28 Agustus 2015

"EMPATI", Warisan Terbesar Buat Anak

Perubahan Paradigma
Tahun 90an, buku Daniel Goleman tentang Emotional Intelligence (EI) mendekonstruksi pola pikir banyak orang tentang faktor utama pendukung kesuksesan anak manusia. Goleman menemukan bahwa EI berperan 70% dalam kesuksesan, jauh lebih besar dibandingkan IQ.

Bertahun-tahun sebelumnya pola pikir utama khususnya orang tua adalah bahwa IQ (Intelleligence Quotient) merupakan kartu As buat anaknya. Pola pikir ini membuat orang tua fokus agar anaknya juara. Dengan segala macam cara dengan segala sumberdaya, whatever it takes. Dari mulai iming2 hadiah jika juara, sampai les ini itu dari sore sampai malam hari.

Konsep baru tentang EI memberikan perspektif baru. Walaupun munculnya konsep baru tidak berarti bahwa orang tua mengerti dan paham tentang nilai dan perilaku apa yang harus dikembangkan untuk anaknya.


Komponen Utama EI
Komponen utama IQ tentu saja kemampuan kognitif (pikiran) seseorang. Besar kecilnya gelas (IQ) yang diturunkan secara genetis ditambah dengan pendidikan yg diterima berpengaruh besar pada perkembangan kognitifnya.

Sementara EI dari namanya adalah intelektualitas dalam mengelola emosi (afektif) pada diri seseorang. Kemampuan EI seseorang akan sangat berpengaruh pada saat yang bersangkutan berhubungan dengan pihak lain (inter personal).

Kesuksesan di Bumi jelas kesuksesan yang diukur pada ruang ramai kota besar bukan pucuk sunyi Himalaya. Ruang ramai kota besar penuh dengan personal2 lain yang berperan membantu dan atau menggagalkan kesuksesan. Dari sanalah peran EI muncul.

Trus komponen utamanya apa? menurut banyak pakar, kemampuan berEMPATI merupakan kemampuan komponen utama dalam EI. Pribadi yang mampu berempati merupakan pribadi yang bisa "menempatkan dirinya pada perspektif dan emosi" orang lain pada saat menerima stimulus tertentu. Kemampuan berempati membuat pribadi ini mudah bergaul dan diterima banyak kalangan. Why? karena pribadi berempati dianggap sebagai bagian dari mereka.


Menyemai Benih Di Usia Muda

"Bro, aku bisa menilai orang tua mendidik anaknya tentang Empati sekejab mata" kataku keseorang kawan.

"Yang benar mas? Bagaimana caranya" tanya sang kawan penasaran.

"Sederhana, pada saat aku, istriku dan anak2 bertemu mereka dan anak2 mereka. Disitulah moment penilaian terjujur terjadi" jawabku singkat.

"How?" tanya sang kawan tambah penasaran.

"Dua anakku berkebutuhan khusus (ABK), perilaku mereka tentu saja berbeda dengan anak2 normal. Response anak2 teman akan menunjukkan bagaimana pendidikan empati berlangsung dikeluarga itu" jelasku.

"Maksudnya?" sang kawan minta tambah penjelasan.

"Anak yang dididik empati akan memberikan response penerimaan tentang perbedaan, kalaupun bertanya tentang ekspresi anakku yang berbeda dan tidak umum sifatnya eksploratif pingin tahu. Anak yang tidak atau kurang dididik empati cenderung "tidak menerima" kehadiran anak ABK dan cenderung menunjukkan emosi ketidak sukaanya" aku tambahkan detail.

"Mumpung masih kecil, mendidik anak2 agar punya perilaku empati jauh lebih mudah dibandingkan dengan nanti saat sudah jadi Manager dan kena komplain serta tidak dipromosi karena terkenal sebagai pribadi yang tidak berhati dan tak berempati" kataku menutup percakapan.

Nah, kita sebagai orang tua mau mulai mendidik empati kepada anak2 mulai kapan?
Jawabannya ditangan anda para orang tua.

EU4U
Agustus 2015

Tidak ada komentar: