06 Juni 2017

“PERUSAHAAN PERTAMBANGAN YANG DIPIMPIN INSAN NON TAMBANG, DIMANA SALAHNYA?”.



“PERUSAHAAN PERTAMBANGAN YANG DIPIMPIN INSAN NON TAMBANG, DIMANA SALAHNYA?”.

Penulis:
Eko Jatmiko Utomo Ph.D (c)
Business & HR Consultant
Public Trainer & Master Coach
Ekoutomo05@yahoo.com

Sang CEO Dari “Dunia Lain”
Mari kita melakukan riset kecil-kecilan, pertanyaan utama riset sebagai berikut: “berapa banyak Chief Executive Officer (CEO) perusahaan tambang besar Indonesia (BUMN & Swasta) lulusan jurusan yang berkaitan langsung dengan industri pertambangan (Tambang, Metalurgi & Geologi)?”.
Kalau kita melakukan pencarian di Internet (dilakukan pada tanggal 1 Juni 2017), maka didapatkan data CEO perusahaan-perusahaan tambang besar di Indonesia sebagai berikut:

CEO Perusahaan Tambang BUMN & Latarbelakang Pendidikan:
Aneka Tambang: Arie Prabowo Ariotedjo (Teknik Sipil)
Bukit Asam: Arviyan Arifin (Teknik Industri)
Timah: Mochtar Riza Pahlevi Tabrani (Teknik Geologi)
Inalum: Winardi (Teknik Tambang Metalurgi)
CEO Perusahaan Tambang swasta & Latarbelakang Pendidikan:
Freeport Indonesia: Chappy Hakim (Akmil AU); saat ini kosong dan belum ditunjuk pengganti.
Vale Indonesia: Nico Kanter (Hukum)
Adaro: Garibaldi Thohir (Bisnis)
KPC: Saptari Hoedaja (Teknik Mesin)
Berau: Fuganto Widjaja (Ilmu Komputer)

Dari 9 perusahaan tambang besar yang ada di Indonesia, ternyata yang memiliki latarbelakang pendidikan terkait pertambangan hanya ada 2 yaitu CEO Timah & Inalum. Bahkan kalau ditilik lebih dalam lagi, CEO Timah Riza Tabrani merupakan mantan Chief Finance Officer (CFO) PT. PGN. Karirnya lebih banyak dihabiskan di bidang keuangan dan bukan di Geologi seperti latar belakang pendidikan yang disandang. Dengan demikian hanya ada sekitar 10% CEO perusahaan tambang yang memiliki latarbelakang pendidikan jurusan tambang dan sejenisnya.

Fakta yang dihasilkan riset ini memunculkan pertanyaan lanjutan: “apakah lulusan jurusan pertambangan dan sejenisnya tidak layak memimpin perusahaan tambang?”. Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang menggelitik dan sensitif. Menggelitik karena fenomena ini dapat dirasakan namun tidak pernah dieksplorasi lebih lanjut, dan sensitif karena berkaitan dengan “pride” atau harga diri mereka-mereka yang merasa bahwa perusahaan pertambangan selayaknya dipimpin oleh mereka yang memiliki latar belakang pendidikan tambang.

Sebenarnya, pertanyaan ini bukanlah merupakan pertanyaan yang baru terjadi akhir-akhir ini saja, namun juga merupakan pertanyaan yang sudah muncul lebih dari 20 tahun yang lalu seperti yang diceritakan pada tulisan di kotak “Tidak Perlu Kuliah Tambang untuk Memimpin Perusahaan Tambang” dibawah ini.

***
Tidak Perlu Kuliah Tambang untuk Memimpin Perusahaan Tambang.
Bandung, medio awal tahun 1994. Di salah satu kampus ITB bagian pojok belakang. Seisi ruangan seminar di lantai 2 jurusan teknik Pertambangan ITB itu senyap. Bukan senyap yang tenang dan meneduhkan, namun senyap gunung berapi yang siap-siap memuntahkan lava yang panas membara.

Di depan ruangan berdiri seorang pembicara yang terkenal, Dr. Ir. Kuntoro Mangkusubroto. Doktor Kuntoro pada saat itu berbicara dan diundang dalam kapasitas sebagai CEO PT. Timah (1989-1994), bukan dalam kapasitas sebagai dosen di Teknik Industri ITB.

Dalam kapasitasnya sebagai CEO PT. Timah, Pak Kuntoro diminta oleh jurusan tambang ITB untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan bagaimana cara beliau mampu untuk membuat PT. Timah yang sedang karam bisa menjadi sehat dan berlayar kembali. PT. Timah mengalami kejayaan sebagai salah satu perusahaan tambang negara selama berpuluh-puluh tahun. Dengan banyaknya keuntungan yang diterima, PT. Timah banyak menanamkan investasi pada sektor yang sebenarnya tidak berhubungan langsung dan dibutuhkan oleh PT. Timah sebagai perusahaan tambang. Pada saat harga timah dunia anjlog pada pertengahan 80an, maka PT. Timah yang terlanjur tambun (kebanyakan karyawan) dan tidak efisien menjadi limbung dan jatuh.

Doktor Kuntoro yang ditunjuk oleh Departemen Pertambangan sebagai CEO segera melakukan langkah-langkah pembenahan melakukan restrukturisasi organisasi. Salah satu tindakan yang ramai diperbincangkan adalah melakukan pemberhentian lebih dari 70% karyawan. Retrukturisasi organisasi yang dilakukan berhasil mencegah “kapal Timah” yang sedang oleng menjadi karam dan tenggelam ke dasar laut. PT. Timah kembali selamat dan melanjutkan kiprahnya sebagai salah satu BUMN pertambangan.

Semua peserta seminar terpukau dan dengan seksama mendengarkan program-program yang dijalankan Doktor Kuntoro dalam melakukan restrukturisasi PT. Timah. Diskusi dan tanya jawab berlangsung dengan seru. Peserta seminar baik Dosen dan Mahasiswa merasa mendapatkan banyak manfaat dengan kehadiran Doktor Kuntoro CEO PT. Timah sebagai nara sumber.

Pada akhir seminar Dr. Kuntoro Mangkusubroto menyampakan kesimpulan dari proses restrukturisasi yang dia lakukan di Timah: “Dalam memimpin perusahaan tambang tidak perlu harus kuliah teknik pertambangan, yang dibutuhkan adalah kemampuan untuk mengelola organisasi dengan efektif dan efisien”.

Kalimat diatas khususnya bagian “tidak perlu harus kuliah teknik pertambangan” membuat seminar yang sebelumnya berjalan dengan seru dan menyenangkan berubah menjadi muram. Di luar ruangan sesudah acara seminar berlalu, beberapa mahasiswa Teknik Pertambangan bergerombol dan mencaci maki kesimpulan yang dibuat oleh Dr.Kuntoro. Harga diri mereka terluka, mereka merasa jurusan yang mereka ambil dilecehkan. Masak jabatan CEO perusahaan tambang tidak “mengerti” tambang.  Namun fakta yang terjadi di PT. Timah terlalu kuat untuk dibantah, Dr. Kuntoro, seorang lulusan Teknik Industri mampu menyelamatkan PT. Timah dari kegagalan bisnis saat dipimpin oleh CEO lulusan Teknik Pertambangan.
***
Apa Yang Dibutuhkan Untuk Menjadi CEO?
Dalam bukunya yang berjudul “What the CEO Wants You to Know”, maha guru bisnis dari Harvard, Prof. Ram Charan menyatakan bahwa untuk bisa memimpin dan mengelola bisnis maka seorang CEO harus memiliki kompetensi yang dinamakan Business Acuman (Wawasan Bisnis).

Posisi CEO merupakan posisi yang sangat strategis. Keputusan-keputusan penting dihasilkan dari rapat-rapat Board of Director (BOD) yang dipimpin oleh CEO. Keputusan-keputusan stratejik dan penting itulah yang nanti akan menentukan arah perjalanan dari perusahaan. Dengan demikian maka anggota BOD terlebih CEO merupakan faktor utama yang menentukan hitam dan putihnya perusahaan (Finkelstein dkk., 2009).

Seorang CEO yang memiliki wawasan bisnis adalah orang yang mampu untuk mengidentifikasi dan mendorong terjadinya cash generation, menciptakan margin, memupuk aset, mempertahankan pertumbuhan dan mengelola kepuasan pelanggan (Charan, 2001). Kompetensi wawasan bisnis yang dimiliki oleh CEO tadi harus dikombinasikan oleh kemampuan memimpin (leadership) yang diharapkan mampu untuk membawa perusahaan mencapai tujuan utama dalam berbisnis: mendapatkan keuntungan.

Prinsip utama bisnis (mendapatkan keuntungan) berlaku secara universal pada semua perusahaan dan semua industri. Perusahaan yang tidak mencari keuntungan selayaknya berubah nama menjadi yayasan. Kondisi ini juga berlaku di perusahaan tambang pada industri pertambangan.

Dengan demikian CEO perusahaan tambang (termasuk anggota dewan direksi yang lain) wajib hukumnya untuk memiliki kompetensi wawasan bisnis agar mereka mampu menjalankan peran sebagai direktur perusahaan.

Atau coba kita buat daftar tantangan yang harus dihadapi oleh CEO dan direksi di Industri tambang Indonesia pada saat ini: “Harga komoditas yang jatuh”, “Kesulitan aliran kas”, “Konsekuensi penerapan UU Minerba”, “Kesalahan investasi tambang”, “Kebutuhan pendanaan untuk pengembangan”, “Rendahnya produktivitas perusahaan”, “Daya saing perusahaan rendah”, dlsb. Masalah-masalah kekinian yang harus dihadapi oleh CEO dan Board of Director (BOD) tidak dapat diselesaikan oleh mata kuliah teknik Pertambangan, teknik Metalurgi dan teknik Geologi yang dipelajari pada bangku kuliah. Masalah-masalah tersebut hanya bisa diselesaikan oleh kompetensi Wawasan Bisnis, kompetensi Leadership dan ekspos/pengalaman terhadap hal-hal non teknis tersebut.

Apakah para direksi perusahaan tambang berlatarbelakang jurusan Tambang dan sejenisnya menguasai kompetensi Wawasan Bisnis?. Bagaimana dengan para first layer?. Bagaimana dengan para Manager?. Bagaimana dengan anda?.

Dalam berbagai kesempatan workshop yang saya selenggarakan dengan para executives perusahaan pertambangan di Indonesia, saya memanfaatkan kesempatan interaksi tersebut untuk melakukan riset kecil2an. Riset bertujuan untuk melihat apakah para Manager, VP, GM, Direktur perusahaan tambang dengan latar belakang pendidikan Tambang dan sejenisnya menguasai kompetensi Wawasan Bisnis (lihat cerita dalam kotak: Pemimpin Bisnis Tidak (Kurang) Mengerti Bisnis).   

Pemimpin Bisnis Tidak (kurang) Mengerti Bisnis
“Bagaimana perusahaan bisa untung?”, sang Trainer melontarkan sebuah pertanyaan yang sederhana. Tunggu punya tunggu, tidak ada seorang pesertapun yang mengangkat tangannya untuk mencoba untuk menjawab. 

Di ruangan kelas itu ada kurang lebih 30 orang peserta workshop. Workshop tersebut merupakan program pelatihan in house yang diselenggarakan oleh satu perusahaan tambang. Semua peserta masuk katagori sebagai karyawan first layer (level pertama) di perusahaan. Sebagian merupakan direktur anak perusahaan, sebagian lagi merupakan General Manager (GM) pada salah satu unit bisnis, sisanya adalah Vice President yang mengepalai fungsi-fungsi di dalam perusahaan. Semua peserta adalah karyawan dengan masa kerja lebih dari 15 tahun di perusahaan. Sebagian besar karyawan adalah lulusan jurusan terkait pertambangan (Geologi, Tambang, Metalurgi) dari berbagai perguruan tinggi ternama di Indonesia.

“Bapak-bapak merupakan pemimpin bisnis di tempat anda masing-masing, bagaimana bisa anda tidak tahu dan tidak yakin dengan faktor yang bisa membuat perusahaan anda untung?”, Trainer melontarkan pertanyaan provokatif untuk memancing diskusi. Ternyata pertanyaan pancingan provokatif tetap tidak mampu membuat diskusi di dalam kelas menjadi hidup. Semua cenderung diam dan bingung dalam menjawab pertanyaan. Padahal mereka adalah para pemimpin bisnis dalam skala masing-masing.

Dari riset kecil-kecilan yang dilakukan, saya mengambil kesimpulan bahwa kurang dari 15% first layer (Senior Manager, VP, GM) mengerti dan menguasai kompetensi Wawasan Bisnis!. Sebuah angka yang sangat rendah sekali.  Padalah para first layer ini adalah ujung tombak perusahaan dalam melakukan eksekusi strategi yang dibuat dan diputuskan oleh para direktur. Mereka adalah para villager, orang-orang terdekat BOD yang memastikan keputusan stratejik terimplementasi (Mellon & Carter, 2014).   

Apa Yang Terjadi?
Menjadi “Insinyur/Sarjana Teknik” merupakan sebuah kebanggaan. Bahkan aktor peran Rano Karno sampai membuatkan sebuah sinetron yang berjudul “Si Doel Anak Sekolahan”. Sinetron yang menggambarkan lika liku peran Doel dalam mengejar cita-cita menjadi Insinyur. Sinetron ini meledak dan laku! Artinya sinetron ini berhasil menjual mimpi yang sama dengan mimpi banyak para penontonnya: kebanggaan menjadi Insinyur!.

Faktor kebanggaan ini bahkan sudah dipupuk jauh-jauh hari. Sejak masih SMA sudah berjuang dan menjadi bangga masuk di jurusan IPA. Kebanggaan ini berlanjut saat kuliah mampu masuk ke perguruan tinggi jurusan teknik. Kebanggaan menjadi paripurna pada saat diterima bekerja menjadi “engineer” di perusahaan tambang ternama.

Sebuah “pride” yang dipupuk selama bertahun-tahun dan dilakukan dengan sangat intensif. Ibaratnya pohon yang ditanam, maka sesudah tumbuh tinggi akar pohon sudah sedemikian tajam menghunjam ke dalam tanah. Kokoh, namun sulit untuk digoyahkan, apalagi diminta pindah.

Menjadi Insinyur Tambang  dan sejenisnya (Metalurgi & Geologi) merupakan proses “a dream comes true”. Menemukan dan menghitung cadangan dengan akurat, merancang dan menambang tambang dengan rapi dan sempurna atau merancang dan mengolah hasil tambang dengan mulus bagi para Insinyur menjadi sebuah pencapaian yang hebat.

Yang kemudian menjadi masalah adalah bahwa jabatan untuk keahlian diatas bukan merupakan jabatan tertinggi diperusahaan, jabatan diatas “hanyalah” Manager atau paling tinggi adalah Senior Manager atau Vice President!. Bagaimana mungkin para Insinyur yang sudah susah payah belajar teori Peledakan, Kristalografi, Mekanika Batuan, Peralatan Tambang, Genesa Bahan Galian, Teknik Korosi, Pengolahan Bahan Galian dll., dengan segala macam kesusahannya kok jabatan cuma mentok pada posisi Senior Manager? Kenapa bukan jadi direktur dan atau CEO?.

Jawabannya sederhana, karena segala macam keahlian teknik pertambangan “hanyalah” merupakan salah satu fungsi dari bisnis, yaitu fungsi OPERASI. Sementara ada fungsi-fungsi bisnis yang lain seperti fungsi Stratejik, fungsi Human Capital dan fungsi Keuangan yang juga dibutuhkan agar bisnis dapat berjalan sempurna untuk mencapai tujuan utamanya: menghasilkan keuntungan.

Jadi ada GAP kompetensi antara kompentesi yang dimiliki oleh para Insinyur dengan kompetensi yang dibutuhkan sebagai CEO. Sementara secara mental juga terdapat gap mental merasa sudah “paripurna” keahliannya. Padahal masih banyak hal lain yang perlu dipelajari dan dikuasai oleh para Insinyur.

Wahai Para Insinyur, Masih Berminat Jadi CEO?
Jika jawaban dari pertanyaan diatas adalah “tidak”, maka jangan lanjutkan membaca artikel ini. Dengan apa yang sudah dipelajari di bangku kuliah dan pengalaman yang didapatkan di lapangan maka anda akan cukup kompeten untuk menjadi Senior Manager atau Vice President. Namun ingat, jangan marah dan iri hati kalau orang dengan latarbelakang pendidikan non tambang menjadi direktur atau bahkan CEO Anda.

Namun jika jawaban pertanyaan diatas adalah “ya, berminat”, maka ada banyak jalan dan kilometer yang harus ditempuh dan dilalui oleh tapak kaki Anda. Untuk menuju kesana tambanglah potensi diri dari gunung cadangan talenta yang ada miliki. Lakukan langkah MINE berikut ini.

1.      Masih banyak gunung yang harus didaki. Menjadi CEO membutuhkan kompetensi Wawasan Bisnis dan Kepemimpinan yang tinggi. Mulai dari sekarang, dalam posisi Anda saat ini mulailah membuka diri hal-hal diluar masalah teknis pertambangan yang anda hadapi setiap hari. Bukankah Anda sudah ahli dalam hal teknis? Artinya ada waktu luang yang bisa dimanfaatkan untuk mempelajari kompetensi-kompetensi lain.
2.      Inisiatif adalah kunci utama. Hukum kelembaman Newton juga berlaku kepada manusia. Anda para ahli tambang akan cenderung untuk mengerjakan yang anda kuasai dan lakukan sehari-hari. Ingat, ini akan menjadi sebuah jebakan diri karena membuat anda malas untuk belajar hal-hal yang lain. Berinisiatiflah, jangan menunggu bola, kejar bola di lapangan. Kalau perlu bola yang di luar lapangan juga Anda kejar.
3.      No Money No Honey. Menjadi CEO adalah madu (honey) Anda. Untuk itu jangan ragu-ragu untuk mengeluarkan Money (uang/sumberdaya) yang anda miliki dalam mengejar kompetensi. Belajar hal baru terus menerus, bahkan jangan ragu untuk mengorbankan waktu dan uang untuk mendapatkannya. Ingat, untuk menjadi CEO ilmu-ilmu teknis yang dipelajari tidak cukup, harus ditambah dengan ilmu-ilmu yang lain. Ikutlah pelatihan-pelatihan non teknis yang disediakan oleh perusahaan. Kalau perlu membayar sendiri (investasi) untuk ikut pelatihan di luar perusahaan atau bahkan mengambil kuliah bisnis pada saat ada kesempatan.
4.      Elaborasi & Evaluasi. Kita sudah tahu bahwa dua kompetensi utama yang harus dimiliki oleh CEO adalah kompetensi Wawasan Bisnis dan kompetensi Kepemimpinan. Coba anda elaborasi dan evaluasi sudah sejauh mana kompetensi ini ada dalam diri Anda. Lihat sekeliling, pelajari dan bandingkan cara berpikir dan bertindak Anda dibandingkan dengan mereka yang menurut Anda hebat dalam dua kompetensi tersebut. Jangan ragu untuk minta bimbingan (Coaaching) pada orang-orang yang hebat dalam dua kompetensi tersebut, baik di dalam perusahaan maupun di luar perusahaan.

Right Person in the Right Place with Right Competencies
PT. Telkom merupakan salah satu perusahaan terbesar di Indonesia. Status sebagai perusahaan negara membuat Telkom bergerak lamban dan hidup dalam budaya yang birokratis. Hak-hak istimewa(monopoli) diberikan oleh negara kepada Telkom sehingga ibaratnya tanpa melakukan apapun maka pasti akan untung. Situasi ini berubah pada tahun 80an, persaingan mulai terjadi karena banyak bidang industri yang sebelumnya tidak boleh dimasuki oleh asing menjadi terbuka, termasuk industri telekomunikasi. Persaingan menjadi keras dan mereka yang tidak kompetitif bisa tersingkir.

Kondisi yang rentan tersebut juga dialami oleh Telkom yang tambun dan tidak kompetitif. Pada tahun 1988-1992 ditunjuklah CEO baru Telkom, Ir. Cacuk Sudarijanto. Tugas utama Cacuk membenahi Telkom agar menjadi perusahaan yang kompetitif. Cacuk menjadi CEO Telkom pada periode yang hampir sama dengan penunjukan Kuntoro sebagai CEO Timah.

Seperti yang dilakukan oleh Kuntoro di Timah, maka Cacuk melakukan proses transformasi yang luarbiasa di Telkom. Telkom yang sebelumnya merupakan perusahaan berbudaya birokrat yang lamban dan tambun diubah menjadi lebih ramping dan lincah dalam berkompetisi. Cacuk menjadi peletak dasar manajemen modern yang dimiliki oleh Telkom saat ini. Kepemimpinan Cacuk yang hebat di Telkom menjadi legenda. Faktanya Ir. Cacuk Sudarijanto adalah lulusan Teknik Pertambangan, bukan lulusan jurusan teknik Elektro.

Cerita sukses lulusan teknik Pertambangan dan sejenisnya tidak hanya ada pada diri seorang Cacuk Sudarijanto. Banyak lulusan Geologi, Tambang dan Metalurgi yang mampu dan berprestasi menjadi CEO di perusahaan di industri non pertambangan. Kesamaan yang ada pada mereka adalah berpikiran terbuka dan tidak pernah berhenti belajar hal-hal baru.
Bagaimana dengan Anda?

DAFTAR REFERENSI
Charan, R., (2001). “What The CEO Wants You To Know”, Random House, New York.
Finkelstein, S.; Hambrick, D.C.; & Canella Jr, A.A., (2009). “Strategic Leadership”, Oxford University Press, New York.
Melon, L.; & Carter, S., (2014). “The Strategy of Execution”, McGraw Hill Education, USA.

BIO PENULIS:
Eko Jatmiko Utomo adalah manusia multi dimensi. Pendidikan S1 ditempuh di Jurusan Teknik Pertambangan ITB dan selesai pada awal tahun 1997. Namun, pengalaman kerja selama 20 tahun lebih banyak bergelut dalam bidang Sumberdaya Manusia (SDM) dan Strategi Bisnis. Pada saat ini Eko Utomo adalah Konsultan, Praktisi Bisnis, Public Trainer, Coach, sekaligus Penulis. Untuk memperlengkapi kompetensinya dalam bidang bisnis, Eko Utomo mengambil S2 pada MM Statejik Management Universitas Prasetiya Mulya dan kemudian melanjutkan S3 Stratejik Management di Universitas Indonesia. Eko berpengalaman bekerja pada perusahaan besar nasional seperti Bank Danamon, Pamapersada Nusantara, Lippo dan Telkomvision. Eko Utomo juga berpengalaman bekerja pada perusahaan Multi National Company (MNC) seperti Freeport Indonesia dan Holcim Indonesia. Untuk dapat mengenal penulis lebih lanjut dapat dilihat di www.ekoutomo.blogspot.com

02 April 2017

ALAT UKUR UTAMA KAPABILITAS PEMIMPIN BISNIS: KEHEBATAN DALAM MEMBUAT KEPUTUSAN EFEKTIF



ALAT UKUR UTAMA KAPABILITAS PEMIMPIN BISNIS:
KEHEBATAN DALAM MEMBUAT KEPUTUSAN EFEKTIF

Penulis:
Eko Jatmiko Utomo Ph.D (c)
Business & HR Consultant
Public Trainer & Master Coach

RINGKASAN
Studi literatur dan riset empiris menunjukkan bahwa dua dimensi penentu perusahaan dalam menghasilkan keuntungan adalah strategi dan eksekusi. Perusahaan membutuhkan strategi karena dalam upayanya menjual barang atau jasa kepada konsumen, mereka tidak sendirian, ada pesaing yang melakukan kegiatan yang sama. Dengan demikian dibutuhkan strategi agar konsumen lebih memilih barang dan jasa yang mereka jual dibandingkan dengan barang dan jasa yang ditawarkan oleh kompetitor.

Namun strategi yang hebat tidak menjamin bahwa perusahaan akan untung. Sebuah gambar arsitektur rumah yang indah luarbiasa hanyalah sebatas gambar diatas kertas, bukan merupakan rumah yang nyata. Dibutuhkan serangkaian proses dan aktivitas untuk mengeksekusi dan mewujudkan gambar arsitektur menjadi sebuah rumah yang dapat dilihat, dipegang dan dihuni. Kegiatan ini dalam bisnis dinamakan eksekusi, kegiatan paling penting dalam perusahaan.

Penelitian empiris dalam dunia bisnis menunjukkan bahwa ternyata hanya 40% strategi dieksekusi dengan baik. Sisanya sebesar 60%, strategi dieksekusi dengan buruk atau tidak dieksekusi sesuai dengan rencana yang sudah dibuat sebelumnya (Nielson dkk., 2011).

Eksekusi, sebuah terminologi yang ambigu dan sering diterjemahkan secara berbeda-beda oleh banyak orang. Sebagian berpendapat bahwa eksekusi sekedar menjalankan rencana yang sudah dibuat dalam strategi. Padahal strategi itu sendiri hanyalah merupakan panduan besar mengapa, apa dan bagaimana mencapai target perusahaan. Sementara bisnis dijalankan hari demi hari dengan detail kecil-kecil yang harus diputuskan dan dieksekusi setiap saat.

Pemimpin bisnis menjadi bingung menerjemahkan apa dan bagaimana melakukan eksekusi bisnis. Dibutuhkan detail tindakan yang harus dilakukan. Ada empat tindakan utama dalam melakukan eksekusi bisnis: 1) Membuat keputusan yang tepat. 2) Membuat informasi mengalir. 3) Memotivasi orang dan 4) Membuat struktur organisasi yang handal (Nielson dkk., 2008).

Membuat keputusan yang tepat merupakan faktor utama dalam eksekusi bisnis. Strategi itu sendiri bahkan didefinisikan sebagai serangkaian aliran keputusan stratejik yang dilakukan oleh pemimpin perusahaan (Mintzberg, 1978). Jadi, apabila sebuah perusahaan mengaku tidak memiliki strategi (formal) maka sebenarnya keputusan-keputusan stratejik yang dilakukan oleh para pemimpin adalah strategi itu sendiri.

Dunia bisnis pada saat ini berubah sedemikian pesat (dinamic), muncul banyak sekali faktor baik internal dan eksternal yang saling berkaitan (complexity) dan juga asumsi yang dipakai pada saat membuat strategi belum tentu sama dengan pada saat strategi dieksekusi (uncertainty). Dengan demikian setiap keputusan (stratejik) yang dibuat haruslah memenuhi kriteria tertentu agar dapat relevan dengan dunia bisnis yang dinamis, kompleks dan tidak menentu tersebut (Hough & White, 2004).

Keputusan yang dibuat oleh para pemimpin bisnis harus dibuat dengan cepat (fast), diterima (acceptable) oleh pemangku kepentingan di dalam perusahaan, mendapatkan dukungan penuh (commitment) oleh mereka dan yang tidak kalah pentingnya adalah dapat dengan mudah dieksekusi (Utomo, 2017). Kriteria-kriteria itulah yang akan menentukan seberapa baik pemimpin dalam membuat keputusan yang efektif.

Dalam proses pengambilan keputusan yang efektif terdapat tiga jenis pendekatan pengambilan keputusan. Ketiga jenis pendekatan tersebut adalah Intuisi, Rasionality dan Politis (Elbanna & Child, 2007). Riset menunjukkan bahwa intuisi tidak memberikan pengaruh positif yang nyata dalam pengambilan keputusan. Pendekatan Rasional dan pendekatan Politis menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap keputusan yang diambil. Rasionalitas terbukti menunjukkan pengaruh yang positif sedangkan pendekatan politis menunjukkan pengaruh yang negatif (Dean & Sharfman, 1993).

Dengan demikian agar mendapatkan hasil keputusan yang efektif maka proses pengambilan keputusan harus dibuat serasional mungkin dan menjaga agar pendekatan politis dapat diminimalkan.
Proses rasional yang komprehensif terdiri dari dua bagian, yaitu komprehensif secara proses maupun komprehensif secara konten (Utomo, 2017). Proses pengambilan keputusan yang komprehensif secara proses harus melewati 4 langkah utama proses pengambilan keputusan yaitu: identifikasi, membuat alternatif keputusan, melakukan seleksi keputusan dan melakukan integrasi keputusan yang dibuat (Fredrickson & Mitchell, 1984).

Sedangkan proses komprehensif konten adalah pendalaman terhadap seluruh aspek penting dalam keputusan yang akan dibuat (Bozeman & Pandey, 2004). Sebagai contoh, dalam sebuah proses pengambilan keputusan stratejik perusahaan maka selain aspek stratejik, semua aspek penting lain seperti aspek penjualan dan pemasaran, aspek operasi, aspek manusia dan tentu saja aspek keuangan harus dibahas dengan tuntas.

***

Hati Baja Elia Manik di Rimba PTPN
Sesudah terbukti secara cemerlang mampu membalikkan kondisi Elnusa dari rugi Rp 43 milyar pada tahun 2011 menjadi untung Rp 238 milyar pada tahun 2013 hanya dalam 2 tahun (Kumparan.com, 2017). Elia Manik kemudian mendapatkan kepercayaan yang lebih besar dari Kemeneg BUMN untuk memimpin holding PTPN yang baru.

Ada 7 PTPN yang dimiliki oleh negara yang memiliki wilayah operasional yang tersebar di seluruh Indonesia. Kondisi PTPN memiliki kinerja yang berbeda-beda. Beberapa PTPN mencatatkan keuntungan namun beberapa PTPN mengalami kerugian.

Sebagai BUMN yang sudah lama berdiri, memiliki aset yang besar dan sedikit banyak memiliki keuntungan sebagai perusahaan negara maka kinerja PTPN secara keseluruhan masih jauh dibawah target optimal mereka.

Melihat potensi yang ada, maka kemeneg BUMN membuat sebuah holding BUMN PTPN untuk membawahi dan mengorkrestasikan seluruh PTPN yang ada dibawahnya. Tugas berat menjadi komandan PTPN ini diberikan kepada Elia Manik.

Dalam waktu singkat, Elia Manik mengidentifikasian hambatan masing2 PTPN dalam mengeksekusi bisnis. Hambatan itu muncul karena anggota dewan direksi terlalu gemuk dan cenderung birokratis. Salah satu keputusan stratejik yang dilakukan oleh Elia Manik adalah merampingkan jumlah anggota direksi. Keputusan penting yang tentu saja mengusik kenyamanan orang-orang lama yang ada di dalam perusahaan. Dibutuhkan hati baja untuk mengurangi jumlah karyawan dan memecat direksi lama.

Apakah keputusan stratejik tersebut berhasil dan membuat kinerja holding PTPN menjadi bersinar? Namun sebelum pertanyaan ini tuntas dan terbukti, Kemeneg BUMN menugaskan Elia Manik ke perusahaan terbesar di Indonesia, Pertamina. Perusahaan yang baru saja kehilangan nahkodanya. Apakah keputusan stratejik para pemimpin Kemeneg BUMN efektif?, waktu juga yang akan membuktikan.

***

Membangun Kepercayaan dan Kolaborasi
Proses pengambilan keputusan akan memberikan hasil yang maksimal apabila melibatkan orang-orang kunci dalam bisnis tersebut (Amason, 1996). Keterlibatan orang-orang kunci didalam pengambilan keputusan akan membuat mereka mengerti tentang keputusan yang diambil dan menumbuhkan komitmen pada saat proses eksekusi dilakukan.

Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, maka anggota tim yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan harus memiliki kepercayaan satu dengan lain. Kepercayaan ditimbulkan karena masing-masing dari mereka memiliki persepsi bahwa anggota tim yang lain memiliki integritas, kemampuan dan ketulusan dalam bisnis (Utomo, 2017).

Dengan adanya kepercayaan antar anggota tim, maka mereka mau dan berani mengambil resiko untuk memberikan kuasa kepada anggota yang lain dalam mengambil sebuah tindakan, dalam hal ini ikut berkontribusi dalam proses pengambilan keputusan yang sedang dilakukan.

Kepercayaan yang dibangun tersebut merupakan pondasi yang penting dalam melakukan kolaborasi pada saat proses diskusi berlangsung. Proses kolaborasi ditandai oleh adanya perilaku saling berbagi tujuan (goal sharing), tukar menukar informasi (information exchange) dan berbagi pendapat (cognitive sharing). Tanpa adanya kepercayaan, niscaya proses kolaborasi tidak akan dapat berlangsung dengan optimal.  

Rasional Komprehensif
Proses pengambilan keputusan yang rasional adalah proses pengambilan keputusan bertumpu pada penggunaan akal, logika dan rasio. Sementara itu, menurut Fredrickson & Mitchell (1984), “Comprehensiveness is a measure of rationality and is defined as the extent to which organizations attempt to be exhaustic or inclusive in making and integrating strategic decision”. Jadi komprehensitas merupakan alat ukur seberapa rasional kita membuat dan mengintegrasikan keputusan stratejik. Semakin luas dan dalam proses yang dilakukan maka semakin komprehensif pula keputusan yang rasional dilakukan.


Gambar 1. Pengaruh Komprehensitas terhadap Efektivitas Keputusan

Gambar 1 di atas menunjukkan bahwa komprehensitas berpengaruh positif terhadap efektivitas keputusan yang dihasilkan. Semakin komprehensif proses pengambilan keputusan yang dilakukan, maka efektivitas keputusan juga semakin tinggi.

Proses komprehensitas itu sendiri dibagi menjadi dua jenis. Proses yang pertama dinamakan sebagai Komprehensif Proses, sedangkan yang kedua dinamakan sebagai Komprehensif Konten.
Komprehensif proses adalah proses pengambilan keputusan dilakukan selangkah demi selangkah secara berurutan. Langkah-langkah tersebut adalah Identifikasi masalah, memunculkan alternatif pilihan, melakukan proses seleksi dan kemudian melakukan integrasi keputusan.

Sebuah perusahaan perhotelan sedang mengalami kesulitan dalam bisnis yang mereka jalankan. Setelah selama bertahun-tahun menikmati pertumbuhan pendapatan dan keuntungan, maka pada tahun lalu untuk pertama kalinya hotel tersebut berkinerja buruk. Pendapatan turun cukup tajam dan perusahaan mengalami kerugian. Selain itu, iklim organisasi menjadi tidak kondusif karena timbul kecurigaan dan terjadi saling ketidakpercayaan antar karyawan, akibatnya produktivitas memburuk di banyak lini operasi.

Untuk bisa membalikkan kondisi kembali menguntungkan, komisaris dan direksi membentuk sebuah tim untuk membuat keputusan stratejik agar perusahaan memiliki rencana untuk mengembalikan kinerja hotel menjadi positif kembali.

Proses pertama yang mereka lakukan adalah mengidentifikasi masalah. Identifikasi dilakukan dengan mengumpulkan data dan informasi tentang kondisi dan situasi terkini dari hotel tersebut. Kondisi lingkungan bisnis industri hotel dicermati, khususnya di lokasi dan di kota di mana hotel tersebut berada. Mereka melihat apakah terjadi perubahan daya saing dari kompetitor hotel tersebut. Mereka juga mencermati berapa banyak hotel-hotel baru yang sekelas yang dibangun di sekitar hotel mereka. Hal penting lain yang menjadi perhatian apakah muncul kebutuhan baru dari para pengunjung yang tidak bisa diberikan oleh pelayanan yang dimiliki oleh hotel tersebut pada saat ini.

Setelah proses identifikasi lingkungan bisnis dilakukan, maka pengamatan dan evaluasi dilakukan pada proses bisnis internal. Tim melihat apakah proses manajemen hotel yang selama ini mereka jalankan masih releven atau tidak. Apakah tingkat pelayanan yang mereka berikan kepada tamu hotel memuaskan pelanggan yang datang. Mereka juga melihat apakah kompetensi dari karyawan-karyawan hotel mampu untuk memberikan pelayanan  yang terbaik. Mereka juga mengevaluasi pola pikir karyawan dari level bawah sampai level tertinggi.

Proses identifikasi yang komprehensif akan memberikan data dan informasi yang lengkap pada saat memunculkan alternatif keputusan. Berbagai macam alternatif keputusan dimunculkan. Mulai dari pergantian jajaran direksi, perombakan karyawan, perubahan strategi organisasi bahkan yang lebih radikal seperti divestasi atau merger dengan hotel lain dalam satu group.

Alternatif keputusan adalah beberapa macam pilihan keputusan yang diolah dan dimunculkan dari data dan informasi yang dikumpulkan pada fase identifikasi. Fase berikutnya adalah memilih alternatif pilihan yang terbaik. Tugas dari pemimpin adalah mampu dengan cermat melakukan seleksi alternatif pilihan yang terbaik. Alternatif pilihan yang terlihat sama baik atau sama buruk (komoditas) merupakan tanda ketidakmampuan pemimpin dalam melakukan proses seleksi. 

Pindah Kerja atau Tinggal
Dalam kapasitas menjadi coach dan mentor dari beberapa orang di dalam organisasi di mana saya pernah bekerja, saya sering mendapatkan permintaan sesi coaching dengan topik yang sangat menarik: memberikan pertimbangan kepada karyawan dalam membuat keputusan tawaran pindah kerja.

Biasanya, hampir semua karyawan yang datang ke saya sudah membawa keputusan awal bahwa mereka akan mengambil tawaran pindah kerja.

Proses coaching pengambilan keputusan yang saya lakukan adalah membantu mereka secara komprehensif mengelaborasi keputusan awal yang sudah mereka ambil. Sebagian besar faktor utama dorongan untuk menerima tawaran adalah GAJI yang lebih TINGGI.

Faktor gaji cenderung menjadi satu-satunya faktor yang diambil sebagai representasi semua faktor di dalam proses pengambilan keputusan: menerima tawaran kerja baru dan meninggalkan pekerjaan lama.

Kami kemudian secara komprehensif melakukan elaborasi ulang terhadap faktor-faktor daya dorong dan daya tarik pekerjaan lama dan baru. Faktor gaji tentu saja masuk di dalamnya. Namun selain faktor gaji, kami juga memasukkan faktor tantangan pekerjaan, lokasi kerja, reputasi perusahaan, proses pembelajaran, atasan, rekan kerja dan faktor-faktor lain yang relevan.

Kami tidak hanya mengidentifikasi faktor-faktor tersebut, namun kami juga memberikan pembobotan pada masing-masing faktor dan kemudian melakukan penilaian satu persatu terhadap faktor-faktor tersebut.

Hasilnya, 50% dari mereka yang datang akhirnya membatalkan keputusan untuk menerima tawaran pekerjaan baru. Perubahan keputusan ini dihasilkan karena proses pengambilan keputusan dilakukan ulang dengan cara yang lebih komprehensif.

Proses yang terakhir dalam pengambilan keputusan yang komprehensif adalah melakukan integrasi keputusan. Seperti yang sudah ditulis diatas, organisasi berjalan berdasarkan keputusan-keputusan yang diambil pada masa lalu. Dengan adanya sebuah keputusan (stratejik) baru, maka dibutuhkan penyelarasan dan penggabungan dengan keputusan maupun sistem operasi yang sudah dilakukan sebelumnya. Dalam kasus hotel diatas, misalkan diambil keputusan bahwa hotel-hotel tersebut akan digabungkan (merger) dengan hotel-hotel lain dalam satu induk, tentu saja ada banyak proses integrasi yang harus dilakukan. Selain integrasi proses bisnis, maka dibutuhkan integrasi budaya dan juga integrasi strategi agar keputusan merger dapat memberikan hasil yang positif dan bukan sebaliknya. 

Komprehensif Konten berbicara tentang seberapa dalam dan luas cakupan proses rasionalitas dilakukan. Jika dalam komprehensif proses, intinya dalam membuat keputusan melakukan langkah demi langkah, maka dalam komprehensif konten membahas secara mendalam konten (isi/topik) pengambilan keputusan.

Kembali pada contoh hotel di atas, ada beberapa faktor penting yang harus diperhatikan dalam melakukan evaluasi hotel. Faktor-faktor tersebut seperti nilai jual hotel, faktor persaingan, faktor pemasaran, faktor operasi, faktor pelayanan dan faktor daya dukung keuangan.

Keenam faktor diatas merupakan konten yang harus dibahas secara mendalam dalam proses pengambilan keputusan. Dengan demikian, pada saat sedang melakukan proses identifikasi masalah, maka nilai jual hotel, persaingan dan lain-lain merupakan topik yang harus dibahas dalam proses tersebut. Demikian juga pada saat melakuan proses memunculkan alternatif, melakukan seleksi dan integrasi. 

Pendekatan Rasional, Politis atau Intuisi
Apakah anda pernah ada dalam sebuah kondisi sedang menghadapi sebuah masalah dan kemudian anda yakin sekali terhadap sebuah solusi?

Mungkin semua orang pernah mengalami dan merasakan pengalaman yang sama. Sebuah proses pengambilan keputusan (dalam hal ini mencari solusi) yang dilakukan secara cepat dengan mengandalkan faktor perasaan atau intuisi.

Yang tidak diketahui atau disadari oleh banyak orang, intuisi (bisnis) bukanlah sebuah proses reflek terhadap sebuah stimulus. Intuisi juga bukan merupakan hasil dari emosi, orang banyak yang salah kaprah tentang hal ini.

Intuisi dibangun oleh apa yang dilihat, didengar, dirasakan melalui serangkaian pemahaman, pembelajaran, pengalaman menghadapi kondisi yang serupa sehingga pada saat mengambil keputusan bisa secara cepat dilakukan karena sudah TERBIASA melakukannya (Khatri & Ng, 2000). Intuisi dibedakan dengan reflek seperti kita menepuk paha saat kita digigit nyamuk.

Karena intuisi dibangun oleh pemahaman, pembelajaran dan pengalaman, jikalau proses-proses tersebut dilakukan secara tidak tepat, tentu saja intuisi yang dibangun adalah intuisi yang juga tidak tepat.

Dari banyak literatur dan studi empiris yang dilakukan terbukti bahwa intuisi tidak secara signifikan berpengaruh positif terhadap kualitas keputusan yang diambil. Intuisi hanya akan berpengaruh positif apabila proses pembangunan intuisinya dilakukan dengan benar dan dipergunakan secara benar.

Proses pengambilan keputusan yang dilakukan secara rasional komprehensif merupakan proses pengambilan keputusan yang terbukti berpengaruh positif terhadap kualitas keputusan yang dihasilkan. Proses komprehensif yang merujuk dua dimensi (proses dan konten) akan mampu menghasilkan alternatif pilihan baik, sehingga proses seleksi menjadi lebih efektif. Semakin rasional proses pengambilan keputusan dilakukan, maka kualitas keputusan menjadi semakin tinggi.

Tantangan dalam melakukan proses pengambilan keputusan serasional mungkin adalah waktu. Secara logika, proses komprehensif yang dilakukan tentu saja membutuhkan waktu yang panjang. Masing-masing proses seperti identifikasi, mencari alternatif, melakukan seleksi dan integrasi tentu membutuhkan waktu. Sedangkan salah satu kriteria utama keputusan yang efektif adalah keputusan yang cepat.

Anda suka memperhatikan proses sidang di DPR RI? Aggota DPR RI merupakan kumpulan dari anggota-anggota DPR yang dipilih oleh rakyat pada saat pemilu yang bergabung dalam partai-partai tertentu. Masing-masing partai politik memiliki idiologi, nilai dan panduan masing-masing. Keseluruhan perbedaan latar belakang tersebut yang akan membentuk intensitas politis pada saat mereka membahas pembuatan Undang-Undang atau membahas suatu masalah kenegaraan.

Karena bentrokan kepentingan-kepentingan politis partai, maka keputusan yang diambil dalam rapat-rapat DPR merupakan bentuk kompromi dari kepentingan-kepentingan partai tersebut. Akibatnya keputusan yang diambil bukanlah keputusan yang terbaik. Contoh yang paling nyata terjadi pada saat ini di mana para anggota DPR berusaha “mengebiri” kewenangan KPK dalam melakukan operasi tangkat tangan (OTT) tersangka koruptor. Alasan para anggota DPR sederhana, karena mereka punya intensi melindungi diri sendiri. Sebab operasi OTT juga memakan korban anggota DPR.

Dunia politik mirip dengan dunia bisnis, apabila para pengambil keputusan membawa kepentingan-kepentingan politis maka akan memberikan dampak negatif terhadap kualitas keputusan yang diambil. Semakin politis semakin negatif pengaruhnya. Satu-satunya jalan untuk meningkatkan kualitas keputusan yang dihasilkan adalah dengan jalan meningkatkan proses pengambilan keputusan rasional komprehensif dan meminimalisir proses pengambilan keputusan yang politis. Dengan kata lain, kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompok harus disimpan di pintu depan ruang rapat dan tidak diperkenankan dibawa masuk ke ruangan proses pengambilan keputusan (Amason, 1996).


Keputusan Efektif
Coba anda perhatikan smartphone yang sedang anda pakai pada saat ini!. Teknologi apa yang dipakai?. Apakah sudah menggunakan teknologi 4G atau masih menggunakan teknologi 3G atau bahkan anda sudah cukup puas dengan menggunakan handphone teknologi jadul 2G?.

Saya tidak sedang dalam konteks mengolok anda terhadap teknologi yang ada di dalam smartphone yang anda miliki. Namun mari kita pikirkan proses pengambilan keputusan stratejik seperti apa yang mendorong sebuah perusahaan telekomunikasi menggunakan teknologi yang mana dan kapan.

Dalam konteks Indonesia, khususnya di kota-kota besar, pengguna smartphone yang berlangganan kartu telphon dari operator ternama, sebagian besar menggunakan teknologi 3G di dalamnya. Hanya sebagian kecil yang masih ketinggalan menggunakan 2G dan baru sebagian kecil juga yang sudah naik kelas menggunakan teknologi 4G. Keputusan menggunakan teknologi apa, tidak hanya ditentukan oleh kemauan dan kebutuhan pelanggan, namun juga ketersediaan teknologi tersebut pada kualitas layanan operator telekomunikasi.

Pertanyaan $1 juta dollar adalah, kapan sebuah perusahaan memutuskan berganti layanan dengan meluncurkan teknologi yang lebih tinggi? Ada konsekuensi penting dari jawaban akan pertanyaan ini. Apabila terlalu cepat meluncurkan teknologi baru maka dibutuhkan dana yang besar untuk pengembangan dan edukasi pasar. Sementara tidak ada jaminan bahwa investasi pasti akan berhasil.
Namun, apabila terlambat masuk ke teknologi baru, maka yang terjadi adalah pada saat biaya investasi terlanjur banyak ditanamkan namun belum banyak uang yang didapatkan dari penjualan sementara pasar telah bergeser (kembali) ke teknologi yang lebih tinggi. Sebagai contohnya sebuah operator yang masuk ke teknologi 3G dengan investasi yang cukup besar. Namun sebelum break even point (BEP) pada biaya investasi terjadi, pasar sudah bergeser ke teknologi 4G.

Tantangan perusahaan pada milenium baru pada saat ini, bukanlah pada kemampuan membangun SATU keunggulan bersaing terus menerus (sustain competitive advantages) namun pada seberapa cepat perusahaan membangun keunggulan bersaing sementara (transient competitive advantages). Dunia yang berubah secara cepat, tidak menentu dan makin komplek, membutuhkan perusahaan yang mampu membangun keunggulan bersaing sementara (transient) yang sesuai dengan kondisi pada saat itu (McGrath, 2013).

Kita menyaksikan bagaimana kurang dari 5 tahun yang lalu, taxi Blue Bird sedemikian berjaya dalam bisnis transportasi di Indonesia (khususnya Jakarta). Blue Bird berjaya karena pelayanan dan kehandalan yang mereka berikan kepada pelanggan. Keunggulan bersaing ini secara cepat dilibas oleh mantra baru bisnis transportasi “murah dan mudah” yang diusung oleh bisnis transportasi online. Kejayaan Blue Bird terancam dan akan jatuh apabila tidak cepat-cepat mengembangkan keunggulan bersaing yang baru untuk memenuhi pergeseran kebutuhan pelanggan.

Perubahan-perubahan lingkungan bisnis yang sedemikan cepat tentu saja harus diantisipasi oleh perusahaan. Pengambilan keputusan stratejik dan juga operasional harus dilakukan dengan CEPAT. Siapa cepat dia selamat, demikian semboyannya.

Dengan demikian maka alat ukur efektifitas keputusan yang efektif adalah cepat diambil. Semakin cepat semakin baik. Bagaimana caranya keputusan dilakukan dengan komprehensif, namun tetap cepat dilakukan? Ada 4 langkah yang dapat diambil untuk mengambil keputusan dengan cepat namun tetap dilakukan dengan komprehensif untuk menjaga kualitas keputusan yang dihasilkan (Eisenhart, 1989):
1.      Menggunakan informasi terkini
2.      Memproduksi sebanyak mungkin alternatif keputusan
3.      Mencari bantuan penasehat ahli
4.      Menyelesaikan konflik yang muncul secepatnya
5.      Mempercepat integrasi keputusan-keputusan yang dihasilkan

Dari riset yang dilakukan oleh Eisenhart (1989), diambil kesimpulan bahwa secara empiris, keputusan yang komprehensif bisa dihasilkan lebih cepat dibandingkan dengan keputusan yang tidak komprehensif. Syaratnya adalah dengan melakukan lima langkah diatas. Pemimpin harus mendapatkan dan mengumpulkan informasi yang terkini. Pengambilan keputusan dengan menggunakan informasi yang usang akan memperlambat proses pengambilkan keputusan. Bahkan seringkali harus diulang dari awal.

Pemimpin dan anggota tim harus memunculan alternatif pilihan sebanyak mungkin. Pendekatan Brain Storming pada awal sesi ini bisa dilakukan untuk mendorong anggota kelompok secara bebas mengeluarkan ide dan pendapat masing-masing. Alternatif yang terbatas akan memperlambat apabila pilihan yang tersedia ternyata tidak cukup bagus untuk dieksekusi. Kondisi ini mengakibatkan proses akan dimulai lagi dari awal untuk memunculkan alternatif-alternatif yang lain.

Keberadaan penasehat yang ahli akan mempercepat proses pengambilan keputusan. Penasehat ahli yang berpengalaman akan membantu mengembangkan alternatif pilihan dan proses seleksi. Karena ahli dan berpengalaman, maka mereka bisa memberikan perspektif kepada anggota tim pembuat keputusan.

Konflik dibutuhkan dalam proses pembuatan keputusan. Jangan salah tangkap, konflik belum tentu bersifat negatif. Ada dua jenis konflik: konflik kognitif (rasional) dan konflik afektif (emosional). Konflik kognitif dibutuhkan karena akan membantu mempertajam dan melihat seluruh aspek dari alternatif solusi yang sedang dibahas. Yang harus dihindari adalah konflik yang sifatnya afektif (Amason, 1996). Karena dibutuhkan, maka konflik kognitif dengan sengaja harus dimunculkan dan segera diselesaikan. Teknik Devil Advocacy (DA) maupun teknik Dialectical Inquiry (DI) akan sangat membantu dalam proses ini (Schweiger dkk., 1986). Teknik DA fokus menyerang dan mengevaluasi asumsi yang dipergunakan untuk membangun sebuah solusi. Sedangkan teknik DI fokus membangun solusi lain dan kemudian mengadunya dengan solusi yang sedang dievaluasi.

Karakteristik kedua keputusan yang efektif adalah DITERIMA oleh pemangku kepentingan (stakeholder). Agar supaya pemangku kepentingan dapat menerima keputusan yang dihasilkan, maka langkah yang harus dilakukan adalah membuat mereka mengerti secara rasional latar belakang dan mengapa sebuah keputusan dilakukan.

Kondisi ini juga erat kaitannya dengan kualitas eksekusi yang akan dilakukan sesudah pengambilan keputusan dilakukan. Eksekutor (yang bukan pembuat keputusan) baru akan bisa melakukan eksekusi dengan sempurna apabila yang bersangkutan memahami dan mengerti secara rasional keputusan yang dihasilkan. Dengan memahami dan mengerti maka mereka menerima pilihan solusi yang diberikan.

Karakteristik yang kedua berkaitan erat dengan karakteristik ketiga dari keputusan efektif yang dibuat, yaitu KOMITMEN dari stakeholder. Dengan mengerti rasionalitas dari keputusan yang diambil, maka mereka menjadi lebih sungguh-sungguh untuk mengeksekusi keputusan yang dihasilkan.

Teknik Mempengaruhi
Bagaimana memunculkan komitmen dari anggota tim merupakan tugas utama dari para pemimpin. Keberhasilan pemimpin untuk mempengaruhi anak-buah merupakan kunci keberhasilan eksekusi keputusan yang dihasilkan.

Pada saat seorang pemimpin melakukan proses mempengaruhi bawahan/orang lain, maka ada tiga bentuk respons yang mungkin muncul: resisten, compliance dan commitment (Yukl dkk., 1996).

Resisten adalah bentuk penolakan terhadap pengaruh yang diterima oleh seseorang. Bentuk penolakan bisa secara verbal maupun gesture. Bisa juga secara langsung menolak di muka pemimpinnya ataupun di belakang. Jangan dipikir bahwa seseorang yang kita pengaruhi dan diam atau mengangguk-angguk merupakan tanda yang bersangkutan menerima dan komit. Bisa saja pada saat di depan terlihat setuju, namun di belakang melakukan sabotase.

Complience atau kepatuhan adalah bentuk respons menerima terhadap pengaruh yang diberikan. Apa yang diminta oleh pihak  yang mempengaruhi akan dikerjakan. Pada saat diminta mengerjakan A, yang bersangkutan akan mengerjakan A. Pada saat diminta memproduksi 100, maka 100 juga yang akan diberikan. Tidak lebih dan tidak kurang.

Komitmen adalah bentuk respons yang diberikan dimana yang bersangkutan dengan kesungguhan hati menerima dan mengamini stimulus yang diberikan oleh pemimpin. Mereka yang komit akan memberikan lebih dari yang diminta, dan itu semua dilakukan dengan sukarela. Mereka bahkan memberikan extra mile dalam upaya yang mereka lakukan.

Dari penjelasan diatas terlihat jelas bahwa komitmen merupakan hasil yang terbaik dari proses mempengaruhi. Menurut Yukl dkk. (1996) respon komitmen hanya bisa dimunculkan apabila pemimpin menggunakan teknik mempengaruhi dengan cara halus (soft influence tactics). Sementara penggunaan teknik mempengaruhi yang kasar (hard influence tactics) hanya akan menghasilkan penolakan (resistance) dan paling tinggi kepatuhan (complience).

Bentuk-bentuk cara mempengaruhi dengan menggunakan soft influence tactic adalah: Inspiration, Consultation, Rational Persuasion, Ingratiation, Personal Appeal dan Exchange. Sementara hard influence tactic adalah Pressure, Legitimating & Coalition.

Penelitian yang dilakukan oleh Yukl dkk., (1996) ini terlihat memiliki hubungan erat dengan proses menghasilkan keputusan yang efektif. Bentuk memberikan pengaruh dengan menggunakan teknik Consultation (konsultasi) di mana pemimpin mengajak dan melibatkan anak buah, serta Rational Persuasion (memberikan penjelasan rasional), selaras dengan proses komprehensitas dan juga karakteristik dari keputusan yang efektif.

Jokowi saat menjadi walikota Solo selama 2 periode, terkenal dengan gaya mempengaruhi proses pengambilan keputusan dengan cara mengundang pihak-pihak yang bertikai dan berkepentingan untuk duduk makan bersama. Proses duduk makan bersama dalam suasana santai mendorong munculnya solusi dari masalah yang sedang dihadapi. Proses ini dalam taktik mempengaruhi dinamakan Ingratiation (menciptakan suasana nyaman).

Karakteristik keempat dari keputusan efektif yang dihasilkan adalah KEMUDAHAN keputusan dieksekusi. Keputusan yang memenuhi kriteria cepat, diterima dan mendapatkan komitmen tetap menjadi kurang efektif apabila sulit untuk dikerjakan. Tentu saja tidak semua keputusan yang dihasilkan mudah untuk dieksekusi. Pasti akan muncul keputusan yang mau tidak mau sulit untuk diekskusi. Untuk kondisi seperti ini, maka dibutuhkan kecerdasan pemimpin untuk memunculkan kemenangan-kemenangan kecil (quick win) agar dapat menjadi momentum proses eksekusi dan perubahan yang dilakukan (Kotter, 1997).

Jebakan Proses Pengambilan Keputusan
Sama dengan orang yang sedang menjelajahi rimba raya, maka ada banyak jebakan dalam proses pengambilan keputusan. Dalam perjalanan melintasi rimba, penjelajah harus memperhatikan keberadaan binatang buas yang bisa mengintai di rimbunnya belukar. Mereka juga harus memperhatikan dengan seksama jalan yang akan dilewati agar tidak menginjak dan terpagut ular beracun. Belum lagi jalanan yang gelap dan licin bisa membuat penjelajah jatuh ditengah jalan dan mungkin akan terluka dan tidak bisa melanjutkan perjalanan.

Sama dengan proses menjelajahi hutan, maka proses pengambilan keputusan juga memiliki banyak jebakan yang harus diperhatikan agar keputusan yang dihasilkan efektif. Jebakan-jebakan itu muncul bisa disebabkan oleh karakteristik pribadi anggota tim, perilaku maupun kondisi dan situasi.

Jebakan-jebakan dalam proses pengambilan keputusan tersebut adalah: Anchoring Trap, Status Quo Trap, Sunk Cost Trap, Framing Trap, Overconfidence Trap, Prudence Trap, Recallability Trap (Hammond dkk., 1998).

Anchoring Trap adalah sebuah jebakan pengambilan keputusan dimana proses pengambilan keputusan sangat dipengaruhi oleh sebuah asumsi fakta yang diajukan di bagian awal. Sebagai contoh pada sebuah kelompok ditanyakan “apakah jumlah penduduk negara Turki lebih dari 35 juta orang?”. Pada kelompok kedua ditanyakan “apakah jumlah penduduk negara Turki lebih dari 100 juta orang?”. Hasil riset menunjukkan bahwa kelompok kedua memberikan jawaban sekian juta lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok pertama. Masing-masing terjebak dengan angka anchor sehingga memberikan jawaban yang berbeda.

Status Quo Trap adalah sebuah jebakan pengambilan keputusan dimana pengambil keputusan sangat nyaman dengan kondisi saat ini dan tidak mau mengambil resiko yang mungkin dihadapi pada saat mengambil keputusan yang merubah kondisi saat ini. Salah satu contoh yang fenomenal pada jebakan ini adalah apa yang terjadi pada perusahaan otomotif paling sukses pada awal abad 20 yaitu Ford Motor Company. Mobil model T mengalami kejayaan yang luar biasa pada saat itu. Dan semuanya diproduksi dengan warna hitam. Sedemikian suksesnya model T, mengakibatkan Henry Ford mengucapkan sebuah kalimat yang sangat terkenal sampai saat ini: “Any color you like as long as it’s black”. Ucapan ini merupakan jawaban pada saat pelanggan menanyakan pilihan warna yang lain terhadap model T yang mereka produksi. Jebakan status quo, mengakibatkan Ford kehilangan posisi kepemimpinan pada industri otomotif beberapa tahun sesudahnya.

Sunk Cost Trap adalah jebakan pengambilan keputusan karena perhitungan kerugian terhadap investasi yang sudah terlanjur didapatkan. Sekian tahun yang lalu, saya pernah membeli saham perusahaan pertambangan yang sedang naik daun. Saham perusahaan tersebut saya beli pada harga Rp 4000 persaham. Namun karena pengelolaan manajemen dan keuangan yang buruk, harga saham dari anjlok. Alih-alih segera melakukan cut lost (segera menjual dengan sedikit menanggung kerugian) saya malah menahan diri untuk tidak menjual saham karena memikirkan besarnya investasi yang sudah saya keluarkan. Pada akhirnya, setelah sekian bulan saya menjual saham dengan harga Rp 2000.  Saya mengalami kerugian sebesar 50% dari harga beli. Apabila saya tidak terjebak oleh Sunk Cost, maka saya akan melakukan cut lost pada harga Rp 3500 persaham sehingga kerugian yang terjadi hanya 12.5%.

Framing Trap adalah jebakan pengambilan keputusan yang diakibatkan oleh perbedaan frame (kerangka berfikir) yang berbeda. Pernahkah anda bertengkar atau melihat orang bertengkar pada sebuah hal yang sama? Pertengkaran yang terjadi bukan karena topik yang diperdebatkan tidak sama, namun lebih karena kerangka berfikir yang berbeda. Gelas kapasitas 400 mililiter yang ada air sebanyak 200 mililiter bisa dikatakan setengah kosong oleh pihak pertama, namun juga bisa dikatakan setengah isi oleh pihak yang lain. Frame yang buruk tentu saja akan secara negatif mempengaruhi cara pemimpin mengambil keputusan.

Overconfidence Trap adalah jebakan pengambilan keputusan yang diakibatkan oleh kepercayaan diri yang terlalu tinggi dari pengambil keputusan. Para pemimpin dengan karakter tertentu punya kecenderungan internal yang tinggi sehingga pada mengambil keputusan mereka melakukannya sendiri dan tidak berupaya mendapatkan perspektif yang berbeda dari pihak lain. Para pemimpin yang memiliki pengalaman dan panjang juga memiliki kemungkinan terjebak kepercayaan diri yang terlalu tinggi. Karena sering menghadapi masalah yang sama mereka cenderung mengeneralisir solusi. Padahal kontekstual masa lalu belum tentu sama dengan masa kini.

Prudence Trap adalah jebakan pengambilan keputusan yang diakibatkan oleh sifat yang terlalu hati-hati. Pemimpin yang sering terjebak pada Prudence Trap adalah mereka yang memiliki sifat perfectionis (selalu ingin sempurna) yang ingin semua aspek dan kondisi dievaluasi tanpa ada batasnya. Pada akhirnya keputusan tidak dapat dihasilkan karena terlalu banyak melakukan analisa (analysis paralyisis).

Recallabiltiy Trap adalah jebakan pengambilan keputusan yang diakibatkan karena otak manusia cenderung mengolah informasi yang mudah diingat. Contoh yang paling sering terjadi pada jebakan ini adalah proses penilaian kinerja tahunan. Baik dan buruknya kinerja seorang karyawan seringkali hanya dinilai berdasarkan ingatan data tiga bulan terakhir. Ini terjadi karena data tiga bulan terakhir masih mudah diingat dibandingkan dengan data-data yang lebih lama.

Kesimpulan: Rasional, Tepat dan Cepat
Lebih dari 15 tahun yang lalu saya bekerja di PT. Freeport Indonesia di Papua. Dengan gaji sekitar Rp 6 juta/bulan bersih, saya cukup punya kesempatan untuk menabung dalam rangka persiapan menikah. Berhubung calon istri saya tinggal di Bandung maka semua persiapan dilakukan dengan telpon jarak jauh hampir tiap malam.

Yang menjadi kendala adalah, pada saat hari pernikahan sudah berhitung bulan, pengeluaran biaya telpon yang harus dibayar melonjak lebih dari Rp 1.5 juta setiap bulannya. Sesudah dilakukan penyelidikan ternyata biaya melonjak karena pemakaian telpon berjam-jam setiap malamnya. Penyebabnya dikarenakan saat terjadi perbedaan pendapat dalam sebuah topik diskusi, kami beradu pendapat dan sering kali terbawa emosi. Alih-alih cepat menyelesaikan masalah dan menemukan solusi, yang terjadi adalah biaya telpon membengkak dan seringkali menjadi sakit hati.

Kondisi ini baru disadari sesudah berjalan tiga bulan. Setiap terjadi pertengkaran yang cenderung emosional maka salah satu dari kami akan menutup telpon dengan catatan diskusi akan dilanjutkan keesokan harinya saat emosi sudah sirna sehingga rasio yang kemudian lebih banyak dipakai dalam diskusi. Sehingga pada hasil akhirnya biaya telpon turun dan persiapan pernikahan menjadi lancar.

Pemimpin bisnis yang hebat adalah pemimpin yang mampu mengajak anggota tim untuk mengambil keputusan yang cepat dan tepat. Proses yang rasional dan komprehensif harus dilakukan sehingga keputusan efektif dapat dihasilkan. Tindakan-tindakan politis dari anggota tim pengambil keputusan harus diminimalkan agar proses rasional komprehensif mendapatkan tempat utama.

Daftar Referensi
Amason, A.C. (1996). “Distinguishing the Effect and Dysfunctional Conflict”, Academy of Management Journal, 33, 1.
Bozeman, B.; & Pandey, S.K. (2004). “Public Management Decision Making: Effects of Decision Content”, Public Administration Review, 64, 5, 553-565.
Dean, J.W.; & Sharfman, M.P. (1993). “The Relationship Between Procedural Rationality and Political Behavior in Strategic Decision Making”, Decision Sciences, 24, 6, 1.
Elbanna, S.; & Child, J. (2007). “Influences on Strategi Decision Effectiveness: Development and Test of an Integrative Model”, Strategic Management Journal, 28: 431–453.
Eisenhardt, K.M. (1989). “Making Fast Strategic Decisions in High-Velocity Environment”,  Academy of Management Journal, 32, 3, 543–576.
Fredrickson, J.W.; & Mitchell, T.R. (1984). “Strategic Decision Processes: Comprehensiveness and Performance in an Industry with an Unstable Environment”. Academy of Management Journal, 27: 399-423.
Hammond, J.S.; Keeney, R.L.; & Raiffa, H. (1998). “The Decision Traps in Decision Making”. Harvard Business Review, 76, 5, 47-58.
Hough, J.R.; & White, M.A. (2004). “Scanning Actions and Environmental Dynamism: Gathering Information for Strategic Decision Making”, Management Decision, 42, 6, 781-793.
Khatri, N.; & Ng, H.A. (2000). “The Role of Intuation in Strategic Decision Making”, Human Relations, 53, 1, 57-86. 
Kotter, J.P. (1997). “Leading Change: Why Transformation Effort Fails”, Harvard Business Review, January 2007. 
McGrath, R.G. (2013). “Continuous Reconfiguration in the Transient Advantage Economy”, Strategy and Leadership, 41, 5, 17-22. 
Mintzberg, H. (1978). “Pattern in Strategy Formation”,  Management Science, 24, 9.
Nielson, G.L.; Martin, K.L.; & Powers, E. (2011). “The Secrets to Successfull Strategy Execution”, HBR’s 10 Must Reads on Strategy, 146-166.
Schweiger, D.M., Sandberg, W.R., & Ragan, J.W. (1986). “Group Approaches for Improving Strategic Decision Making: A Comparative Analysis of Dialectical Inquiry, Devil’s Advocacy and Consensus”. Academy of Management Journal, 29,5 1-7.
Utomo, J.U. (2017). “Pengaruh TMT Trust & TMT Collaboration Terhadap Pengambilan Keputusan Stratejik  Komprehesif  Pada Tahap Pra Studi Kelayakan”, Draft Disertasi Universitas Indonesia.
Yukl, G.; Kim, H.; & Falbe, C.M. (1996). “Antecedents of Influence Outcomes”, Journal of Applied Psychology, 81, 3, 309-317.

BIO PENULIS:
Eko Jatmiko Utomo adalah manusia multi dimensi. Pendidikan S1 ditempuh di Jurusan Teknik Pertambangan ITB dan selesai pada awal tahun 1997. Namun, pengalaman kerja selama 20 tahun lebih banyak bergelut dalam bidang Sumberdaya Manusia dan Strategi Bisnis. Pada saat ini Eko Utomo adalah Konsultan, Praktisi Bisnis, Public Trainer, Coach, sekaligus Penulis. Untuk memperlengkapi kompetensinya dalam bidang bisnis, Eko Utomo mengambil S2 pada MM Statejik Management Universitas Prasetiya Mulya dan kemudian melanjutkan S3 Stratejik Management di Universitas Indonesia. Eko berpengalaman bekerja pada perusahaan besar nasional seperti Bank Danamon, Pamapersada Nusantara, Lippo dan Telkomvision. Eko Utomo juga berpengalaman bekerja pada perusahaan Multi National Company (MNC) seperti Freeport Indonesia dan Holcim Indonesia. Untuk dapat mengenal penulis lebih lanjut dapat dilihat di www.ekoutomo.blogspot.com