18 Juli 2010

LEAN MANAGEMENT pada semangkok soto Lamongan

Cibubur minggu pagi sepi dan lancar..................su
atu kemewahan yang luar biasa. Cibubur yang padat oleh perumahan kelas menengah atas selama bertahun tahun menjadi salah satu Oase untuk orang Jakarta yang kaya beneran, orang kaya baru dan orang pura pura kaya untuk membeli rumah baik cash maupun cicilan 20 tahun di daerah yang dibelah oleh jalan Trans Yogi ini. Jelas saja makin lama daerah ini makin macet karena pertumbuhan perumahan dan penghuni bermobilnya tidak sebanding dengan pertumbuhan jalan. Apalagi sejak salah satu penghuninya menjadi RI 1, hobi pulang balik Istana - Cibubur ditambah dengan protap pengawalan VVIP membuat penghuni yang lain cuma bisa ngelus dada saat si boss pulang ke rumah dan menyisakan kemacetan di jalan.

Pagi ini kami mengantar asisten keluarga pulang cuti ke Cilengsi. Minggu lalu si mbak menemani kami sekeluarga menghabiskan hari libur sekolah di Bandung. Minggu ini si mbak mengambil jatah cuti mingguan agar besok senin sudah bisa bekerja kembali di hari pertama Tesa dan Jason masuk tahun ajaran baru. Biasanya saat si mbak cuti, cukup ikut Tesa ke sekolah (di Cibubur juga) dan dari sana naik angkot ke Cilengsi. Namun kali ini kami ramai2 mengantar mbak cuti dan menikmati perjalanan BSD - Cibubur sambil sekalian mampir ke soto Lamongan langganan kami dulu di perumahan Kota Legenda.

"Mbak, boleh minta garam ngak ya?" tanya salah satu pelanggan kepada penjual soto. Kami masih berdiri disamping gerobak menunggu kursi kosong. Tiga meja dengan kapasitas 10 kursi masih full oleh pelanggan lain.

"Pa, sini pa", seru mama Tesa saat ada pelanggan yang meninggalkan meja dibelakang gerobak penjual. Dengan bergegas kami menuju meja yang kosong dan segera memesan soto. "3 soto campur dan satu soto pisah mas. Kalau masih ada kepala ayam tambahkan satu soto campur dan soto pisah". Saya mengorder ke si mbak penjual. Aku masih mengenalinya sebagai adik dari pemilik warung soto ini. Saat ini kakaknya sedang menjaga warung soto satu lagi di Kota Wisata disebrang Legenda Wisata.

"Tiga campur dan satu pisah" mas penjual soto meletakkan pesanan kami didepan meja. Hmmmm sesudah setahun tidak pernah makin soto lamongan, segenap memori cita rasa yang mak nyus tertarik dan masuk kembali ke ujung-ujung syaraf pencecap. "sruuuup" sendok pertama masuk kemulut sesudah sambal ditambahkan ke mangkok.

"Pa.....kok hambar ya?" mama Tesa berucap kurang percaya. "Kok tidak seperti biasanya?" katanya lagi sesudah memasukkan sendok yang kedua. "Mbak, sotonya sudah diberi garam belum ya?' protesnya kepada si mbak penjual, sesudah sendok yang ketiga.

"Anu bu.....garamnya memang saya kasih sedikit"

"Gimana sih si mbak ini, kalau ngak pakai garam ya rasanya jadi anyep" komplain boru Tampubolon lebih lanjut. "Saya minta garam dong....".

"Ini bu garamnya, kemarin ada pelanggan yang minta garamnya sedikit saja, jadi sekarang saya sajikan sotonya dengan garam yang sedikit" jelas si mbak sambil memberikan wadah garam.

"Wah gimana sih si mbak ini, kan selama ini rasa soto ini sudah ada standar rasanya. Mestinya kalau menyajikan dengan resep seperti itu, kalau ada pelanggan yang minta dikurangi atau ditambah garam ya berikan saja. Tapi jangan mengubah standar yang sudah ada!", boru Tampubolon memberikan wejangan kecil ke si mbak penjual soto.

***

"Pa, bener ngak yang aku bilang ke penjual soto tadi? kan papa dulu pernah bilang yang namanya apa tuh? Lean Management*?" dimobil boru Tampubolon mengeksplorasi lebih lanjut peristiwa di kedai soto Lamongan.

"Yang kamu bilang disana sudah bener ma, didalam memberikan servis atau pembuatan barang maka penyedia jasa atau produk memang harus menjaga standar atau istilah keren Lean Management sebagai "eleminate variabelity". Disisi lain mereka juga harus luwes dan fleksibel dalam memenuhi permintaan dan kebutuhan pelanggan yang berbeda-beda atau istilah Lean Management sebagai strategi "eleminate inflexibelity".

"Tindakan penjual soto tadi bagaimana pa?"

"Tujuannya baik, namun yang dilakukan mencampur baur dua strategi tadi. Yang terjadi bukannya melakukan flexibelity namun malah merusak standar dan menimbulkan variasi dalam rasa soto yang disajikan" jawabku serius dan menghasilkan dejavu kelas Lean Management di kantor.

"Nah, kalau kasus anak kita Tesa dan Jason gimana dong?, yang satu putih yang satu hitam. Yang satu mukanya runcing yang satu mukanya bulat. Proses bisnis kita variancenya tinggi dong?" boru Tampubolon berpindah dari soto ke hereditas.

"Kalau yang itu pintar pintarnya papa dan mamanya dalam mencampur semua strategi Lean Management jadi satu he he he he" jawabku ngawur sambil menghilangkan kesal karena Cibubur sudah kedatangan tamu abadi: macet.

BSD City,
18 Juli 2010
Eko Utomo untuk Anda


*Tiga strategi utama Lean Management:
1. Eliminate Variabelity
2. Eliminate Inflexibelity
3. Eliminate Waste

Please BELIEF that your BELEIF will make you UnBelievable!

Blora kota Ario Penangsang 1988.

"Braaaaaaaaaaaaak!"

Kami semua mengkeret seperti bunga putri malu yang tersentuh ujung sandal. Penggaris kayu sepanjang satu meter itu untuk kesekian kalinya berfungsi dengan baik ditangan pak Wir. Penggaris yang memunculkan bunyi keras dan mampu menyirep kelas 3E tatkala menghajar meja. Kami duduk membeku dibangku masing-masing, tentu saja dengan kepala tertunduk agar tidak tertangkap pandangan mata beliau. Tangkapan yang membuat kami harus bisa menjawab pertanyaan atau siap untuk dipermalukan.

"Ayo, siapa yang tahu bahasa inggrisnya nyamuk?"

Suara pak Wir makin tinggi dan kencang, dan kami makin menunduk. Pelajaran bahasa Inggris di SMP selama 3 tahun ternyata belum mampu membuat siswa sekelas tahu bahasa Inggrisnya nyamuk! dan kok kebetulan guru berbadan kecil namun galaknya minta ampun itu pagi-pagi bertanya bahasa inggrisnya nyamuk dan kami semua terlongong bengong seperti orang melamun yang kemasukan nyamuk di mulutnya.

"Nah, untuk urusan seperti ini ketua dan juara kelas pasti tahu!"

Dan mata pak Wir dengan senyum tajam menatapku tiba-tiba. Ini benar-benar kiamat kecil. Walau sejak kelas 1 SMP aku selalu juara kelas tapi yang namanya pelajaran bahasa Inggris adalah pelajaran yang maaf...paling tidak aku sukai. Kalau ditanya tentang Matematika, IPS, Bhs Indonesia atau bahkan PMP merupakah makanan empuk bagiku. Tapi..........bahasa Inggris??? tar dulu! aku paling malas belajar bahasa Inggris dan aku percaya bahwa aku ditakdirkan untuk tidak becus cas cis cus pakai bahasanya meneer Charles ini.

"Tomy, sebagai juara kelas dan ketua kelas, saya tahu kamu pasti tahu jawaban dari pertanyaan ini".

Kembali pak Wir menatapkan matanya yang tajam kearahku, dengan tidak lupa membawa penggaris satu meter yang pernah mampir dimuka teman kelasku yang nakal.

"Mosquito pak!", tiba-tiba saja mulutku membuka dengan sendirinya. Mbuh benar mbuh salah aku coba jawab sebisanya.

" Ya betul! kata pak Wir sambil berjalan kembali kedepan kelas. "Kalian harus tiru Tomi. Sebagai juara kelas, selain hebat dalam matematika dia juga hebat dalam bahasa Inggris!"

Suara pak Wir menerbangkan semangatku kelangit-langit ruangan kelas. Dan secara tiba-tiba aku percaya bahwa diriku pasti bisa dan mampu berbahasa Inggris!


Puncak Cianjur, Juli 2010

"Pak Tomi, tadi bapak dikelas menjelaskan bahwa Limiting Belief akan membuat cara kita membuat keputusan juga menjadi terbatas, maaf pak, bisa diberikan contoh yang lain ngak pak?". David, salah satu peserta workshop Leadership Development Program (LDP) yang duduk semeja saat coffee break menggunakan kesempatan untuk mengeluarkan unek-uneknya yang tidak sempat terlontar pada sesi kelas "Making Effective Decision".

"David, kamu percaya ngak terhadap dirimu sendiri bahwa suatu saat nanti kamu bisa menjadi direktur?" seperti biasa aku lontarkan pertanyaan sebelum menjawab pertanyaannya.

"Bisa pak!" suara David terdengar mantab dan penuh percaya diri.

"Great! suatu belief yang empowering yang akan membantumu untuk mencapai hal itu. Namun diluar sana, banyak karyawan yang jauh dilubuk hatinya tidak percaya bahwa dirinya mampu untuk menjadi direktur. Sehingga keputusan demi keputusan yang diambil tidak pernah membawanya untuk menjadi direktur karena tanpa sadar sudah dia batasi dengan rambu rambu "tidak mampu untuk menjadi direktur". Sebaliknya, kepercayaanmu bahwa kamu mampu untuk menjadi direktur akan membawa dalam membuat keputusan menuju dan berlayar kearah pencapaian hal tujuan itu".

Mendengarkan penjelasanku muka David terlihat bersinar dan bibirnya mengembangkan senyuman lebar. Persis sama dengan senyumku 22 tahun lalu saat pak Wir bilang bahwa aku "jago" bahasa Inggris!.

Nusaloka, sore hari Juli 2010.

"Pa, kapan kamu bisa kurus? lha sampai sekarang masih sak hohah terus gitu lho?"

"Sabar ma, segala sesuatu ada masanya" jawabku santai sambil mengalungkan handuk masuk kekamar mandi. Penat dalam workshop 4 hari dipuncak sudah luntur oleh pijatan tangan mak Erni dan saatnya memanjakan tubuh dengan guyuran air dingin nan segar.

"Perasaan, papa bilang seperti itu sejak tahun lalu lo?" mama Tesa makin bersemangat untuk menyudutkanku di pojok ring untuk yang keseribu sekian kalinya.

"Ma, yang penting aku sudah percaya, memegang belief bahwa aku akan menurunkan berat badan 10 kg lebih rendah dari sekarang. Sama dengan berat badan saat kita menikah dulu. I have the belief ma". Kataku sambil buru-buru masuk kamar mandi untuk menghindari pertanyaan berikutnya.

"Iyaaaaaaaaa, tapi trus kapan?" mama Tesa gigih ngak mau kalah persis seperti tim der Panser Jerman yang menggondol juara 3 WC 2010.

"Nah, untuk urusan timeline memang harus dipikirkan lebih dahulu ma." Jawabku sembarangan sambil membuka shower kencang2 agar tidak terganggu suara dari luar.

Close to Midnight
BSD City, 17 July 2010.
City of Tomorrow
Eko Utomo untuk Anda

Comfort (Zone) yang menina bobokan........

Lebih dari setahun bangku deret ketiga di lantai dua sayap kiri GKI MY itu menjadi bangku favorit. Saya "merasa" bahwa bangku yang pada awalnya saya pilih dengan sembarangan itu ternyata menjadi begitu nyaman dan selalu saya tuju setiap hari minggu. Bangku yang akhirnya menjadi area "comfort" yang susah ditinggalkan karena menjadi standar. Bangku yang akhirnya baru bisa ditinggalkan gara2 bangku itu penuh dan memaksa saya duduk di lantai satu dibelakang mimbar. Lokasi yang akhirnya menjadi area "comfort" lain sebab lokasi baru ini membuat saya dapat leluasa memandang ke song leader yang manis disamping piano di lantai dua!.

