28 Agustus 2015

LGBTI, Problematika dan Tuntutan Eksistensi. Perspektif hubungan pribadi dan menyikapi pernikahan sejenis



“Love but not agree - mengasihimu namun tidak menyetujuimu”

Eko Utomo

 

Sebuah Titik Tolak Baru
Pada sebuah percakapan WhatsApp (WA) Group:
Kawan 1: “Pernah berhubungan langsung dengan Gay & Lesbian ngak?”.
Kawan 2: “Pernah, ada yang teman kerja dan ada yang teman beraktivitas diluar kerja”
Kawan 3: “Bagaimana caranya tahu kalau mereka itu Gay atau Lesbian?”
Kawan 2: “Kalau sering bergaul maka kita bisa merasakan dan melihat ciri2nya”.
Kawan 1: “Bagaimana bersikap terhadap mereka?”
Kawan 2: “Yang rekan kerja? Ya biasa saja, yang penting sesuai aturan perusahaan”.

Diskusi tentang Lesbian Gay Bisexual Transgender & Intersex (LGBTI) menjadi topik yang hangat yang banyak diperbincangkan di forum-forum dan media sosial termasuk media sosial tertutup semacam WA group. Fenomena ini dipicu oleh disahkannya Gay Marriage (GM) oleh Supreme Court Amerika (yang juga disetujui oleh Presiden Obama) pada tanggal 26 Juni 2015.

Didunia tanpa batas seperti sekarang ini, dentuman di Amerika segera terdengar gaungnya di Indonesia yang berjarak puluhan ribu kilometer. Banyak profile picture (PP) pengguna sosial  media berubah dengan warna pelangi, simbol dukungan terhadap pernikahan LGBTI. Pro dan kontra terjadi, termasuk pada kalangan orang Kristen Indonesia yang goyah pandangannya dan kebingungan cara menyikapinya. 

Dalam Alkitab, Yesus menyatakan dengan jelas dan tegas bahwa pernikahan itu dilakukan oleh laki-laki dan perempuan (Matius 19:4-6), pernikahan tidak dilakukan oleh laki-laki dengan laki-laki, perempuan dengan perempuan dan juga bukan manusia dengan binatang atau tumbuhan. Tujuan dari pernikahan laki-laki dengan perempuan ini agar manusia bisa berkembang dan memenuhi bumi (Kej 1:28). Nah, kalau sesama jenis dan beda spesies jelas tujuan berkembang biak tidak akan terpenuhi bukan?

Hak Asasi & Tuntutan
Bagaimana dengan dengan Hak Asasi Manusia? Bukankah LGBTI juga manusia yang juga memiliki hak yang sama untuk melakukan pernikahan di gereja? Tuntutan ini ibaratnya menemukan anak tersesat dikeramaian dan mengklaim bahwa anak itu hak dia sebagai penemunya. Lembaga perkawinan didirikan sebagai standar moral manusia oleh Tuhan. Untuk apa gay harus melakukan pernikahan di gereja? Agar memenuhi standard moral? Bukankah menjadi seorang gay sudah dengan sendirinya tidak masuk dalam standard moral kekristenan? Dalam hal ini kita tidak berbicara tentang benar dan salah secara relativisme namun pemenuhan sebuah standar aturan dalam kekristenan yang sudah ditetapkan dan dituliskan sebagai pedoman menurut Alkitab.
Jadi jelaslah bahwa GM bukan merupakan masalah hak asasi namun merupakan masalah moral. Allah jelas menyatakan bahwa hubungan laki-laki dengan laki-laki masuk dalam katagori kemesuman yang dibenci olehNya (Roma 1: 26-32). Masuk ke lembaga pernikahan dengan restu pemerintah dunia “monggo” silahkan, itupun jika pemerintah menyetujui. Namun pernikahan sejenis dan minta restu ke gereja jelas sebuah kekacauan berpikir. Kalau standar manusia yang dipakai, tidak akan lama lagi kawin dengan binatang, saudara sekandung dan juga kawin dengan anak dibawah umur juga minta untuk disahkan. Heran? Jangan! silahkan google. Tuntuan atau tindakan ini sudah banyak terjadi diberbagai tempat di Bumi yang makin tua ini. Gereja berdiri dengan seperangkat nilai-nilai, aturan dan pedoman. Gereja yang mengingkari nilai-nilai dan pondasinya jelas bukan gereja lagi.
Bukannya orang Kristen diajarkan untuk tidak menghakimi? (Matius 7:1-2). Benar bahwa kita tidak diperbolehkan menghakimi orang lain dengan alat ukur kita sendiri. Kita juga tidak boleh menghakimi orang lain hanya dari penampilannya namun menghakimi orang harus dengan benar (adil). Maksudnya? Dengan  menggunakan alat pengukuran yang sudah diberikan oleh Tuhan (Roma 1:26-32), karena yang berhak menjadi hakim Tuhan dan bukan manusia. Maka alat penghakiman yang dipakai adalah alat penghakiman sang hakim. Kalau alat ukur yang sudah diberikan tidak kita pakai dan dicampakkan, lebih berintegritas kalau menjadi orang ateis saja daripada mengaku Kristen tadi tidak hidup menurut nilai-nilai ajaran Kristen.
Sikap Pribadi
Menjadi LGBTI adalah sebuah pilihan mungkin beberapa menyebutnya sebagai naluri, tentu dengan segala konsekuensinya. Namun melakukan pernikahan sejenis jelas sebuah pilihan, GM yang disahkan oleh pemerintah (Amerika misalnya) mungkin (seolah-olah) sebuah pemenuhan kebutuhan akan hak warga, namun GM yang minta disahkan oleh gereja jelas sebuah kekacauan logika berfikir.
Apakah tidak menyetujui GM kemudian membenci mereka secara pribadi? Tentu saja tidak. Mengasihi dan mendoakan mereka tanpa harus menyetujui dan membenarkan adalah sebuah sikap yang bisa diambil. Yesus turun dari kemuliaan surga untuk orang berdosa, Yesus jelas mengasihi orang berdosa. Namun Yesus juga dengan jelas menunjukkan bahwa Ia datang untuk mengampuni dan menunjukkan jalan yang benar bagi mereka yang tersesat. Seperti yang diucapkanNya pada perempuan yang berbuat zinah:
“Akupun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang”, (Yohanes 8:11)

Disclaimer: tulisan ini adalah perspektif pribadi penulis. Tidak mewakili pihak manapun, sambil menunggu dan mendorong GKI menyatakan sikap secara resmi tentang hal ini.

Jakarta, 19 Agustus 2015

Tidak ada komentar: