grotal gratul" ibarat anak TK sedang belajar naik sepeda roda dua.

Di Indonesia, para pencari kerja (dan juga yang sudah bekerja) masih banyak yang berfikir bahwa tujuan kita belajar adalah untuk mendapatkan sertifikat atau ijazah.

Bagi mereka sertifikat dan ijazah merupakan tujuan paripurna dari sebuah workshop/pelatihan atau sekolah informal. Tanpa sertifikat maka proses pembelajaran sia-sia.

Bahkan saking tingginya nafsu berburu sertifikat maka "Certificate of Attandance" atau bahkan sertifikat dan ijazah palsu laku keras di negeri ini.

Padahal saat bekerja segala macam sertifikat itu tidak ada gunanya. Yang dibutuhkan adalah pengetahuan, ketrampilan dan pengalaman.

Jangan berfikir bahwa interviewer sekarang ini bisa ditipu dengan segala macam sertifikat dan ijazah yang kita masukkan ke dalam CV. Mereka akan melihat langsung jauh di dalam diri anda, apakah kompetensi itu ada pada anda dan bukan hanya selembar sertifikatnya.

Karena setebal apapun bedak yang dipakai oleh Zombie maka sorot mata dan tingkah laku tidak akan dapat menyembunyikan jati diri.

EU4U
BSDCity251016

Untuk mereka yg membangun kompetensi bukan pengumpul sertifikasi.


Surip Spiderman from Grobogan #Hal112


Catatan Harian Eko Utomo

Surip Spiderman from Grobogan #Hal112

Tukang Cat ala Spiderman

Sabtu sore saya dan istri terpesona selama beberapa waktu melihat sebuah pemandangan luarbiasa. Sesosok manusia bergelantungan dengan menggunakan seutas tali sedang mengecat dinding rumah.

Ember cat besar ikut bergelantungan disampingnya. Dengan lincah dan cepat pekerjaan pengecatan dilakukan dengan sempurna.

Beberapa jam berikutnya saya samperin Surip Spiderman yang sedang istirahat.

"Mas Surip, sampeyan belajar ngecat sambil gelantungan seperti ini belajar dari mana?", tanya saya.

"Belajar sendiri pak, ngak ada yg ngajarin!", jawaban Surip yang sederhana membuat saya malah penasaran.

"Lha, dulu belajar naik turun pakai tali panjat tebing seperti ini dari mana?", tanya saya mengejar lebih lanjut.

"Saya waktu itu dapat ide dari mahasiswa Borobudur di Halim yang lagi latihan naik tebing buatan", jawabnya polos.

"Mengapa sampai punya ide ngecat sambil gelantungan seperti itu?", saya coba eksplorasi lebih dalam motivasinya.

"Dulu ada kerjaan yang lokasinya tidak bisa dipasangin perancah pak. Saya cari ide bagaimana caranya agar pekerjaan tersebut bisa tetap dikerjakan dengan baik dan cepat".

***
Trainer Tapi Bukan Trainer

Minggu lalu saya memberikan workshop Train the Trainer (TTT) untuk Antam.

Yang menarik adalah, dari 20 peserta yang merupakan Trainer Dedicated (tim training) hanyalah 4 orang. Sebagian besar adalah orang2 non training yang pekerjaan sehari-hari mereka tidak ada hubungannya dengan memberikan training.

Mereka diminta oleh Divisi Learning & Development (LD) untuk menjadi associate trainer bagi LD apabila dibutuhkan. Jadi semacam trainer "panggilan".

Jam pertama di hari pertama tantangan kami para Master Trainer adalah memberikan influence kepada peserta yang non dedicated trainer tentang pentingnya kemampuan "memberikan training" buat mereka yang pekerjaanya bukan trainer.

Saya menanyakan kepada mereka apakah mereka ingin jadi direktur. Dan semua mengangkat tangan. Kemudian saya tanya lagi apakah mereka tahu fungsi utama Direktur (Leader) itu apa?

Dalam diskusi selanjutnya kami menyimpulkan bahwa "Leadership is Influence". Kepemimpinan adalah tentang memberikan pengaruh kepada anggota tim untuk mencapai tujuan bersama.

Langkah berikutnya adalah "bagaimana memberikan pengaruh?".

Pengaruh dilakukan dengan cara: memberikan perintah (directing), memimpin meeting, melakukan pembimbingan (coaching) dan memberikan TRAINING!.

Semua CEO hebat yang saya temui, pandai dalam mempengaruhi orang termasuk memberikan TRAINING.

CEO terpandang abad 20, Jack Welch dari GE bahkan secara reguler memberikan training di GE University di Crotonville New York kepada pemimpin2 muda GE.

Jack Welch mengatakan bahwa 30 persen dari waktunya dia pergunakan untuk mengurusi SDM GE termasuk memberikan Training.

Jadi kemampuan memberikan training bukan saja kemampuan wajib untuk para trainer namun juga bagi para calon direktur hebat!.

***
Personal Competitive Advantanges

Bagi mas Surip, kemampuan mengecat dengan cara bergelantungan di dinding menggunakan tali panjat tebing merupakan "keunggulan bersaing" dibandingkan dengan kompetitornya.

Para kompetitor saat melakukan pengecatan rumah atau bangunan diatas 2 lantai harus menggunakan perancah sehingga lebih MAHAL dan lebih LAMA.

Mas Surip sang tukang cat dengan kemampuan "Spiderman" dapat menawarkan kepada calon pelanggan pekerjaan pengecatan yang lebih "MURAH" dan lebih CEPAT. Dan hasilnya order mas Surip mengalir tanpa henti.

Sama dengan mas Surip, kemampuan untuk bisa melakukan training memang bukan KPI utama dalam JobDes para pemimpin. Namun kemampuan ini akan memberikan "KEUNGGULAN BERSAING" dibandingkan dengan para pemimpin lain yang boro2 bisa mengajar, untuk ngomong di depan banyak orang saja belepotan di sana sini.

Satu hal lagi, kemampuan memberikan training bisa jadi other income 60 jt/jam macam Maryono Teguh lho:)

What do you think?

EU4U
RS Primier Bintaro 171016
Untuk para pembelajar

Life & Death Decision Making: Sully vs MT #Hal110


Catatan Harian Eko Utomo

Life & Death Decision Making: Sully vs MT #Hal110

***
We Call It Intuation

"Ada kebocoran oli di ruang mesin pak", kata mas Mul pemilik bengkel langganan saya.

Dan saya hanya garuk2 kepala yang tidak gatal. Antara percaya dan tidak percaya.

Saat saya datang ke bengkelnya, saya hanya bilang ke mas Mul bahwa power mobil saya lemes. Yang kemudian dia lakukan adalah mendengarkan suara mesin dan menengok sebentar knalpot di belakang.

"Nanti kita cek detail saat bongkar mesinnya pak", mas Mul mungkin melihat keraguan yang memercik di muka saya.

Sekedar basa-basi dan sopan santun karena beberapa saat berikutnya montir selesai memeriksa dan membongkar mesin, apa yang menjadi perkataannya merupakan sebuah kebenaran.

Diagnosa yang tajam dan terpercaya. Sering disebut sebagai INTUISI.

***
Intuisi, Sully & Penyelamatan 155 Penumpang

Minggu lalu saya menonton film Sully, kisah heroik dimana Kapten Sully yang sedang take off dari LaGuardia New York menuju North Carolina di ketinggian 800 m menabrak sekumpulan angsa Kanada yang sedang bermigrasi.

Sekian detik berikutnya adalah sejarah kepahlawanan Kapten Sully dalam membuat keputusan maha penting, tidak hanya bagi dirinya, namun juga bagi 154 penumpang dan awak pesawat.

Dalam keterbatasan waktu, ketinggian yang kurang dan kecepatan pesawat yang lambat, Sully membuat keputusan hidup dan mati dengan mendaratkan pesawat di Sungai Hudson yang dingin, tidak kembali ke bandara LaGuardia atau ke Teterboro seperti yang disarankan pihak Air Traffict Control (ATC).

Sebuah keputusan yang sangat berani dan percaya diri. Sejarah hanya sedikit mencatat pesawat selamat saat mendarat di sungai (Salah satunya pendaratan Garuda di Bengawan Solo tahun 2002).

Apa yang terjadi kemudian adalah sebuah cerita kepahlawanan yang dimonumenkan oleh Tom Hank & Clint Eastwood di Holywood.

Pengambilan keputusan Kapten Sully didasarkan oleh INTUISI yang dia miliki. Pengalaman terbang yang terentang sepanjang 40 tahun dan 20.000 jam terbang.

Dalam sebuah wawancara Kapten Sully mengatakan bahwa ketepatan pengambilan keputusannya terbentuk karena "Tabungan sedikit demi sedikit selama 42 tahun dari pengalaman, pendidikan dan pelatihan. Sehingga pada tanggal 15 Januari 2009 (pesawat jatuh), tabungan dapat ditarik dan mencukupi kebutuhan yang diperlukan (untuk melakukan sebuah pendaratan heroik)".

Yang dipaparkan oleh Sully (dan juga mas Mul) merupakan penjelasan empiris sebuah konsep yang dinamakan INTUISI. Intuisi merupakan proses pengambilan keputusan bawah sadar yang dipengaruhi oleh Judgment, Gut Feeling dan Experience, tiga faktor utama pembentuk utamanya.

Judgment dan Gut Feeling lebih banyak dipengaruhi dan dibentuk "dari sononya". Sedangkan PENGALAMAN dibangun oleh pendidikan, latihan dan jam terbang yang ditabung selama 40 tahun masa kerja dan 20.000 jam terbang.

Tabungan Intuisi dibangun berdasarkan pengalaman "yang benar". Bukan tabungan "uang palsu". Tabungan pengalaman yang salah (uang palsu) pada saat ditarik ketika dibutuhkan juga akan mengeluarkan uang palsu.

Kondisi yang serupa dialami oleh (mantan) motivator ternama Mario Teguh (MT).

Pada saat seorang pemuda bernama Kiswinar muncul dalam sebuah talkshow, maka proses pengambilan keputusan (dalam merespons) MT menjadi sebuah catatan penting.

Pengambilan keputusan hidup dan mati karir MT sebagai motivator. Penolakan MT bahwa Kiswinar bukan anaknya yang sah dari perkawinan pertama (yang selama ini ditutupi) menjadi keputusan blunder yang mematikan karirnya.

Hanya dalam waktu sebulan, MT dari seorang motivator dengan bayaran 60 jt/30 menit menjadi manusia papa yang dijauhi orang bahkan habis dibully di media sosial.

Semuanya didorong oleh intuisi. Yang menarik adalah selama puluhan tahun bekerja sebagai karyawan profesional dan 10 tahun sebagai motivator dengan ujar2 bijaksana, sesungguhnya apa yang ditabungnya di alam bawah sadar bank intuisinya?.

Jangan2 bukan "uang asli" namun malah "uang palsu" yang pada saat dibutuhkan malah menjerumuskan.

Btw, selama ini "uang" yang kita tabung di bank intuisi kita asli atau palsu ya?

EU4U
BSDCity041016

Untuk Decision Makers.