Tahun 1997 sebuah bank memberikan saya gaji 500 rb perbulan. Angka yang berlipat dibandingkan dengan uang saku bulanan dan duit beasiswa yang saya dapatkan ditahun sebelumnya. Dengan gaji itu saya bisa mencukupi diri sendiri dan mampu makan di restoran fastfood tanpa harus mikir seribu kali. Jumlah itu cukup dan setiap akhir bulan uang pas............artinya pas habis saat gaji bulan berikutnya masuk rekening.

Tahun berikutnya sebuah pabrik sepatu menggaji saya 750 rb perbulan, 50% lebih banyak dari gaji tahun lalu. Gaji baru memberikan keleluasaan untuk mentraktir teman-teman dan pacar, dan setiap akhir bulan uang pas........artinya pas habis saat gaji bulan berikutnya masuk rekening.

Tahun berikutnya sebuah perusahaan trading membayar saya 2 jt, hampir 3x lipat dari gaji sebelumnya. Dengan gaji baru, kebebasan untuk membeli baju dlsb makin mudah, urusan traktir mentraktir juga makin gampang, dan setiap akhir bulan uang pas......artinya pas habis saat gaji bulan berikutnya masuk rekening.

Tahun berikutnya lagi sebuah perusahaan kontraktor pertambangan menggaji saya 2x lipat dari gaji sebelumnya, uang 4 jt masuk rekening tiap bulan tetap saja setiap akhir bulan uang pas.....artinya pas habis saat gaji bulan berikutnya masuk rekening!

Selidik punya selidik ternyata tanpa sadar saya memiliki "comfort zone" zero saving! habit yang terbawa sejak mahasiwa, uang tidak pernah kekurangan tapi juga tidak punya tabungan. Saat comfort Zone ini dipaksa berubah karena harus nabung untuk biaya menikah...............lho kok ternyata bisa nabung juga.

***
"Pak, saya dapat offering!"
"Wah keren dong...........offering dari mana?" tanyaku sambil tersenyum kepada Andi anggota tim divisiku.
"Dari perusahaan retail pak, angkanya bagus, 10 jt/bulan!" jawab Andi dengan muka yang berseri.
"Hmmm lumayan banget tuh...........saya pikir kamu layak untuk mendapatkan tawaran sebesar itu" balasku sambil mempersilahkan Andi duduk.
"Saya heran pak, ternyata kok saya bisa mendapatkan tawaran sebesar itu. Saya pikir diri saya mentok diangka 3 juta sebulan saja".

"Andi, ingat diskusi kita 2 tahun yang lalu? waktu itu saya tanya kepada kamu apakah apa targetmu 3 tahun kedepan"
"Ingat pak, saat itu saya bilang saya ingin jadi Training Manager! tentu saja dengan gaji yang jauh lebih besar dibandingkan gaji saya pada saat itu" Andi menyahut sambil mengingat-ingat kejadian itu.
"Betul Andi, visi dan targetmu yang baru saat itu merentang comfort zonemu ke area yang baru! dan alam bawah sadarmu membantu kamu untuk mencapai itu".
"Kalau begitu untuk keluar dari comfort zone kita harus membuat tujuan dan standar baru yang lebih besar dari comfort zone kita pak?"
"Jawabannya ada didalam pertanyaanmu Andi, selamat untuk offering ini! sukses ditempat yang baru!".

***
"Pa, emang mau ngontrak terus di Jakarta, masak ngak mau punya rumah sendiri?" tiada hujan tiada angin mama Tesa nyerocos hari sabtu pagi.
"Lho, emangnya yang di Bandung itu bukan rumah apa?" jawabku mencoba mengelak dari pertanyaan.
"Yang aku tanya rumah di Jakarta bukan di Bandung, papa kok anteng anteng aja sih selama bertahun tahun ngontrak di Jakarta".
"Iya-iya, entar kita beli deh, sabar kan harus ngumpulin DP dulu buat beli rumah mah" jawabku tetap dengan semangat membela diri.
"Sabar sih boleh pa, asal jangan terjebak zona nyaman jadi kontraktor. Tuh lihat, rumah di Castilla ini boleh juga!"

Disclaimer: angka2 dan pemeran yang terlibat diatas hanya ilustrasi

BSD City,
27 June 2010
Eko Utomo untuk Anda